bc

Kehamilanku Dihargai Satu Miliar

book_age16+
17.6K
FOLLOW
161.6K
READ
contract marriage
goodgirl
drama
tragedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

Apa jadinya kalau seseorang memintamu hamil dan dibayar 1 Miliar? Ini yang dialami Luna. Ia menjadi dilema saat datang tawaran besar tersebut padanya disaat ibunya sakit keras. Haruskah menerima demi kesembuhan ibunya atau abaikan?

"Ini uang 500 juta," tunjuk wanita cantik di hadapanku dengan melirik koper yang terbuka, dan memperlihatkan uang yang aku tidak tahu apa benar jumlahnya seperti yang disebutkannya barusan.

"Dan ini 500 juta juga," sambungnya sembari membuka koper satunya dengan tampilan isi yang sama persis.

"Keduanya akan menjadi milikmu kalau kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu dengan sangat baik," tandasnya kemudian dengan menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang didudukinya.

"A-apa ini? A--aku tidak mengerti," sahutku yang masih diliputi kebingungan. Aku memang tidak paham untuk apa aku dibawa paksa oleh seseorang yang berpakaian serba hitam, hingga duduk di depan wanita yang menunjukkan dua koper berisi uang satu miliar. Pekerjaan apa yang harus aku lakukan, dan siapa wanita di hadapanku saat ini?

chap-preview
Free preview
Dipaksa Bertemu
"Ini uang 500 juta," tunjuk wanita cantik di hadapanku dengan melirik koper yang terbuka, dan memperlihatkan uang yang aku tidak tahu apa benar jumlahnya seperti yang disebutkannya barusan. "Dan ini 500 juta juga," sambungnya sembari membuka koper satunya dengan tampilan isi yang sama persis. "Keduanya akan menjadi milikmu kalau kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu dengan sangat baik," tandasnya kemudian dengan menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang didudukinya. "Apa ini? Aku tidak mengerti," sahutku gugup masih diliputi kebingungan. Aku memang tidak paham untuk apa aku dibawa paksa oleh seseorang yang berpakaian serba hitam, hingga duduk di depan wanita yang menunjukkan dua koper berisi uang satu miliar. Pekerjaan apa yang harus aku lakukan, dan siapa wanita di hadapanku saat ini? Wanita cantik tersebut mengulurkan tangan ke arah lelaki yang berdiri di belakangnya, dan dengan sigap lelaki tersebut memberikan sebuah map. "Luna Arsyakayla. Umur 21 tahun. Alamat jalan Anggrek nomor 12 gang suka damai, kampung Pasar lama. Tinggal bertiga dengan ibu dan adik laki-lakinya, dan merupakan tulang punggung keluarga. Kuliah jurusan ekonomi sambil menyambi kerja di sebuah cafe. Untuk menambah penghasilan, kamu--" liriknya sekilas ke arahku yang melongo kaget tidak percaya dengan apa yang sedang dibacakannya. "kamu memberi les tambahan untuk anak sekolahan dengan ngajar mapel matematika. Selain itu kamu membantu teman kampusmu mengerjakan tugas kuliah mereka dengan imbalan uang. Saat ini kamu mengambil cuti kuliah setahun karena fokus bekerja sambil merawat ibumu yang sakit-sakitan. Ibumu harus menjalani operasi untuk--" "Tunggu! Kamu siapa? Kenapa memata-mataiku?" selaku tergagap menunjuknya. Aku ingin bangkit tapi bahuku ditekan seseorang yang berdiri di belakangku, memaksaku untuk tetap duduk. "Namaku Alisa Subagyo. Menantu pertama dari keluarga Bara Wijaya," jawabnya menegakkan badan dan menatapku tajam. "Aku tahu kesusahanmu dan ingin membantu," lanjutnya lagi. Kepalaku menggeleng isyarat tidak percaya. Pasti ada sesuatu yang lebih diinginkannya dariku. "Jangan takut, aku bukan orang jahat. Ibumu harus segera dioperasi dan kamu butuh biaya bukan?" Ingin membantah, tapi refleks kepalaku mengangguk lemah. Wanita yang tampak cantik meski dengan polesan make up tipis ini tersenyum simpul. "Aku punya solusinya. Kamu tinggal ikuti dan semua beres. Ibumu dapat diselamatkan dan kamu tidak perlu susah payah lagi bekerja." Kembali ia memundurkan punggungnya bersandar. Kali ini diikuti dengan melipat kedua tangannya di d**a. "Pekerjaan seperti apa hingga aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini?" lirikku ke arah dua koper yang berisi uang. Aku mulai tertarik. Alisa menyunggingkan senyum. "Kalian pergilah! Tunggu di depan," titahnya pada dua lelaki tegap mengenakan jas hitam yang sama. Entah kenapa restoran–tempat pertemuan paksa ini sepi. Hanya kami saja pengunjungnya. Seolah memang di-setting demikian. "Oke, akan kujelaskan. Jadi pekerjaannya sangat mudah. Kamu dikontrak sekitar sembilan bulanan. Difasilitasi rumah, dua asisten rumah tangga, tabungan dengan tiap bulannya akan ditransfer ke rekeningmu, dan itu dipisah dari yang 1 M itu ya," liriknya ke arah dua koper dihadapanku. "Anggap tiap bulan kamu digaji, dan semua kebutuhanmu pun akan diurus dengan baik." Aku tercengang mendengarnya. Pekerjaan apa hingga diberikan dengan fasilitas selengkap itu? Apa jangan-jangan berhubungan dengan n*****a? "Apa pekerjaannya?" ulangku bertanya seraya meraih gelas minuman yang berada di hadapanku. Tetiba kerongkongan terasa kering, rasa haus menderaku. "Memberikan kami anak." Aku menyemburkan minuman yang baru saja kuteguk saking terkejutnya. "Maaf." Dengan cepat kuambil tisu yang terletak di atas meja, mencoba mengelap badan Alisa yang terkena semburanku. Alisa menepis tanganku. Ia meraih tisu dan mengelapnya sendiri. "Aku butuh orang untuk memberikan kami anak." "Anak? Kenapa mintanya ke saya? Maksudnya kamu mau mengadopsi anak saya, begitu? tapi maaf saya nggak punya anak dan belum menikah," ujarku menjelaskan. Wanita di depanku ini tertawa kecil. "Kami di sini maksudnya aku dan suamiku. Kami sudah menikah hampir sepuluh tahun, dan selama itu juga kami belum diberikan momongan." Alisa mulai bercerita. Ia menjeda ucapannya, menarik napas sejenak. "Ada masalah di rahimku, dan kedua keluarga besar kami tidak ada yang tahu. Kami menyembunyikannya dari mereka. Suamiku sendiri tidak mempermasalahkannya. Dia sangat mencintaiku, sampai rela tidak mempunyai anak seumur hidupnya." Di bagian ini Alisa tersenyum getir. "Aku tahu pemikiranmu tentangnya, pasti ucapannya terdengar gombal, tapi aku percaya. Aku mengenalnya sangat baik karena kami teman sejak kecil. Kedua keluarga kami juga bersahabat baik. Sudahlah, skip yang itu. Kembali ke pembahasan kita. Intinya aku menyewa rahimmu untuk melahirkan penerus keluarga Bara Wijaya. Bagaimana, bersedia?" tawarnya padaku. "Aku tidak bisa," jawabku menolaknya sedikit ragu. Alisa mengerutkan dahinya. "Yakin menolak? Ini 500 juta loh? Ibumu harus dioperasi besok, sudah dapat uangnya?" Alisa bertanya seraya mengetuk-ketukan tangannya di atas koper uang tersebut. Tawarannya memang menggiurkan, tapi … apa harus dengan cara ini? "Kenapa tidak adopsi anak saja? Yang legal, kan banyak," tanyaku memberi solusi. "Tidak. Penerus Bara Wijaya harus mengalir darah Arik--suamiku, bukan anak orang lain," tegasnya. "Bagaimana? kesempatan tidak datang dua kali dan waktuku tidak banyak." Alisa melirik ke arah jam di pergelangan tangannya, ia kembali menekanku. "Kalau setuju artinya aku harus menikah dulu dengan suamimu itu?" Aku kembali bertanya. Alisa menggeleng. "Kurasa cukup tidur dengannya semalam atau beberapa malam sampai kamu dinyatakan hamil, jadi tidak ada pernikahan. Aku tidak ingin berbagi suami." Alisa menjawab dengan penuh penegasan kalau suaminya adalah miliknya. Aku menatapnya lekat. Mencoba mencari sisi religiusnya. Tidak ketemu. Sulit memindai seseorang dari penampilannya. "Maaf. Aku tidak bisa. Dalam agamaku berzina itu dosa besar, dan aku tidak ingin menambah dosaku lagi," jawabku berani menolak tawarannya. Kurasa Tuhan pasti punya jalan lain selain tawaran yang penuh dosa ini. Alisa menatapku tajam. Dapat kulihat ketidaksukaan dari mimik wajahnya atas penolakanku barusan. Kuharap sindiranku tepat sasaran. Namun tidak berlangsung lama, ia tersenyum kembali seolah ucapanku barusan tiada artinya. "Ini kartu namaku. Hubungi nomor ini kalau kamu berubah pikiran. Aku memberimu kesempatan kedua." Alisa bangkit, beranjak dari duduknya dan meninggalkanku dengan selembar kartu nama. Aku ingin menolak, tapi entah kenapa ada sesuatu yang melarangku. Kusandarkan punggung ke sandaran kursi, membuang napas berat berharap keputusanku sudah tepat. wanita aneh, kenapa harus memilihku? kusambar kartu namanya dan memasukkannya ke saku celana. Baru saja keluar dari restoran tersebut, ponselku berdering. Varel, telepon dari adikku. "Ya, Varel ada apa?" Kujawab cepat karena perasaanku tidak enak. "Mbak dimana? Ibu muntah darah lagi, Mbak. Dokter cari Mbak. Katanya operasi Ibu harus dilakukan malam ini juga." "Apa Rel? Malam ini?" tanyaku dengan terbata memastikan. Siapa tahu barusan aku salah dengar. "Iya, Mbak. Kata dokter begitu." "Mbak? Mbak masih disitu kan?" Aku tergugu merosot ke bawah dengan tangan bergetar masih memegang ponsel. Lututku lemas seketika tak berdaya mendengar penuturan adikku--Varel. Kalau malam ini Ibu dioperasi, lantas dari mana kudapatkan uang sebanyak itu dalam waktu sekejap?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook