bc

Bad Boss Possession

book_age16+
974
FOLLOW
4.7K
READ
billionaire
arrogant
badboy
CEO
boss
hollywood
comedy
bxg
like
intro-logo
Blurb

Sejujurnya, mendirikan bangunan di atas tanah pemakaman saja sudah sangatlah tabu. Banyak korban termakan saat pengerjaan tetapi Brendon, bos berkepala batu yang tak percaya hal mistis, tetap memaksakan kehendak hingga ia puas mampu mendirikan perusahaan cabang tersebut dengan bantuan dukun sakti rekomendasi sang sekretaris-sekalipun ia tetap tak percaya itu kejadian supernatural.

Dukun itu berpesan, sekalipun sudah berhasil, tetap Brendon serta karyawan/karyawatinya harus menjaga tata krama karena mereka berbagi rumah sekarang.

Sayang, ia tetap 'masuk telinga kanan keluar telinga kiri' karena ketidakpercayaannya akan hal mustahil, hingga akhirnya tulah jatuh padanya.

Brendon melihat mereka.

Badan Brendon jadi mainan mereka.

Ingin kami lepaskan?

Uh, tidak semudah itu, Ferguso!

=Kendall Bolong=

chap-preview
Free preview
Chapter 1 - 3
CHAPTER 1                 “Apa? Modal lagi buat nambah pekerja atau nambah uang asuransi?” tanya Brendon Emanuel tanpa mengalihkan mata cokelatnya dari laptop untuk menatap pria yang masuk ke ruangannya.                   Pria dengan topi pekerja itu tampak was-was. “Ke-keduanya, Bos!” jawabnya dengan terbata.                   Brendon menghela napas, akhirnya mendongak ke arah si pria dengan mata cokelat tajamnya. “Berapa?”                   "Sekitar lima ratus ju—”                   Brendon langsung memutusnya. “Berapa kali kamu bolak-balik ke sini buat minta uang, huh? Apa kecelakaan kerja sama pekerja yang kabur itu bener? Jangan-jangan kamu menipu saya!”                   “Bu-bukan, Bos! Sumpah! Demi Tuhan saya gak bermaksud nipu, Bos! Tapi ....” Matanya kini memandang seorang pria yang berdiri di samping Brendon, tampak saling mengerti arti tatapannya.                   Pria di samping Brendon menghela napas. “Begini, Pak. Tanah yang kita pakai, kan, tanah bekas kuburan. Usut punya usut—”                   “Hantu? Setan?” Brendon tersenyum bengis menatap keduanya bergantian. “Serius kalian percaya begituan? Aduh ... ini zaman modern! Tolong, ngomong yang masuk logika! Kamu pasti nipu saya, ‘kan?”                   “Enggak, Bos! Gak sama sekali! Kalau Bos mau, ayo Bos ikut saya ke tempat kejadian perkara!” Sang pria dengan tegas meyakinkan.                   Brendon menatap keduanya malas, sebelum akhirnya mengangguk. “Oke, besok antar saya ke sana. Tapi awas kamu jebak saya, atau nipu saya!” Kembali, ia memainkan laptopnya. “Saya sudah transfer ke rekening, silakan gunakan dengan sebaik-baiknya!”                   “Baik, Bos! Terima kasih!” Ia pun beranjak meninggalkan ruangan.                   “Pak, apa yang dia katakan bener, Pak Brendon, soal kecelakaan kerja sama itu ... saya liat dengan mata kepala saya sendiri.” Pria di samping Brendon angkat suara. “Katanya, sekop tiba-tiba terbang, katanya tiba-tiba ada lubang di tanah, terus, terus—”                   “Dongeng terus! Gak fokus saya jadinya!” putus Brendon, membuat pria itu terdiam. “Daripada kamu mempercayai hal-hal aneh begitu, mending kamu kasih saya solusi, kamu ini sekretaris saya dan saya gak mau rugi!”                   “Saya punya solusinya, sih, Pak. Cuman ... saya yakin Bapak bakal nolak.”                   Brendon memandangnya dengan kerutan di kening. “Maksud kamu?”                   “Panggil orang pinter buat nanganin mereka!” Brendon masih menatap bingung, sebelum akhirnya wajahnya berubah geli dan ia tertawa miris. Ia menggelengkan kepala dan kembali fokus ke laptopnya.   CHAPTER 2                 Mobil hitam itu berhenti di jalanan yang di sampingnya berupa hamparan kosong tetapi banyak pekerja dan alat berat. Brendon dengan kacamata hitamnya keluar disusul pria yang merupakan sekretarisnya.                   Tepat ketika itu, dua orang bertopi pekerja menghampirinya. “Pak Bos!” sapa salah seorang dari mereka yang kemarin menjadi pengabar.                   Brendon mengabaikannya dan mulai melangkah, tetapi terhenti karena kakinya yang menginjak tanah merah. Ketika ia menatap ke bawah, sepatu hitamnya yang mengkilap terkotori tanah.                   “Apa-apaan ini? Seharusnya hari segini tanah merahnya udah jadi semen!” pekik Brendon kesal, melepas kacamatanya dan menatap mereka. “Ini juga, mana kerangka bangunannya? Mana lainnya? Bener-bener gak becus kamu! Kamu nipu saya, bukan?”                   “Enggak, Pak! Sumpah! Tapi ini karena ... karena mereka yang sering ganggu kami, Pak! Tiap lakuin ini, pasti ada yang celaka. Para pekerja kebanyakan kabur, takut, ada yang parah ampe luka dan hampir meninggal!” cetusnya membela.                   “Eh, denger! Saya udah keluar uang banyak buat dapetin tanah ini, juga ngebayar kamu!” teriak Brendon, membuat para pekerja menatap ke arahnya. “Kamu nipu ya nipu aja! Gak perlu pake alasan ada setan hantu apalah itu segala! Cepet, panggil polisi!” suruhnya pada sekretarisnya.                   “Pak, tenang dulu, Pak!” Sang sekretaris menenangkannya.                   “Apa? Kamu sekongkol sama dia?” bentak Brendon yang membuat sekretaris itu menciut.                   “Be-begini, Pak. Saya yakin jikalaupun Bapak nyeret mereka ke polisi, mereka sama sekali gak bersalah. Lalu pas Bapak nyewa pekerja lain, saya yakin nasibnya bakal sama kek mereka.” Brendon mendengkus kasar. “Pak, sekali ini aja, turuti nasehat saya, kita nyewa orang pinter buat nanganin ini.”                   “Siapa? Einstein?” Brendon mengangkat sebelah alisnya, tersenyum mengejek.                   “Anu, saya tahu orang pinter yang bener-bener hebat!” kata salah seorang pekerja yang sedari tadi diam mendampingi si pria pelapor kemarin. Semua menatap ke arah mereka. “Ini asli, si Mbah dijamin manjur!”                   “Kamu bercanda, ya?” Brendon menodongkan kacamata hitamnya ke pria muda itu.                   “Pak, gak ada salahnya nyoba. Terus, kalau berhasil, Bapak gak bakalan rugi lagi, kok!”                   Meski ragu, Brendon menghela napas pasrah. “Up to you. Kalau gagal, gak cuman karier kalian yang ancur!” ancam Brendon dengan tatapan mata cokelatnya yang tajam. “Dan oh, saya juga mau liat pekerja yang katanya luka-luka itu. Saya mau memastikan kalian enggak bersekongkol guna nipu saya. Maaf, maaf aja, nipu saya, sama dengan mampus!” Ketiganya hanya bertukar pandang bingung. CHAPTER 3                 Di rumah sakit, Brendon hanya memandang orang-orang yang katanya pekerjanya yang celaka itu. Ada yang kakinya digips, tangannya, luka-luka bonyok di wajah, dan lain-lain. Ia tak merasa iba, hanya miris melihat keadaan mereka.                   Si pekerja muda dengan memegang ponselnya datang menghampiri. “Saya udah hubungin si Mbah, tinggal nunggu dia dateng sebentar—”                   “Wos, wes, wos, wes!” Tiga pria itu seketika terkejut kecuali Brendon yang menatap risi menemukan kemunculan tiba-tiba pria tua berjanggut dengan pakaian ala dukunnya. “Kalian ... manggil saya, bukan?”                   “Wah, hebat!” Sekretaris Brendon terkagum. “Baru dipanggil bentar, udah nongol aja si Mbah!”                   Si Mbah tertawa ala sinterklausnya. “Sebenernya saya tadi lewat di depan, lagi jogging. Eh kebetulan ternyata alamatnya di sini, sambil nelepon sambil jalan.”                   Ketiganya mengangguk, sedang Brendon memutar bola mata malas. “Orang pinter banget,” gumamnya pelan.                   “Sekarang, kalian kumpulkan aja barang-barang yang saya perlukan. Pas malem, mulai ritualnya, oke?”                   “Sip, Mbah!” jawab pekerja muda itu.                   Si Mbah menatap Brendon yang membuang wajahnya. “Nak, lebih baik kamu ubah segera sikap dan pandangan kamu, sebelum kamu kena naas karena itu.”                   Brendon, dengan kesal menatap pria tua aneh di hadapannya. “Banyak congor ni Bapak! Lakuin apa aja, entar saya bayar!”                   Pria tua itu menggeleng miris, sementara sang sekretaris menghampirinya dan berbisik, “Mbah, maafin bos saya, dia emang songong dari sononya.”                   “Kamu bilang apa?” tanya Brendon, mata cokelatnya mengintimidasi.                   “Eh, enggak ada, Pak Brendon! Cuman nanya barang-barang apa aja yang diperluin!” Ia tersenyum lebar.                   “Ya udah, bodo amat, lakuin apa yang kalian mau. Tapi kalau gagal, awas aja!” Brendon mulai berbalik dan melangkah menjauh. “Saya mau balik kerja.”                   “Oke, Pak!” sahut sang sekretaris. Sang Mbah masih memperhatikan punggung tegap pria itu yang mulai berjalan menjauh.                   Ia geleng-geleng kepala. “Anak muda zaman sekarang ...,” gumamnya pelan.                   “Mbah, ayo kita mulai! Perlu apa aja?” tanya sang pria pekerja, Mbah tersenyum dan mulai mengutarakan banyak hal kemudian dicatat sedetail mungkin oleh mereka.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The crazy handsome

read
465.2K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
310.7K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.2K
bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

The Prince Meet The Princess

read
181.6K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook