bc

PILOT, AKU PADA-MU

book_age18+
5.2K
FOLLOW
68.2K
READ
time-travel
fated
friends to lovers
boss
drama
tragedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Nama nya Arabella, umurnya masih belia, awal 20-an. Ia bekerja sebagai seorang designer untuk butiknya.

Pada suatu hari, Ia bertemu dengan lelaki tampan bernama Langit, yang mana menjadi cinta pada pandangan pertamanya. Ia bertekad untuk menghapus masa lalu yang buruk bersama sanga mantan dan memulai semuanya yang baru bersama pilot kaku berwajah tampan itu.

bagaimana kah kelanjutan cerita mereka berdua ?

chap-preview
Free preview
PART 1
"Mbak, stroberry milk juice satu ya!" Kata Langit pada seorang pelayan yang menghampiri meja nya. Semua wanita yang ada di kafe menatapnya lapar. Bagaimana tidak, Langit berwajah tampan dan dapat dipastikan berdompet tebal, profesi nya tampak jelas dari seragam kebanggan nya, pilot. Siapa yang tega menolak lelaki sesempurna itu? Sudah jelas lelaki ini adalah impian semua wanita di muka bumi. Langit Anugrahtama, perfect packaging. "Segagah itu mesan jus stroberi?" Pekik salah satu pelayan pada wanita yang tadi melayani Langit. Gadis mengangguk sambil tersenyum geli.  Tidak aa yang salah dengan jus stroberi sebenarnya, hanya saja persepsinya minuman itu lebih cocok diminum wanita. lelaki identic dengan kopi atau jus-jus netral lain nya seperti alpukat ataupun jeruk. Aldo yang mendengar pembicaraan kedua wanita ini ikut mengamati objek omongan mereka. "Memangnya kenapa? Kebiasaan gosipin tamu." Tegur Aldo yang mendengar ocehan kedua pelayan kafe nya itu. Aldo mengenal lelaki jus strawberry itu dengan baik, dulu mereka berada di satu sekolah menengah yang sama. Kedua wanita itu memutar matanya sebal dan berlalu untuk menyiapkan pesanan Langit. Bos nya tidak asik. Huh. "Lang! Baru siap penerbangan lo?" Sapa ramah Aldo pada Langit yang duduk sambil memainkan ponsel nya. Ia mendongkak untuk melihat siapa yang menyapa nya kemudian tersenyum lebar saat mengetahui kalau itu adalah salah satu teman nya. "Iya, Do! Kok lo bisa disini?" tanya Langit sambil tersenyum ramah dan bersalaman khas lelaki. "Kafe ini milik gue." Ucap Aldo nada jumawa lalu mereka terkekeh pelan. Lama tak berjumpa, banyak hal yang berubah. Apalagi setelah Langit masuk akademi penerbangan, semakin banyak waktu yang tak bisa Ia lewatkan bersama teman-temannya. Dulu, rambut Langit agak sedikit gondrong jaman putih abu-abu, kini sudah rapi dan klimis karena tuntutan pekerjaan nya. "Lo masih suka maniak stroberi?"tanya Aldo kemudian. Langit mengangguk mantap. "Tuh, pelayan gue malah ketawain lo." "Cih, dasar nggak ada kerjaan." Cibir Langit tak suka. Dia sama saja dengan orang lain, tidak suka dikomentari. Langit memang penggemar berat jus stroberi, Ia bahkan terlalu menyukainya sampai hampir tidak pernah memesan minuman lain selain itu. Bundanya lah alasan kenapa Ia sangat menyukai jus tersebut. Bunda nya biasa nya menghidangkan berbagai macam makanan dengan rasa stroberi. "Main ke rumah gue sekali-kali, Lang!” Ujar Aldo sambil menyulut selinting rokok. “Sibuk gue mah, lagian gue baru juga pindah penerbangan ini.” "Rumah gue selalu terbuka kok buat lo.” Ungkap nya lagi sambil menghembuskan asap dari mulutnya. “Papa lo gimana, Lang? Udah lama gue nggak jumpa." Langit mendengus pelan. Topik tentang papa nya sangat sensitif, yah dia tidak punya hubungan yang baik dengan sosok yang dipanggil papa itu. "Baik…Mungkin." Ujarnya sambil mengangkat kedua bahunya. Jawaban yang menyiratkan ketidakpastian. Aldo berdecak kecil mendengarnya. "Udah gede, Lang. Jan kayak anak-anak. Ngambek kok tahunan, malu sama umur." Ujar Aldo menasehati sekaligus mengejek temannya itu. Aldo cukup tahu hubungan sahabatnya itu bagaimana dengan sang Papa. "Entah, gue belum bisa aja maafin dia. Mungkin nggak saat ini." "Gue tau lo bukan anak yang durhaka sama orangtua." Aldo menepuk bahu Langit beberapa kali. Sudah hampir 18 tahun bundanya pergi meninggalkan dia bersama papanya. Tapi, rasanya Ia hanya sendirian di dunia. Papanya mempunyai keluarga baru yang tanpa sepengetahuan nya dan bundanya. Itulah kenapa Langit sangat membenci papanya. Ketika ibunya jatuh sakit, entah kemana pergi papanya. Lelaki b******n. Walaupun kini keluarga baru Papanya sudah tinggal satu rumah dengan nya, tapi bukan artinya Ia telah berdamai dengan semua itu. Masih tergambar jelas bagaimana bundanya yang selalu menunggu kepulangan papa nya ke rumah. Bunda nya jadi jarang tersenyum dan tubuhnya semakin ringkih memprihatinkan. *** Langit POV Aku pulang kerumah dan langsung memasuki kamar. Penerbangan hari ini cukup menguras tenaga. Aku menatap langit-langit kamarku, rasanya rinduku pada bunda sudah menumpuk sebesar gunung. Sudah 18 tahun berlalu, bahkan aku kini sudah dewasa, tapi rasa rinduku pada usapan kepala oleh bunda begitu kentara. 'Bun, Tama rindu.' Mungkin jika bunda masih hidup akan berkata “ Jangan rindu, itu berat.” Seperti Dilan ungkapkan dan aku tidak menepis nya, rindu itu berat tapi aku tak mau menanggungnya. Itu menyiksa dan aku tidak suka.             Aku kesepian di dunia yang luas ini. Ada keluarga tapi seperti tiada. "Den, bibi boleh masuk?" terdengar suara bibi dari luar sambil mengetuk pintu kamarku. Aku membalas teriakan Bik Seri menyuruhnya masuk. Hei, ini sudah hamper 6 tahun aku tidak bertemu dengan nya. Memang, ini bukan hari pertama aku di Jakarta setelah pindah penerbangan, tapi ini hari pertama Bik Seri masuk kerja lagi setelah kemarin pulang kampung. "Aden mau makan apa biar bibi masakin?" Aku tersenyum lebar pada wanita tua di hadapan ku ini. Bik Seri, aku sudah mengenalnya dari kecil, bahkan Ia yang selalu ada untuk ku setelah bunda pergi. Aku menggeleng pelan dan beranjak memeluknya. Walaupun pelukannya tidak sehangat bunda, tapi cukup bisa mengobati rasa rinduku akan pelukan bunda. Mataku memanas menahan tangis.  Duh, aku secengeng itu sih kalau masalah bunda. "Dulu, bunda pesan supaya Aden harus jadi anak yang kuat. Kok cengeng ih?" tanyanya sambil terus menepuk pundakku. Aku tersenyum lirih dan melerai pelukan dari Bik Seri. "Kangen bunda, Bi. Nggak terasa udah 18 tahun bunda pergi." "Ingat, bunda selalu melihat Aden dari jauh dan jangan lupa selalu berdoa pada tuhan agar bunda tenang di alam sana." "Makasih ya, Bik!" Ujarku tulus. Bik Seri sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Dari kecil beliau sudah merawatku. "Udah Ah, Bibi mau masak. Aden bibi buatin nasi rawon aja ya?" Tawar bibi padaku. Aku mengangguk senang. Masakan buatan Bik Seri hampir sama rasanya dengan buatan bunda, maka dari itu aku sangat menyukai apapun yang dimasak oleh Bik Seri. *** Sekitar jam sepeluh malam aku keluar rumah menuju bar tempat biasa aku berkumpul dengan anak-anak. Ya, kerjaan yang menumpuk membuat bujangan sepertiku ini ingin sedikit merasa kebebasan dan butuh sesuatu yang menyenangkan. Aku sendiri suka pergi ke bar karena teman-temanku semua berkumpul ditempat laknat ini. Untuk urusan minum aku sama sekali tidak pernah mencoba, baunya saja membuatku mual. Sudah ada 6 curut yang datang, yang lain akan tiba sebentar lagi. Aku paling dekat dengan Raka, Geri, Habib dan Aldo, mereka adalah temanku dari SMA. "Lang, adek lo umur berapa sih?" tanya Raka padaku. Aldo ikut terkekeh mendengar ocehan Raka. Adik? Yang benar saja. Aku sama sekali tidak pernah merasa mempunyai seorang adik. Aku kekeh menganggap diri sebagai anak tunggal. Tapi tetap saja, sebesar apapun aku mengelak, dia tetap saja mempunyai darah yang sama dengan ku. Kami saudara tiri. "Gue nggak punya adek." Jawabku jutek. Raka terkekeh pelan. Itu jawaban yang selalu aku layangkan jika Raka sudah mulai kepo tentang anak gadis ayah ku. Dia merangkul lengan ku, dia tipe lelaki yang suka berleha-leha, manja nggak ketulungan. "Elo mah gitu amat. Gimanapun dia tetap anak bokap lo, Lang." kata Raka lalu menenguk minumannya tanpa melepas rangkulannya padaku. Aku hanya mengangkat bahu cuek. Percuma aku mengelak, hukum alam itu nyata. Aldo dan Geri malah gregetan sendiri mendengar nasehat Raka. Raka ini memang punya rasa ketertarikan khusus dengan anak papa ku yang satunya lagi, bahkan aku tidak sudi menyebutnya sebagai dia adalah adikku. Di setiap kesempatan, Raka selalu mencari info gadis itu padaku. Aku bukan tidak ingin berbagi informasi, tapi aku sama sekali tidak tahu-menahu tentang gadis itu. Dia termasuk daftar hal tidak penting dalam hidupku. So, I don't care. Mataku menjelajah sepenjuru bar malam ini yang sesak akan  pengunjung ditambah adanya pesta disektor kanan tempatku dudu, bertmah riuhnya. Mataku terpaku pada dua sosok manusia yang sedang b******u ria dengan posisi perempuan nya duduk dipangkuan sang lelaki dengan intimnya,wanitanya cukup sering berkeliaran dikehidupanku.   Clarisa, si anak nakal bahkan gadis itu masih di bawah umur. Lucu sekali anak gadis papa ini. Ya, yang aku lihat sekarang adalah adik tiri ku. Mataku terus mengamati aksi Clarisa bergulat lidah dengan lelaki antah berantah itu, aku ingin tahu sejauh mana mereka bisa berbuat. Beberapa menit kemudian, gadis itu menyadari siapa yang sedang memperhatikannya, dengan tergesa-gesa langsung melepaskan pangutannya. Aku memalingkan wajahku dan mendengus kasar. "Kak Langit." Lihat siapa yang datang menghampiriku, anak gadis bokap. Aku mendengus kasar dan meneguk soda yang tadi kupesan, tidak menggubris panggilannya. Aku benar-benar tidak ingin melihat wajahnya yang menyebalkan itu. Aku yakin kehadirannya disini hanya karena ingin menjelaskan apa yang telah Ia perbuat. Dia pikir ini sinetron. "Lang, adek lo tuh!" Tegur Raka yang duduk disampingku. Aku hanya tersenyum sinis dan mengabaikan tegurannya. Geri menghela nafas kasar melihat tingkahku. Aldo menenggelamkan kepalanya kedua lutut, tidak tahan dengan sikapku. "Kebangetan banget sih lo Lang jadi abang, itu adek lo datang nyamperin malah lo angekin." Tambah Geri. Aku tidak ingin memperdulikan mereka yang sedang berceramah disini. Raka mengajak Clarisa duduk, dan itu tepat di sebelahku, menggantikan posisi Raka dan berpindah ke sisi Geri. "Lang, lo ngomong dong. Adek lo udah nangis itu." Raka menegurku kesekian kalinya. Dasar anak uuhh….gara-gara dia, malam ini aku tidak jadi refreshing. Seharusnya elo itu nggak usah hadir di dunia ini. Dasar pengacau. "Mau lo apa sih?" tanyaku akhirnya. Oke, aku nggak tega kalau udah ngelihat wanita nangis, itu selalu membawaku mengingat kesedihan bunda. Walaupun alasan bundaku bersedih itu adalah papa kami berdua dan juga kehadiran ibu nya dalam keluarga kami. Aku tetap tidak tega. "Jangan lapor sama Papa!" pintanya sambil menghapus air matanya. Aku berdecih pelan. Oh God, she just talked with Langit Anugrahtama, Right? "Ya kenap juga gue harus ngelaporin elo kan?!." Jawabku acuh. Dia pikir aku ini tukang adu apa?! Dia salah besar. Aku langsung beranjak dari sofa tempat ku duduk. Aku benar-benar menyesali telah menonoton drama panas nya. Seharusnya dia tidak datang menemuiku. Sial. "Kenapa kakak benci banget sama aku?" tanyanya saat aku sudah berada didekat mobilku. Ia ikut menyusulku keluar hingga ke parkir. Heemm.. cukup berani juga dia. "Lo jelas tau kenapa." Ujarku tajam. Aku memandang wajahnya dengan muak. Wajahnya itu benar-benar kopian dari wajahku, aku benci fakta itu. Aku berharap bahwa semua ini adalah mimpi burukku, aku sama sekali tidak ingin mempunyai adik dari perempuan lain yang menjadi istri papaku. Aku benci mengakui bahwa gadis yang sedang menangis di depanku ini adalah adik tiriku. Padahal kami mempunyai ibu yang berbeda, bahkan berbeda ras. Ibu nya orang Jawa dan ibu ku adalah Tiong Hoa. My father have strong gen. "Lo pikir gue mau punya darah sama dengan lo? Gue nggak pernah berharap kenal sama orang kayak lo, najis!" teriaknya marah padaku. Ia menggeram frustasi. Cukup sudah gadis manis, kamu telah mengikis semua kesabaranku malam ini. Plaaak. Aku menamparnya keras. Kemana otaknya saat Ia berbicara? kenapa tidak digunakan dengan benar. Benar-benar tidak menyebalkan. Dia pikir, dengan siapa Ia sedang berbicara? beraninya Ia berteriak dengan kata-kata yang tidak pantas diucapnya. Tidak tahu diri. Seharusnya itu kata-kata dari ku untuk nya. "Lo nggak pantas ngomong itu!" balasku membentaknya dengan nada lantang. "Lo emang nggak seharusnya ada di dunia ini. Gara-gara ibu lo, bunda gue mati. Dan lo lihat sekarang, gue hidup kesepian. Papa? dia udah jadi milik lo seutuhnya bahkan jauh sebelum bunda gue nggak ada, Sadar dong!" tambahku mendebatnya. Nafasku memburu karena emosi. Tangisnya pecah. Ini seumur hidupku membentaknya terang-terangan dan juga tadi, aku menamparnya. Aku nggak pernah sekalap ini. "Kalau aja gue bisa milih di rahim siapa gue lahir." Ujarnya putus asa sambil meluruh ke tanah. Dan lihat sekarang, aku sudah bagaikan lelaki b******n yang baru saja menyakiti wanita. Semua mata yang ada di sekitar kami melihat ku dengan tampang tak sedap. Lagi-lagi  ini karena dia. Aku benci situasi ini. Aku menarik nafas panjang dan menghambuskan nya kasar. Pengen tak hih ! kutukku dalam hati dengan gemas. "Bangun. Kita pulang sekarang." Titahku dingin. Ya kali aku membiarkan dia menangis meraung-raung disini. Walau gimana pun, dia tetap tangung jawab aku. Udah deh, aku nggak tegaan orangnya, walaupun tadi aku aku menampar dia, tapi benaran itu tadi kalap. Aku boleh benci tapi aku tetap nggak tegaan. Malah pake ngerosot di tanah lagi. "Nggak, gue nggak mau pulang." Tolak nya. "Ya tuhan, Clarisa. Bisa nggak seekali aja lo nggak bikin gue sakit kepala?" bentakku lagi. Sekarang malah nggak mau pulang. Ini udah baik banget aku mau menumpanginya sampai rumah. Seumur-umur aku tidak pernah berbuat kebaikan kepada gadis ini. "Percuma aja kalau gue pulang. Lo jahat." Ya lord, bunuh orang masih dosa ya? Aku menahan geram melihat tingkah gadis labil satu ini. Oke kalau gitu, better you go home by your own. Aku nggak mau peduli lagi. Aku udah coba baik-baikin dia. Baru saja aku ingin membuka pintu mobilku, Raka sudah mengintrupsiku untuk menunggu sejenak. Geri yang ikut keluar bersama Raka membantu membangunkan Clarisa yang sudah terduduk ditanah. "Lo nggak boleh gitu dong, Lang. Lo masih ingatkan, gadis ini masih adik lo." Ujarnya sambil memapah Clarisa bangun dan membawanya ke dalam mobil ku. Aku berdecih pelan lalu mengucapkan terimakasih. Ok, aku nggak boleh setega itu walaupun tadi udah niat. Mau nggak mau, aku juga harus mengangkut gadis ini. Di dalam mobil, Clarisa masih saja menangis. Aku menghela nafasku kasar lalu menoyor kepalanya. "t***l, ngapain nangis lagi sih, Cla? ini udah mau sampai rumah. Lo mau gue disangka udah buat yang nggak-nggak sama lo. Diam nggak?" ujarku jengkel. Bukannya diam, Clarisa makin menambah volume tangisnya. "Kak Langit jahat." Ujarnya sambil senggugukan. "Ya, gue emang jahat, makanya lo nggak boleh punya kakak kayak gue." Sahutku dingin. "Nggak, Cla nggak mau kakak lain. Cla mau kak Langit." "Nggak, gue nggak mau jadi kakak lo." Tolakku. Rasanya ogah saja.. “Harus mau!” kekeh nya. “Nggak!” tolakku tak kalah kekeh. Ngapa jadi gini nih percakapan gue sama dia. Tanya ku dalam hati. "Aaaaa... kak Langit jahat." Oh tuhan, gadis labil satu ini. Benar-benar membuat aku kesal, jika saja ini masih jam 8 malam, aku pasti akan menendangnya keluar dari mobilku. Tapi, sekarang sudah jam 1 malam, sungguh tidak berperi kemanusiaan jika aku melakukan hal itu. "Lo cengeng banget sih, Cla." Katanyaku lagi-lagi sambil menoyor kepalanya yang kosong itu. Punya otak kok nggak dipakai. Dikit-dikit nangis. "Biarin." Lagi nangis masih sempat-sempatnya dia nyolot. Huh, lucu lo, Cla! Walaupun sudah sampai kerumah, tangisan Clarisa juga tidak merada. Ingin rasanya aku lenyapkan sekarang juga. Aku merengkuh wajahnya kedalam tanganku dan melihat dengan jelas setiap inci wajahnya nya. Mata dan hidungnya memerah, pipinya tercetak lima jari tanganku, rambut poninya berhambur disekitar dahinya, dan lipsticknya yang berlepotan. Dari pada mirip manusia, dia lebih mirip penyihir malam ini. "Gue nggak pernah mau ngelihat lo dalam hidup gue, tapi takdir berkata lain. Lo tetap aja adik tiri gue, darah yang mengalir dalam tubuh kita ini sama. Berhenti nangis, cari masalah sama gue, keluyuran malam dan berbuat nakal. Lo benar-benar bikin gue stress kalau dekat-dekat." Ceramahku panjang lebar. Seumur hidupku, baru pertama kali berbicara sepajang itu dengan Clarisa dan itu adalah wejangan. Aku menjauhkan tanganku dari wajahnya dan menoyor kepalanya lagi, sepertinya akan menjadi kegiatan favoritku jika berdekatan dengannya. "Masuk sono, besok lo sekolah" ujarku sambil berlalu dari hadapannya. "Cla udah kuliah, Kak." Sunggutnya. Terserah, itu bukan sama sekali urasanku. Peduli amat sama semua itu. Malam ini cukup dia merusak mood ku. Untung libur ku masih panjang. ------ Arabella POV Tolol banget nggak sih kalau ternyata masih aja sayang sama mantan. Oke, aku udah ikhlaskan semuanya. Tapi rasa sayang itu lho yang masih mendekap di hati. Andra, sampai kapan pun kamu adalah mantan terbaik ku. Dia perhatian banget Cuma kurang setia aja. Ohya, Namaku Arabella Taleetha, biasanya orang-orang memanggil ku dengan 'Ara' saja. Namun tak jarang ada juga yang memanggil Arabella. Aku hidup sendirian di ibu kota, Jakarta. Si kota metropolitan. Ok tidak benar-benar sendiri, berdua dengan temanku semenjak SMA. Papa dan Mama ku sudah lama menghilang, entah apa yang terjadi akhirnya aku tiba di panti asuhan saat aku berumur 5 tahun. Aku terima saja nasib ini, lagian sekarang hidupku tidak susah-susah amat kok. Kalau bercerita jaman dulu, banyak banget kesusahan termasuk menghadapi penyihir di panti asuhan, Bu Nada. Beliau tipe emak-emak galak dan menakutkan. Beruntung aku sudah pergi dari sana dan berjanji tak akan kembali. Saat ini kesibukan ku adalah merancang baju dan mengurus butik yang aku rintis dari nol. Syukur sudah lumayan besar usaha ku ini dan namanya cukup populer di kalangan sosialita Ibu Kota. Aku sedih dan benci jika mengingat kisah cinta ku, lebih mendominasi kecewa sih sebenarnya. Ya iyalah, pacaran udah 2 tahun lalu ditinggal. Preeeeet, mantan. Aku boleh sukses dalam berkarir, tapi tidak sukses dalam hal asmara. Dan sudah 2 tahun juga kejadian itu berlalu dan sekarang efeknya yang sangat dahsyat. Aku membenci yang namanya komitmen dengan lelaki. Aku trauma disakiti lagi. Tak jarang selama statusku lajang banyak pria yang silih berganti mendekati ku untuk membangun sebuah hubungan, tapi jujur aku tidak tertarik sama sekali, biasa-biasa saja. Entah siapa yang bisa mematahkan rasa benci ku terhadap komitmen dengan lelaki. Aku merasa bahwa semua yang lelaki berikan itu hanya modusan semata. Bayangkan saja, aku dan Andra sudah kenal lebih dari 2 tahun dan dia bisa mengkhianatiku, apa kabar yang pdkt dan kenal kurang dari 2 tahun. Postensi nya semakin besar. " Izona  itu idaman banget ya." komen Kayen, teman ku yang sedang nge-stalk ** nya milik pacar Mantanku, Andra. Kayen ini sumber kekesalan ku sebenarnya, dia sangat lancang membahas semua tentang Mantanku, walaupun sudah beribu peringatan sudah aku layangkan. Dia mah cuek. "Idaman pala lo." cibirku tak suka. Apa bagusnya dari rubah betina yang menjadi selingkuhan mantan pacar ku itu. Iri bilang boss. "Lo mah gitu. Maksudnya gue kan style nya." Oh yang itu, aku akui.  Izona   sangat pandai memilih gaya pakaian yang cocok untuk nya. Semua yang dia pakai selalu tampak cantik.  Memang pacarnya mantan aku sehebat itu sih. Budget yang Ia keluarkan untuk semua barang koleksinya pun tidak murah, butik gue mah lewat. Wong crazy rich. "Terserah deh, Yen. Malas gue." ujarku acuh lalu meninggal kan Kayen yang sedang duduk santai di sofa butik. Beberapa saat kemudian, pintu butikku terbuka tanda bahwa ada calon pelanggan masuk ke dalam butik ku. Aku melihat perempuan cantik berbaju merah muda yang datang, ah aku mengenalnya. Ia tampak lebih gemukan sekarang. "Tumben lo kesini." ujarku  karena sepertinya ini kali ke-dua Ia main ke butik sederhana ku ini. Ya walaupun sudah bisa dikatakan butik ku ini lumayan, tapi cukup sederhana untuk orang seperti temanku ini, Zola. Dia Anak orang kaya dan terpandang, juga penghasilan nya menggiurkan.  Tipe-tipe perempuan kaya sampai 7 keturunan. "Lo mah. Gue mau pesan baju nih. Kalau udah beres, lo bawa kerumah gue." ujarnya enteng lalu menyerahkan secarik kertas dengan rancangan baju yang Ia inginkan. Butikku memang menerima tempahan baju yang telah di design, kami bersedia menjahitkan nya. Aku sebenarnya sebal dengan tipe pelanggan yang suka minta antar ke rumah, bikin ribet tapi kalau Zola yang memesan aku tidak mungkin menolak, wanita ini punya banyak uang dan mungkin aku bisa dapat sedikit bonus. "No no no, ngambil kesini aja kenapa? Malas gue mah ngantar baju, kayak tukang laundry aja." Protesku berharap Ia mengubah keputusan nya. "Nggak, lo antar aja sekalian maen ke tempat gue maksudnya. Sombong amat lo.” Cibirnya pada ku. "Hmm.... Yaudah deh, ntar budget nya lo tambah." Canda ku yang dibalas anggukan oleh nya. Zola ini tidak pelit kok. Butik ku memang menerima pesanan baju, paling banyak yang memesan itu adalah teman-teman dekat ku. Ya hitung-hitung bisa dapat budget lebih tinggi dari mereka dan sekalian promo juga. Dan Zola ini banyak specialnya walaupun baru beberapa kali main ke tempatku.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Si dingin suamiku

read
488.8K
bc

Marriage Not Dating

read
549.2K
bc

Satu Jam Saja

read
593.1K
bc

Fake Marriage

read
8.3K
bc

Perfect Marriage Partner

read
809.4K
bc

Love Match (Indonesia)

read
172.4K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook