bc

Love and Lunch

book_age12+
1.5K
FOLLOW
4.8K
READ
love-triangle
age gap
friends to lovers
comedy
sweet
bxg
first love
like
intro-logo
Blurb

[Angelo Series book 9]

Oase berangkat ke Vienna dengan tujuan belajar musik yang dicintai dan ketika sampai di sana, dia bertemu dengan Maria. Wanita dewasa yang menyenangkan dan selalu bisa memanjakannya dengan segala makanan manis semanis senyuman wanita itu.

Debaran yang mulai hadir di antara banyaknya waktu dihabiskan bersama mulai membuat Oase sadar akan rasa sukanya pada Maria, tapi bagaimana dengan Maria? Apakah dia juga menyukai Oase dengan cara yang sama?

© 2019 Dhew

chap-preview
Free preview
CHAPTER 1
Vidor Oase menutup partiturnya, berniat segera meninggalkan kelas begitu profesor pengajar pergi terlebih dahulu. Perutnya keroncongan, mengeluarkan bunyi yang tidak bisa ia sembunyikan. “Perutmu berbunyi lagi.” Laki-laki berwajah manis, tapi kurang ekspresif dengan nama panggilan Oase ini hanya menatap datar kala teman yang duduk di sampingnya tertawa mendengar suara perutnya. Oase sudah biasa ditertawakan karena perutnya yang selalu berbunyi tanda lapar. Kapan pun, di mana pun, tak peduli sebanyak apa pun ia makan. Semua itu karena metabolisme tubuhnya yang tinggi, dan mungkin juga karena menu latihan hariannya yang menghabiskan begitu banyak kalori. Oase adalah seorang mahasiswa tahun pertama di sebuah universitas seni dan musik yang berada di Vienna. Ia tinggal sendirian di negara yang asing karena minatnya pada musik begitu tinggi. Setidaknya, menempati posisi kedua dalam prioritas Oase setelah posisi pertama ditempati oleh makanan. Hingga membuatnya berinisiatif pergi sejauh ini dari kampung halamannya hanya untuk belajar. Setelah berpamitan dengan teman-temannya, Oase meninggalkan kelas. Jalan lurus ke luar gerbang. Berniat pulang sekalian mencari makan karena sudah tak ada kelas. Langkah kaki Oase semakin pelan, mulai sempoyongan saking laparnya. Akhirnya jatuh telungkup di aspal. Tas yang ia bawa terlempar hingga ke depan pintu sebuah restoran yang terletak tak jauh dari kampus. Maria Kanna, pemilik restoran tersebut, kaget mendengar suara keras di depan pintu. Dengan segera ia meninggalkan persiapan bahan makanannya, segera keluar untuk mengecek. “Tas? Punya siapa?” Maria bingung, mengangkat tas Oase yang isinya keluar berhamburan. Wanita berusia dua puluh empat tahun itu segera memasukan kembali beberapa buah partitur dan alat tulis yang ia pungut ke dalam tas Oase. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari pemilik tas tersebut. Mata Maria melotot saat ia menemukan Oase yang terkapar, dengan satu tangan terangkat sedikit, terlihat gemetaran. “Apa kau baik-baik saja?” Buru-buru Maria menghampiri Oase, meninggalkan tas itu di depan restoran. Maria menggenggam tangan Oase yang terulur, bermaksud memberi dukungan. “Bertahanlah, apa ada yang sakit?” Wanita itu semakin cemas saat Oase mengangkat kepalanya. Wajah laki-laki di hadapannya itu terlalu pucat, dan tatapan matanya seperti ikan mati. Maria mulai takut akan menjadi saksi dari sebuah kasus. Namun, detik berikutnya ketika kalimat pertama meluncur dari mulut Oase, “A-aku lapar ...,” refleks Maria memukul kepala Oase dengan kepalan tangannya keras-keras. Oase tak sadarkan diri lagi. “Huaa! Maafkan aku!” Maria mulai panik. Selanjutnya, karena merasa bersalah, Maria menyeret Oase ke dalam restorannya yang kebetulan belum buka. Meletakkan laki-laki berumur sembilan belas tahun itu di ruang istirahat pegawai. Sementara ia sendiri kembali ke dapur, menyiapkan makanan untuk Oase ketika pemuda itu bangun nanti. *** Oase mengerjap, bangun karena suara perutnya yang makin tak bisa diajak berkompromi. Ia terduduk dengan loyo, kebingungan melihat pemandangan langit-langit yang asing. Merasa tempat ini bukan kamarnya, Oase bangun, jalan dengan terpaksa menggunakan sisa-sisa energi terakhir yang ia simpan. Hidungnya mengendus seperti seekor anak anjing yang kelaparan, otaknya takluk seketika kala menemukan aroma yang lezat. Kakinya bergerak dengan sendirinya, membawanya ke asal-muasal dari aroma sedap itu. “Hem ... bau ini, daging, keju, telur, dan minyak zaitun. Pasti pasta carbonara!” Mulutnya berucap sendiri menebak apa yang tersaji di ruangan itu ketika ia sampai di depan pintu dapur Maria. Maria yang mendengar suara Oase berpaling, dia tersenyum lebar. “Tepat, penciumanmu bagus.” Kemudian wanita itu membuka pancinya, mengambil piring dan memindahkan pasta yang ia masak ke dalam piring itu, meletakkannya di atas meja kecil di sana. “Makanlah, aku memasaknya untukmu.” Mata Oase yang mati menjadi hidup kembali, berbinar-binar menatap pasta lezat yang masih hangat. Tanpa rasa malu, ia langsung melahapnya. “Enak! Sudah lama aku tak makan masakan Italia.” Maria tertawa kecil melihat sikap manis pemuda itu. Mengingatkan Maria pada seekor anak anjing yang ia sukai. “Pelan-pelan makannya, masih banyak,” ucap Maria, bagai sebuah kata-kata yang begitu manis di telinga Oase. Tanpa malu-malu, Oase langsung menyodorkan piringnya yang sudah kosong untuk minta diisi kembali. “Ini enak sekali! Kau sangat baik.” Niatnya memuji Maria, tapi ekspresi wajah Oase terlalu datar untuk menggambarkannya. Maria tak mempermasalahkan hal kecil, ia mengambil piring Oase dan isi kembali. “Silakan, siapa namamu?” Maria sudah merasa senang dengan melihat orang yang melahap masakannya dengan bahagia. “Oase,” jawab Oase mantap. “Tambah!” Lalu minta tambah lagi. Maria mengisi kembali piring itu, berapa kali pun Oase minta hingga pancinya kosong dan pemuda manis itu sudah kenyang. Setelah itu, Maria mengambil tas Oase dan mengembalikannya. “Ini tasmu, sekarang pulang ya, pegawaiku akan datang sebentar lagi dan aku harus membuka restoran. Lain kali, kalau lapar, mampirlah lagi, ya?” Oase terpaku sedetik. Lalu menerima tasnya, ia mengangguk dengan manis. “Iya, terima kasih.” Dalam hati Oase tumbuh sejenis padang bunga. Selain masakannya lezat, senyumannya terasa hangat, Maria juga mengingatkan Oase akan kebaikan Bunda yang berada nun jauh di sana. “Aku akan datang lagi besok, Maria.” Janji Oase, melambaikan tangan ketika Maria melakukannya lebih dulu saat mengantarkan kepergiannya dari pintu belakang restoran. Dan ketika Maria sudah masuk ke dalam, Oase masih berdiri di depan restoran kecil itu. Oase memeluk tasnya, mendongakkan kepala menatap papan nama restoran itu. ‘Giardino del Gusto’. Sebuah nama yang cocok dengan makanannya, mengandung begitu banyak rasa yang baik dan tempat yang menenteramkan seperti sebuah taman. Tanpa sadar, Oase menarik ujung bibirnya. Ia pasti akan datang lagi besok, besoknya lagi, dan seterusnya. Ia akan menjadikan restoran Maria sebagai rumah keduanya. Setidaknya, selama ia masih tinggal di negara ini. Sebab, meski Oase sangat suka makan, dia sama sekali tak bisa memasak. Maka dari itulah, Oase hanya bisa bergantung pada makanan yang ia beli dan syukurlah, setelah dua bulan menetap di negara ini, akhirnya dia menemukan tempat makan yang kelezatannya mampu merasuk hingga ke dasar hati. Oase masih berdiri di sana bahkan setelah sepuluh menit berlalu, terlihat agak mencurigakan bagi seorang laki-laki bernama Hideo Naka, manajer restoran tersebut. “Permisi, Tuan. Toko kami baru akan dibuka setengah jam lagi. Jika Anda berkenan, Anda bisa kembali lagi nanti.” Hideo lantas mendekati Oase, salah mengira Oase sebagai pelanggan. Oase tersentak kaget, meski wajah dan reaksinya masih sangat datar. Dia berbalik badan, menatap Hideo yang baru mau masuk ke dalam restoran. “Tidak, aku akan kembali besok,” jawab Oase dengan polosnya. Hideo tersenyum bisnis. “Baiklah, saya tunggu kunjungan Anda selanjutnya.” Jiwa dagangnya kambuh. Laki-laki berusia dua puluh enam tahun dengan penampilan terlalu rapi dan wajah terlihat terlalu ramah itu, membuat Oase merasa terancam karena sikap terlalu baiknya. Oase paling lemah sama tipikal yang seperti ini, terlihat sangat manis dan baik, tapi siapa yang tahu semengerikkan apa dia di dalam. Mengingatkan Oase pada sisi mengerikan Bunda kesayangannya. Oase jadi ingin cepat-cepat pergi dari sana, “Oke, dah!” jadinya ia memilih lari saja. Sekalian sedikit menggerakkan tubuh agar tidak menjadi gemuk setelah banyak makan. Sementara Hideo yang ditinggal tak peduli. Ada banyak pelanggan yang datang dan pergi, selama dia bersikap baik dan tidak membuat masalah ya sudah. Soal sifat dan tingkah aneh pelanggan bukan sesuatu yang perlu ia pedulikan. Hideo lantas membuka pintu depan restoran, heran kenapa tak dikunci oleh Maria. “Maria, pintu depan tak dikunci, apa yang kau lakukan?” Ia berteriak memanggil, menunjukkan sifat aslinya yang sebenarnya menyebalkan dan suka sekali protes untuk hal-hal kecil. Maria menyahut, “Tadi aku memungut anak anjing! Maaf, lupa kukunci.” Masih sibuk menyiapkan bahan makan di dapur. Ia jadi harus buru-buru mengejar jam buka gara-gara mengurus Oase tadi. Tak lama, Hideo telah sampai ke dapur. Dia bersedekap di depan pintu dengan wajah galak yang menyebalkan. “Lagi? Sudah kukatakan berkali-kali, jangan selalu memberi makan pada binatang liar. Kau hanya akan menyusahkan diri sendiri.” Maria tak masalah dengan kepribadian Hideo, dia hanya tertawa riang membalasnya. “Soalnya lucu, melihat mata berbinar-binar yang menyantap masakanku membuatku senang.” Mungkin karena sudah terlalu terbiasa berurusan dengan Hideo selama bertahun-tahun lamanya. Hideo hanya bisa menghela napasnya, “Terserahlah,” dia menyerah akan kebiasaan Maria yang selalu memberi makan anjing atau kucing kelaparan yang ditemuinya. Lagi pula, itu salah satu kelebihan Maria yang sempat membuatnya jatuh cinta delapan tahun silam. *** Kembali ke Oase, pemuda itu akhirnya telah sampai ke rumah kecil yang ia sewa. Begitu membuka pintu, Oase langsung membuka sepatunya. Berganti dengan sandal ruangan, pergi mandi untuk membersihkan diri dari debu-debu jalan yang menempel akibat sempat terkapar tadi. Begitu selesai mandi, Oase membuka penutup pianonya, berniat untuk latihan sedikit mengingat kalau hari ini yang ia lakukan hanya mengikuti kelas materi. Oase butuh latihan tiap hari agar jari-jarinya tak kaku. Ia lantas mengambil tasnya, berniat untuk mencoba memainkan salah satu simfoni dari Haydn yang baru ia pelajari hari ini. Namun, ketika ia menarik keluar partitur Haydn dari tasnya, ada barang lain yang juga ikut tertarik. Jatuh ke lantai, di samping kaki Oase. Oase menundukkan badannya, mengulurkan tangan mengambil benda itu. Itu sebuah tas kertas berisi dua buah kotak kecil di dalamnya. Hidung Oase mulai mengendus, tercium aroma manis dari krim, s**u dan segarnya buah. “Panna cotta!” Sontak Oase menjerit riang, membuka kotak itu. Matanya berbinar-binar saat menemukan makanan pencuci mulut itu, tepat seperti tebakannya. Terlihat lezat dengan topping strawberry dan blueberry yang segar. Puding itu sudah agak berantakan karena dijatuhkan oleh Oase, tapi rasanya tetap sangat enak hingga membuat Oase begitu bahagia. Setitik air mata menetes dari ujung matanya. “Maria memang malaikat.” Oase terlalu terharu akan kebaikan penuh kelezatan yang diberikan oleh wanita asing itu. Baiklah! Oase sudah memutuskannya. Dia akan datang membawakan hadiah tanda terima kasih besok. Bahkan seekor anjing tak akan menggigit orang yang memberinya makan. Maka dari itu, Oase juga harus tahu caranya membalas budi yang baik.                    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Suamiku Calon Mertuaku

read
1.4M
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.1K
bc

Dependencia

read
186.3K
bc

Everything

read
277.9K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.4K
bc

Rewind Our Time

read
161.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook