bc

Jodohku Seorang Duda [Completed]

book_age4+
8.0K
FOLLOW
62.3K
READ
billionaire
one-night stand
mate
CEO
billionairess
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

Kalau saja nikah semudah kawin, pasti Nayla tidak akan pusing untuk cari-cari pendamping.

Paksaan dari mamanya membuat Nayla harus segera menikah secepatnya, tapi dengan siapa?!

Pacar saja nggak punya!

Pergi kencan saja tidak cukup untuk membuatnya merasa nyaman bersama pasangan. Namun ... entah kenapa ia merasa ketenangan itu ia temukan di diri Ethan.

Seorang duda beranak satu yang sukses mengacak-acak perasaannya!

____

copyright © 2019 by Kaitani Hikari

chap-preview
Free preview
Pertemanan Dua Orang
NAYLA sedang menaikkan kaki ke atas kursi dan mengikat tali sepatu converse-nya, saat Dita melangkah memasuki kamar. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu hanya melirik, tanpa bergegas menurunkan kakinya yang terlihat tidak sopan di hadapan orang tua. "Kenapa, Ma?" "Nay, kamu udah dua lima sekarang, kan?" "Hm," sahut Nayla singkat. "Kamu udah punya pacar belum?" Nayla menurunkan kakinya dan menghadap sepenuhnya ke arah Dita. "Pacaran buat apa, sih, Ma? Nggak bikin Nayla sukses juga." Dita tampak kesal mendengar jawaban anaknya. "Ya udah, kalau calon suami gimana? Udah punya?" Nayla mengerutkan dahi. Apa kata mamanya tadi? Calon suami? Membayangkan pernikahan saja tidak pernah! Nayla mendesah kasar. "Nayla nggak pernah mikir buat nikah semuda ini, Ma. Masih ada banyak hal yang pengin Nayla raih dan pernikahan masih terlalu jauh buat dibicarain." "Lho, kok, gitu? Apa kamu nggak pernah mikirin perasaan Mama sama Papa? Kamu nggak mikirin Mama sama Papa yang udah mulai tua dan pengin lihat anaknya nikah sama lelaki terbaik terus punya anak? Kamu nggak pernah mikir perasaan Mama yang udah pengin gendong cucu dari lama, hm?" Nayla syok mendapat serangan soal dari Dita sepagi ini. Dia mengerti, jika kedua orang tuanya ingin dia menikah secepatnya. Apalagi, Nayla anak tunggal dari keluarga Tjandra. Mereka pasti ingin segera menggendong cucu darinya. Masalahnya, cari calon suami itu nggak mudah. Gampang diomongin, tapi ngejalaninnya susah. Nayla tidak bisa asal menunjuk laki-laki dan mendatangkan masalah. Wanita itu lebih pemilih dari kelihatannya, ia bahkan tidak pernah punya pacar, karena dia tidak suka terikat dan dikekang oleh manusia yang hanya berstatus sebagai 'pacar'-nya. "Ma ... Nayla pasti nikah, tapi enggak sekarang." "Apa?! Lalu kapan?! Kamu mau nungguin Mama sama Papa udah meninggal dulu, baru kamu mau nikah, ha?!" "Iya ... enggak gitu juga kali, Ma!" Dita mendengkus keras. "Pokoknya, Mama nggak mau tahu! Di umur dua puluh enam, kamu udah harus kasih Mama cucu!" "Cuma cucu, kan, Ma? Menantunya enggak?" Dita mendelik ke arah putri semata wayangnya. "Kamu mau hamil di luar nikah, ha!" Nayla terkekeh. "Iya enggaklah, emangnya Nayla cewek apaan?" Wanita itu melangkah menjauhi Dita, mengambil tas punggung kecil yang selalu ia bawa, dan melambai pada mamanya. "Hari ini, Nayla sarapan di resto aja! Selamat pagi, Mama! Dan babay, muach!" Secepat kilat wanita itu pergi meninggalkan mamanya. Argumen di pagi hari dengan mamanya tidak akan menemukan titik terang, karena keduanya sama-sama keras kepala. Kecuali, ada Bagas yang menjadi penengah di antara mereka. Namun, sayang papanya sekarang sedang dinas ke luar kota. Nayla mendesah kasar. Membayangkan pernikahan, punya anak, dan hidup mandiri bersama keluarga kecilnya sukses membuat perutnya mual. Gimana mau nikah, kalau pacaran aja enggak pernah? Nayla memejamkan mata. Ia melirik jam di tangan kirinya. Pukul delapan lebih lima belas menit, seharusnya Damn sudah sampai di sini, tapi di mana laki-laki itu? Tumben sekali dia datang terlambat saat menjemput Nayla. Damian atau Damn adalah sahabat Nayla sejak SMA. Laki-laki itu pula yang menjadi bodyguard-nya di sekolah dulu. Dari Damn, Nayla bisa melihat bagaimana busuk dan baiknya seorang laki-laki. Damn mengenalkan banyak hal pada Nayla, keliaran, kebusukan, serta semua kebaikan. Dan Nayla mengenalkan Damn pada mimpinya, membangun restoran bintang lima yang memiliki makanan dengan cita rasa khas daerah di sekitaran Jakarta. Damn bekerja pada Nayla, tapi laki-laki itu tak pernah menunjukkan rasa protes sama sekali padanya. Bahkan, sampai sekarang, keduanya tetap bersahabat di lingkungan luar juga lingkungan kerja. Persahabatan mereka bisa dibilang sangat erat. "Ke mana, sih, itu anak?" Damn muncul lima belas menit kemudian. Dengan helm dan motor merah yang tampak kotor di mata Nayla. Padahal, Damn sangat suka kebersihan seperti dirinya. "Tumben telat?" Damn membuka helmnya dan menunjukkan wajahnya yang lecet sana-sini, belum lagi ada darah segar yang masih mengalir di pelipisnya. "Astaga! Lo kenapa?" "Kecelakaan waktu mau jalan ke sini," balas Damn cuek. Dia menyeka darahnya menggunakan lengan jaket hitamnya dan Nayla bisa melihat jika lengan jaket itu sudah basah dengan darah kental milik sahabatnya. "Sini, gue yang bawa motor. Gue bawa lo ke rumah sakit dulu, astaga! Elo harusnya langsung ke rumah sakit, bukannya nyamperin gue ke rumah!" Damn hanya tertawa singkat. Dia membiarkan Nayla mengambil alih motor gedenya. Cewek berusia dua puluh lima yang masih terlihat seperti anak remaja. Dengan sepatu converse berwarna putih, tas punggung kecil berwarna hitam, juga kaus pas badan berwarna putih dipadukan dengan celana jin berwarna hitam selutut. Siapa yang sadar, jika wanita yang selama ini menghuni hatinya adalah wanita dewasa, bukannya remaja tanggung yang sedang beranjak dewasa? *** "Lukanya enggak terlalu parah, saya akan memberi obat pereda rasa sakit dan sebaiknya istirahat dulu untuk beberapa hari sampai kondisinya membaik," ujar seorang dokter wanita yang menangani Nayla dan Damn saat mereka sampai di rumah sakit. "Makasih, ya, Dok!" balas Nayla, kali ini ia bisa tersenyum lega, karena sahabat baiknya ternyata baik-baik saja. "Gue bakal tetap kerja," kata-kata itu membuat dua wanita yang kira-kira memiliki umur yang sama menoleh ke arah Damn yang sudah turun dari brankar. "Luka ini nggak dalam. Tadi mobil itu cuma nyerempet sedikit, jadi nggak sampai bikin luka berlebihan." "Tapi, kan—" Nayla sudah bersiap menyangkal. "Jangan remehin kekuatan cowok kayak gue, Nay. Gue masih sehat lahir batin, kalau cuma masak di restoran lo." Nayla sudah siap mendebat, bibirnya bahkan mulai mengerucut pertanda ia menahan kekesalannya, tapi dokter muda itu membungkam bibirnya lebih dulu. "Kalau memang dirasa bisa, enggak apa-apa, tapi kalau ada gejala sakit lainnya, semisal pusing dan lain-lain, silakan datang lagi kemari!" Damn tersenyum pada dokter itu. "Terima kasih, tapi saya tidak apa-apa." Dokter itu pun tersenyum. Sepertinya ia pun menyakini, jika Damn tidak kenapa-kenapa, melihat pria itu masih bisa berdiri kokoh di hadapannya. Sedangkan Nayla ingin berceramah, tapi ia mencoba menahannya. Setidaknya ... sampai mereka tiba di restorannya, jadi ia bebas mengomeli Damian dengan leluasa. *** Kedatangan Nayla dan Damn yang keningnya dibebat kapas membuat karyawan restoran lainnya panik. Damn mencoba tersenyum santai dan menjelaskan, jika memang tidak ada masalah berarti yang perlu dikhawatirkan, sedang hal itu menjadi sebuah kesempatan untuk Nayla. "Dia itu abis keserempet mobil. Sama dokter disuruh istirahat, tapi tetap aja maksa buat kerja. Emang sok-sokan kuat, awas aja kalau sampai pingsan, gue injek-injek aja mukanya sekalian!" Beberapa karyawan yang mendengar kata-kata Nayla hanya bisa tersenyum masam. Mereka memang sudah memperkirakan, jika bos cantik mereka dan Damn ada sebuah hubungan spesial. Namun, entahlah ... sampai sekarang keduanya tak memiliki hubungan lebih daripada teman. "Ayo, mulai kerja ayo! Jangan ngerumpi, apalagi cari-cari alasan sakit lagi!" perintah Nayla setelah membuka pintu restoran dan membuat semua anak buahnya mengambil tempat masing-masing. Restoran Nayla tidak bisa dibilang besar, tapi tempat itu termasuk cukup ramai pengunjung. Namun, bukan berarti dia sering membuka restoran di pagi hari. Tidak sama sekali. Ia terbiasa buka pukul sepuluh atau lebih, karena sasaran pelanggannya adalah para pekerja kantoran di seberang restoran yang mencari tempat nyaman untuk istirahat makan siang. Maka dari itu, ia tidak pernah terburu-buru untuk membuka restoran. Dia terlalu santai melakukan segala hal, agar hasilnya tidak terkesan seperti sedang dipaksakan atau malah mengecewakan. Namun, sepertinya kali ini ia harus mengalami mode masak ngebut gila yang jarang-jarang ia tunjukkan. "Damn, kalau lo ngerasa pusing kasih tahu gue!" Ia menatap Damn yang hanya menunjukkan jempolnya sebagai isyarat setuju. Lalu, tatapannya beralih ke arah Nando. "Nan, gercep dikit, ya?" "Ntar kalau kurang matang gimana?" jawab Nando agak bercanda. Nayla memang perfeksionis dalam pekerjaannya, tapi bukan berarti dia galak seperti bos yang nggak bisa diajak bercanda sama sekali. Bahkan sebaliknya, Nayla sudah menganggap para pegawainya seperti sahabat karibnya dan alhasil, mereka terbiasa bercengkerama layaknya teman, bukannya atasan maupun bawahan. "Alah, maksud gue, ya, potong-potongnya, lah! Kalau masaknya masih sesuai prosedur. Lo gimana, sih?" balas Nayla, sedikit bercanda, tapi serius. "Kali aja, kan? Lo minta apinya digedein biar dagingnya cepet empuk dan kawan-kawan," sahut Nando sambil terkikik geli. "Gue timpuk cabe, nih!" balas Nayla yang malah sukses membuat Nando terbahak-bahak. "Udah, lo berdua kalau masih ngoceh mulu, gue kasih makan pare baru tahu rasa!" ancaman Damn membuat Nayla mendelik ke arahnya. Sebenarnya, yang head koki di sini dia apa si Damn, sih? ____ Jangan lupa menyimpan cerita ini di library kalian!!! wkwkwwkwkwk

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
49.8K
bc

THE DISTANCE ( Indonesia )

read
579.6K
bc

The Perfect You (Indonesia)

read
289.1K
bc

My Husband My Step Brother

read
54.7K
bc

Skylove (Indonesia)

read
108.8K
bc

MOVE ON

read
94.6K
bc

LARA CINTAKU

read
1.5M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook