bc

Cinta Sejati Adrian

book_age12+
36.3K
FOLLOW
220.0K
READ
love after marriage
arrogant
boss
drama
comedy
twisted
sweet
bxg
Writing Academy
like
intro-logo
Blurb

Adrian tidak pernah menyangka kalau wanita yang dinikahi lewat perjodohan orang tuanya mampu membuat kehidupannya berubah 180 derajat. Dan semua itu bermula dari wanita yang kini berstatus sebagai istrinya, Rea.

Adrian bukan hanya dibuat kelabakan oleh semua tangisan Rea sejak keduanya resmi menjadi suami-istri, tapi dia juga harus dihadapkan pada kenyataan mengejutkan sepulang dari kantor, juga permasalahan besar yang Rea sembunyikan tentang kedua orangtuanya. Dan puncak dari semua itu adalah kemunculan Vino, laki-laki yang sudah menjadi kekasih Rea selama tujuh tahun terakhir. Meski begitu, takdir malah menggariskan keputusan aneh, dimana permasalahan yang silih berganti menimpa Adrian, justru membuat laki-laki itu menetapkan hatinya pada Rea.

Lalu cinta manakah yang akhirnya akan dipilih Rea?

Dan apakah Vino akan merelakan Rea menjadi istri Adrian?

chap-preview
Free preview
Cinta Sejati Adrian - 1
Hari ini seharusnya hari yang paling membahagiakan untuk Rea kalau saja disampingnya adalah Vino. Tapi berapa kali pun Rea melihat laki-laki itu, tetap saja dia bukan Vino. Laki-laki itu orang asing. Bahkan teramat asing bagi wanita manapun yang dijodohkan paksa, jika pertama kali melihat calon pasangan adalah hari dimana mereka sudah resmi menikah. Beberapa tamu undangan yang menyaksikan resepsi pernikahan mereka banyak yang melihat dengan tatapan heran. Beberapa ada yang berbisik-bisik, bahkan ada yang geleng-geleng kepala. Dan seharusnya para tamu undangan lebih pantas mengucapkan kata, "Sabar yah," dibanding kata, "Selamat yah.". *** Malam harinya, setelah resepsi pernikahan selesai digelar Rea menelungkupkan kedua tangan diatas lututnya. Tubuhnya berguncang hebat. Sang pengantin sedang menangis terisak. Ia bahkan belum sempat melepas gaun yang ia pakai pada saat acara resepsi tadi. Di tengah isak tangisnya itu, Rea mendengar suara pintu dibuka perlahan. Rea tahu, itu pasti Adrian -suaminya sekarang- tapi ia tak peduli. Ia tetap saja melanjutkan tangisannya seraya makin mempererat tangannya yang masih memeluk lutut. "Kapan kau berhenti menangis?" suara bass Adrian memenuhi ruangan. Rea mendengarnya dengan jelas, namun ia enggan menanggapi. Bukannya meredam isak tangisnya, Rea malah mengeluarkan suara tangis yang memilukan. Membuat suara bass Adrian terdengar lagi. "Aku tidak tahu kenapa kau menangis seperti ini. Tapi aku sangat lelah sekarang, aku ingin cepat-cepat beristirahat. Jadi aku mohon...berhentilah menangis." Adrian terdiam, ia pikir ucapannya tadi akan di dengar wanita yang kini berstatus sebagai istrinya dengan berhenti menangis. Tapi pikirannya itu salah besar, suara tangisan wanita itu masih terdengar jelas. Membuat Adrian hanya bisa menghela napas panjang. "Aku tak bisa tidur jika kau masih menangis. Tapi jika tangisanmu sudah berhenti, aku ada diluar," ujar Adrian akhirnya. Ia langsung melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Setelah yakin Adrian sudah pergi, perlahan-lahan Rea mulai mengangkat wajahnya. Di wajah itu, butiran airmata sudah menyatu dengan make up, membuat wajah Rea terlihat kacau dan menyedihkan. *** Keesokan paginya Dika, sekretaris sekaligus teman curhat Adrian mengerutkan kening bingung begitu melihat atasannya sedang berjalan kearahnya. Bukankah kemarin bosnya baru saja menggelar resepsi pernikahan? Jadi seharusnya saat ini dia sedang bermesra-mesraan dengan istrinya bukan malah datang ke kantor pagi-pagi begini kan? "Apa ada pekerjaan mendesak bos?" tanya Dika begitu Adrian melewatinya. Adrian diam membisu dan segera masuk ke ruang kantornya tanpa menjawab pertanyaan Dika barusan. Dika tentu saja tertarik untuk mengikuti Adrian ke ruangannya. Ia sudah menganggap Adrian bukan hanya bosnya tapi juga sahabatnya, karena memang itu yang diharapkan Adrian. Meskipun Adrian adalah pemilik dari perusahaan tempatnya bekerja, tapi Adrian sama sekali tidak sombong maupun gila kekuasaan. "Bos..." panggil Dika pelan yang melihat Adrian tampak sedang termenung di meja kerjanya. Sebenarnya Dika tahu kalau pernikahan yang dilakukan bosnya itu bukan atas dasar cinta, melainkan perjodohan semata. Tapi ia tidak menyangka kalau perjodohan ini terlihat begitu menyusahkan bosnya.  Bagaimana tidak? Saat melihat sikap bosnya tadi, ia bisa merasakan kalau ada sesuatu yang membuat pikiran bosnya terganggu. Bahkan wajahnya terlihat tidak secerah biasanya. Apalagi dari tadi tidak ada tanda-tanda kalau jiwa bosnya ada disini. Rasanya hanya tubuhnya saja yang Dika lihat sedang menopang dagu, padahal sebenarnya hati dan pikirannya ada ditempat lain. Dika sudah mendudukkan tubuhnya menghadap Adrian sejak tadi. Ia juga sudah banyak bertanya tapi tak ada satu pertanyaan pun yang dijawab. Dika menyerah dan akhirnya memutuskan untuk pergi saja dari ruang kerja bosnya. Tidak ada gunanya ia bertanya lagi. "Menurutmu...apa alasan seseorang tidak mau dijodohkan?" tiba-tiba Adrian bersuara saat langkah Dika sudah sangat dekat dengan pintu keluar. Dika langsung menoleh mendengar pertanyaan itu. Ia jadi mengurungkan niatnya untuk pergi. lantas kembali duduk berhadapan dengan bosnya. "Tentu saja banyak alasannya, bisa jadi karena tidak saling kenal, tidak cinta, tidak siap atau mungkin juga karena sudah memiliki calon pendamping sendiri," Dika berkata enteng. Adrian termenung mendengar jawaban Dika. Rasa-rasanya semua alasan yang Dika katakan benar-benar sesuai dengan kondisinya saat ini. Adrian bahkan baru mengenal Rea selama dua hari ini, dan itu artinya ia juga tidak saling kenal, tidak saling cinta, tidak siap dan juga yang terakhir...apa mungkin Rea sudah memiliki calon pendamping sendiri? "Bisa jadi." Tiba-tiba Dika menyahut. Padahal Adrian yakin ia tidak mengucapkan kalimat terakhirnya itu. "Mungkin saja kan...dia memang sudah memiliki kekasih. Apalagi jika melihat wajah cantik istrimu itu Bos." Adrian diam saja, ia menatap Dika dengan pandangan yang sulit diartikan. "Bos, kalau boleh saya tahu...apa dia mengatakan sesuatu padamu, soal...apapun," lanjut Dika kemudian. Adrian menggeleng pelan. "Dia tidak mengatakan apa-apa, dia hanya...menangis." Dika mengernyitkan dahi. "Menangis? Kau tidak menakutinya kan, Bos, atau jangan-jangan kau sudah berbuat macam-macam padanya?" Adrian seketika mendaratkan tatapan tajam kearah Dika. Dika langsung merasa ciut, apa kata-katanya tadi ada yang salah? Beberapa saat kemudian Adrian menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. "Sejak acara resepsi kemarin, aku sudah melihat wajahnya penuh kesedihan, dia tak henti-hentinya meneteskan aimata, sampai-sampai para tamu undangan banyak yang menatapnya heran sekaligus kasihan. Dan apa kau tahu apa yang terjadi setelah itu?" Dika buru-buru menggeleng. "Saat acara itu selesai dan kami berdua sudah berada di rumah baru kami. Saat itu...aku kira dia akan berhenti menangis, tapi nyatanya aku salah. Dia tetap saja menangis. Aku tidak tahu alasan dia terus menangis seperti itu, hanya saja...itu pasti sesuatu yang menyedihkan. Mungkin dia membenci pernikahan ini." Adrian terdiam sebentar, ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya lagi. "Aku memutuskan untuk keluar dari kamar sampai tangisnya berhenti, tapi sepanjang malam dia terus saja menangis. Sampai aku merasa lelah sendiri dan tanpa sadar aku tertidur di sofa." Kali ini Adrian menatap Dika dengan seksama. "Jadi menurutmu, apa yang sebenarnya terjadi dengannya?" Dika mengerutkan kening bingung. "Kenapa kau bertanya padaku, kenapa kau tidak bertanya langsung padanya, Bos?" "Entahlah, aku hanya tidak berani menanyakannya. Dia selalu menangis, aku merasa tidak tega melihatnya. Bahkan saat aku mengantarkan sarapan untuknya tadi pagi, dia langsung membelakangiku, sama sekali tidak mau menatapku. Setelah kepergianku, aku yakin dia pasti menangis lagi." "Tapi kau harus berbicara dengannya Bos. Maksudku, kau harus sedikit memaksanya untuk bicara, agar setidaknya kau tahu apa yang harus kau lakukan...agar dia tidak menangis lagi." Adrian mengangguk-angguk setuju mendengar pendapat Dika. Ia memang harus bicara pada Rea, bahkan meski Rea menangis sekalipun, Adrian tetap harus bicara. *** Siang menjelang sore Adrian sengaja pulang kerja lebih awal untuk bertemu Rea. Ia tidak bisa terus-terusan bersikap masa bodoh dengan semua tangisan-tangisan istrinya. Perjodohan ini memang bukan atas dasar cinta, tapi tidak lantas membuat hubungan mereka menjadi buruk. Meskipun ia tidak mengenal siapa Rea dan seperti apa kehidupan Rea sebelumnya, tapi saat ini Rea adalah istrinya. Cinta ataupun tidak, mau tidak mau, Adrian harus mengakui satu kenyataan bahwa Rea adalah tanggung jawabnya. Adrian ingin cepat-cepat bertemu istrinya lantas berbicara pada wanita itu. Tapi saat langkahnya sudah berada tepat di depan pintu kamar, Adrian merasa ragu. Ia tidak tahu harus memulai darimana dan ia juga tidak tahu apa Rea mau mendengarnya atau tidak? Apakah Rea akan menangis lagi atau tidak? Dan apakah sarapan yang ia bawa tadi pagi dimakan Rea atau tidak?  Ah, terlalu banyak pertanyaan yang tidak terjawab jika Adrian hanya berdiam diri disini. Ia harus masuk. Semua jawaban ada pada istrinya, dan itu artinya mau tak mau Adrian harus masuk kedalam. Mata Adrian seketika terbelalak kaget. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sesosok tubuh terkapar tidak berdaya disisi ranjang, dan itu adalah tubuh Rea. Tanpa menunggu waktu, Adrian langsung berlari kedalam. "Rea...Rea...bangun!" panggil Adrian cemas seraya mengangkat tubuh Rea ke tempat tidur lantas diguncangnya bahu Rea perlahan. Wajah Rea tampak begitu pucat. Adrian benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada Rea. Adrian akhirnya menaruh jarinya di hidung Rea untuk memastikan wanita itu masih bernapas. Untunglah Rea masih bernapas, meski napasnya lemah sekali. Adrian juga sempat melihat kearah nakas dan mengetahui kalau sarapan yang ia bawa tadi pagi masih utuh, sama sekali tidak disentuh oleh istrinya. Apa yang terjadi? Mungkinkah sesuatu yang buruk sudah menimpa Rea? Tubuh Rea masih dibalut dengan gaun yang semalam ia pakai. Adrian lantas mengecek bagian tubuh Rea bila saja ditemukan luka, tapi tidak ada. Bahkan pergelangan tangan Rea masih bersih meski pucat, tapi setidaknya ia tahu kalau Rea tidak berpikir untuk mengiris denyut nadinya sendiri. Jadi, kenapa Rea tetap tidak sadarkan diri? Apa yang salah? Tidak mungkin ia tidur selelap ini. Pasti terjadi sesuatu! Secara tak sengaja Adrian melihat botol kecil yang tergeletak di samping tubuh Rea. Diraihnya botol itu dan tertulis disana nama merk dari golongan obat sedatif-hipnotik. Sejenis obat yang bekerja pada sistem saraf pusat yang memiliki efek bergantung pada dosis, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Sejenak Adrian menghembuskan napas lega karena ketidaksadaran Rea ternyata pengaruh dari obat tidur semata, bukan racun seperti yang dikhawatirkannya. Tapi sekian detik kemudian Adrian baru sadar kalau obat itu tidak hanya sekedar menghilangkan kesadaran tapi juga bisa menyebabkan koma bahkan kematian, jika dikonsumsi dengan dosis yang besar. Bukan tidak mungkin jika Rea meminum obat itu dengan dosis yang tidak masuk akal. Bukankah selama dua hari ini Adrian selalu melihat kepedihan tergurat jelas di wajah Rea. Bagaimana kalau Rea nekat melakukan semua ini, mengakhiri kepedihannya dengan cara seperti ini. Tanpa berpikir dua kali, Adrian cepat-cepat membopong tubuh Rea menuju mobil. Tujuan utamanya adalah rumah sakit, ya, semoga saja ini masih belum terlambat. 25 menit kemudian, Adrian sampai di depan sebuah rumah sakit ternama. Ia langsung membawa tubuh Rea dan bergegas memasuki pintu utama rumah sakit. Beberapa petugas rumah sakit yang selalu siaga buru-buru mendorong brangkar kearah Adrian sekian detik setelah Adrian masuk. Benar saja. Setelah diperiksa oleh dokter, Rea memang sedang dalam pengaruh obat tidur dengan dosis yang cukup banyak meski tidak sampai over dosis. Menurut pemeriksaan dokter mungkin Rea akan sadar sekitar tiga atau empat jam lagi. Selebihnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Bahkan kata dokter, Rea bisa langsung dibawa pulang saat dia sudah siuman nanti. Adrian menghebuskan napas lega. Semua pikiran buruk yang sedari tadi menyanderanya perlahan-lahan menjauh. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi penunggu yang terletak di sisi kanan Rea. Adrian melihat istrinya itu begitu rapuh dan tak berdaya. Ia bahkan masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya dialami Rea sampai membuat wajahnya terlihat begitu menyedihkan. *** Adrian mengerjap-ngerjapkan matanya sesaat setelah kesadarannya kembali. Ia sempat tertidur sebentar. Ia melirik jam tangannya dan seketika wajahnya panik. Adrian tertidur selama 5 jam. Dan ternyata Rea sudah tidak ada disana! Adrian terlihat begitu cemas. Ia melihat sekeliling ruangan, tidak ada. Ia memeriksa kamar mandi, hasilnya kosong. Dimana Rea? Kenapa dirinya begitu bodoh sampai-sampai tidak menyadari bahwa Rea sudah siuman. Wanita itu pasti sudah sadar sekitar satu atau dua jam yang lalu. Adrian menepuk-nepuk kepalanya sendiri mengingat keteledorannya yang sangat keterlaluan. Ia tidak tahu apa-apa mengenai wanita itu, dan kenyataan bahwa saat ini Rea menghilang membuat Adrian benar-benar dibuatnya kebingungan. Dimana ia harus mencari wanita itu? Di rumah orangtua Rea-kah? Ya, setidaknya hanya tempat itulah yang terlintas di pikiran Adrian. Dengan suasana hati yang buruk dan pikiran yang kacau, Adrian mengemudikan mobilnya dengan ugal-ugalan. Ia tidak peduli dengan keselamatan dirinya. Ia hanya tidak ingin menjadi suami yang tidak bertanggung jawab jika sampai membuat Rea kenapa-kenapa. Akhirnya, setelah perjalanan yang dirasa lama dan melelahkan, Adrian tiba di depan rumah Rea. Ia sedikit ragu untuk masuk kedalam tapi tidak ada cara lain untuk memastikan apakah Rea ada disana atau tidak. "Ada masalah apa sampai kau datang malam-malam begini, Adrian?" tanya Hary, Ayah Rea, dengan raut terkejutnya begitu mengetahui menantunya berkunjung tiba-tiba. "Apa kau dan Rea bertengkar?" Seli, Ibu Rea, menimpali. Ia sama terkejutnya dengan Hary bahkan Seli tampak cemas melihat raut wajah Adrian yang jelas sekali bukan untuk membawa kabar baik. "Apa Rea ada disini?" Adrian akhirnya menanyakan hal itu, meski jika diperhatikan dari keterkejutan dan pertanyaan kedua orangtua Rea, mereka berdua jelas tidak tahu menahu soal hilangnya Rea. Seketika saja Seli berteriak. "Apa yang terjadi pada Rea, Adrian?" Baiklah, rupanya orangtua Rea benar-benar tidak tahu. Apa boleh buat, mau tidak mau Adrian harus menceritakan asal mulanya kenapa dirinya sampai harus mencari Rea. "Apa kau sudah mengeceknya di rumah, mungkin saja dia sudah pulang lebih dulu," tanya Hary kemudian setelah Adrian berhasil menyelesaikan ceritanya pada mereka. Oh Tuhan, kenapa hal itu sampai tidak terpikirkan oleh Adrian. Mungkin saja Rea sekarang ada di kamar, sedang menangis terisak seperti malam sebelumnya. "Belum, aku akan mengeceknya sekarang." Adrian buru-buru membalikkan tubuhnya untuk pergi. Tapi langkahnya tertahan oleh ucapan Seli. "Aku mohon, apapun yang terjadi, perlakukanlah anakku dengan baik. Dia tidak bersalah, dia hanya...." Seli tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya dan langsung menghempaskan diri ke d**a Hary, Seli menangis dalam dekapan suaminya. Adrian tidak mengerti dengan ucapan mertuanya soal...Rea tidak bersalah. Memang apanya yang salah?  Sebelum melanjutkan langkahnya Adrian sempat mengangguk dan menatap Hary dengan tatapan yang seolah mengatakan, aku tidak akan menyakitinya. Lantas berlalu dengan langkah terburu. Dan benarlah. Saat Adrian berhasil sampai di rumah, ia langsung berlari memburu Rea di kamar pengantin. Wanita itu ada didalam sana, sedang berbaring di atas ranjang dengan wajah sembab. Rea yang mengetahui kehadiran Adrian dengan tiba-tiba itu lantas membelakangi tubuh Adrian. Adrian merasa lega sekaligus konyol. Ia tidak menyangka kehadiran istrinya mampu membuat kehidupannya tidak karuan setidaknya dalam dua hari terakhir. Dan Adrian sudah putuskan untuk berbicara pada istrinya, saat ini juga! Adrian mengatur napasnya yang kacau lantas mulai memasuki kamar dengan perlahan. Ia juga bisa melihat kalau Rea semakin menutup rapat tubuhnya dengan selimut. Meski tidak menatap Adrian secara langsung, setidaknya ia bisa merasakan kehadiran suaminya di ruangan itu. "Kenapa kau pulang sendirian?" tanya Adrian saat tubuhnya sudah duduk satu ranjang dengan Rea. Ia menatap siluet punggung Rea yang tertutup selimut. Tidak ada jawaban. Sekian detik Adrian menunggu dengan sabar, tapi tetap saja tak kunjung terdengar. Sampai akhirnya telinga Adrian menangkap suara sesenggukan tangisan. s**l. Lagi-lagi wanita ini menangis. Meskipun sudah ia prediksi sebelumnya, tapi tetap saja Adrian merasa tidak berguna. Ia ingat dengan permohonan ibu mertuanya yang menyuruhnya untuk memperlakukan Rea dengan baik, meskipun anaknya ini benar-benar menguji kesabarannya. Adrian menarik selimut yang menutupi tubuh Rea dengan sedikit kasar. Lantas menarik bahu Rea untuk membuatnya duduk berhadapan dengannya. Baiklah, mungkin Adrian sedikit melanggar permintaan ibu mertuanya, tapi rasanya tidak ada cara lain yang bisa Adrian lakukan jika tidak dengan cara ini. Sementara Rea tampak terkejut menerima perlakuan tiba-tiba dari Adrian yang dirasa agak kasar. Tapi Rea masih meneruskan tangisannya dengan wajah tertunduk, meskipun saat ini tubuhnya sedang berhadap-hadapan dengan Adrian. Adrian kembali memegang bahu Rea, digoyangkannya sedikit untuk membuat wajah Rea terangkat. "Dengar. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu. Tapi aku tahu satu hal, bahwa pernikahan ini bukanlah pernikahan yang kita inginkan." Kedua tangan Adrian mencengkeram bahu Rea kuat-kuat. "Aku tidak mengenalmu, kau juga pasti tidak mengenalku. Dan aku tidak tahu kenapa kau terus saja menangis seperti ini. Tapi dengarlah, apapun yang terjadi padamu sekarang, itu akan menjadi tanggung jawabku sebagai suami. Jadi aku mohon jangan mempersulitku dengan keadaanmu yang seperti ini." Adrian berkata dengan nada emosi.  Setelah sadar dengan tindakannya, ia langsung melepaskan cengkeramannya di bahu Rea. Adrian benar-benar tidak sadar melakukan itu, dan mungkin saja saat ini Rea sedang kesakitan dengan cengkeraman tangannya tadi. Rea bergeming, masih dengan sesenggukan tangisannya yang terdengar menyayat hati. Wajahnya juga ia tundukkan dalam-dalam. Adrian hampir menyerah dengan semua ini, tapi ia masih punya sedikit kesabaran. "Baiklah. Aku akan mengatakannya sekali lagi. Kita menikah bukan atas dasar cinta. Aku tidak mencintaimu, dan aku yakin kau juga tidak mencintaiku. Jadi berhentilah bersikap seolah-olah aku menyiksamu. Kau dengar, Rea? Aku bahkan tidak akan tidur di kamar ini, dan akan menjalani kehidupanku seperti biasa. Pernikahan ini hanya sebatas status, jadi berhentilah menangis. Kau jalanilah kehidupanmu seperti biasa, aku tidak akan mengganggumu. Hanya saja tolong, jangan pernah berpikir untuk meminum obat tidur seperti tadi atau apapun yang akan membahayakan nyawamu. Apa kau mendengar apa yang aku ucapkan Rea?" Rea masih membeku, tapi Adrian bisa melihat kalau Rea baru saja mengangguk. Itu artinya wanita itu mendengarnya. Adrian akhirnya bangun dari ranjang. Sebelum meninggalkan kamar, Adrian sempat berkata, "besok pagi, aku tidak ingin melihatmu masih seperti ini." Bersambung ... AdDina Khalim

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Turun Ranjang

read
578.7K
bc

Hurt

read
1.1M
bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
49.0K
bc

Because Alana ( 21+)

read
360.3K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
525.9K
bc

My Husband My Step Brother

read
54.8K
bc

My One And Only

read
2.2M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook