bc

Takdir Jingga

book_age18+
2.4K
FOLLOW
18.6K
READ
drama
sweet
kicking
like
intro-logo
Blurb

Meidinda Rajingga mahasiswi salah satu universitas negeri di Bandung asal Papua yang berbakat dan berprestasi harus membatalkan rencana semester pendek untuk menuruti keinganan orangtuanya untuk kembali ke kampung halaman. Awal kepulangan yang penuh kegembiraan dan dipenuhi manisnya nostalgia bersama teman-temannya harus kandas karena acara perjodohan. Saat pertemuan keluarga dengan pria yang dijodohkan, membuat dirinya pingsan karena shock.

Alan Ghazali Wibisono, pria ganteng dan cemerlang harus jatuh hati pada perempuan yang dilihatnya tak sengaja di Panti Melati. Hatinya semakin berbunga ketika mengetahui kalau perempuan itu adalah salah satu mahasiswa yang berada dalam bimbingannya. Tekanan dari ibunya yang selalu meminta agar ia segera menikah, diabaikannya. Kondisi itu membuat ibunya sakit keras dan ia akhirnya pasrah menerima rencana keluarganya untuk dijodohkan. Akankah Alan berhasil berjuang untuk mendapatkan cinta sejatinya ? Bagaimana Jingga berjuang untuk ikhlas menerima kehendak orangtuanya?

chap-preview
Free preview
Request
Alan Wibisana   Pencahayaan yang terang dengan pendingin ruangan yang bekerja maksimal. Tiupan saxophone Dave Koz mengalun merdu memenuhi ruangan. Aku masih terpaku di kursi dengan mata yang fokus pada laptop di atas meja ─ Tenggelam dalam kegiatan analisis data. Ketukan di pintu terabaikan hingga suara lembut ibuku menyapa gendang telingaku. Wajahku serta merta terangkat merespon sumber suara. " Lan, kamu sedang sibuk Nang ?" suara lembut ibuku yang sedang berjalan pelan mendekati kursi tempat aku berada. Wanita itu masih tersenyum dan memelukku erat dari samping Dia mencium  pipi kananku. Menatapku gemas sama seperti ketika aku kecil dahulu. Mau setua apapun usiamu, sebesar apapun tubuhmu, sehebat apapun yang telah kamu kerjakan, atau setinggi apapun pendidikan juga jabatan yang ada padamu,  jika berhadapan dengan orang yang melahirkan kita, tetap saja dia akan menganggap kamu sebagai “anak kecil” yang harus dilindungi dan diurusi. Aku tersenyum dan balik mencium  pipinya. "Masih menyelesaikan laporan penelitian. Dikit lagi selesai kok. " Aku melihat sebentar ke arah ibuku sambil tersenyum lalu menatap layar laptop lagi. Ibuku sudah menarik kursi dan duduk di seberang meja. Ibuku memandang lama sehingga membuatku merasa canggung. Kulirik sebentar melihatnya. " Kok lihat Alan seperti itu? Ada apa Mah?"  Ibuku tersenyum. Sebelum berucap, dia menarik nafas panjang terlebih dahulu. " Anak Mamah tambah hari tambah ganteng ya. Sholeh, sudah mapan, pendidikan tinggi tapi kenapa jodohnya kok belum mampir untuk hinggap ya. " Ah, selalu saja hal itu yang diutarakannya. Sebenarnya sudah bosan dan jenuh menanggapi urusan”jodoh”, tapi aku nggak mungkin berkata yang menyebabkan ibuku tersinggung. Kuberikan senyum terbaikku padanya. " Kupu-kupu kali ah, kok pakai hinggap segala. Mamah ini  pinter banget bikin orang  ge er deh." Ibuku terkekeh pelan. " Mamah kan bicara faktanya. Memang kamu ngganteng dan pinter lho, Nang. " Aku memilih tidak menanggapi ucapannya ─ kembali aktif memandangi layar laptopku. Ibuku masih terus lekat memandangiku. Beberapa saat kemudian dia berdehem. " Lan, sebenarnya ada yang mau mamah bicarakan sama kamu. " Mataku beralih dari layar laptop untuk memandang wajahnya yang sedang tersenyum. Nampaknya dia sangat ceria hari ini. “ Hem...oke.” Aku memfokuskan perhatianku padanya. Aku menunggu. Dia sengaja memberi jeda agak lama supaya aku sedikit penasaran. “ Lan...” "Iya Mamahku sayang. " " Kamu masih ingat nggak eyang Pudji ? " Aku berpikir sebentar mencoba mengingat nama yang disebut oleh ibuku. "Sahabatnya alamarhum eyang uti dan eyang kakung itu bukan , Mah?” “Iya benar.” “Ah,  Alan ingat. Bukankah beliau sudah meninggal? Cuma ingat dahulu almarhum tinggal di Yogya sama Om Yuda dan tante Nirmala? " " Iya, betul sekali. Yang meninggal itu eyang kakung, tapi eyang putrinya masih sehat.  " " Terus kenapa, Mah? " Mamah tersenyum lebar sekali. Terus terang saja aku sebenarnya curiga melihat gelagat ibuku yang kelewat bahagia ini. " Dahulu, eyang kakung dan eyang putrimu berjanji pada eyang Pudji  untuk menjodohkan anak-anak mereka. " " Trus, apa hubungannya dengan Alan? " Ibunya menghela nafas.  " Sebulan yang lalu Mamah dan Pakdemu bertemu eyang Pudji, Om Yuda dan tante Nirmala, lalu kami bertukar cerita tentang keluarga kami masing-masing. Dari sana kami bersepakat menjodohkan kamu dengan anak perempuan dari keluarga mereka. Namanya Iga." “Lha niatnya mereka kan menjodohkan anak. Sedangkan posisi aku kan hanya cucunya, Ma. Semestinya kesepakatan itu sudah bubar kan?” Ibuku menghela nafas kasar dan memandangku gemas. “ Anak-anak mereka laki-laki semua. Kemudian mereka menegosiasi ulang sehingga tercapai kesepakatan baru untuk menjodohkan cucu mereka saja.” Aku masih asyik menarikan jemariku pada papan keyboard laptop. Aku melirik ibuku sebentar, tidak bisa menyembunyikan ekspresi bosan dan tidak tertarik. " Sekarang ini zaman milenial Mah, bukan zamannya Datuk Maringgi dan Siti Nurbaya lagi. Kenapa Alan masih dijodohkan segala sih? Alan masih sangat sanggup cari istri sendiri lho." Ibuku cemberut, terlihat jelas kalau dia mlai ngambek. Sejak ayahku meninggal, beliau memang lebih sensitif dan sering sakit-sakitan.             “ Trus kapan dong Mamah dikenalkan sama calon istrimu itu?” Gantian aku yang menhela nafas panjang. “ Masih belum ketemu Mah.” "Tuh kan selalu begitu, ada aja alasannya. “ “ Santai aja lah Mah. Belanda masih jauh.” Aku terkekeh, sementara ibuku sudang mendengkus kesal. “ Gimana caranya Mamah bisa santai kalau begini. Makanya harus Mamah yang pro aktif. Kamu itu kalau nggak dipaksa nggak gerak sama sekali.  Sibuk sendiri. Terlalu asyik bekerja, ngajar, seminar, apa lah....trus  lupa sama cari pendamping hidup. Mamah sudah kepingin momong cucu dari kamu.” Aku mengalihkan perhatian dari laptop menghadap ibuku, kutatap lembut matanya. ‘ Mamah....” " Lan, Arini mbakmu itu sudah ikut suaminya ke Amerika dan Mamah susah sekali kalau mau ketemu sama tiga cucu mamah di sana. “ Ibuku menyela cepat, berupaya menyanggah apa yang hendak aku ucapkan. Aku terdiam, membiarkannya menuntaskan bicara. Hanya helaan nafas panjang yang bisa aku lakukan. Kuusap wajahku sebentar. Rasanya belum siap untuk konfrontasi dengan wanita yang paling aku sayangi. " Jangan terlalu dingin kalau sama perempuan, Lan. Nanti mereka malah lari lho. Umur kamu tuh udah kepala tiga. Kalau Mama perhatikan, kamu itu terlalu cuek banget deh sama perempuan. " Giliran aku yang menghela nafas panjang kembali mendengar penuturan mamaku. Kuraih kedua tangan mama dan menggenggamnya erat lalu kucium punggung tangannya. Kutatap lurus bola mata ibuku, mencoba menyelami hatinya. " Alan ingin cari perempuan yang seperti Mamah. Yang sabar, yang bersahaja tapi cerdas. Tapi sulit cari yang seperti itu. Perempuan sekarang banyak yang kecentilan, dan matre, Mah. Kayaknya kok murah sekali. Alan nggak suka karena pasti Mamah juga nggak akan nyaman dengan orang seperti ini kan?” Ibuku terdiam. “ Mungkin sikap Alan yang seperti itu yang diterjemahkan dingin dan cuek. Tapi Mamah tenang aja, suatu saat pasti Alan akan menikah. Mungkin waktunya belum tepat bertemu orang yang tepat. Mama harus sabar menunggu ya. Cuma sebentar lagi kok." “Sampai kapan Mamah harus menunggu Lan?” Aku hanya bisa mengangkat bahuku dan menggelengkan kepala. Memang aku tidak tahu jawabnya. “Alloh mungkin masih menguji kesabaran kita.” Mama terdiam, matanya seperti menerawang. “Kalau nanti Mamah nggak ada, siapa yang mengurus kamu? Kamu bikin Mamah nggak tenang.” Aku menghentikan pekerjaanku. Mengambil tangannya untuk kugenggam dan kubawa ke dadaku. Aku menatapnya lembut. Kami hanya diam dan saling menatap. Beberapa menit kemudian. " Iga namanya, Lan. Anaknya cantik, baik, pintar dan dari keluarga baik-baik. Mamah sudah lihat fotonya. “Aku menutup mata sebentar untuk beristigfar. “Ini lho anaknya!" Ibuku sudah menjulurkan gawainya di hadapanku, memperlihatkan sebuah foto di telepon genggamnya. Aku melihat sekilas, kemudian mengembalikan gawainya. Aku menatapnya lembut dan menghirup nafas dalam. “ Sudahlah Ma, kalau memang nanti dia jodohnya Alan, mau bagaimanapun pasti ada aja jalannya buat bertemu.” Ibuku tersenyum.  "Feeling Mamah sih kalian akan jadi pasangan yang serasi. Gadis itu anaknya mas Suryono putranya Eyang Pudji, kakaknya Om Yuda yang kamu kenal itu. Mas Suryono tinggal dan dinas sebagai guru di pulau kecil di Papua, dan sekarang sedang melanjutkan kuliah di Bandung. Seandainya saja kalian bisa bertemu di sini ya. Lan, Bagaimana, kamu mau ya terima dia dulu? Cari keberadaannya di Bandung, lalu kalian bertemu untuk berkenalan.Itu saja dulu. Masak terlalu berat sih?” Aku mengusap wajah, galau. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain mengambil nafas dalam-dalam.             “Ya, nanti aku pikirkan lagi Ma.”             “Tapi jangan lama-lama lho. Takut gadis itu keburu diambil orang. Soalnya dia cantik sekali.” “Iya Mah, iya...” Ibuku tersenyum senang. Di berdiri dan berjalan memutar setengah meja untuk sampai di sampingku. “ Sudah waktunya makan siang. Jangan bekerja terus. Ini hari minggu, jadi bersantailah sedikit.    ********   Dua bulan kemudian   Baru saja kakiku menapak lantai memasuki ruangan yang baru sekitar lima belas bulan terakhir kutempati. Suara notifikasi panggilan gawaiku sudah berbunyi nyaring. Dari dering suaranya, aku mengenali kalau panggilan itu berasal dari ibuku. “ Den Alan? Assalamu’alaikum “ Keningku berkerut. Itu bukan suara ibuku. “ Wa alaikum salam. Mbok Minah?” “ Iya Den.” “Ada apa Mbok?” “ Anu Den... anu... hem... anu...” “ Anu apa Mbok?” “ Anu ... itu Den. Ndoro sepuh jatuh di rumah tadi pas mau berangkat ke pabrik. Si Mbok dan pak Pardi langsung bawa Ndoro ke rumah sakit. Si Mbok sekarang ada di luar ruangan ICU, Den.” “Astagfirullahal adziim. Baiklah saya akan ke sana segera.” Setelah menutup panggilan dari Mbok Minah, aku segera menyambar kunci mobil dan melarikan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Mbok Minah dan pak Pardi menyambutku dengan wajah cemas dan tegang.             “ Ndoro sepuh di dalem Den. Tadi Si Mbok diusir dokter suruh menunggu di luar saja. Ndoro sepuh tadi ... disetrum dadanya Den. Si Mbok nggak kuat lihatnya.” Mbok Minah menangis. Aku memeluk wanita tua yang sudah bekerja di rumah orang tuaku mulai kakakku Arini masih bayi.    “Ya sudah Mbok. Terima kasih sudah menolong Mamah. Sekarang Mbok dan Pak Pardi pulang dulu saja. Saya minta tolong untuk menyiapkan baju ganti saya dan Mamah. Biar Pak Pardi saja yang mengantarkan ke sini nanti.    “ Siap Den. Nanti saya ke sini lagi bawa pakaian ganti dan makanan untuk Den Alan.” Pak Pardi mengangguk kemudian pamit. Dia merangkul Mbok Minah untuk berjalan keluar meninggalkan rumah sakit. Sepeninggal mereka, aku menghitup nafas dalam-dalam sebelum mendorong pintu ICU. Keriuhan aktivitas di dalam ICU mulai nampak. Beberapa orang menyapaku dan menunjuk salah satu ruang isolasi kaca di bagian pojok. Kubuka pintu ruangan itu dengan hati-hati. Ibuku terbaring di brankar rumah sakit dengan ventilator yang menutupi sebagian wajahnya. Tangannya sudah dihubungkan dengan cairan infus yang digantung di sisi brankar. Suara alat EKG mendominasi ruangan. Kudekati ibuku kemudian mencium punggung tangannya. Aku memperhatikan grafik yang tampil pada alat itu lalu mengecek cairan infus. Hatiku trenyuh melihat kondisi ibuku. Meskipun masih bisa kutahan, tapi rasanya sesak di d**a. Walau bagaimana pun aku tetap seorang anak biasa yang tetap takut kehilangan ibunya. Rasanya masih banyak yang belum kulakukan untuk ibuku. Aku ingat kenakalanku sewaktu kecil, pemberontakanku saat remaja dulu, lalu perdebatan-perdebatan dengan ibuku. Rasa bersalah yang membludak dalam hati membuatku tersedu sambil menggenggam jemari tuanya yang bebas dari jarum infus. Rasanya aku belum berbuat banyak untuk membahagiakannya.             Kuhapus air mataku dengan cepat, khawatir dilihat orang di luar sana karena dinding ruangan yang tembus pandang. Kubelai wajah ibuku pelan. Kudekatkan mulutku ke telinganya. “Mah, ini Alan. Bangun Mah! Alan janji akan melakukan apa saja yang Mamah minta. Alan janji Mah.” Kubelai lagi wajah ibuku dan kukecup dahinya. Aku memilih duduk di sampingnya menggenggam tangannya. Kulantunkan doa dalam hati. Semoga Tuhan Yang Maha Baik memberi kesembuhan pada ibuku   Tiga jam kemudian....   “Erg... Eh.....” "Ma, Mama.... Mama sudah sadar? Mama menoleh ke arahku. Matanya mengerjap- ngerjap seperti memberi kode padaku untuk mendekat. Kubuka selang ventilator oksigen yang membantunya untuk bernafas selama ini. Dia sedikit terbatuk, namun nafasnya perlahan stabil. Mama menggerakkan jarinya. Aku mendekatkan telinga ke wajahnya. " Lan ... Alan ...? " Suara mama terlihat lirik dengan volume yang kecil. " Mama dimana ini, Nang?" jawab ibunya pelan. " Mama tadi gak sadarkan diri di rumah , jadi sekarang di rumah sakit. Tadi mbok Minah dan pak Pardi yang membawa Mama ke sini. " " Mama mau pulang aja Lan, ayo bawa Mama pulang!" Mama mulai merengek. Kalau udah begini aku suka nggak kuat menolak keinginannya.  Aku memandangnya lurus, mencoba merangkai kalimat yang memiliki kemungkinan kecil dibantah. " Sst... Mah, mamah istirahat dulu saja, di sini banyak ahlinya yang siap membantu memulihkan kesehatan Mama". " Mama nggak mau sendirian di sini cuma ditemani suster, Lan. Mama mau pulang aja". " Mah, di rumah sakit kan alatnya lengkap, jadi kalau ada apa-apa kan mama cepat tertolong." "Kamu kepengen ya mama kenapa-napa?" Aku menghela nafas. " Mama salah paham, maksud Alan nggak begitu. Pokoknya Mama tenang aja dulu di sini ya. Sebentar saja." " Lan..., Mama nggak mau sendirian di sini." Mama mulai menangis. Aku mengelus kepalanya dan menciumi pipinya untuk menenangkan.  " Mama nggak sendiri, ada Alan di sini nemani Mama. Tapi kamu kan harus kerja. Nanti mama sendirian di sini."  "  Tante nggak sendiri kok, kan ada saya di sini nemani Tante. Sebentar lagi Mama juga sampe kok," jawab Ryan yang baru datang dan berdiri di belakangku. Ryan adalah sepupuku. Papa Ryan, Pakde Purnomo adalah kakak kandung mamaku. Dia dokter ahli jantung yang bekerja di rumah sakit ini. Pakde Purnomo itu komisiaris utama rumah sakit ini. Rumah sakit ini memang milik keluarga ibuku. “Kamu kasih tahu Mama dan Papamu kalau tante masuk ICU, Yan? Pasti nanti Tante diomelin papa dan mamamu lagi.”  Mamaku sudah cemberut. “ Ryan bePasi jamin deh, Papa dan Mama nggak bakalan omelin Tante.” “ Tante mau pulang aja ah Yan, nggak mau kalau di sini.” “ Iya, sabar.Tante tenang dulu ya, istirahat aja. Kalau tante mau kerja sama dan kondisi tante membaik, Ryan janji akan memindahkan tante ke ruang perawatan VVIP.”  “ Tante itu mau pulang kok, kenapa kamu malah mindahin tante ke ruangan VVIP. Tetep ajah masih rumah sakit juga, Tante nggak betah di sini.” Mama cemberut dan terus mengomel. " Mah, kan ada aku dan Ryan ada di sini. Mama nggak usah khawatir. Kapanpun Mamah butuh bisa dipanggil. Ryan kan spesialis jantung yang hebat, Mama sudah di tangan orang yang tepat." “Lagian ini kan rumah sakit keluarga kita Tante. Jadi anggap saja rumah sendiri.” “ Beda Ryan, tetap aja ini rumah sakit dan nggak sama dengan rumah sendiri. Tante kalau ada di sini ingat Om kamu di saat terakhirnya, kayak  trauma gitu deh. “ Aku dan Ryan saling bertatapan. " Kamu kan juga dokter, Lan. Apa kamu nggak bisa merawat Mama di rumah?” Tatapan mama yang mengharap susah aku untuk menolaknya.  “ Iya...iya nanti kita pulang, tapi kondisi Mama baikan dulu ya.  Alan upayakan mama pindah ruangan aja  dulu. Mama sabar  sebentar ya, sekarang istirahat dulu aja.” Mamaku masih cemberut dan sedikit rewel.  Aku mengelus dan menciumi kepalanya, sebelah tanganku ada digenggaman tangannya, sementara Ryan memijjiti kakinya. Aku dan Ryan berupaya menenangkan sekaligus merayunya hingga pintu ruangan terbuka dan kulihat bude Ati dan pakde Purnomo, mama dan papa Ryan memasuki ruangan.  "Lan, bisa kita bicara sebentar? Aku tunggu di ruanganku yah," ucap Ryan berbisik di telingaku saat pamit tadi.  Aku  mengangguk setuju. Beberapa saat aku masih menemani mama bersama pakde dan budeku. Menenangkan dan membujuk mama agar mau dirawat intensif di rumah sakit. Ini bukan perkara mudah. Dia mengungkit peristiwa saat aku menolak dijodohkan dengan pilihannya. Ibuku mengadu pada pakde dan budeku. Aku hanya bisa diam, tidak bisa menyembunyikan wajah penuh penyesalan. Mamah memang kesepian karena aku sibuk di kampus dan rumah sakit. Akhirnya dengan susah payah dan berat hati aku menyetujui rencananya. Aku berjanji akan menemaninya ke Yogya untuk menemui keluarga pihak perempuan yang akan dijodohkan denganku di sana. Apapun akan kulakukan agar ibuku mau di rawat intensif di rumah sakit. Setelah itu, ibuku  mulai bisa tenang dan dapat tidur dengan lelap. Aku pamit pada bude untuk keluar menemui Ryan. Pakde Purnomo mengikutiku menuju ruangan Ryan. "Ada apa dengan mamaku, Yan? " Ucapku setelah mengucapkan salam saat masuk ke ruangannya. "Kondisi Tante terus memburuk. Pembengkakan jantungnya cukup parah, ditambah lagi dengan komplikasi ginjalnya. Hal ini diperparah karena dia stress dan nggak mau makan juga meminum obatnya. Kamu tahu kan kalau Tante tidak boleh terlalu capek dan stress." Seperti ada yang membebani pikirannya." jelas Ryan kemudian sambil menyerahkan sekumpulan berkas  dalam amplop besar padaku. " Kamu bisa lihat  sendiri hasil pemeriksaannya. " kata  Ryan. Aku mencermati isi amplop besar itu ada foto hasil scan,  rekaman jantung,  pemeriksaan lab. Pakde juga ikut membaca dan menelitinya. " Secara psikis, kamu harus tahu apa akar masalahnya dan coba cari penyelesaian terbaik" lanjut Ryan sambil menepuk bahu Alan. Pakde Purnomo memberi beberapa wejangan untukku. Aku diam mendengarkan semua ucapannya. Asal mereka tahu kalau aku akan dilakukannya apa saja asal Mamah bisa sembuh seperti sedia kala. Tak tega rasanya melihat penderitaan orang yang paling disayang seperti itu. Delapan jam kemudian Guncangan pelan di bahuku membuatku tersadar. Rupanya aku sudah jatuh tertidur di samping brankar mamah.Posisiku duduk dengan kepala menelungkup di sisi brangkar.  Mamah menatapku penuh sayang. " Ada apa Ma?" " Kamu sudah makan belum? Sudah sholat belum?" " Sudah, Mamah mau makan ?" " Mamah haus, Lan. Tolong ambilkan minum." Aku beranjak mengambil minuman kemasan yang masih bersegel. Kubuka dan masukkan sedotan lalu memberikan pada mamah. " Mamah makannya cuma sedikit. Makan lagi yuk, Alan suapin." " Mamah nggak selera makan, Lan." " Mamah kenapa sih? Apa yang mamah pikirkan? Mama makan ya, biar kuat dan sehat bisa ngelihat cucu mama main dan bercanda." Aku sudah meraih piring yang sudah disiapkan dan memegang sendok siap untuk menyuapi mamah. “Gimana mau punya cucu, wong kamu nikah aja belum.” “Kan sudah ada Celine, Marcel dan David. Itu kan cucu Mama.” “Kalau itu sih Mama sudah tahu Lan. Maksud Mama tuh anakmu, bukan anak Arini kakakmu. Mereka jauh dan paling ketemu Cuma sebentar saja. Mama kangen dan kesepian. Kamu kerja dan mengajar. Mama nggak ada yang menemani.” Mama menarik nafas panjang. " Kalau kamu memang sayang sama Mama, cepatlah menikah." Aku meletakkan sendok di piring dan terdiam. Mama terlihat melamun. " Ma, kali ini Alan manut apa kata Mama, terserah sama pilihan Mama. Apapun Alan lakukan asal mama sehat dan bahagia." " Mama ingin kamu bahagia, Nang (panggilan untuk anak lelaki). Cari perempuan baik-baik dan Sholihah kenalkan pada mamah. Lalu kita datang ke keluarganya dan meminangnya. Pada dasarnya mama nggak mau memaksa kamu. Kamu yang akan jalani dan mama cuma memastikan kalau kamu bahagia. Ada orang yang ngurusi kamu." " Mamah kan tahu aku lagi nggak dekat dengan perempuan manapun, kecuali Mamah dan Mbak Arini." " Makanya cari dong calon istri yang baik. Jangan salah pilih orang lagi. Mamah trauma deh dengan "si ular berbisa" mantan kamu si Lisda itu. " " Ampuunn Mah, itu memang kesalahan Alan. Nggak mau ngulang lagi. Makanya Alan hati-hati banget kali ini." " Karena itu mama, bude, pakde dan tantemu ini sedang  ikhtiar. Ada kenalan almarhum papamu di Yogya. Dulu keluarga papamu dan keluarga mereka pernah bernadzar akan menjodohkan anak mereka. Namun karena kedua keluarga ini tidak ada yang memiliki anak perempuan, maka perjodohan itu batal. Kapan hari itu pakdemu datang berkunjung menjenguk Mama dan mengutarakan ide nya untuk menjodohkan kamu dan salah satu cucu mereka. Namanya juga ikhtiar, bagaimana kalau dicoba saja dulu kamu berkenalan dengan putri pak Suryono itu. Tidak perlu dipaksakan suka atau harus jadi kalau kamu memang tidak cocok. Bilang saja terus terang pada kami. Tapi yang penting kamu usaha dulu mau berkenalan dengannya.” Aku menghela nafas dengan berat. " Terserah Mama aja deh, Alan ikut aja." Aku pasrah walau hatiku berat sekali. “ Mama kepengen minggu depan kita ke Yogya bersama Pakde, Bude , Om dan Tantemu.” Mataku membelalak kaget mendengar penjelasan mamaku. Aku menarik nafas berat. “Ma, Alan menyetujui perjodohan ini, namun ya nggak usah secepat itu kali kita datang ke Yogya. Mama belum pulih betul.” “Lan, asal kamu tahu ya. Kalau kamu ikhlas menyetujui ikhtiar perjodohan kali ini, rasanya mama akan seribu kali lebih cepat pulihnya deh.” Aku menarik nafas panjang dan mencoba memberikan senyuman terbaik untuk ibuku.  ********  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

CEO Mesum itu Suamiku

read
5.1M
bc

TERSESAT RINDU

read
333.2K
bc

MOVE ON

read
94.9K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.9K
bc

CEO Pengganti

read
71.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook