bc

Pengantin Pengganti

book_age0+
3.2K
FOLLOW
45.4K
READ
love after marriage
pregnant
goodgirl
sensitive
boss
drama
comedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

Hakikatnya pernikahan itu menyatukan dua keluarga. Namun, pernikahanku dan sepupuku malah mengancam perpecahan satu keluarga. (Amanda)

Kisah ini menceritakan bagaimana pernikahan antara sepupu di mata keluarga, agama dan di masyarakat.

chap-preview
Free preview
1. Bukan Pernikahan Impian
Suasana pernikahan yang seharusnya berlangsung mewah, kini riuh dan ribut. Bagaimana tidak kacau? Acara akad yang mestinya dimulai sejak satu jam lalu, terancam batal. Calon besan dan mempelai perempuan belum kunjung muncul batang hidungnya. Aku merasa kalau ada sesuatu yang janggal. Namun ... ah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Bisa saja ada suatu hal yang membuat mereka sedikit terlambat. Saat ini aku duduk di tengah ruangan mengamati para tamu undangan di sekitar, beserta Pak Penghulu yang berada di depan. Mereka terlihat gelisah, karena mulai hilang kesabaran dan bosan menunggu. Keluarga yang duduk dekat denganku pun, raut wajahnya tampak tegang dan khawatir. Hingga jawilan di tangan, membuatku menoleh pada seseorang yang duduk di sebelah. Oma berbisik padaku. "Kamu mau jadi pengantin penggantinya?” Deg! Rasanya jantung berhenti berdetak sesaat. Kemudian berdegup cepat. Terbungkam, masih mencerna pertanyaan Oma, yang berhasil membuatku tersentak. ‘Pengantin pengganti’? Lelaki di depan sana adalah kakak sepupu. Tempat bermanja hingga kadang jadi pengasuh diri ini sejak kecil. Dia mengenaliku sejak dua puluh dua tahun lalu, -sebanyak umurku. Hingga hampir semua kekurangan diri, kami saling mengetahui. Ia berwajah oval dan hidung yang mancung. Alis yang lebat, menaungi sepasang mata hazelnya. Bibir yang tidak terlalu tipis, serasi dengan dagu yang membelah. Tampan. Lagi, seorang manajer di suatu perusahaan pengembangan properti. Paket komplit. Siapa pun pasti bersedia mendampinginya, tapi masalahnya apa dia mau memperistriku, adiknya sendiri? "Iya atau enggak?" tanya Oma sekali lagi, kilat matanya menatap tajam. Aku menggigit bibir, masih mencari jawaban dalam diri. Keputusan ini, harus kupertimbangkan, karena pernikahan bukan untuk main-main. Cukup sekali seumur hidup. “Amanda, Tante Yasmin sendiri yang minta kamu untuk mendampingi Ivan.” Oma meyakinkan. Seketika bimbang melanda. Di satu sisi merasa kasihan dengan Mas Ivan. Tentu saja aku sangat menyayangi saudaraku itu. Juga, ada keluarga yang harus dijaga kehormatannya. Di sisi lain, hati ini sudah mencintai seseorang. Aku menoleh pada dokter muda yang duduk di barisan belakang. Di sisinya ada Alisa. Kuhela nafas, dengan yakin dan mantap menjawab .... “Iya, Amanda bersedia, Oma.” "Ikut Oma!" Aku mengikuti Oma menuju sebuah ruangan dalam gedung besar ini. Ternyata di sana Om Wahyu dan Tante Yasmin sedang berbicara tampak sangat cemas. "Amanda," lirih Tante Yasmin. Aku memeluk Tante Yasmin, mengerti tentang kegundahan hatinya. Mencoba menenangkan, membisikkan semua akan baik-baik saja. Walau sesungguhnya aku tidak mengerti, apa yang sudah terjadi. Aku menoleh ke arah pintu, Mas Ivan baru saja masuk ke dalam ruangan. Wajahnya merah padam, dengan tangan mengepal dan bibir yang mengatup rapat. Terlihat sangat geram. Oma bergegas menghampirinya, berbisik, entah apa yang sedang mereka katakan. Sepertinya bernegosiasi. Mas Ivan menoleh padaku, yang masih menenangkan Tante Yasmin. Kini raut wajahnya sedikit membaik. Tatapan kami bertemu beberapa saat, lalu setelah itu Mas Ivan berbicara pada Oma. Kemudian keluar lagi dari ruangan. Oma berjalan ke arahku, berdiri di hadapan. “Siap-siap, Amanda. Pernikahan akan segera dilangsungkan.” Dengan mantap, dan tanpa keraguan aku mengangguk. Isyarat bahwa aku menyanggupi pernikahan ini. ** Aku yang mengenakan kebaya berwarna hijau gelap, duduk di belakang mempelai laki-laki. Dengan jantung yang berdebar dan keringat yang membasahi telapak tangan. Demi apa pun, aku gugup. Namun, pikiran masih pada perempuan yang posisinya kugantikan saat ini. Tidak menyangka, kalau di balik wajah polosnya, dia ternyata seorang penipu. Perempuan macam apa yang lari dari akad nikahnya? Aku tidak habis pikir. Keputusan ini memang sangat gila. Tamu undangan semakin riuh. Meski akad nikah tetap dilangsungkan. Walau tidak membungkam mulut mereka, tapi pernikahan ini adalah pilihan terbaik. Daripada membubarkan mereka karena acara yang batal, pasti akan lebih memalukan lagi. “Saya terima nikahnya, Amanda Salsabila binti Adrian Bagus, dengan mas kawin tersebut, tunai!” Mas Ivan mengucapkannya dengan sekali tarikan nafas. "Sah!" Dengan berwalikan Om Heru, kini aku sah menjadi seorang istri. Ada rasa haru bersama sesak menyelimuti hati. Harusnya Almarhum Papa yang menjadi wali saat ini. Setetes bulir bening meluncur sesaat aku memejamkan mata. Aku beringsut, duduk menghadap Mas Ivan. Tertunduk, tak berani menatap matanya. Sebab debaran di d**a sangat kencang. Karena berhadapan dengannya, yang kini telah menjadi suamiku. Aku terpaku, lagi gugup. Hingga bingung apa yang harus aku lakukan. Mas Ivan meraih tangan kananku, seperti mengerti kecanggungan yang mendera. Ia memasangkan cincin di jari manis. Tak ayal membuat tangan yang sedari tadi terasa dingin jadi gemetaran. Aku melihat ada lengkung di bibirnya, tapi ... senyumnya hampa. Ia berusaha menutupi luka, yang semua orang di sini pun tahu bahwa ia sedang berpura-pura kuat, berlagak tegar. Padahal sebenarnya dia sangat rapuh, hancur. Kasihan. "Salim dulu, Nak," perintah Pak penghulu. Mas Ivan mengulurkan tangan bersamaan aku yang meraih lalu mencium tangannya, takzim. Blitz menyala berulang kali mengabadikan adegan demi adegan pernikahan yang tak terduga ini. Juru foto meminta Mas Ivan mencium keningku, seperti pasangan pengantin normalnya. Demi kepentingan dokumentasi, begitu katanya. Aku memejamkan mata, saat bibir sepupuku mendarat di kening. Ya Tuhan, dicium sepupu itu kayak ada geli-gelinya gitu. "Maaf, sudah melibatkanmu dalam masalahku," bisik Mas Ivan. Aku hanya mengangguk, lidah mendadak kelu. Membuka mata, aku mempersiapkan diri melewati serangkai acara pernikahan ini. Tak pernah menduga, kalau hari ini aku yang menikah dan menjadi istrinya sepupu sendiri. Takdir Tuhan memang luar biasa. *** Di rumah Oma, aku duduk di ruang tamu berdiskusi dengan keluarga besar. Tak ada kehangatan seperti biasanya. Sangat dingin, khasnya ekspresi orang setelah ditimpa kesialan besar. Yah ... ini bencana, sebab kejadian tadi benar-benar memalukan. Citra keluarga pasti sangat buruk, di sosial media pun sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. "Amanda benar serius, sama pernikahan ini?" tanya Om Wahyu, melihatku. "Mana ada nikah yang main-main, pernikahan mereka sah dan halal menurut syari'at agama," sanggah Om Heru. Hening beberapa saat, hanya hela nafas panjang yang terdengar. "Pernikahan mereka tolong didaftarkan agar sah juga di mata hukum," kata Oma. "Kalau memang serius, pasti akan saya daftarkan, Bu. Tapi takutnya mereka nggak cocok, taulah kalau mereka ini adik dan kakak," kata Om Wahyu lagi. "Jadi apa gunanya mereka dinikahkan, kalau untuk dipisahkan lagi? Beri kesempatan dulu untuk mereka menjalani pernikahan ini. Jangan asal bilang nggak cocok." Lelaki yang jadi waliku itu menyanggah lagi. Masih terus berdiskusi, memikirkan nasib pernikahan ini ke depannya. Hingga kesimpulannya, pernikahanku akan didaftarkan. Untuk memperkuat ikatan, sehingga tak mudah untuk berpisah dikemudian hari. "Aku baru tau, kalau sepupu itu boleh nikah," kata Alisa yang duduk di sisiku pelan. "Nggak kebayang, gimana rasanya dianuin sama Mas sendiri," bisik Mbak Vita pada Alisa. Aku menghela nafas, lalu melihat ke arah Mas Ivan yang juga sedang menatapku. Namun dengan cepat, ia mengalihkan pandangan. Tampak dari gelagatnya ia terpaksa menikahiku. Nasib macam apa yang Engkau takdirkan padaku ini, Ya Tuhan? ** Malam pertama berada di kamar pengantin, dengan taburan mawar di atas kasurnya. Harum bunga menguar, memanjakan penciuman. b******u mesra, saling mencurahkan cinta dan kasih. Impian sepasang pengantin baru, sayangnya hanya sebatas angan. Kenyataannya sekarang aku tidur di kamarku, sendirian, di rumah Oma. Memandangi cincin yang kini menghiasi jari manis, kekecilan pula. Ngenes banget. Pernikahan ini, pasti tak diinginkan oleh Mas Ivan. Makanya aku menolak tawaran Tante Yasmin, pulang bersama mereka. Mencoba memahami keadaan, bahwa aku tidak diinginkan suamiku. Aku menoleh ke arah pintu, yang baru saja dibuka. Ternganga, melihat Mas Ivan yang masuk dan menghempaskan tubuhnya di kasur. Namun, seakan menjaga jarak denganku. Dia tidak canggung sama sekali, berbeda denganku yang seketika berdebar-debar. "Ngapain di sini, Mas? Mau tidur di sini?" "Iya, keberatan?" Aku mengerutkan kening, menatapnya. Mencoba menelisik apa yang ia pikirkan. Tapi nihil, aku tak mendapat apa-apa. “Yakin banget, Mas? Di kamarku nggak ada AC, nggak ada kamar mandi. Cuma ada tuh.” Aku monyong cantik ke arah kipas angin. “Tapi nanti malam dingin, sih. Eh ... selimutnya cuma ada satu.” Mas Ivan berdecak, “minta dulu sama Oma, sana.” “Ya, nggak enak lah, Mas. Apa nggak mikirin gimana sama perasaan Oma? Pengantin baru pakai selimut satu-satu. Ya, seenggaknya kita terlihat baik-baik aja di depan mereka.” Mas Ivan menghela nafas, “hm ... serah deh.” Aku mengamatinya lekat. Saat ini ia berbaring di sisi, tengah memainkan ponsel. Tampak santai, seolah baik-baik saja. Sekuat mungkin lelaki ini menyembunyikan kerapuhannya, semata untuk melindungi harga diri. Harga diri yang sudah dikoyak orang terkasih. Kasian. “Aku tahu ini berat banget buat Mas. Apa Mas, serius sama pernikahan kita?” Mas Ivan hanya memejamkan mata, enggan menjawab. Mungkin sama sepertiku, bingung. "Apa untuk menghargai keluarga aja, kita harus bertahan?" "Anggap aja begitu." Hidup memang sebuah pilihan. Ada kalanya kita memilih mengorbankan diri, demi perasaan banyak orang. Seperti aku dan Mas Ivan, mengabaikan perasaan sendiri, demi menjaga perasaan orang tua. Juga demi martabat dan nama baik keluarga. "Aku bermimpi punya rumah tangga seperti Mama dan Papa, sampai maut memisahkan sekali pun Mama tetap setia." Hening, Mas Ivan menoleh padaku. "Sayang ... aku malah menikah mendadak. Yang sama sekali nggak pernah kuduga sebelumnya.” Aku tersenyum kecut. “Aku nggak yakin, pernikahan ini akan seindah harapanku." Mas Ivan tetap bungkam, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Aku tak mengerti. Aku memandangi cincin di tangan, dengan cepat lelaki itu meraih tanganku. Memutar cincin di sana. "Kekecilan, ya?" "Hu’um, agak sesak, sih." Wajar saja. Mahar pernikahan yang sekarang melingkar di jari manis ini, memang bukan disiapkan untukku. Mas Ivan berusaha melepas cincin dari jari. "Jangan dilepas!" seruku, seraya menarik tangan. "Nanti darah kamu nggak ngalir, mana? Sini’in cincinnya!" Mas Ivan masih meraih tanganku. Namun, aku kembali menariknya, "apapun yang terjadi, jangan dilepas!" Mas Ivan memutar bola mata, "besok aku cari yang pas, sekarang lepas dulu. Mana cincinnya?" "Nggak!" "Amanda," lirihnya. Aku menggeleng. "Kamu gemesin ya, sini deket lagi." Mas Ivan menepuk-nepuk kasur di dekatnya. "Mau ... a-pa?" Seketika aku bergidik, merasa ngeri sendiri. Kutelan ludah susah payah, sambil bergeser hingga di ujung kasur. Mas Ivan tersenyum geli, konyol memang. "Aku suami kamu, mau ngapain aja kamu nggak boleh nolak!” “A-aku belum siap, Mas.” Mas Ivan tertawa pelan, sepertinya ia memang sengaja menggodaku. Pipi ini seketika terasa menghangat, bersama jantung yang degupnya kian menggila saja. Ya ampun, ini benar-benar memalukan. "Mama mau, kamu tinggal di rumah,” kata Mas Ivan seolah mengusir kecanggungan. “Istri itu harus ikut ke mana pun suaminya." Aku hanya mengangguk. Sekuat tenaga bersikap biasa, tapi aku ... mendadak kaku. "Gimana perasaanmu sekarang?" tanya Mas Ivan. "Aneh." Mas Ivan berdehem, tanda ia juga merasakan hal yang sama. "Kita terjebak, untuk menjalaninya sulit, mengakhiri pun nggak enak sama keluarga.” Aku menghela nafas. "Jalani aja. Seiring waktu, cinta datang sendiri karena terbiasa.” Eeaa ... ngomongin cinta sama sepupu. Membuat otak refleks membayangkan, bagaimana kalau nanti hanya aku yang cinta dan dia tidak. Sebab tak akan mudah untuk Mas Ivan melupakan mempelai perempuan yang meninggalkannya. Perasaan yang tak terbalas itu sangat menyedihkan, bukan? "Gimana kalau aku nggak kuat?" "Harus kuat!" "Gimana kalau aku menyerah." "Gampang, tinggal lambaikan tangan ke kamera." "Buuk!" Satu bantal kulempar ke wajahnya. Dia ini, orang lagi serius juga. "Dosa loh, masmu ini sekarang sudah jadi suami kamu.” Ia mengekeh dan itu semakin membuatku kesal. "Nggak lucu, Mas." Aku mendelik melihat Mas Ivan. "Nggak usah galak-galak, ntar cepet tua. Cepet keriput." Asem! Nyebelin banget, memang. Berbalik, aku tidur memunggunginya. Hanya keheningan yang mewarnai kami setelahnya. Mata tertuju pada cincin yang tadi kuperjuangkan, masih terpasang di jari, walau sesak. Bagiku ini sudah menjadi bukti, kalau aku tak mau main-main dengan pernikahan ini. Apalagi namanya kalau bukan takdir? Melamar dan nama undangannya sama perempuan lain, eh, tapi nikahnya sama aku. Takdir memang selucu itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Prince Meet The Princess

read
181.7K
bc

Unpredictable Marriage

read
280.5K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.1K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
75.7K
bc

Broken

read
6.3K
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook