bc

Elegi Cinta Elena

book_age16+
8
FOLLOW
1K
READ
HE
curse
drama
city
addiction
like
intro-logo
Blurb

Koridor Lachin, perbatasan Armenia dan Turki

“God…”

“What the hell I’m doing here?”

Elena sibuk mengucap sumpah serapah sambil terus memaki dirinya dirinya. Saat itu, ia tengah berlindung di salah satu dinding bangunan rumah yang sudah setengah roboh sementara di sekitarnya, ada banyak penduduk lokal yang tengah bergeletakan dengan kondisi tubuh yang mengenaskan. Banyak dari mayat itu bergelempangan dengan anggota badan yang tak lagi utuh dan sempurna. Orangtua, anak-anak, wanita, dan remaja. Semuanya bercampur aduk di sana. Mereka bukan lagi manusia. Melainkan hanya setumpuk onggokan daging tanpa nyawa. Bau anyir darah dan asap mesiu tercium kuat di sana.

Elena tak mampu berbuat apa-apa. Ia pasrah akan nasibnya. Ia pasrah akan hidupnya. Ia pasrah kalau ternyata hari ini akan menjadi hari terakhirnya di muka bumi ini. Dari serangkaian kata-kata kutukan yang ia ucapkan berentetan seperti sebuah mantra, dalam beberapa menit berikutnya, dari mulut yang sama, kata-kata itu berubah menjadi suara isakan dan doa komat-kamit yang terus meratap agar dirinya diberikan kesempatan untuk bisa melihat matahari pagi lagi keesokan harinya dalam keadaan tubuh yang utuh tanpa kurang suatu apapun.

Doa yang sederhana.

Tapi sarat makna…

Terutama untuk dirinya di tengah-tengah suasana yang sangat genting seperti itu.

Bunyi suara tembakan senapan dan desingan peluru terus terdengar dari kiri kanannya. Elena tak lagi bisa duduk. Ia langsung merebahkan dirinya di atas tanah sambil terus menutup kedua telinganya dan kedua matanya rapat-rapat.

Demi apa ya Tuhan…

Ia bisa terjebak di tengah-tengah situasi berbahaya seperti ini. Padahal dari salah satu sumber yang ia percaya, ia mendengar kabar kalau tentara Armenia tidak akan ada di area perbatasan hari ini. Biasanya hanya ada pasukan perdamaian dari UN dan tentara Turki saja yang sibuk berpatroli demi memastikan agar suasana terus terjaga secara kondusif dan aman terkendali.

Entahlah…

Mungkin hari ini ia sedang sial saja.

Sudah hampir dua jam Elena berbaring di atas tanah sambal terus menutup kedua kupingnya tanpa sekalipun ia berani beranjak dari lokasinya sekarang.

Tapi kemudian, telinganya menangkap sebuah bunyi lain. Bunyi desingan yang merobek angkasa dan suara itu terdengar semakin lama semakin dekat ke arahnya.

Raut wajah Elena berubah horror seketika. Mukanya pucat pasi. Ia tahu benar suara apa itu.

Roket misil…

Tuhan…

Tidak…

Ia tak mau mati sekarang. Tidak hari ini. Tidak di tempat ini.

No…

Znggggggg….. nggg….

Selamat tinggal, dunia…

Tepat di saat itu, seseorang menyeret tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa. Tubuhnya didekap dan dipanggul bagai sekarung beras di atas bahu seseorang. Elena tak mampu berpikir apa-apa lagi ketika peluru misil itu mendarat telak di lokasi tempatnya berada tadi…

BUM!!!

DUARRR!!!!

Suara ledakan dan awan debu segera terbentuk.

Tubuh sang penolong dan Elena itu terpental akibat pantulan suara ledakan tersebut.

BAMMM!!!

Tubuh Elena terbanting sukses di atas tanah berbatu cadas. Telinganye berdenging hebat akibat efek ledakan barusan. Sengatan rasa sakit yang luar biasa menyengat badannya.

“Akh…”

Elena meringis. Mencoba untuk duduk. Tapi rasanya sekujur tubuhnya tak lagi patuh pada perintah dari otaknya.

Justru sang penolongnya yang duluan bangkit dan segera menuju ke arahnya dengan raut wajah cemas.

“Bayan, iyi mizinis?”

(Nona, apakah Anda tidak apa-apa?)

chap-preview
Free preview
PROLOG
Koridor Lachin, perbatasan Armenia dan Turki “God…” “What the hell I’m doing here?” Elena sibuk mengucap sumpah serapah sambil terus memaki dirinya dirinya. Saat itu, ia tengah berlindung di salah satu dinding bangunan rumah yang sudah setengah roboh sementara di sekitarnya, ada banyak penduduk lokal yang tengah bergeletakan dengan kondisi tubuh yang mengenaskan. Banyak dari mayat itu bergelempangan dengan anggota badan yang tak lagi utuh dan sempurna. Orangtua, anak-anak, wanita, dan remaja. Semuanya bercampur aduk di sana. Mereka bukan lagi manusia. Melainkan hanya setumpuk onggokan daging tanpa nyawa. Bau anyir darah dan asap mesiu tercium kuat di sana.  Elena tak mampu berbuat apa-apa. Ia pasrah akan nasibnya. Ia pasrah akan hidupnya. Ia pasrah kalau ternyata hari ini akan menjadi hari terakhirnya di muka bumi ini. Dari serangkaian kata-kata kutukan yang ia ucapkan berentetan seperti sebuah mantra, dalam beberapa menit berikutnya, dari mulut yang sama, kata-kata itu berubah menjadi suara isakan dan doa komat-kamit yang terus meratap agar dirinya diberikan kesempatan untuk bisa melihat matahari pagi lagi keesokan harinya dalam keadaan tubuh yang utuh tanpa kurang suatu apapun. Doa yang sederhana. Tapi sarat makna… Terutama untuk dirinya di tengah-tengah suasana yang sangat genting seperti itu. Bunyi suara tembakan senapan dan desingan peluru terus terdengar dari kiri kanannya. Elena tak lagi bisa duduk. Ia langsung merebahkan dirinya di atas tanah sambil terus menutup kedua telinganya dan kedua matanya rapat-rapat. Demi apa ya Tuhan… Ia bisa terjebak di tengah-tengah situasi berbahaya seperti ini. Padahal dari salah satu sumber yang ia percaya, ia mendengar kabar kalau tentara Armenia tidak akan ada di area perbatasan hari ini. Biasanya hanya ada pasukan perdamaian dari UN dan tentara Turki saja yang sibuk berpatroli demi memastikan agar suasana terus terjaga secara kondusif dan aman terkendali. Entahlah… Mungkin hari ini ia sedang sial saja. Sudah hampir dua jam Elena berbaring di atas tanah sambal terus menutup kedua kupingnya tanpa sekalipun ia berani beranjak dari lokasinya sekarang. Tapi kemudian, telinganya menangkap sebuah bunyi lain. Bunyi desingan yang merobek angkasa dan suara itu terdengar semakin lama semakin dekat ke arahnya. Raut wajah Elena berubah horror seketika. Mukanya pucat pasi. Ia tahu benar suara apa itu. Roket misil… Tuhan… Tidak… Ia tak mau mati sekarang. Tidak hari ini. Tidak di tempat ini. No… Znggggggg….. nggg…. Selamat tinggal, dunia… Tepat di saat itu, seseorang menyeret tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa. Tubuhnya didekap dan dipanggul bagai sekarung beras di atas bahu seseorang. Elena tak mampu berpikir apa-apa lagi ketika peluru misil itu mendarat telak di lokasi tempatnya berada tadi… BUM!!! DUARRR!!!! Suara ledakan dan awan debu segera terbentuk. Tubuh sang penolong dan Elena itu terpental akibat pantulan suara ledakan tersebut. BAMMM!!! Tubuh Elena terbanting sukses di atas tanah berbatu cadas. Telinganye berdenging hebat akibat efek ledakan barusan. Sengatan rasa sakit yang luar biasa menyengat badannya. “Akh…” Elena meringis. Mencoba untuk duduk. Tapi rasanya sekujur tubuhnya tak lagi patuh pada perintah dari otaknya. Justru sang penolongnya yang duluan bangkit dan segera menuju ke arahnya dengan raut wajah cemas. “Bayan, iyi mizinis?” (Nona, apakah Anda tidak apa-apa?)

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook