bc

Kangmas Randi

book_age12+
60
FOLLOW
1K
READ
HE
time-travel
second chance
drama
straight
ambitious
lucky dog
swordsman/swordswoman
realistic earth
like
intro-logo
Blurb

INNOVEL WRITING CONTEST - THE NEXT BIG NAME

Randi tidak pernah berpikir akan menjadi tulang punggung keluarga saat usianya masih muda. Berbagai lika-liku kehidupan yang menantang demi kebahagiaan Emak dan Eliza dijalaninya.

Keinginan membahagiakan orang tercinta bagaikan air s**u dibalas air tuba. Cobaan terus mendatangi Randi dari Eliza, sang adik yang berbelok ke arah negatif.

Perlakuan tidak pantas didapatkan saat Randi bekerja. Mampukah Randi melewati semua cobaan yang menerpanya? Apakah Randi akan merubah keadaan menjadi semakin buruk atau sebaliknya?

chap-preview
Free preview
Bab 1 Kebersamaan Keluarga
Randi Syahreza, bayi laki-laki yang terlahir 21 tahun yang lalu kini telah tumbuh menjadi dewasa. Nama yang begitu indah dengan berbagai harapan, Randi memiliki arti pelindung keluarga, Syahreza diartikan laki-laki yang penuh kasih sayang. Orang tuanya berharap menjadi anak laki-laki yang selalu melindungi keluarga dengan penuh kasih sayang, sesuai dengan arti namanya. Randi, begitu orang tua dan teman-temannya memanggil. Terlahir sebagai anak pertama laki-laki membuat Randi memiliki tanggung jawab besar terhadap keluarga, terutama untuk melindungi emak dan adik perempuannya, walaupun waktu itu bapaknya masih hidup. Dia percaya hubungan darah tidak akan pernah terputus sampai kapan pun, tetapi pasangan bisa terputus. Itulah yang membuat Randi selalu menjaga perasaan perempuan-perempuan tercinta supaya tidak terluka, selalu menyembuhkan ketika mereka terluka. Ketika bapaknya berpindah alam, Randi tidak kaget ketika harus menjaga dua perempuan yang dititipkan sang bapak pada dirinya. Walaupun situasi telah berubah, dahulu dia melindungi keluarga bersama laki-laki yang membuatnya ada di dunia, tetapi sekarang harus sendiri. Ahad pagi Randi berjalan ke arah dapur. Sampai di dapur dia hanya berhenti memandangi kompor yang masih anteng, seperti belum disentuh sama sekali. Sosok Hartanti, Emak Randi yang biasa berdiri di depan kompor tidak didapatkannya. Soblok penanak nasi masih bersih, wajan penggoreng belum terlumuri minyak, ceret perebus air belum terhuni air hangat, panci sayur masih tergelantung nyaman, dapur ternodai bau bumbu masak. Bergegas mendatangi emaknya di kamar dilakukan Randi. Pintu mempertemukan seorang anak dan Emak. “Baru bangun, Mak!” Hartanti membenahi rambutnya yang digelung. “Sudah dari tadi.” “Tidak seperti biasa, Mak betah di kamar,” ujar Randi. “Mak lagi pusing. Jadi tidur lagi.” “Panjenengan istirahat saja, Mak. Biar Randi rebus air untuk minum.” “Cuman mumet. Emak bisa ngerjain pekerjaan rumah.” Hartanti melangkahkan kaki perlahan-lahan meninggalkan putranya. Hanya mengamati sang Emak dilakukan Randi. Pengamatan seorang anak terhadap emaknya tidak berhenti sampai wanita itu memasuki dapur. Tidak tinggal diam membuat Randi bergegas menuju ke dapur. Ceret dibawa Hartanti untuk diisi air, Randi merebut bawaan emaknya. “Biarkan aku saja! Emak tunggu sini aja!” Hartanti mengangguk sambil tersenyum kepada anak laki-lakinya. Pusing masih melanda, tetapi dia tidak mau terlihat lemah di hadapan anak-anaknya. Tidak lama kemudian, Randi membawa ceret berisi air mentah untuk di rebus. Membantu tidak tanggung-tanggung dilakukannya, dari menangkringkan di atas kompor sembari menyalakan. Tempe di rak diambil Hartanti, tetapi direbut Randi. “Ini tempenya mau di masak apa?” “Kamu kan suka tempe goreng,” ujar Hartanti. “Oke. Digoreng ya, Mak.” Tiga menit kemudian …. Eliza, adik Randi menuju ke dapur dengan rambut acak-acakan. Matanya yang masih terlalu sipit memandang ke seluruh sudut dapur. Gadis remaja itu melihat emaknya yang tengah mengiris kangkung dan irisan tempe direndam air garam. Tempe rendaman menjadi sasaran utama Eliza. Dia berjalan dan mengambil posisi di samping kakaknya yang sedang menyiapkan bumbu cah kangkung. Dia memasukkan minyak goreng ke dalam wajan basah. “Yang goreng tempe aku aja,” ujar Eliza. Randi dan Hartanti mengamati tingkah Eliza yang berbeda dari hari biasa. Wajan yang sudah terisi minyak membuat Eliza menyalakan kompor. Duerr … dueeerrrr … duuuuueeeeerrrrr …. Eliza meminta perlindungan kakaknya dengan rasa takut. Randi menghentikan aktivitas yang tengah dikerjakan. Letupan tidak ujung berhenti membuat tangan Randi terkena imbas percekcokan air dan minyak. “Panas,” teriak Randi. Hartanti langsung memandangi anaknya. Dia berbicara dengan nada langsung tinggi, “Bisa-bisanya buat suara. Untung gak kena mata, coba kalau mata.” Randi meniup-niup tangan yang terbakar sembari mengecilkan kompor perlahan agar letupan semakin kecil. “Gak usah ke dapur aja, kalau Cuma mau buat rusuh,” kata Hartanti sambil melototkan mata ke arah putrinya. “El gak tahu kalau kalau bakal meletup kayak gini,” kata Eliza dengan rasa bersalah. “Minyak kamu campur sama air biar apa? Biar ngirit! Mikir!” Eliza hanya bisa membisu sambil menggigit jari, dia merasa sudah berada dalam posisi tersudut. Randi tidak tega ketika adiknya mendapat perlakuan kurang pantas dari emaknya karena Eliza tidak seratus persen bersalah. “Yang salah Randi, Mak. Bukan El.” “Emang kamu ngapain?” tanya Hartanti dengan sinis. “Randi gak sengaja numpahin air di atas wajan, niatnya mau aku keringin dulu, baru digunakan. Tapi sudah dimasuki minyak sama El, ya sudah,” jelas Randi. Letupan sudah berhenti. Randi memasukkan tempe ke dalam wajan. “Anak gak pernah ke dapur jadinya gitu, gak tahu bahaya.” “Suatu kesalahan kecil yang dianggap sepele akan berujung besar, seperti halnya percampuran minyak dan air dalam wajan di atas perapian. Semua akan reda setelah ledakan-ledakan mengerikan terjadi,” ujar Randi. “Jangan dipermasalahkan kayak gitulah, Mak! Kasihan El,” imbuhnya. Mendapat pembelaan dari sang kakak membuat Eliza merasa terlindungi dari omelan emaknya. Memilih meninggalkan dapur dilakukan El supaya tidak mendengar omelan. “Mas, lanjutin ya! El tinggal dulu,” ujar Eliza sambil melangkahkan kaki. “Anak gak becus dibela terus. Ujung-ujungnya pergi kan! Kamu itu sama kayak bapakmu, Ndi,” omel Hartanti. Eliza tidak peduli celotehan emaknya, gadis itu tetap keluar dari dapur. Dapur tinggal di huni dua manusia. Tidak mau pagi dihiasi keramaian suara manusia membuat Randi tidak membalas omongan emaknya. *** Ibadah isya’ telah usai. Eliza nangkring di depan layar televisi. Dia tidak mau ketinggalan episode sinetron kesayangan, bak ada penyesalan jika tidak menonton. Randi menghampiri adiknya yang tengah fokus dengan tontonan yang dia sendiri tidak tahu alur ceritanya. Ikut menonton walaupun gak nyambung dilakukan Randi dengan dalih sebagai hiburan saja, bukan konsumsi harian. Layar televisi menampilkan iklan. Mengajak bicara sang adik dilakukan Randi. “Asyik ya sinetronnya!” “Kalau gak asyik El gak bakal nontonlah, Mas.” “Ini kan sekedar hiburan, yang wajib udah dilakukan belum!” “El selalu sholat dulu baru nonton, Mas,” kata Eliza sambil melemparkan pandangan ke arah kakaknya. “Maksud mas bukan itu.” “Terus apa?” Randi mengambil buku Eliza yang diletakkan di atas kursi tempatnya duduk. Dia membawa buku sambil menunjukkan ke arah adiknya. Eliza menarik napas sejenak. “Tadi El bawa buku ke sini mau lihat ada PR apa gak. Dan udah dicek gak ada.” “Apakah belajar harus melulu tentang PR?” tanya Randi. Hiburannya merasa terganggu membuat Eliza kesal dengan kakaknya, walaupun tayangan masih menampilkan iklan. Memilih diam dan pura-pura sibuk dengan layar kaca dilakukan Eliza. “Belajar karena ingin mendapat pengakuan dari orang lain akan terpaksa dan hasil belum tentu maksimal,” ujar Randi sambil menatap sang adik yang tidak memberikan feedback. “Seperti belajar ketika ada PR, mau mengerjakan karena guru memberikan tugas dan terkadang cuman berlandaskan yang penting mengerjakan. Beda dengan belajar karena kemauan sendiri, pasti menguasai materi lebih menangkap,” imbuh Randi. “Emak aja gak pernah kek gini sama aku. Kenapa Mas Randi malah cerewet?” “Emak sama mas beda, jangan pernah samakan hal ini!” “Iihhh ….” Eliza mematikan televisi dengan kasar. Kakinya meninggalkan sang kakak yang masih terduduk santai di kursi depan. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Revenge

read
15.0K
bc

BELENGGU

read
64.4K
bc

After That Night

read
8.3K
bc

Hasrat Istri simpanan

read
7.2K
bc

The CEO's Little Wife

read
626.5K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
53.1K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook