bc

Marry 1 Get 1 Free (BAHASA INDONESIA)

book_age16+
1.4K
FOLLOW
11.6K
READ
love-triangle
powerful
brave
confident
boss
drama
sweet
heavy
like
intro-logo
Blurb

Kamania Ditya merasa bahwa seumur hidupnya ia tidak pernah pernah diberikan waktu untuk menghirup nafas kelegaan yang jauh dari rasa khawatir dan juga masalah. Besar dari keluarga yang retak tidak berbentuk membuat gadis yang lebih akrab dipanggil Nia itu tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Saat orang lain mengeluh tentang masalahnya, Nia merasa masalahnya sudah jauh lebih besar dan ia sudah lebih dulu melewatinya. Ibunya masuk rumah sakit jiwa sedangkan ayahnya sibuk minum-minum dan berjudi meninggalkan hutang sana sini yang harus dibayar oleh Nia dengan bekerja banting tulang. Hingga suatu ketika, Nia mendapatkan pekerjaan bergaji sangat fantastis. Cukup untuk membayar hutang ayahnya atau sebagai berjaga-jaga jika ayahnya berhutang lagi. Awalnya ia pikir ia akan bekerja di kantoran karena lulusan akuntansi, tapi pekerjaannya sungguh jauh melenceng dari jurusannya. Duda beranak satu nan tampan yang memberi penawaran pada Nia itu benar-benar membuat Nia tidak habis pikir. Haruskah Nia menerimanya?

chap-preview
Free preview
Kamania Ditya
Kamar berukuran tidak terlalu besar itu terdengar cukup sunyi meskipun sang pemilik kamar belum terlelap. Sesekali keheningan itu dipecahkan dengan suara buku yang dibolak balik. Setiap membalikkan buku, terdengar pula suara helaan nafas panjang yang terkesan berat seolah yang dibaca tidak sesuai keinginan dan memberatkan hati. Rician tagihan bulan ini benar-benar membuat gadis yang tengah duduk di depan meja belajar usang sejak semasa sekolah menengah pertamanya itu memijat pelipisnya pelan. Kamania Ditya atau yang lebih akrab dipanggil Nia itu merasa bulan ini jauh lebih berat dari bulan-bulan sebelumnya. Meskipun sudah terbiasa dan memiliki prinsip bahwa 'selalulah bersiap sebab hari ini akan terasa lebih berat dari hari-hari yang lalu' namun tetap saja membuatnya kualahan. "Kak..." mendengar pintu kamarnya terbuka membuat Nia langsung menoleh ke belakang, menatap seseorang yang tengah berada di ambang pintu. Itu Windi, adiknya.  "Kakak belum tidur?"  "Belum. Kamu kenapa belum tidur?" perlahan Windi memasuki kamar kakaknya. Langkahnya gontai terkesan tidak bersemangat. Dari situ saja Nia sudah bisa menyimpulkan bahwa ada yang tidak beres. "Kakak ada lebihan uang gak?" tanyanya pelan seolah ragu-ragu. "Buat apa?" "Besok hari terakhir tagihan buku, mungkin kakak lupa." Nia memejamkan matanya sembari menghembuskan nafas kasar. Benar saja, ia memang lupa akan hal itu. Harusnya ia sudah menyiapkannya jauh-jauh hari. "Ada kok." Nia mengambil beberapa lembar uang di dalam dompetnya, ia ingat berapa jumlah yang dibutuhkan kemudian memberikannya pada adik semata wayangnya itu. "Makasih ya Kak." Berbeda dengan wajahnya saat masuk tadi, kini wajahnya terlihat sangat sumringah saat uang yang ia butuhkan ada di tangannya. Nia ikut tersenyum, satu-satunya hal baik yang bisa ia lihat hari ini adalah senyuman adiknya itu. "Udah sana tidur." Windi mengangguk patuh kemudian berlalu keluar kamar. Nia memperhatikan adiknya hingga pintu kamarnya kembali tertutup. Sepertinya ia harus mengurungkan niatnya untuk memperbaiki ponselnya yang rusak bulan ini. Sejujurnya uang itu sengaja ia pisahkan untuk memperbaiki ponselnya yang rusak sejak seminggu yang lalu. Disaat-saat sedang sibuk melamar pekerjaan seperti ini harusnya ponselnya selalu siap sedia, namun terkadang tidak bisa digunakan.  Nia kembali membuka dompetnya dan menghitung ulang uang yang tersisa. Untungnya masih cukup untuk membayar hutang ayahnya besok. Memikirkan tentang ayahnya membuat Nia lagi-lagi harus menghela nafas panjang. Disaat kehidupan ekonomi keluarga semakin sulit seperti ini, ayahnya sama sekali tidak berniat untuk membantunya, ia malah selalu sibuk minum-minum, berjudi dan berhutang sana sini. Entah kapan ayahnya akan berubah dan membuat Nia maupun adiknya bisa merasakan sosok figure ayah yang sesungguhnya. Jujur saja, bisa dikatakan Nia belum pernah merasakannya bahkan sejak lahir. Bagi Nia bahkan kehidupan seperti ini sudah sangat normal dalam hidupnya.  Nia menutup buku yang tadi ia buka kemudian beranjak menuju ranjangnya untuk membaringkan tubuh dan beristirahat sejenak. Hanya saat tidur otaknya berhenti berpikir meskipun terkadang dihiasi mimpi yang tidak kalah buruknya dengan kehidupan nyatanya. Nia memejamkan matanya, pikirannya melayang merasa penasaran masalah apa lagi kira-kira yang akan datang besok. Sejujurnya ia tidak sabar menantikannya. Nia yakin seberat apapun itu, akan bisa ia lewati. *** "Maaf ya Dok, saya belum bisa ganti uang Dokter. Sampai sekarang saya masih belum punya kerjaan." Nia merasa sangat tidak enak untuk mengatakannya, namun mau bagaimana lagi, ia benar-benar tidak memiliki uang lebih saat ini untuk mengganti uang dokter yang selama ini menangani ibunya di rumah sakit jiwa yang ia tempati. Sejujurnya mengingat bagaimana keadaan ekonomi keluarganya membuat Nia merasa tidak sanggup membiarkan ibunya untuk dirawat di rumah sakit jiwa, namun keadaan ibunya belakangan ini tidak begitu baik. Ia kerap mengamuk dengan emosi yang tidak bisa dikontrol.  "Gak papa Nia, saya paham. Lagi pula saya udah bilangkan kamu bisa bayar kapan aja." Dokter Hani sangat baik hingga membuat Nia tersentuh. Ia selalu bersyukur karena kerap dipertemukan dengan orang-orang baik untuk membantu hidupnya. "Terima kasih banyak ya Dok. Saya tau obat untuk ibu saya yang dokter kasih adalah yang terbaik. Keadaannya semakin membaik sekarang." Hani tersenyum tulus menatap Nia. Hani tau banyak bagaimana keadaan Nia dan ia benar-benar salut pada gadis tangguh itu. Nia d matanya ada seorang gadis cantik dengan penampilan sederhana sekali namun memiliki aura luar biasa yang membuat orang-orang di sekitarnya bisa begitu nyaman dengannya. "Apa kamu jadi membawa ibu kamu untuk kembali ke kampung?" Nia terdiam sejenak namun sesaat kemudian ia mengangguk. Ia sudah memikirkan hal ini dengan sangat matang. "Kebetulan bibi saya juga sudah setuju untuk menemani ibu di kampung Dok. Apalagi kata dokter keadaan ibu saya sudah semakin membaik dan hanya perlu rutin minum obat. Kalau bisa saya mau bawa ibu ke kampung besok. Kebetulan ayah lagi pergi ke luar kota ikut temannya jadi ayah gak bakal tau kalau ibu dibawa ke kampung." Hani mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Ia sudah sempat mendengar rencana Nia itu sebelumnya dan ia rasa bahwa keputusan Nia itu sudah tepat. "Baiklah kalau begitu. Semoga semuanya lebih baik setelah ini," ucap Hani tersenyum tulus membuat Nia ikut tersenyum manis. "Oh iya Nia. Kalau kamu masih belum menemukan pekerjaan juga, mungkin kamu bisa coba di tempat ini." Hani mengeluarkan sebuah kartu perusahaan dari tasnya yang memang sudah ia siapkan untuk Nia. Nia adalah lulusan akuntansi dengan nilai yang sangat bagus, ia juga sebelumnya sudah memiliki pengalaman bekerja sebelum berhenti di pekerjaannya sebelumnya. Jadi tidak ada salahnya jika ia kembali mencoba. "Wah makasih banyak ya Dok." Nia benar-benar tersentuh. Hani seolah tidak sudah-sudah untuk membantunya. Hani lagi-lagi hanya tersenyum. Usai berbincang dengan dokter yang menangani ibunya, Nia pun bergegas untuk menemui ibunya sebelum ia harus pergi untuk mengikuti wawancara dengan salah satu perusahaan yang sudah mempertimbangankan lamarannya. Nia berharap kali ini ia tidak gagal lagi seperti sebelum-sebelumnya. Nia berjalan menyusuri koridor menuju tempat dimana ibunya berada. Menurut infomasi dari perawat, saat ini sedang jadwalnya pasien untuk menyulam. Banyak kegiatan yang sebenarnya merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan ditempat ini.  "Ibu..." panggil Nia. Karena suara yang familiar di telinga membuat wanita paruh baya yang tadinya sedang sibuk menyulam mengalihkan pandangannya dan menatap Nia. Senyum hangatnya langsung terukir melihat putrinya datang. Nia membawa ibunya untuk duduk dibawah pohon yang rindang. Karena kondisi ibunya tidak begitu parah, ia bisa berkeliaran di taman tanpa pengawasan. "Kamu rapi banget, mau kemana?" tanya Anita, ibu Nia saat memperhatikan putri sulungnya itu berpakaian rapi. Nia tersenyum mendengar pertanyaannya. Ternyata dokter Hani bersungguh-sungguh saat mengatakan bahwa keadaan ibunya sudah jauh lebih baik. Ia sudah bisa diajak berkomunikasi seperti biasanya. "Ada wawancara kerja Bu, doain Nia ya biar dapat pekerjaan ini."  "Pasti Ibu doain." "Bu..." Nia menggenggam jemari-jemari tangan ibunya yang terasa ringkih termakan usia. Sebenarnya umurnya tidak begitu tua, namun badannya sangat kurus membuatnya terkesan jauh lebih tua. "Besok kita ke Jogja ya. Ibuk tinggal disana dulu sama bibi."  "Kenapa? ibukan mau sama Nia, sama Windi." "Sementara aja Bu, sampai Ibu benar-benar sehat." "Ibu harus selalu sama Nia dan Windi. Ibu gak mau laki-laki itu nyakitin anak-anak Ibu. Dia bukan orang baik, dia brengsekk." Tubuh Anita mendadak bergetar ketakutan membuat Nia langsung memeluknya untuk menenangkannya. "Gak papa Bu, aku bakal jagain Windi. Aku gak mau Ibu kenapa-kenapa lagi. Udah cukup ya Bu. Aku mohon Ibu nurut sama aku. Ini semua demi kebaikan kita semua Bu." Anita tidak menjawab, hanya terdengar suara tangisnya saja. Nia mengelus punggungnya menenangkan. Nia sudah menduga tidak akan mudah untuk menjelaskan hal ini pada ibunya. Namun inilah yang terbaik versi Nia. Meskipun tidak bisa menjamin apakah ke depannya akan menjadi lebih mudah atau tidak, setidaknya selalu ada usaha yang Nia lakukan. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook