bc

The Mystery of Ernesto Resort

book_age18+
500
FOLLOW
2.1K
READ
sadistic
CEO
tragedy
bxg
mystery
monster
small town
horror
office lady
like
intro-logo
Blurb

Nana Athalia mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan besar untuk menjadi perancang resort mewah yang akan dibangun di daerah cukup terpencil. Awalnya ingin menolak namun karena desakan dari salah satu sahabatnya, dia pun akhirnya menerima. Tanpa dia ketahui pekerjaan barunya ini akan membuat dirinya terlibat dengan makhluk buas yang lebih berbahaya dari musuhnya yang lalu. Sesosok makhluk yang tidak pernah membiarkan mangsanya lepas karena tak suka wilayah kekuasaannya dijamah manusia.

Kisah hidup Nana semakin rumit saat asmaranya pun ikut membingungkan karena harus terlibat cinta segitiga dengan dua CEO tampan, Araya Addison Dan Rex Ernesto. Antara cinta lama dan cinta baru. Siapakah yang harus dia pilih?

Cerita ini merupakan sequel dari 'THE MYSTERY OF MY BOSS WIFE', dianjurkan untuk membaca cerita sebelumnya untuk pengenalan tokoh-tokohnya.

chap-preview
Free preview
BAB 1
LOMBOK, INDONESIA  Satu demi satu pohon yang menjulang tinggi itu ditumbangkan. Berbagai peralatan berat seperti forest harvester dan delimber digunakan untuk menumbangkan pohon-pohon besar. Terlihat beberapa Bulldozer digunakan untuk mengangkat bebatuan yang menancap keras pada tanah serta menggemburkan tanah yang nantinya akan didirikan sebuah bangunan mewah di sana. Tak lupa para pekerja pun sibuk memotong-motong batang pohon yang telah ditumbangkan menggunakan chainsaw. Suara bising khas konstruksi menjadi satu-satunya yang terdengar di area tersebut. Area itu awalnya sebuah hutan belantara dengan luas tanah sekitar 200 hektar yang rencananya akan dibangun sebuah resort mewah oleh sebuah perusahaan bernama Ernesto Group. Tepat di belakang hutan, berdiri kokoh sebuah gunung non aktif yang katanya menyimpan kisah mistis menurut penuturan penduduk sekitar. Mereka percaya gunung tersebut dihuni makhluk buas dan menyeramkan yang sangat membenci area di sekitarnya dijamah manusia.  Di tengah-tengah kesibukan para pekerja, tampak seorang pria berperawakan kurus tapi cukup berotot berusia 25 tahunan, tengah fokus memotong sebuah batang pohon dengan menggunakan chainsaw. Dia memilih mengerjakan area yang cukup sepi, berjauhan dengan pekerja lain. Suara bising yang berasal dari alat-alat berat mengusik konsentrasinya, jadilah dia memilih untuk melanjutkan pekerjaan di area yang cukup jauh dari peralatan berat itu berada.  Dia tampak teliti mengerjakan tugasnya, tak ingin sedikit pun melakukan kesalahan yang mungkin saja akan mencelakai dirinya sendiri. Dia mematikan mesin chainsaw begitu batang pohon telah selesai dia potong. Menyeka keringat yang bercucuran dari pelipis dengan punggung tangan. Dia hirup oksigen sebanyak-banyaknya sekaligus berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang sempat terengah.  GGGRRRR Si pria mematung di tempat, meneguk saliva dengan susah payah saat meyakini telinganya baru saja menangkap suara menyerupai geraman hewan buas. Cepat-cepat dia membalik badan, memicingkan kedua mata menatap area hutan dimana pohon-pohon di sana belum ada satu pun yang ditebang. Hutan itu tampak gelap gulita, cahaya matahari tidak bisa masuk ke dalam karena terhalangi rimbunnya dedaunan. Pohon-pohon di sana sangat besar, tinggi dan berdaun lebat. Si pria menggulirkan bola mata ke sekeliling hutan yang berada tepat di depannya. Memasang telinga setajam mungkin mengantisipasi suara geraman tadi kembali terdengar, “Huuh, kayaknya salah denger,” gumamnya, dikala meyakini suara itu tak lagi dia dengar. Atau mungkin suara tadi murni halusinasinya semata. Dia pun kembali berbalik badan, menatap sejenak pada hasil pekerjaannya dan memutuskan untuk melanjutkan. Dia akan kembali memotong-motong batang pohon yang belum dipotongnya.  GGGRRRR Sang pria kembali mematung, suara geraman itu terdengar lebih kencang dari sebelumnya seolah entah makhluk apa pun yang menjadi pemilik suara itu, tengah berdiri tak jauh darinya. Rasa penasaran membuatnya ingin kembali membalik badan dan menatap lagi ke arah hutan, memastikan sekali lagi makhluk apa yang memiliki suara geraman semengerikan itu. Namun, saat embusan angin dari dalam hutan membuat bulu kuduknya seketika meremang, nyalinya pun menciut entah kemana. Dia lemparkan chainsaw di tangan, berlari sekencang yang dia bisa menuju rekan-rekannya berada. Kini dia yakin ada hewan buas di dalam hutan yang kapan pun bisa menerkamnya jika tak cepat-cepat pergi dari sana.  Malamnya, semua pekerja beristirahat di tenda yang didirikan di luar area konstruksi. Hutan yang menjadi area konstruksi tepat berada di belakang tenda. Beberapa dari mereka memilih untuk tidur saat perut telah selesai diisi. Tubuh lelah mereka sudah saatnya diistirahatkan karena besok pagi mereka harus kembali melanjutkan pekerjaan. Meskipun ada beberapa pula yang memilih berkumpul bersama untuk menghilangkan penat, seperti yang dilakukan ketiga pria ini. Mereka tengah mengelilingi perapian yang sengaja dibuat untuk menghangatkan tubuh mereka yang kedinginan karena angin malam yang tak hentinya berembus. Suara lolongan anjing liar yang tak berhenti bersahutan menambah suasana mencekam di sekitar tenda. Mereka tak merasa takut sedikit pun, sudah terbiasa dengan suasana mencekam ini mengingat sudah lebih dari satu minggu bekerja di area tersebut.  “Kamu kenapa sih melamun terus?” tanya seorang pria memakai topi, pada pria kurus yang duduk di sampingnya. Sejak tadi si pria kurus itu memang tak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Dia tiada henti memeluk dirinya sendiri seolah ada masalah berat yang tengah menimpanya. “Hei, kamu kenapa?” tanya pria bertopi itu lagi, seraya menyenggol rusuk si pria kurus. “Jangan-jangan dia kesurupan.” Pria yang duduk berseberangan dengan mereka, ikut menimpali. Pria itu tengah asyik menyantap mie instan cup tanpa tertarik menawari dua orang yang duduk di hadapannya. “Hush, jangan ngomong sembarangan.” “Habis lihat aja, dari tadi dia kayak gitu terus. Tempat kayak gini kan pasti banyak setannya.” “Woii, jangan melamun terus, kalau beneran kesurupan bisa berabe. Di sini gak ada paranormal.” Si pria bertopi menendang kaki si pria kurus cukup kencang, mau tak mau dia mulai mempercayai perkataan rekannya tadi yang mengatakan bahwa pria kurus itu kesurupan. “Aku ngalamin kejadian serem tadi siang.” Si pria kurus akhirnya bersuara. Dia pandangi kedua rekannya serius, mengundang kernyitan bingung dari kedua rekannya itu. “Kejadian serem gimana maksudnya?” Pria yang tengah menyantap mie instan cup itu memilih meletakan makanannya, ekspresi yang ditujukan si pria kurus tampak serius, menarik minatnya untuk mendengarkan kelanjutan cerita. “Tadi siang, aku motong-motong batang pohon di area sepi, tepat di depan hutan yang belum dikerjain,” Kedua rekannya mengangguk bersamaan. “Aku denger suara geraman gitu dari dalam hutan. Kayak geraman hewan buas. Serem banget, suaranya kenceng banget. Udah gitu tiba-tiba angin berembus dari arah hutan, anginnya bikin merinding.” Kedua rekannya saling berpandangan sebelum akhirnya mereka tertawa dengan serempak. “Ah, itu kamunya aja yang penakut. Kalau masalah hewan buas wajar aja ada, namanya juga di hutan belantara. Makanya lain kali kerja tuh bareng-bareng, jangan suka menyendiri. Jadinya gini kan, kamu ngalamin kejadian serem?” sahut si pria bertopi, di sela-sela tawanya. “Emangnya kalian nggak ngerasa tempat ini angker? Apa lagi gunung itu.” Si pria kurus menunjuk ke arah gunung tinggi yang berdiri kokoh tak jauh dari hutan. Kedua rekannya refleks menatap ke arah gunung. “Namanya juga gunung, ya seremlah kalau dilihat malam-malam gini.” Merasa pembicaraan mereka tak penting, pria berperawakan tinggi besar itu kembali melanjutkan menyantap mie instan yang belum dia habiskan. “Aku denger dari warga sekitar, di gunung itu ada penghuninya. Dia pasti turun gunung kalau wilayah ini dijamah manusia. Katanya sih dia benci areanya diganggu manusia apalagi suara berisik dari konstruksi. Gimana kalau suara geraman yang aku denger tadi itu bukan suara hewan buas, tapi suara makhluk penghuni gunung itu?” Kedua rekannya kembali saling berpandangan. Untuk kedua kalinya tertawa serempak karena cerita si pria kurus yang menurut mereka terdengar konyol. “Alaah, masih aja percaya sama cerita takhayul kayak begitu. Udah sana, mendingan kamu ngambil kayu kering deh. Lihat tuh, apinya mau mati.” Si pria bertopi menimpali, mulai gemas sendiri dengan sifat rekannya yang ternyata seorang pengecut. “Kok aku yang harus ngambil kayunya, udah tahu aku lagi takut begini?” “Justru itu supaya kamu gak takut lagi, kamu pergi sana nyari kayu kering. Lagian dari tadi kamu duduk bengong di situ, gak pegel apa tuh p****t?” Si pria kurus menatap bergantian kedua rekannya yang kini tengah menertawakannya lagi, seolah dirinya yang tengah ketakutan menjadi hiburan tersendiri untuk mereka. “Udah sana, nanti aku kasih mie instan deh pas kamu balik ke sini,” ujar pria yang kini telah menghabiskan mie miliknya.  Mulai muak dengan kedua rekannya yang tak berhenti menertawakannya, si pria kurus pun bangun dari duduknya. Dengan gontai berjalan menuju area konstruksi karena hanya di sanalah kemungkinan akan menemukan kayu kering untuk dijadikan kayu bakar. Dengan langkah gontai disertai jantung yang berdetak cepat, dia semakin melangkah jauh meninggalkan tenda. Area konstruksi dipasangi beberapa lampu, sedikit membuatnya lega karena dengan cahaya lampu itu, dia bisa melihat sekeliling. Dia menunduk menatap ke bawah, mencari kayu berukuran kecil yang pas untuk dijadikan kayu bakar. Berdecak beberapa kali saat tak kunjung menemukan kayu yang dicarinya. Ukuran kayu-kayu yang bergeletakan di tanah masih cukup besar, mustahil untuk dijadikan kayu bakar. Saat tanpa sengaja ekor matanya melihat beberapa ranting bergeletakan beberapa meter di depan, tanpa sadar senyuman lebar terbit di wajahnya. Seolah rasa senangnya mengalahkan ketakutan yang sejak tadi siang dia rasakan, dia pun berlari menuju ranting-ranting itu berada. Memungutnya satu per satu dengan senyuman kecil yang masih terulas di bibir, akan dia buktikan pada kedua rekannya tadi bahwa dia bukanlah seorang pengecut.  GGGGRRRRR Senyuman itu luntur seketika dan ranting-ranting di tangannya berjatuhan tanpa dia sadari saat mendengar suara geraman yang sama persis seperti yang didengarnya tadi siang. Suara itu terdengar kencang sekali seolah makhluk itu berdiri tepat di belakangnya. Peluh sebiji jagung, satu demi satu meluncur mulus dari pelipis pria itu. Kedua matanya membulat dengan napas yang mulai memburu. Dengan gerakan perlahan, dia membalik badan. Harus dia pastikan makhluk apa yang diyakininya memang sedang berdiri di belakang. Makhluk itu luar biasa menyeramkan. Makhluk yang lebih pantas disebut monster dengan gigi taring yang mencuat keluar. Kulit yang kemerahan layaknya terbakar api. Tubuhnya kurus hingga tulang-tulangnya menonjol keluar, badannya tinggi namun bungkuk. Kini makhluk itu tengah menyeringai pada si pria kurus. Cakar-cakarnya saling bergemeretak saat monster itu menggerakannya seolah kapan pun siap menerkam mangsanya. Belum sempat si pria berteriak, dengan gerakan sangat cepat, makhluk itu menerkamnya. Seketika si pria jatuh terjengkang. Cakar makhluk itu menancap sempurna di kedua mata pria malang tersebut. Rasa sakit luar biasa dirasakan si pria kurus dikala makhluk itu mencabut cakarnya dan otomatis kedua bola mata yang tertancap di cakarnya, ikut tercabut.  Kraus ... Kraus Suara bola mata yang dikunyah monster itu menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Ingin berteriak, pria kurus itu tak mampu melakukannya karena tangan si monster membekap mulutnya teramat erat. Selesai menyantap bola mata, dengan menggunakan kedua tangannya, makhluk itu mencengkeram kepala si pria kurus. Kedua tangan yang berukuran besar itu membuat kepala manusia seolah tak berarti apa pun baginya. Tangan kanannya mencengkeram bagian atas kepala dan tangan kirinya mencengkeram rahang si pria kurus. Dengan sekali gerakan, makhluk itu memelintir kepala mangsanya secara berlawanan arah. Tengkorak kepala yang bagian atasnya dipelintir ke arah kanan sedangkan bagian bawahnya dipelintir ke arah kiri itu nyaris akan dipisah menjadi dua bagian oleh si makhluk, namun urung karena telinga tajamnya mendengar suara gemerisik dari arah tak jauh darinya. Mengabaikan mangsanya yang telah tewas secara mengenaskan, makhluk itu pun berlari cepat. Masuk kembali ke dalam hutan belantara dan menghilang tanpa meninggalkan jejak.  ***  Seorang pria turun dari mobil mewahnya. Pria muda berusia 27 tahun, memiliki tubuh atletis bukti dirinya gemar berolahraga karena kini otot-ototnya terbentuk sempurna. Pakaian formal yang dikenakannya menjadi penegas bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Pria itu melepaskan kacamata hitam yang sejak tadi menyembunyikan iris kehijauan miliknya. Berpangku tangan dengan angkuh seraya menatap tajam ke arah area konstruksi. Pria itu bernama Rex Ernesto, sang CEO muda Ernesto Group yang bertanggungjawab sepenuhnya atas pembangunan resort di area terpencil tersebut. Pria yang terkenal bertangan dingin dan berotak cerdas karena kemampuannya dalam menutup mulut setiap orang yang menentang keputusannya itu, kini tengah memantau langsung area konstruksi dimana di sanalah resort milik perusahaannya akan segera didirikan. Rex mendengus saat seorang pria paruh baya berlari menghampirinya. Kemudian membungkuk memberikan sapaan formal di pagi hari yang kurang menyenangkan ini. Alasan yang membuat Rex pagi-pagi mendatangi area konstruksi karena berita menggemparkan yang dia dengar semalam dari asistennya. Berita mengenai salah satu pekerjanya yang meninggal secara mengenaskan. “Jadi, dimana mayatnya?” tanyanya, tanpa basa-basi. “Masih di tempat kejadian. Mari Pak, saya tunjukan.” Rex berjalan tegap, mengikuti sang asisten yang berjalan mendahuluinya.   Setibanya di tempat tujuan, bau menyengat seketika menyeruak. Bau bangkai yang berasal dari mayat yang anehnya sudah tercium begitu menyengat padahal baru tewas beberapa jam yang lalu. Semua pekerja yang mengerumuni mayat, langsung menyingkir begitu mengetahui kedatangan sang atasan. Memberi jalan selebar-lebarnya untuk sang CEO muda yang terkenal tegas untuk mendekati mayat. Rex membekap hidung dengan telapak tangan begitu dirinya sudah berdiri tepat di depan mayat. Bukan karena dia takut melihat mayat yang mengenaskan itu, melainkan karena tak tahan dengan bau busuknya. Mayat dengan kedua bola mata yang hilang, kepala terpelintir berlawanan arah sehingga wajah mayat itu mustahil bisa dikenali lagi. Kematian yang sungguh aneh, bagaimana mungkin manusia bisa memelintir kepala manusia lain hingga seperti itu? Jika pun ini ulah hewan buas, rasanya mustahil hewan membunuh dengan cara seperti ini. Akan jauh lebih masuk akal jika mayatnya dimakan, tapi melihat tubuh mayat itu masih utuh kecuali matanya, Rex tahu pembunuhnya bukanlah hewan buas biasa.  Tanpa kata, Rex melenggang pergi. Mengundang kernyitan dari asistennya meski sudah terbiasa menghadapi sifat sang atasan yang memang sedikit cuek dengan sekitarnya. “Bagaimana menurut Anda? Apa yang harus kita lakukan dengan mayat itu?” tanya sang asisten bernama Rudi, setelah kini mereka menjauh dari pekerja yang lain. “Bagaimana dengan statusnya? Dia sudah menikah?” Rudi memeriksa beberapa profil pekerja konstruksi yang sudah terberkas menjadi satu file dalam ponselnya guna memberikan jawaban untuk sang atasan, “Namanya Fajar, usia 25 tahun. Dia masih single. Keluarga yang dimilikinya hanya ibu dan seorang adik perempuan. Tempat asalnya dari Cianjur.” Rex menyeringai setelah mendengar profil lengkap dari si mayat, “Hubungi keluarganya. Informasikan pada mereka bahwa Fajar tewas karena diterkam hewan buas. Katakan juga kita langsung menguburkannya di sini karena kondisinya yang sudah tidak utuh lagi,” ucapnya, tenang. “Kita tidak akan melaporkan hal ini pada polisi, Pak? Melihat kondisi jasadnya, sepertinya dia bukan dibunuh hewan buas?” “Memangnya menurutmu ada manusia yang bisa memelintir tengkorak manusia sampai seperti itu?” Rudi membisu seketika. Dia menundukan kepala saat menyadari wajah sang CEO yang memerah menahan kesal. “Melapor pada polisi hanya akan menghambat pekerjaan. Ingat, kita hanya punya waktu satu bulan lagi untuk menyelesaikan pembersihan area ini. Aku ingin pembangunan resort secepatnya bisa dikerjakan.” “Apa kita kirimkan saja jasadnya pada pihak keluarga agar bisa dikuburkan secara layak?” “Ck, jika mereka sampai melapor pada polisi karena kondisi jasadnya yang aneh, apa yang akan kau lakukan untuk menyelesaikan kekacauannya?” Rex menghela napas panjang, menahan kekesalannya, “Lakukan sesukamu, aku tidak mau mendengar alasan apa pun, semua lahan ini harus sudah siap dibangun resort bulan depan!” Mendengar bentakan dari Rex, Rudi meneguk salivanya. “Hm, baiklah, Pak. Saya mengerti. Akan saya lakukan seperti perintah Anda.” “Ya, kuburkan mayat itu secara layak.” “Baik, Pak.” “Jangan lupa kirimkan uang pesangon yang cukup banyak untuk keluarganya sebagai bentuk pertanggungjawaban dari perusahaan.” “Siap, Pak.”   Setelah percakapan itu, Rex melangkah pergi tanpa kata. Rudi berlari guna mengejar sang atasan yang pergi tanpa berpamitan padanya. Padahal masih ada hal lain yang ingin dia sampaikan, “Pak Rex,” panggilnya. Rex menghentikan langkah, “Ada apa lagi?” “Saya ingin melaporkan. Warga sekitar dan tetua daerah ini masih menyuarakan penolakan mereka.” “Alasannya?” “ Masih sama, Pak. Mereka khawatir penunggu gunung akan marah karena kita merusak hutan ini dan mengganggu ketenangannya.” Rudi menundukan pandangan saat Rex menatapnya tajam. Sebelum pria berparas tampan itu menatap lurus ke arah gunung yang berdiri kokoh. Menyeringai setelahnya, tak gentar sedikit pun meski rencana pembangunan resort milik perusahaannya mendapat penolakan keras dari seluruh warga yang menetap di dekat area. “Alasan konyol. Di zaman modern seperti ini masih saja ada orang bar-bar yang percaya takhayul seperti itu. Lakukan apa pun untuk membungkam mulut mereka. Berikan mereka uang, mereka pasti langsung tutup mulut.” “Baik, Pak,” sahut Rudi, tak berani membantah. “Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan rencana besarku mendirikan resort di tempat ini. Kelak mereka akan berterima kasih padaku karena daerah mereka yang terpencil ini akan menjadi pusat wisata di pulau ini. Kita lihat siapa yang akan menang pada akhirnya.” Rudi mengangguk-anggukan kepala, mendukung sepenuhnya rencana bossnya itu. “ Tempat ini sangat strategis untuk dijadikan tempat wisata. Ada pegunungan, hutan karet dan pinus yang bisa dijadikan tempat berkemah. Jarak dengan pantai pun hanya membutuhkan waktu 30 menit. Aku akan mendirikan resort yang akan menjadi surga dunia bagi pengunjung. Lihat saja, jangan sebut namaku Rex Ernesto jika tidak bisa mewujudkan ambisiku ini.” “Iya, Pak. Saya sangat mengakui kemampuan dan kecerdasan Anda.” Rex tersenyum kecil mendengar pujian dari sang asisten. “Oh iya, mengenai kerja sama kita yang di tolak Araya Addison Corporation bagaimana, Pak?” Mendengar nama itu, seketika Rex terdiam. Suasana hatinya selalu berubah buruk jika sudah berurusan dengan nama itu. Nama seseorang yang sangat dia benci bertahun-tahun lamanya. Araya Addison, teman sekaligus Rival abadinya sejak mereka kuliah di universitas yang sama di Jerman. Mereka selalu bersaing dalam hal apa pun, bahkan setelah mereka sama-sama menjadi CEO, persaingan mereka tidak berakhir. Orang-orang mengatakan mereka setara dalam hal kecerdasan maupun kekuasaan. Namun di dalam hatinya, Rex merasa Araya selalu setingkat melebihi dirinya. Seperti saat ini, ketika Araya sudah memiliki perusahaannya sendiri, Rex justru menjadi pemimpin perusahaan keluarga. Dia masih belum mampu mendirikan perusahaan sendiri seperti Araya. Alasan inilah yang membuatnya geram setiap kali nama Araya tertangkap indera pendengarannya. “Aku tidak heran Araya menolak tawaran kita. Lagi pula alasanku menawarkan kerja sama ini karena menginginkan gadis itu, Nana Athalia yang berperan sangat besar dalam pembangunan hotel Araya di Bali. Bukankah gadis itu yang merancang hotel itu?” “Benar, Pak. Saya dengar hotel itu sudah selesai dibangun. Begitu resmi dibuka untuk umum, hotel itu tidak pernah sepi pengunjung. Gadis bernama Nana ini sepertinya memiliki bakat dalam bidang arsitektur. Gadis itu sudah lebih dari satu tahun berhenti menjadi sekretaris Araya.” “Ini kesempatan kita untuk merekrut gadis itu. Aku butuh keahliannya untuk mendesain resort ini nanti. Lagi pula dari yang kudengar, Araya sudah satu tahun berada di Jerman. Dia sedang mendirikan cabang perusahaannya di sana.” “Baik, Pak. Surat panggilan interview untuknya sudah saya siapkan.” “ Berikan padaku surat panggilan itu.” Tanpa ragu, Rudi mengambil sebuah kertas dari dalam tas dan menyerahkannya pada Rex. Dengan teliti Rex membaca surat yang ditujukan atas nama Nana Athalia tersebut. Rudi terenyak saat Rex tiba-tiba mengambil pena yang diselipkan di saku kemejanya tanpa permisi. Lalu menggunakan pena itu untuk menulis sesuatu pada surat tersebut. “Aku mengganti bagian kepala HRD yang tercantum di bagian bawah surat menjadi CEO. Surat itu akan lebih meyakinkan jika pengirimnya seorang pimpinan perusahaannya langsung, bukan?” ucap Rex, yang detik itu juga membuat Rudi melongo. Sebesar itukah Rex Ernesto menginginkan seorang Nana Athalia untuk bergabung di perusahaannya? “Ini, ketik ulang suratnya. Pastikan kau mencantumkan namaku di bagian bawah surat.” “Baik, Pak,” sahut Rudi. Secepatnya menerima surat yang terulur padanya. Rex pun melanjutkan langkah. Namun baru dua langkah, tiba-tiba langkahnya berhenti. Dia kembali berbalik menghadap Rudi, “Oh iya, aku tidak ingin dia tahu bahwa Rex Ernesto itu adalah aku.” Rudi mengernyitkan dahi, tak paham sedikit pun maksud perkataan bossnya itu, “Maksudnya, Pak?” tanyanya, meminta penjelasan. “Aku akan memakai nama samaran di depannya. Aku tidak ingin dia tahu, akulah Rex Ernesto yang sebenarnya.” “Haah? Kenapa harus seperti itu, Pak?” kernyitan di dahi Rudi semakin tercetak jelas. Dia tak mengerti sedikit pun jalan pikiran boss mudanya ini. “Aku sangat mengenal Araya. Dia bukanlah orang ceroboh dan bodoh yang akan melepaskan orang bertalenta seperti Nana. Karena gadis itu dia lepaskan begitu saja padahal berkat gadis itu pula hotel miliknya di Bali menjadi maju sepesat ini, aku yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan hubungan mereka. Aku harus menyelidikinya. Aku harus mencari tahu sendiri orang seperti apa Nana Athalia ini. Sepertinya dia gadis yang menarik.” Rudi pun mengangguk, sedikit banyak mulai memahami pemikiran bossnya. “Akan lebih mudah berbaur dengannya jika dia tidak tahu aku ini bossnya, bukan? Aku akan menyamar sebagai asisten CEO. Pastikan rahasia ini jangan sampai terbongkar sampai tiba saatnya nanti. Kau mengerti?” “S-Siap, Pak.”  Rex pun melanjutkan langkah, kali ini benar-benar pergi. Rudi menyeka keringat yang sejak tadi bermunculan di keningnya. Berbicara dengan sang boss yang terlalu cerdas, terkadang membuatnya lelah.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Over Protective Doctor

read
474.3K
bc

Mafia and Me

read
2.1M
bc

Fake Marriage

read
8.5K
bc

My Husband My CEO (Completed) - (Bahasa Indonesia)

read
2.2M
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
288.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook