bc

The Same Arrow

book_age18+
854
FOLLOW
6.2K
READ
adventure
dark
love-triangle
one-night stand
love after marriage
badgirl
drama
tragedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Bijaklah dalam memilih bacaan.

Romance—Action 21+

Bulan tak pernah menyangka jika tujuannya ke Bandung karena kabur dari rumah justru membawa malapetaka sakit hati untuknya dan orang lain, ia pikir tinggal sementara di Bandung bisa membuat orangtuanya mengubah keputusan untuk memberangkatkan Bulan ke Jerman.

Bulan terdampar di sebuah panti asuhan setelah laki-laki bernama Naga membawanya ke tempat tersebut karena menemukan Bulan pingsan di tepi jalan, lantas hari-hari yang berlangsung membuat Bulan belajar tentang banyak hal, salah satunya bersikap bijak menyikapi setiap masalah yang ia hadapi—termasuk cara sulitnya melepaskan dan kehilangan.

chap-preview
Free preview
1.
••• “Kuliah di Jerman! Yang benar aja!” Bulan membanting sebuah map yang baru ia terima beberapa menit lalu dari Suherman Widjaja—ayahnya. Gadis itu meremas rambutnya seraya melangkah mondar-mandir merasakan gelisah sekaligus bingung, mana bisa ia jauh dari Jakarta dan meninggalkan teman-temannya. Mana bisa Bulan hidup sendirian tanpa diperhatikan siapa-siapa karena pekerjaan gadis itu hanyalah mencari perhatian dengan segudang masalah yang membuat keluarganya terpaksa mendaftarkan Bulan kuliah di Jerman, dengan begitu mereka tak perlu lagi berpusing-pusing ria melihat kelakukan Bulan yang menjengkelkan setengah mati. “Ini nggak bisa dibiarin, gue harus ambil tindakan, mending gantung diri daripada pergi ke Jerman. Nyari apaan gue di sana!” Bulan membuka lemari dan mengabil ransel besar, ia memasukan beberapa helai pakaiannya serta dompet berisikan beberapa kartu kredit dan ATM sebagai jaminan sesuatu yang akan ditempuhnya mulai malam ini. Bulan membuka laci nakas dan meraih knuckle yang biasanya dia bawa jika pergi larut malam dan pulang pagi—sekadar mencari kesenangan duniawi. Bulan yang hanya mengenakan tank top dan ripped jeans itu pun memakai jaket dan menggendong ranselnya. Keputusannya sudah bulat, jika ia tak nekat maka dunianya benar-benar akan berpindah tempat dan semua bisa di luar ekspektasi Bulan. Tak ada orang yang berhak mengaturnya termasuk keluarga sendiri, Bulan memiliki dunia sendiri. Gadis itu melangkah menghampiri jendela dan menggesernya hingga terbuka lebar, kini ia berdiri di balkon seraya menatap keadaan di bawah yang lebih tepatnya halaman istana megah itu. “Bulan, buka pintunya, Nak!” seru seseorang dari luar kamar, Bulan paham kalau itu suara ayahnya. Tanpa basa-basi lagi Bulan melompati balkon kamar yang notabene ada di lantai dua hingga ia terjerembab di halaman yang ditumbuhi rerumputan Jepang, sebenarnya aman-aman saja jika kaki yang menginjak, tapi tetap sakit jika jatuh dari lantai dua sekaligus. “Argh!” Gadis itu mengerang meremas lengan kirinya. “BULAN!!! KAMU MAU KE MANA!!!” Bulan menengadah mendapati sang ayah di balkon kamar, segera gadis itu bangkit dan berlari menghampiri gerbang yang kini ditutup oleh satpam rumah. “Buka gue bilang!” perintah Bulan seraya berkacak pinggang. “Maaf, Non. Jangan kabur. Kasihan keluarga Non Bulan,” ujar Seno—satpam rumah. “Halah berisik lo!” Bulan menarik kerah seragam Seno dan memukul wajah serta meninju perutnya hingga Seno membungkuk meremas bagian yang dipukul itu. “Jangan suka tolak permintaan gue!” “JANGAN KABUR BULAN!!!” Bulan menoleh sejenak sebelum membuka gerbang dan berlari meninggalkan rumahnya. Ia berlari tunggang langgang ke arah utara menyusuri trotoar dan menghilang di balik keramaian Jakarta yang baru menginjak pukul sembilan malam. ••• Tak ada burung yang suka dikekang Biarkan ia terbang Melayang hingga menemukan jalan pulang Sebab selama ini ia kehilangan arah, tersesat dan menghilang. ••• “Oper! Oper! Oper!” seru Naga pada anak-anak panti yang ikut bermain bola dengannya sore ini, Naga tampak bersemangat bermain dengan mereka seraya sesekali tertawa, ia yang menjadi wasit dalam permainan. “Kamu curang!” “Kamu yang curang!” “Udah jangan main lagi, aku males sama kamu.” Sena merajuk, ia melipat tangan di d**a dan tak mau melanjutkan permainannya setelah merasa sesuatu yang dilakukan Gael untuk mengambil bola darinya adalah sebuah kecurangan. Sena memilih menepi dan duduk di teras seraya menatap teman-temannya yang masih bermain, wajahnya tertekuk lesu. “Kenapa nggak ikut main lagi?” tanya Naga yang ikut keluar dari permainan itu dan duduk di samping Sena. “Sena nggak mau, Bang. Gael mainnya curang, masa dia ambil bolanya pakai dorong-dorong Sena. Itu ’kan namanya curang,” adu Sena. “Sen, kita masih bisa—” “ADUH!!! INI BOLA PUNYA SIAPA BIKIN HAPE JATUH, MATI BEGINI LAGI!!!” Seruan itu mengalihkan perhatian Naga dari Sena, ia melihat anak-anak panti yang bermain bola membubarkan diri, sudah jelas ada hal yang tidak beres sedang terjadi. “Bentar ya, Sen.” Naga beranjak menghampiri sumber teriakan itu tadi, ia melangkah keluar gerbang dan menemukan seorang gadis berdiri di depan panti seraya mengusap ponselnya yang mati, ada bola yang digunakan untuk bermain tadi di dekat kaki gadis dengan rambut dicepol itu. Naga mengamatinya sejenak hingga gadis itu akhirnya menoleh dan berkacak pinggang menahan amarah. Gadis itu mengambil bola di dekat kakinya, “Lo yang tendang atau lempar bola ini sampai kena hape gue, hm?” Naga hanya diam, tatapannya begitu tenang, dan gadis itu memutar bola mata setelah ocehannya tak ditanggapi. “Itu mulut buat apaan nggak bisa buat jawab! Lo tuli!” “Siapa, Bang?” tanya Sena yang baru datang, “lho, bola itu kok bisa di Kakak ini sih, Bang?” “Oh, jadi elo yang tendang bola sialan ini sampai bikin hape gue mati. Sini lo!” Gadis itu menarik Sena dengan kasar, tapi Naga menahan tangan Sena yang lain dan menatap tajam makhluk asing berjenis kelaamin perempuan itu. “Adik lo harus tanggung jawab karena udah bikin hape gue mati!” “Jangan kasar sama anak kecil.” Suara Naga baru keluar. “Oh gitu? Jadi, kalau gitu lo yang tanggung jawab benerin hape gue—kalau perlu malah ganti sekalian.” “Lo siapa?” “Rembulan Widjaja, atau biasa dipanggil Bulan. Jelas?” “Gue nggak tanya nama, gue nanya lo siapa minta-minta begitu. Pengemis atau pengamen?” tanya Naga cukup sarkastik. Bulan mengernyit, “Nggak lo, nggak adik lo! Semua sama aja, tanggung kawab kek jadi laki-laki!” “Bukan Sena yang tendang.” “Terus siapa!” “Gue nggak tahu, anak-anak kabur gitu aja.” Naga begitu tenang menyikapi setiap perkataan gadis bernama Rembulan itu. “Halah bilang aja kalau lo nggak mau tanggung jawab!” Bulan berganti mencekal tangan Naga dan menatap tajam iris itu tanpa rasa takut. “Benerin hape gue atau lo terima akibatnya!” Naga menatap tangannya yang dicekal Bulan, “Lo laki apa perempuan sih? Nggak bisa lembut dikit aja.” Bulan tersenyum miring, “Gue cewek, tapi gue bisa kasar sama siapa pun kalau gue emosi tanpa pandang bulu, dan gue nggak takut sama lo.” Naga memutar tangan Bulan dan memelintirnya di belakang punggung gadis itu, empunya pun mengerang kesakitan. “Lepasin gue! Lo yang kasar di sini!” Bulan tak bisa menatap Naga karena laki-laki itu masih menahan tangannya dan berdiri di belakangnya. “Gue juga bisa kasar sama cewek yang kasar, jadi kita impas.” Naga melepaskan tangan Bulan, ia memutar arah dan mengajak Sena masuk, tapi Bulan meraih lagi tangan itu. “Lo punya pikiran nggak sih! Gue jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung dan dapat banyak kesialan, sekarang lo tambahin kesialan gue jadi benar-benar lengkap!” maki Bulan mengungkapkan kekesalannya, sebab perjalanan yang ia lalui sejak kabur dari rumah semalam hingga sore ini tidaklah mudah. Pertama, Bulan memilih menginap di apartemen temannya lebih dulu selama semalam dan paginya memilih ke terminal untuk naik bus jurusan ke Bandung karena ia pikir bisa tinggal di tempat kost temannya selama beberapa hari hingga orang tuanya mengabulkan keinginan Bulan agar tak jadi dipindahkan ke Jerman. Kedua, Bulan berangkat ke Bandung pukul sembilan pagi dan sampai pukul dua siang, saat ia mengecek ATM ternyata diblokir, semua kartu kredit yang dimilikinya pun bernasib sama. Bulan tahu kalau semua itu pasti inisiatif orang tuanya agar Bulan lekas pulang ke rumah, nyatanya Bulan masih enggan mengalah dan terus berusaha mencari bantuan. Bulan tahu ia punya teman SMA yang kuliah di Badung, namanya Sasha. Nyatanya saat dihubungi— nomor Sasha sudah tidak aktif lagi, di situ Bulan mulai putus asa. Ketiga, Bulan tak memiliki uang sama sekali setelah ia gunakan untuk ongkos naik bus dan makan, ia pun memilih melanjutkan langkah tak tentu arah hingga tiba di daerah panti asuhan yang sedang dipijakinya sekarang. Bulan masih berusaha menghubungi nomor Sasha seraya melangkah hingga tiba-tiba sebuah bola membuat benda berharga yang ia miliki jatuh dan mati seketika, bukankah begitu lengkap penderitaan seorang Rembulan Widjaja? Kali ini, ia bertemu makhluk menyebalkan seperti Naga yang enggan bertanggung jawab atas rusaknya ponsel itu, padahal hanya ponsel satu-satunya yang bisa menolong Bulan untuk menghubungi teman-temannya jika di Bandung tak bisa menemukan Sasha. Sekarang benda itu raib, dan Bulan merasa dunianya sudah jungkir balik dalam jangka waktu semalam saja. “LO ITU PUNYA PIKIRAN NGGAK GUE TANYA!!!” Bulan makin emosi saat Naga diam saja seperti tak mendengarkan. “Emang susah ya ngomong sama orang tuli!” “Lo itu apa dan siapa!” Pembawaan Naga yang semula tenang kini berubah menyeramkan dan membentak Bulan. “Kita nggak kenal dan gue nggak peduli apa pun urusan lo, derita lo dan kehidupan lo!” tandas Naga sebelum menarik Sena masuk dan menutup gerbang serta menguncinya, ia pun meninggalkan Bulan yang kini berteriak-teriak tak jelas di depan gerbang panti asuhan. “Heh cowok gila! Lo harus tanggung jawab! Laki bukan sih! Buka ini gerbang, hadapi gue kalau berani, lo kira gue takut!” teriak Bulan tanpa dipedulikan siapa-siapa, beberapa pengemudi baik motor atau mobil pun memperhatikan gadis yang lebih mirip orang gila itu karena berteriak di depan tempat yang sepi. “Putus cinta jadi gila, Neng,” celetuk seorang penjual bakso seraya mendorong gerobaknya dan tertawa melihat tingkah laku bulan. “Apa lo bilang!” Bulan melepas salah satu sepatunya dan bersiap melempar benda itu ke tukang bakso yang masih tertawa dan makin jauh mendorong gerobaknya. “Kalau gue lempar ini, nggak punya sepatu dong gue.” Bulan memakai sepatunya lagi dan memutuskan meninggalkan tempat itu, “Awas aja kalau gue ketemu cowok itu lagi, gue kutuk lo jadi abu!” ancamnya seraya menatap gerbang panti dan berlalu pergi. ••• Hingga malam tiba, Bulan masih berkeliling mencari alamat Sasha meski ia tak tahu sama sekali. Gadis itu merasa sudah berputar-putar di tempat yang sama, percuma saja ia bertanya pada orang di sekitarnya tapi tak membawa sebuah alamat, sama saja bohong. Kondisi gadis itu sangatlah memprihatinkan, selama sehari ia belum mandi, hanya makan sekali dan tak punya uang sepeser pun. Apa Bulan harus mengemis sebentar? Maaf, dia adalah gadis angkuh yang jarang sekali merendah di depan orang lain. Bulan menatap keadaan sekitar seraya meremas perutnya yang terasa perih, wajah gadis itu pucat dan kusam, Bulan sama sekali bukan dirinya yang glamour dan bergelimang harta. Di rumah ia bisa mendapatkan segala keinginannya, punya mobil mewah yang biasa digunakan untuk balapan, ada teman-teman yang mudah diajak ke diskotek atau toko retail serta berbelanja ke luar negeri sekadar membeli sebuah kain yang membalut tubuh. Sekarang lihatlah Rembulan Widjaja yang kehidupannya berputar di bawah hanya dalam jangka semalam karena keputusannya sendiri tanpa berpikir panjang, Bulan memang seperti itu—yang keras kepala, tak mau mengalah, anti aturan dan suka melakukan segala keburukan. Bulan memilih duduk di trotoar, ia menatap banyak kendaraan yang berlalu lalang di depannya. Gadis itu menelan ludah saat melihat restoran seafood di seberangnya, tapi ia tak punya uang untuk masuk ke sana. Jika di rumah pasti Bulan bisa makan apa pun yang ia inginkan tanpa perlu berpikir seribu kali. Ia beranjak dan memutuskan melanjutkan langkah seraya terus menahan perih di perut yang tak berkesudahan, pandangan gadis itu mulai kabur dan merasakan lemas yang terus menjalar ke sekujur tubuhnya hingga Bulan pingsan di sisi jalan—sendirian tanpa siapa pun yang mengenalnya. ••• Siang dan malam memang takkan pernah bertemu. Mereka memiliki jarak yang terbentang luas untuk merindu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Nikah Kontrak dengan Cinta Pertama (Indonesia)

read
450.8K
bc

Kamu Yang Minta (Dokter-CEO)

read
292.7K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.1K
bc

Hubungan Terlarang

read
500.8K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
462.1K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.4K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook