bc

See You on the Other Universe

book_age16+
49
FOLLOW
1K
READ
adventure
second chance
bxg
male lead
multi-character
multiverse
like
intro-logo
Blurb

Ryan Mahardika, berkelana menembus semesta lain lalu bertemu dengan Manda Suhaila, calon istrinya yang dibunuh tepat sebelum hari pernikahan mereka. Ryan memanfaatkan situasi ini untuk menghabiskan waktu bersama Manda yang tidak sempat ia miliki sebelumnya. Namun, perjalanannya menemui banyak lika-liku. Belum lagi saat ia merasa semua sudah baik-baik saja, ia akan kembali terlempar ke semesta lain dan harus mengulang kembali segalanya dari awal.

chap-preview
Free preview
Calon Istri
"Kamu bakalan datang hari ini, ‘kan?" Ryan mendengarkan suara mamanya di ujung telepon sambil membaca berkas kasus di depannya. "Kayaknya aku nggak bisa datang, Ma. Hari ini banyak permohonan masuk. Bakalan sibuk sampai pekan depan," jawab Ryan. "Ya ampun, Nak. Kamu ini mau nikah, loh. Masa sibuk terus!" komplain mama Ryan. "Masih sebulan lagi, kok, Ma. Janji, deh, sepekan sebelumnya aku nggak sibuk lagi," janji Ryan. Ryan bisa mendengar suara dengusan napas sang mama, tanda sedikit kecewa. Mau bagaimana lagi? Mamanya-lah yang punya ide menjodohkan Ryan dengan wanita pilihan sang mama. Usia Ryan sudah akan menginjak angka 35, tetapi membawa pacar ke rumah saja tidak pernah. Dituduh homo sudah biasa, Ryan tidak ambil pusing. Yang penting pekerjaan lancar, kantong tebal, dan bisa menyenangkan papa mama. Apartemen sudah punya, mobil apa lagi. Mapan, tetapi malas mempunyai pasangan. Namun, yang namanya orang tua, mau bahagia seperti apa pun jika anak belum menikah, rasanya seperti ada yang kurang. Seperti separuh jiwanya ada yang hilang. Cucu misalnya? "Yan, ini Mama mau temanin calon istri kamu cari gaun. Yaki, kamu nggak mau lihat? Nggak nyesal?" Mama Ryan masih kekeh membujuk Ryan untuk datang. "Nanti juga pas hari-H aku lihat, kok, Ma. Sama aja, ‘kan?" Fix, mama Ryan sudah merasa kesal sampai ke ubun-ubun. Mau dimaki, tetapi anak sendiri. Baik budi, sopan santun, dan rajin menabung pula. "Iya, deh, iya, terserah kamu. Mama males debat sama kamu. Debat depan hakim aja kamu nggak pernah kalah, apalagi sama Mama." "Ma, itu bukan debat. Itu ngebela klien biar nggak masuk penjara," Ryan masih ngeyel. "Ma ... Ma?" Tidak ada jawaban lagi. Ryan mengecek ponsel dan ternyata sambungan telepon sudah diputus. Ryan jadi takut kalau-kalau mamanya marah, lalu dia kena kutuk. Akhirnya Ryan mengalah dan memutuskan untuk datang menemui mama dan calon istrinya. "Nel, aku pulang duluan, ya. Ada urusan mendadak," kata Ryan pada sekretarisnya. "Kalau ada yang nanya soal kasus, gimana?" tanya Nely. "Suruh hubungi aku langsung aja, ya. Kamu juga kalau udah nggak ada kerjaan lagi boleh langsung balik, ya." "Oke, Pak Ryan." Ryan keluar dari kantor dan menutup pintu yang bertuliskan Pengacara Ryan Mahardika. Ia kemudian mencari lift dan turun dari lantai 30 tempat kantornya berada, langsung ke rubanah di mana ia memarkir mobil. Ia kemudian mengirim pesan w******p untuk mamanya dan meminta share location tempat mama dan calon istrinya mencari gaun pengantin. Ia sendiri juga belum menempah setelan jas pernikahan karena sibuk, jadi, sekalian saja. Ketika Ryan sampai di toko, ia melihat ada banyak jenis gaun pengantin yang dipajang di etalase depan. Semuanya bagus-bagus, sepertinya pilihan yang tepat mencari gaun di sana. Ia masuk sambil menelepon mamanya yang menjawab dengan semringah karena akhirnya berhasil membujuk Ryan untuk datang. Ia langsung disuruh naik ke lantai 2 toko, calon istrinya sedang fitting gaun di sana. "Ma, aku sekalian bikin jas juga, ya, di sini," kata Ryan saat menghampiri mamanya. "Eh, nanti dulu, lihat ini dulu," sela Mama Ryan kegirangan sambil menunjuk-nunjuk ke arah tirai putih di depan mereka. "Nanti calon istri kamu muncul dari dalam situ." Ryan cuma ber-oh saja dan menuruti perkataan mamanya. Masih takut disumpahin, jadi, mending wait and see. Tidak lama kemudian, tirai putih terbuka dan bagaikan slow motion, tubuh seorang wanita yang dibalut gaun mewah berwarna putih muncul dari baliknya. Ryan terpana, tidak bisa berbicara. Gadis itu cantik sekali! Tidak … bukan hanya cantik, tetapi persis seperti bidadari yang tidak punya sayap. Ia hampir tidak percaya kalau itu adalah calon istrinya. Bukannya tidak pernah ketemu, hanya saja tidak sering. Itu juga ia bersikap acuh tak acuh melihat wajah sang calon istri. Jujur, ia tidak pernah memperhatikan fisik calon istrinya  itu sebelumnya. Mau menikah saja karena dipaksa. Namun, entah kenapa hari ini ia merasa dirinya beruntung sekali menjadi laki-laki. "Ma, itu Manda?" tanya Ryan ke mamanya, tidak percaya. "Gimana, Yan? Cantik, ‘kan? Nggak salah pilihan Mama, ‘kan?" balas mama Ryan girang. Ryan cuma mengangguk-angguk menanggapi omongan mamanya. Matanya masih belum berpaling dari Manda yang masih dibantu oleh karyawan toko untuk membenarkan gaunnya di beberapa bagian. Jantungnya hampir copot saat Manda memandang ke arahnya sambil tersenyum. Gilaaa …! Ini calon istri aku? Ryan hampir berteriak, tetapi akhirnya cuma teredam dalam hati. "Mas, mau bikin setelan jas juga, ‘kan?" tanya salah satu karyawan toko ke Ryan. "Iya, Mbak. Tapi nanti aja," jawab Ryan tanpa melihat pada karyawan toko tersebut—masih belum puas memandangi Manda yang memakai gaun cantik itu. Ryan baru bergerak ketika Manda mengganti baju. Saat mengukur badan untuk menempah jas, ia tidak bisa berhenti memikirkan Manda. Berarti saat menikah nanti, Manda akan secantik itu? Atau malah jauh lebih cantik dari itu? Ia menyesal merasa tidak excited tentang pernikahannya sejak awal. "Yan ..." Deg Lagi-lagi jantung Ryan terasa ingin melompat dari tempat. Ia pun menoleh dan menemukan Manda yang sudah selesai mengganti baju. "Udah selesai ngukur jasnya?" Bukannya menjawab, Ryan malah diam. Ternyata tanpa gaun pun, Manda memang sudah cantik. Ke mana saja, sih, Ryan selama ini? Kok, bisa tidak sadar? "U-udah, Nda." Manda tersenyum. Mampus! Bisa mati mendadak, nih, Ryan kalau seperti ini terus. "Mama kamu udah pulang duluan," kata Manda memberi tahu. "Loh, nggak bareng kita?" tanya Ryan. Manda menggeleng. "Katanya tadi papa kamu nelpon, nyuruh mama pulang duluan. Ada perlu." Ryan tahu betul bagaimana mamanya. Pasti sang mama sengaja meninggalkan mereka agar bisa berduaan. Aduh, Ma … anakmu belum mau mati muda. "Oh, gitu," respon Ryan. "Ya udah, kalau gitu aku antar kamu pulang, ya. Udah makan belum?" Manda menggeleng lagi. "Niatnya, sih, tadi mau makan bareng mama kamu." "Ya udah, makan sama aku aja. Kamu mau makan apa?" Dalam hati Ryan ingin bilang, Awas, ya, kalau jawab terserah. "Pizza kayaknya enak, deh." Duhhh … wanita yang menentukan mau makan apa tanpa bilang terserah itu benar-benar idaman, deh. Ryan jadi tersenyum-senyum tidak jelas. Dan hari itu, Ryan merasa pertama kali hatinya jatuh untuk Manda, calon istrinya. "Berarti ini kencan pertama kita, dong, ya?" Ryan tersedak minumannya dan batuk-batuk, membuat Manda tertawa. Manda mengambil tisu, lalu membersihkan dagu Ryan—membuat Ryan deg-degan parah. "Kamu, kok, mau dijodohin sama aku?" tanya Manda pada Ryan sambil memakan pizza. Ryan bingung mau menjawab apa. Tidak mungkin ia jujur, kalau mamanya yang memaksa. Ia malah bertanya balik. "Kamu sendiri kenapa mau?" "Karena suka sama kamu," jawab Manda santai seperti tidak ada kejadian, padahal ia baru saja menyatakan perasaan ke Ryan. "Serius?" Manda mengangguk. Mulutnya masih penuh oleh pizza ketika melanjutkan, "Aku nggak mau nikah sama orang yang nggak aku suka. Kalau cuma asal nikah, sih, dari dulu juga pasti udah nikah, nggak mesti nunggu sampe umur tiga puluh." "Sejak kapan?" Ryan penasaran. Manda tampak berpikir. "Tahun kedua kuliah mungkin, ya. Waktu itu, kan, kamu aktif jadi asisten dosen. Terus aku nyesal kenapa nggak ambil jurusan hukum dulu, biar bisa masuk kelas kamu." Manda tertawa geli. "Aku taunya kamu dari teman aku yang ambil hukum. Dia sering cerita tentang kamu, terus aku penasaran. Pas udah punya keberanian buat ngajak kenalan, eh, kamunya udah jadi pengacara." Manda menghabiskan pizza di tangan, minum sedikit, kemudian lanjut bercerita. "Sebenarnya, sih, aku udah mulai nggak ingat lagi sama kamu, sampai kemarin mama aku bilang mau ngenalin aku sama anak temannya. Eh, taunya itu kamu, ya, aku senang, dong! Tapi kamu kayak peduli nggak peduli gitu, sih, ya." Ternyata Manda menyadari sikap Ryan padanya selama ini. Ryan jadi merasa tidak enak hati. "Maaf, ya." Manda tertawa. "Nggak kok, nggak apa-apa. Namanya juga dijodohin, wajar kalo nggak ada rasa." Sebenarnya, sih, udah ada. "Nikahan kita sebulan lagi. Masih ada waktu, kan, buat tambah dekat sama kamu?" tanya Ryan, membuat pipi Manda merona. "Nggak ada kata terlambat, kan, ya? Aku juga hampir pesimis kalau sampai nikah kamu nggak tertarik sama aku." Ryan dan Manda membicarakan banyak hal di mobil saat perjalanan pulang. Kalau Manda tidak mengakui sudah suka pada Ryan sejak kuliah, pasti Ryan tidak pernah tahu kalau mereka kuliah di kampus yang sama—meski tidak pernah bertemu. Sebab, setahun setelah Ryan wisuda, Manda baru saja masuk kuliah. Namun, Ryan sempat menjadi asisten dosen selama empat semester sebelum akhirnya lulus ujian menjadi pengacara publik. Ryan berhenti mengajar sejak itu. Mungkin, kalau Ryan mengajar lebih lama, ia akan bertemu dengan Manda. Walaupun, bisa jadi Ryan tidak tertarik pada Manda ketika masih kuliah. Sebab, memang selama ini tidak ada gadis yang benar-benar bisa memikat hati Ryan. "Masuk dulu, yuk, Yan." Ryan setuju seraya memarkir mobil. Ini pertama kalinya ia ke rumah Manda tanpa ditemani orang tua. Ia langsung merasa grogi untuk bertemu calon mertua. Takut merasa canggung karena biasanya yang banyak mengobrol adalah para orang tua. Ryan dan Manda lebih sering diam. "Ma ... Pa ... lihat, nih, siapa yang datang," panggil Manda setengah berteriak dari depan pintu. Manda menarik tangan Ryan yang masih diam di luar. Mereka terus berjalan sampai masuk ke ruang makan. Ternyata, mama Manda lagi memasak di dapur dan papanya muncul dari dalam kamar. "Loh, ada calon menantu. Ma, calon menantu kita, nih, mampir," kata papa Manda. "Eh, iya … Ryan. Sama siapa, Nak?" tanya mama Manda ramah. "Sama Manda, Tante," jawab Ryan sopan. "Loh, kok, tumben berdua aja sama kamu, Nda? Abis kencan, ya?" tembak mama Manda. "Cuma makan siang bareng, kok, Ma. Tadi, kan, abis cari gaun." Ryan cuma bisa tersenyum. "Ya udah, duduk dulu, ya, Yan. Makan malam sini aja, ya," tawar mama Manda. "Boleh, Tante." Ryan masih belum bisa berbasa-basi, masih merasa canggung. Ryan duduk di ruang tamu, dihidangkan teh dan kue. Ia membolak-balik album foto yang ditumpuk di dekat meja. Ia tersenyum melihat foto-foto Manda sewaktu kecil. "Aku jelek banget, kan, waktu kecil?" Manda menghampiri Ryan setelah mengganti baju. "Nggak, kok, kamu lucu. Apalagi kalau rambutnya dikucir dua kayak gini." Ryan menunjuk salah satu foto Manda sewaktu TK. "Ngeledek aja kamu!" Mereka berdua tertawa sambil melihat foto-foto yang lain. "Ya ampun, Nda. Kamu pas SMP gendut, ya? Mana rambutnya pendek lagi. Jadi makin kelihatan tembem." Manda cuma bisa menyengir. Dia akui sewaktu SMP sangat tidak peduli pada penampilan. "Aku tomboy waktu SMP. Mainnya sama cowok terus, jadi, nggak ada feminin-femininnya." Ryan ber-oh tanda mengerti. Rasanya ia seperti melihat perjalanan hidup Manda dari kecil hingga besar. Dalam hati Ryan meerasa ingin ada di masa-masa penting hidup Manda. Seperti saat ia masuk sekolah, lulus, sakit, menang kejuaraan ini-itu, dan lain-lain. Selama ini Ryan hanya tahu belajar dan belajar, tidak peduli dengan percintaan. Setelah bekerja juga seperti itu, selalu fokus tanpa memikirkan usia sudah hampir menyentuh kepala empat. Ia ingat papanya pernah bercerita bahwa di usia Ryan sekarang, papanya sudah memiliki dua anak. Nah, Ryan memulai saja belum. Hari ini Ryan merasa sangat menyesal sudah menyia-nyiakan masa muda tanpa pernah merasakan jatuh hati lebih dalam. Namun, ia berpikir jika bukan dengan Manda, tidak tahu harus suka dengan siapa. Jujur, ia sangat senang memikirkan akan menikah dengan Manda. Tidak ada kata terlambat untuk jatuh cinta dan ia sangat yakin dengan perasaannya sekarang. "Lah, pas SMA, kok, udah cantik gini? Cantik, putih, langsing, kayak bihun." Manda tertawa keras saat Ryan berkata seperti itu. "Cantikan aku apa bihun, nih?" "Ya, kamulah! Bihun, kan, menang langsing." "Kalau aku? Langsung?" Giliran Ryan yang tertawa. Ryan merasa sangat nyaman berada di tengah-tengah keluarga Manda. Tidak menyangka bahwa menikah karena perjodohan bisa seakrab ini. Bahkan, mama dan papa Manda sudah menganggapnya seperti anak sendiri, walaupun belum menikah dengan Manda. Mereka sudah sangat mempercayakan Manda kepada Ryan. "Makasih, ya. Makan malamnya enak. Aku berasa diterima banget di keluarga kamu," ucap Ryan. "Iya, Yan. Sering-sering mampir, dong, biar tambah dekat." "Oh, iya, abis dari sini aku nggak langsung pulang, ya. Mau ketemu sama teman-teman dulu, nggak apa-apa, ‘kan?" tanya Ryan. Manda tertawa. "Ya, nggak apa, dong, Yan. Masa harus nanya dulu ke aku." "Kamu, kan, calon istri aku. Harus tau aku ngapain aja." Pipi Manda sudah sangat memerah. Jatuh cinta memang tidak pernah salah.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.3K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

Kembalinya Sang Legenda

read
21.7K
bc

Time Travel Wedding

read
5.2K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.1K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook