bc

Beloven: The Forgotten Ones

book_age12+
362
FOLLOW
1.0K
READ
tragedy
comedy
sweet
Writing Challenge
campus
highschool
self discover
sassy
lecturer
stubborn
like
intro-logo
Blurb

Sequel Mentari #1

Kecelakaan tiga tahun lalu yang telah merenggut separuh ingatannya membuat Novella melupakan janjinya sendiri.

Namun, mimpinya tentang seorang pemuda dan kilas balik dari masalalunya mulai bermunculan, mengingatkan dirinya tentang janji itu. Kilas balik yang masih samar-samar itu membuat dirinya bertekad untuk mengorek lebih dalam kenangan lamanya yang telah hilang.

Sebenarnya, janji apa yang harus ditepati oleh Novella? Siapakah pemuda yang muncul dalam mimpinya itu? Apakah dia seseorang yang sangat penting dalam kenangannya yang terlupakan?

Berbekal ingatan yang masih pudar, Novella berusaha mencari tahu semuanya.

chap-preview
Free preview
Mimpi & Pemuda tanpa Wajah
Seorang gadis mengedarkan pandangannya. Di sekelilingnya hanya terlihat kegelapan yang seolah tak berujung. Tangannya mencoba untuk meraih sekelilingnya, berharap mendapatkan sesuatu yang menemaninya dalam kegelapan ini. Namun, hasilnya nihil. Ruang gelap ini seolah hanya menerima gadis itu di dalamnya. Tak ada apa – apa selain dirinya. Gadis itu menyerah. Dia terdiam di tempatnya, menunggu ada sesuatu yang bisa membantunya. Ruang hampa yang diisi gelap ini sangat menyeramkan. Gadis itu mulai gelisah. Tubuhnya perlahan tremor. “Kamu lucu sekali.” Gadis itu langsung menoleh, menelusuri ruang gelap itu. Raut wajahnya mulai ketakutan mendengar suara itu. “Siapa itu?” tanyanya dengan suara bergetar. Tak ada yang terdengar lagi. Gadis itu mulai merasa napasnya sesak. Ruang gelap itu seolah menyedot napasnya. “Siapa pun ... tolong gue,” rintihnya menyentuh dadanya yang sesak. Wush! Angin tiba – tiba bertiup pelan menampar wajahnya entah dari arah mana. Gadis itu menoleh dan mendapatkan sebuah lorong diterangi lampu neon yang mulai meredup. Secercah harapan muncul dari hatinya. Kakinya yang tak beralaskan apapun melangkah mendekati lorong itu. Makin ke dalam, lorong itu makin gelap. Ragu mulai menggerayangi d**a gadis itu. Kakinya perlahan melambat. Gadis itu kembali menoleh ke belakang. Namun, tak ada apa pun yang bisa dilihatnya. Cahaya lampu neon itu telah tiada. Dia menoleh ke depan dan memutuskan terus melangkah. Harapan kembali timbul dalam hatinya ketika matanya samar - samar melihat sebuah pintu berwarna abu – abu di depannya. Tangannya segera meraba gagang pintu dan membukanya. Cahaya putih langsung menerangi lorong gelap itu. Gadis itu menutup matanya dengan spontan ketika cahaya memasuki matanya. Dia membutuhkan waktu lama untuk menyesuaikan netranya dengan cahaya. Gadis itu mengedarkan pandangannya ketika mata hitamnya sudah bisa menyesuaikan dengan cahaya. Keningnya mengerut saat sadar dirinya sedang berada di dalam sebuah ruangan yang tak dikenalnya. “Bagaimana, ruangannya bagus, ‘kan?” suara ceria seorang gadis masuk dalam gendang telinganya. Dia menoleh pada suara itu dan melotot kaget. Itu dirinya sendiri! Namun, dirinya yang kini tersenyum ceria terlihat lebih muda dari dirimu sekarang. Dia tahu gadis itu kisaran SMP. “Ya, aku menyukainya,” tutur seorang pemuda kini berdiri di hadapan dirinya yang masih muda. Gadis itu menelengkan kepalanya. Siapa pemuda itu? Dia tak mengingatnya. “Kamu membuat ruangan ini demi aku?” tanya pemuda itu. Gadis muda itu mengangguk erat. “Barang – barang pemberian Kakak sudah terlalu banyak. Karena tidak muat, aku buatkan ruangan ini!” Gadis itu berinisiatif melihat wajah pemuda yang membelakanginya itu. Suara lembut pemuda itu rasanya familiar namun dia tak tahu siapa sosok itu. Dia meneguk ludahnya susah payah ketika tangannya perlahan melayang hendak menepuk pundak pemuda itu. Gadis itu tak mengerti, kenapa rasanya susah sekali untuk menyentuh pemuda itu? Apa karena pemuda itu asing baginya? Tapi kenapa suaranya terasa familiar? Belum sempat tangannya menyentuh pundak pemuda itu, pemuda itu langsung berbalik ke arahnya. “Arghhh!” Gadis itu lantas mundur dan terjatuh dengan rasa takut yang meledak. Pemuda itu tak memiliki mata, hidung, ataupun mulut! Apa yang terjadi pada pemuda itu? Mengapa dia tak memiliki ketiga indra itu? Pemuda itu berbalik dan perlahan mendekatinya. “Maafkan aku,” lirih pemuda itu. Gadis itu mulai terisak ketakutan. Kakinya terasa seperti jeli. Dia tak mampu untuk berdiri. Wajah pemuda itu menyeramkan sekali. Gadis itu menatap dirinya muda. “Tolong,” mohonnya dengan sangat. Namun, dirinya yang muda itu hanya melihatnya dengan tatapan kosong. “Maafkan aku,” lirih pemuda itu lagi. Kali ini, dia mengulurkan tangannya hendak menolong gadis itu berdiri. Namun, gadis itu menyeret tubuhnya mundur sembari menggelengkan kepala. “Tolong jangan dekati gue ...,” ucapnya terisak. Gadis itu terus mundur hingga dia mentok ke dinding. Pemuda itu terus melangkah maju mendekati dirinya. “Jangan ... jangan mendekat!” pekik gadis itu memeluk lututnya. Dia menunduk dan menutup matanya dengan erat. Namun, sosok pemuda itu terus maju dan mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu. “Maafkan aku, Vel!” “Argh! PERGI! JANGAN DEKATI GUE. PERGIII!” teriak gadis itu putus asa Seseorang menyentuh pundaknya dan mengguncangnya pelan. Gadis itu meronta – ronta dengan beringas sembari berteriak ketakutan. “PERGI! WAJAH LO NYEREMIN BANGET! PERGIII!” “Vel! Vel! Sadar, Vel!” teriak seorang perempuan. Gadis itu tak menggubrisnya. Dia malah makin meronta dengan keras sembari menutup matanya dan berteriak sekeras-kerasnya berharap ada seseorang yang mau menolongnya dari pemuda itu. “PERGI, JANGAN DEKATI GUE!” “WOY! LO MIMPI APAAN, SIH? BANGUN!” Gadis itu lantas terdiam. Suara itu. Dia mengenali suara itu. Perlahan dia membuka matanya dan mendesah lega ketika melihat kakak perempuannya kini berdiri di samping tempat tidurnya dengan gaya siap mengomel. “Lo mimpi apa, sih, Vel? Kayak orang kerasukan aja, tahu! Kalau Papa sama Mama ada di sini, bisa – bisa lo buat mereka jantungan!” omel perempuan itu. Itu hanya mimpi, batin gadis itu lega. Dia mendongak dan menatap kakaknya antusias. “Vella abis mimpi nyeremin banget, Kak!” “Mimpi apa emangnya?” tanya kakaknya itu. “Ah, Vella malas ceritain, deh. Pokoknya seram banget! Ada laki – laki nggak punya wajah dalam mimpi Vella tadi. Serem banget, ‘kan?” Kakaknya langsung memutar bola matanya. “Itu lo cerita, gembel!” Vella cengar – cengir. Dia bangun dari tidurnya dan mengusap peluh di wajahnya. Mata hitamnya menatap jam yang menempel di dinding. Sudah jam setengah tujuh. Sepertinya mimpi itu merenggut waktu di mana dia harusnya sudah bangun. “Cepetan mandi sana. Gue sebentar lagi mau pergi, nih. Hari ini pengumuman kelulusan lo, ‘kan? Kalau nggak mau naik taksi, buruan siap – siap, kita sekalian sama – sama pergi,” ujar kakak Vella. Vella berdiri dan memberi hormat pada kakaknya. “Siap, Nyonya Varda!” ucapnya tegas lalu berlari masuk kamar mandi. Varda memandang adiknya itu sembari menggelengkan kepalanya. Dia menelengkan kepala ketika mengingat kembali cerita adiknya tentang mimpi buruk itu. Matanya menyipit ketika mengingat sesuatu. Namun, dia segera menggelengkan kepala. Itu tidak mungkin. Kejadian itu sudah lama. Adiknya mungkin tak akan mengingatnya lagi. Mungkin itu hanya mimpi buruk yang kebetulan singgah di alam tidur adiknya. Varda menatap bantal adiknya yang masih menyisakan jejak basah dari keringat Vella. “Mungkin tadi dia sempat ngiler,” gumamnya berusaha positif thinking dan berjalan keluar dari kamar adiknya. ••• Varda dan Vella kini berada dalam mobil menuju SMA tempat Vella bersekolah. Varda sibuk menyetir sedangkan Vella hanya diam sembari menatap keluar jendela. Dia kembali memikirkan mimpinya tadi. Dalam hati, dia bertanya-tanya, apa itu juga merupakan bagian dari masalalunya yang hilang? Menurut cerita orangtuanya, tiga tahun yang lalu, Vella tertimpa kecelakaan yang membuatnya kehilangan ingatannya selama SMP. Itu menjadi jawaban dari kebingungan Davika setelah tak sadarkan diri selama seminggu. Dalam ingatannya, dia baru saja lolos SD dan masih tinggal di Jakarta. Tahu – tahu saat membuka matanya, dia sudah berada di kamar yang berbeda, rumah yang berbeda, kota yang berbeda bahkan ternyata dia sudah lulus SMP. Kesimpulannya, Vella kehilangan memori masa SMP-nya. Kini, dia sudah melanjutkan hidupnya selama tiga tahun di Yogyakarta. Namun, akhir – akhir ini dia sering bermimpi tengah berpakaian SMP dan bercengkrama dengan orang – orang yang tak dikenalnya. Tapi, mimpi yang tadi lain lagi. Itu adalah mimpi terburuk sekaligus paling aneh sepanjang dia hidup selama 18 tahun. Kalau akhir – akhir ini dia sering bermimpi di sekolah, yang tadi di sebuah ruangan dan seorang pemuda tak dikenalnya. Vella jadi ingin tahu ruangan apa itu dan pemuda seram itu siapa. “Lo ngelamun?” tegur Varda tiba – tiba. Vella lantas menoleh pada Varda yang tetap fokus pada jalan. “Nggak. Cuma lagi mikirin sesuatu aja, sih,” sahutnya asal. “Mikirin apa? Mau kuliah di mana?” “Bukan itu.” Varda lantas mencibir. “Lo, tuh, ya, udah mau pengumuman kelulusan masih belum tahu mau kuliah apa dan di mana.” “Gimana kalau Vella nganggur aja dulu. Tahun depan baru masuk kuliah,” ucap Vella menahan senyumnya. “Idih, nggak bolehlah. Terus setahun ini lo mau ngapain emangnya?” “Rebahan sambil baca novel boleh juga,” jawab Vella dengan nada menggoda. Varda mendelik pada adiknya itu. “Lo lanjut kuliah dulu baru baca novel. Nggak bosan apa koleksi novel sampai isi kamar lo, tuh, udah kayak perpustakaan?” “Yah, mau gimana lagi. Hobi Vella emang baca novel,” ucapnya mengedikkan bahu. Varda geleng – geleng kepala, tak berminat melanjutkan percakapan dengan adiknya kalau membahas tentang novel. Adiknya benar – benar maniak novel. Varda sampai pusing dibuatnya. Mobil mereka berhenti di depan gerbang sekolah Vella. Gadis itu mengambil tasnya yang ditaruh di kursi belakang dan mencangklongnya lalu mencium punggung tangan Varda. “Vella masuk dulu, ya, Kak.” pamitnya. “Iya, semoga lulus, ya,” doa Varda. “Amin!” “Eh, jangan lupa tanya – tanya sama teman lo yang lain mau lanjut kuliah di mana dan jurusan apa, biar lo ada referensi lanjut di mana,” ujar Varda mengingatkan. “Iya, iya, Kak,” sahut Vella setengah hati, “Vella keluar, ya. Dah!” pamitnya lalu membuka pintu mobil dan keluar. Dia membungkukkan badannya dan melambai ke arah Varda. Dia menatap kepergian Kakaknya menuju rumah sakit tempatnya koas. Vella lantas melenggang santai memasuki pekarangan sekolahnya. Kakinya melangkah menuju kelasnya. Dia menghampiri teman-temannya yang sudah tiba duluan. “Halo, guys. Udah dari tadi kalian di sini?” tanya Vella sembari duduk dan meletakkan tasnya di meja. “Iya. Rugi juga, sih, cepet datang. Mungkin pengumuman nanti baru keluar jam 9,” sahut Riska, “tumben lo lambat datang dari kita-kita? Biasanya lo juga yang paling cepet datang,” tanyanya mengerutkan kening. Vella langsung cengar – cengir. “Lagi pengen lambat aja, sih.” “Eh, eh, kalian pada mau lanjut di mana, sih! Sharing ke gue, dong! Masih bingung, nih, mau lanjut di mana,” pinta Fara dengan wajah cemberut. Dalam hatinya, Vella bersorak senang. Fara mewakili pertanyaannya. “Rencana gue mau masuk jurusan akuntansi, mungkin masuk ke kampus swasta aja. Nilai gue nggak meyakinkan banget mau masuk negeri,” sahut Riska mengendikkan bahu pasrah. “Lah, terus gunanya lo masuk IPA selama ini apa, Ris?” tanya Fara geli. Riska hanya tertawa geli sebagai jawaban. “Terus lo, Vel? Mau lanjut di mana?” tanya Fara pada Vella. “Gue?” beo Vella lalu berpikir sejenak. “Sebenarnya, gue juga masih bingung nau lanjut di mana. Kira – kira menurut kalian, gue bagusnya lanjut di mana?” “Lo gak ada minat mau ngikutin jejak kakak lo yang bentar lagi jadi dokter?” tanya Riska. “Ih, boro – boro mau jadi dokter, jari keiris pisau dikit aja gue udah kayak mau pingsan. Nggak, deh!” Vella bergidik ngeri. “Papa lo ‘kan bos di perusahaan. Lo nggak ada niat mau jadi penggantinya gitu?” usul Fara. Vella berpikir sejenak. Iya juga, ya? Kenapa pikirannya tidak sampai ke arah situ, ya? Jadi bos juga sepertinya enak. Vella langsung geleng kepala, dia tak boleh langsung berpikir seperti itu. Dia ingat perjuangan Papanya bekerja hingga bisa menggantikan kakeknya sekarang. Kalau mau seperti papanya, Vella juga harus berjuang seperti papanya dahulu. “Lo kenapa geleng – geleng kepala? Nggak setuju lagi? Padahal enak, loh, jadi bos perusahaan,” komentar Riska. “Ih, setuju, lah! Gue tadi mikir lain. Menurut kalian, gue harus masuk jurusan apa kalau mau kerja di perusahaan?” “Bagusnya, sih, jurusan yang berhubungan dengan perusahaan. Yang ringan dulu, lah. Manajemen juga boleh,” komentar Riska. “Iya, cocok, tuh. Masuk ke urusan Manajemen Perkantoran aja, Vel,” ucap Fara menyetujuinya. Vella mengangguk pelan mempertimbangkan usul dua temannya. Sepertinya jurusan itu bagus. Dia akan berbicara dengan orang tuanya soal ini. “Vel,” panggil Fara “Apa?” sahut Vella menatap curiga pada gadis yang kini cengar – cengir itu. “Ntar kalau lo udah berhasil jadi bos, gue mau, dong, melamar di perusahaan lo,” ujar Fara. Vella lantas mencibir. “Ntar gue persulit jalan lo masuk!” “Ish, Vella!”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Me and My Broken Heart

read
34.5K
bc

I LOVE YOU HOT DADDY

read
1.1M
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Love You My Secretary

read
242.7K
bc

Broken

read
6.3K
bc

Love Match (Indonesia)

read
172.8K
bc

THE DISTANCE ( Indonesia )

read
579.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook