bc

INTENSE ROMANCE

book_age18+
1.0K
FOLLOW
6.8K
READ
contract marriage
love after marriage
CEO
like
intro-logo
Blurb

Meggie Dirga. Sebagai seorang wartawan foto terkenal dan karyanya banyak di minati oleh para penerbit bebas menolak atau menerima pesanan.

Mendapatkan tawaran untuk membuat artikel seorang Impresario yang terkenal karena reputasinya adalah keberuntungan nya yang sangat besar, tepat pada saat dia akan membuat biro iklan sendiri.

Meggie sangat terkejut setelah mengetahui bahwa tokoh yang akan di wawancara adalah Impresario terkenal sekaligus pemilik agensinya yang terkenal dengan reputasi dalam menghancurkan hati wanita.

Meggie memang mempunyai gambaran tentang pria yang akan menjadi idaman tetapi dia sangat terkejut ketika Bramasta Wijaya memberinya bantuan pada biro iklannya asalkan dia bersedia berpura-

pura menjadi tunangannya agar Bram bisa mendapatkan hak asuh atas putra yang baru ditemukannya.

Tapi ... Apakah Meggie hanya taklukkan baru bagi Bram atau memang dia yang akan menjadi pendampingnya.

chap-preview
Free preview
Awal Yang Menantang
Meggie Dirga, wanita yang memiliki kecantikan di atas standard mendapat panggilan dari salah seorang pria yang mempunyai kekuasaan di bidang usaha perdagangan karena semua usaha yang di pegangnya selalu berhasil sehingga dia sangat di segani.       Dan hari ini agensinya memintanya untuk datang dan bertemu dengan pria yang bernama Bramasta Wijaya. Dan sebagai wartawan foto, Meggie harus bertemu dengan Bram walupun dia sangat menghindari untuk bertemu dengan pria yang memiliki reputasi yang sangat mengganggu serta merusak bagi sebagian wanita bila berhubungan dengan pria seperti Bram.       “Foto-foto semacam ini, dahulu dianggap terlalu berlebihan. Kau tahu hal itu, Meggie,” kata pria yang duduk di belakang meja sambil menatap ke arah tumpukan foto.       Pria itu terdiam sebentar dan menatap sosok tubuh ramping wanita yang duduk di hadapannya. Tatapannya berhenti pada lekukan di bawah leher dan berada di balik blus tipis wanita itu lalu merangkak naik ke wajahnya. Ia mengerenyitkan keningnya ketika melihat pandangan penuh percaya diri pada wanita yang duduk di depannya.       “Kalau saja kau tahu Bram, betapa aku memandang rendah penilaianmu,” kata Meggie Dirga. “Tentang hal apa pun juga,” tambahnya sementara dia memperbaiki letak roknya. Ia terus memindah-mindahkan kamera yang berada di atas pangkuannya.       Secara pribadi Meggie tidak menaruh harapan apa-apa terhadap Bramasta Wijaya. Bram tidak pernah memberikan alasan mempercayai segala macam desas-desus yang berhubungan dengan dirinya, seperti Bram mempergunakan posisinya untuk mendapatkan taklukkan yang lebih banyak.       Namun desas-desus itu ada kalanya membuat Meggie merasa tertarik karena sebagai wanita ia juga selalu dihantui dengan keingintahuannya mengenai reputasi Bram terhadap wanita. Dan kini ia diberikan tugas untuk bisa membuat fotonya. Foto seorang pria yang berkuasa dan gambarnya selalu menjadi pujaan para wanita.       Dengan banyak usaha dan kerja keras, sebenarnya Bram tidak terlalu memerlukan Bram untuk membuat namanya lebih terkenal. Dengan bakatnya Meggie sudah berhasil mengembangkan gayanya sendiri dan tidak terpengaruh dengan gaya wartawan foto lainnya.       Pada saat awal dia memulai pekerjaannya, tidak banyak kesempatan yang dia miliki, tetapi setelah sekian tahun akhirnya dia berhasil sehingga orang-orang dan perusahaan lainnya selalu meminta dirinya dan bersedia membayarnya cukup tinggi.       Kini dia berada di depan Bram karena pria itu memiliki usaha yang membuat Meggie harus menerima penilaian dari Bram karena agensi tempatnya bekerja ternyata berada di bawah nama usaha Bramasta Wijaya.       “Meggie, Kau jangan terlalu marah padaku. Aku hanya mengatakan sedikit pendapat tentang karya mu,” katanya dengan suara menyesal.       “Pekerjaan yang kau minta dan sangat kau inginkan Bram. Malahan aku akan mengatakan dengan sangat persis tentang dirimu meskipun kau tidak menyukainya,” jawab Meggie dan ia memandang geli ke arah Bram yang mulai terlihat naik darah.       Bram berdiri lalu berjalan ke arah jendela dan menghadapkan pungggungnya yang lebar ke arah Meggie. Meggie yang melihatnya menjadi marah.       “Kasihan sekali kau Bram. Kau sangat benci sekali harus bekerja denganku bukan Bram?” senyum Meggie melihat ketidaknyamanan Bram.       Bram tertawa kecil. “Sebaliknya. Aku justru sangat senang mempunyai lawan yang pantas seperti dirimu. Tetapi kau harus mempertimbangkan posisiku,” katanya tersenyum sambil membalikkan tubuhnya.       Bram memperhatikan wajah Meggie yang cantik dan tirus. “Bagaimanapun aku bukan seorang monster bukan? Malah aku merasa diriku sebagai seorang pria yang memiliki cukup kemampuan.”       Meggie tertawa mendengar ucapan Bram. “Kau bukan monster Bram. Mereka tidak mengenalmu kalau mengatakan dirimu sebagai monster. Kau adalah seorang don juan. Dan kau sangat baik sekali karena telah menolong sekian banyak orang-orang yang membutuhkan perkejaan dan mempunyai bakat yang sangat baik.”       Meggie berusaha berdiri dan dia mencoba untuk tidak merasa terintimidasi karena tinggi Bram yang berada 15 centi di atas dirinya.       “Nah, kau mau foto-foto itu tidak? Cukup banyak orang yang menginginkan foto tersebut. Dan aku akan membawanya.”       Bram yang amarahnya semakin meningkat karena mendengar ucapan Meggie segera mengumpulkan foto tersebut dan memasukkannya ke dalam amplop besar.       “b******k kau Meggie. Kau tahu aku menghendaki foto-foto itu,” katanya geram. “Aku harus menyerahkan foto-foto ini. Tidak ada seorangpun yang dapat membuat foto dengan kualitas seperti ini,” katanya membuat Meggie tersenyum puas karena pria itu mengakui bahwa penilaian awal yang dia berikan sangat salah.       “Kenapa aku curiga dengan senyum mu itu?”       “Karena yang baru saja kau katakan sangat bertolak belakang saat kau mengatakan bahwa foto-foto adalah berlebihan pada jaman dahulu,” sahutnya.       Bram memandang Meggie dan ia merasa lemah dengan pesona yang ada pada Meggie meskipun wanita itu sangat keras kepala dan selalu membantah.       “Kalau saja kau bisa menyingkirkan kamera itu cukup lama dari matamu. Dan kau bisa melihat selain dari hanya mendengar. Kau akan bisa menyadari bahwa aku berusaha untuk memberikan sebuah nasihat yang baik. Aku harap kau berada di dekatku saat kau memutuskan keluar dari menara gadingmu,” kata Bram menyipitkan matanya.       Meggie dengan senyum di bibir menyetel kameranya dan membuat sebuah foto dari senyum Bramyang penuh dengan hasrat asmara itu.       “Bagus sekali Bram. Sebuah karya yang sangat bagus yang akan aku buat sebagai layout tentang ular pemangsa.”       Dengan marah Bram menekan tombol intercom yang berada di atas mejanya. “Tietha, Nona Dirga akan segera pergi. Keluarkan sebuah cek untuknya dengan jumlah yang sudah aku sebutkan tadi.”       “Wow. Tidak mudah menerima kejutan?” cibir Meggie saat mendengar ucapan Bram pada sekretarisnya.       “Aku rasa waktu ku untuk mu sudah selesai dan aku harus mengerjakan yang lainnya,” sahut Bram tanpa menghiraukan ucapan Meggie.       Bram memalingkan tubuhnya saat melihat Meggie berjalan meninggalkan ruangannya. Dengan mengumpat kesal karena harus melihat langkah Meggie yang terlihat begitu sensual meskipun wanita itu tidak menyadarinya.       Dan sangat berbanding terbalik dengan yang dipikirkan olehnya. Bram menyadari bahwa Meggie sangat membencinya. Dan sangat menjengkelkan hal tersebut membuat hasratnya terhadap Meggie semakin besar.        Bram tidak ingin membuat Meggie berpikir dapat merubah pendapat tentang dirinya dengan mudah. Tetapi ia memikirkan kalau Meggie akan mengusahaakannya, tentu saja membuatnya sangat bahagia.       “Kenapa Bram. Kau takut terlalu memforsir matamu?” tanya Meggie saat dia berada di depan pintu dan tangannya berada pada gagang pintu.       Tawa Meggie masih terngiang di telinganya ketika wanita itu telah pergi sementara bau parfumnya masih terapung di dalam ruangannya. Dan Bram berpikir bahwa Meggie cukup berharga untuk usahanya.       Dengan menekan intercom di mejanya, Bram memberi perintah pada Tietha.       “Ya Tuan Wijaya.”       “Tietha, coba kamu telepon Deddy Imran dari Cahaya Magazine. Aku ingin berbicara padanya!” perintah Bram.       Sambil menunggu Tietha yang menghubungi Deddy, Bram menyulut sebatang rokok.       “Deddy Imran ada di lin 2, Tuan,” beritahu Tietha melalui intercom       Bram diam sebentar lalu memegang gagang teleponnya. “Deddy? Dengan Bramasata Wijaya. Kau boleh mempersiapkan artikel itu.”       Terdenngar suara tidak percaya sebelum dari seberang sana menjawabnya ragu. “Benarkah? Anda sungguh-sungguh bersedia?”       “Apakah Cahaya Magazine sudah mendapatkan tokoh yang lainnya? Kalau ya, aku akan memberikannya pada penerbit yang lain.”       “Oh. Bukan seperti itu Tuan. Hanya saja ini terlalu mendadak dan aku sangat tidak percaya setelah sekian lama tidak mendapatkan respon apapun,” jawab Deddy menyindir.       “Begitu? Tapi memang sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak tertarik bukan?”       “Benar Tuan. Dan boleh saya tahu mengapa sekarang Anda tertarik?”       “Karena aku sudah bosen dengan opini public yang semakin tidak jelas tentang diriku. Aku ingin semuanya terkendali dan penilaian publik tehadapku tidak hanya berdasarkan informasi dari beberapa wanita yang merasa sudah mengenal dekat diriku,” kata Bram menjelaskan.       “Baiklah. Aku akan menyiapkan wartawan yang akan bertugas dan aku berharap wartawan yang kami kirim sesuai standar Anda,” jawab Deddy.       “Tidak. Bukan kau yang menentukan siapa wartawan yang akan mewawancarai ku. Tapi aku yang akan menentukan siapa,” jawab Bram cepat dan tegas.       “Maksud Anda?” Deddy tidak mengerti dengan permintaan Bram.       “Aku ingin kau menghubungi Meggie Dirga. Karena dia yang akan mewawancarai aku.”        

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marriage Not Dating

read
549.2K
bc

See Me!!

read
87.8K
bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
75.4K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Tuan Bara (Hasrat Terpendam Sang Majikan)

read
109.8K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.0K
bc

PEPPERMINT

read
369.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook