bc

YOUNG MARRIAGE

book_age16+
968
FOLLOW
23.6K
READ
others
love-triangle
others
goodgirl
sensitive
sweet
bxg
campus
affair
like
intro-logo
Blurb

Seri #4 Young Marriage

Angga - Dilara - Zaine {Cinta segitiga tentang adik perempuan Leo}

Entah karena terlalu sulit berkata jujur, atau karena terlalu takut kehilangan Zaine. Yang jelas kedua alasan ini saling bertautan dan membuat Dilara tidak memiliki cukup keberanian untuk berkata yang sebenarnya.

Zaine adalah segalanya untuknya dan itu pula yang membuat Dilara bungkam dengan seribu bahasa.

Kehilangan Zaine bisa menjadi pukulan telak dan alasan untuknya tidak lagi menginginkan hidup. Jadi.. bagaimana bisa Angga mencuri peran yang seharusnya menjadi milik Zaine?

Bajingan itu benar benar sudah menghancurkan hidupnya.

Kalau sudah seperti ini, apa lagi yang bisa Dilara lakukan?

Dilara mengepalkan tangan, lalu mulai terisak. Dia menangis pilu dalam kegelapan. Dia mengutuk Angga berkali kali lipat sampai tidak terhitung jumlahnya. Dia sangat membenci Angga lebih dari apapun.

chap-preview
Free preview
YM ~ Prolog
Ada hari dimana meninggalkan memang bukan pilihan, tetapi pergi menjadi suatu keharusan. ------• --• Siklus hidup memang tak lekang dari apa yang disebut terpuruk dan jatuh. Itu wajar, semua orang pernah mengalami, semua orang juga pernah merasakan. Yang tidak normal di sini adalah saat munculnya rasa menyerah, putus asa hingga berakhir dengan pikiran sempit untuk mengakhiri hidup. Tidak tau apa yang mereka rasakan saat mereka memilih untuk mengakhiri hidup mereka secara diam. Mungkin mereka merasakan hal yang di sebut kesepian, ketakutan serta kecemasan berlebih di tengah keramaian. Tak ubahnya seperti boneka yang tidak berperasaan, mereka berjalan tanpa menoleh. Tidak memperdulikan apa kata orang. Mereka seakan hidup untuk kematian. Tidak ada yang tau jika mereka tidak bisa memejamkan mata kala malam. Tidak ada yang tau jika mereka ketakutan setiap waktu, serta tidak ada yang tau jika mereka telah memikirkan itu berulang kali hingga akhirnya ego mengalahkan hati nurani mereka. Mengikis ego tidak semudah meruncingkan ujung pensil. Banyak hal yang perlu di perdebatkan, serta banyak hal yang harus di pikirkan. Saling bertarung dalam hati hingga menyisakan hasil akhir atas keputusan yang harus di pilih, yaitu diam. Mereka bungkam bukan karena bisu, bukan pula karena mereka tidak bisa membuka mulut. Mereka menyerah bukan karena mereka lemah. Mereka hanya.. lelah, lelah karena tidak bisa menjawab saat orang lain bertanya "MENGAPA?" Hingga mereka memilih mati. Memilih untuk mengakhiri semuanya seorang diri. Memilih untuk menyelesaikan semua secara bersih, serta memilih untuk meregang nyawa tanpa ada yang menemani. Dilara Violeta Pahlevi, seorang gadis berparas cantik namun tidak lagi cantik lantaran penampilannya hari ini tampak acak acakan. Wajah yang tertekuk lesu, juga tampak pucat dengan mata sembab. Itulah dirinya dengan segala kekurangannya. Terlalu banyak kesalahan hingga dia berakhir dengan terdampar di sini. Dilara mendongak. Melihat langit biru yang membentang luas dari ujung ke ujung dengan warna orange yang menghiasinya. Benar benar menampakan keindahan senja yang tersaji di pelupuk mata. Keindahan ini.. adalah keindahan pertama yang di lihatnya dari atap gedung tempatnya berkuliah. Semilir angin menerbangkan helaian rambut Dilara hingga menari menari di udara. Untuk sesaat dia terpaku. Dia baru menyadari jika ada tempat seindah ini di sini. Dia tersenyum masam. Mengawasi sekeliling. Untuk pertama kalinya dia berdiri di sini setelah empat bulan lamanya berkuliah di Universitas ini. Universitas terbaik di Jakarta yang menjanjikan kecemerlangan hidup serta masa depan yang cerah. Apa lagi, jika melihat nilai nilai Dilara selama ini seharusnya sudah cukup untuk mengantarkannya pada kesuksesan hidup. Nyatanya.. jarak antara realita dan ekspetasi sangatlah jauh. Bahkan tidak bisa di jangkau meski Dilara telah mengerahkan seluruh kemampuannya. Semua seakan percuma, semua sia sia saat banyak hal berubah dengan cepat. Membuatnya tidak lagi sama setelah dia di injak, di remukkan, di bantai, dan di hancurkan hingga kandas sampai dia kehilangan harapan. Dilara merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah tes kehamilan dengan dua garis merah di sana. Dia kembali menangis kala mengingat ada sesuatu yang hidup dalam perutnya. Lambang bahwa pernah ada luka yang ditorehkan oleh seorang pria b******k padanya. Tanda jika hidupnya sudah di hancurkan tanpa menyisakan sesuatu yang berharga selain aib. Tidak ada yang perlu di tanyakan, dan tidak ada yang harus di sesali. Seperti orang putus asa pada umumnya, Dilara tidak bisa tidur semalaman. Dia membuka mata kala langit terang berubah gelap, kala matahari telah condong dan berganti malam. Dia takut saat menutup mata, gambaran menyakitkan itu muncul kembali. Membuatnya enggan dan memilih untuk tetap terjaga kala lampu kamarnya di padamkan. Tidak ada yang bisa Dilara lihat dan tidak ada yang bisa dia lakukan dalam kegelapan. Dia hanya bisa meraba di udara yang terisi penuh oleh kesunyian. Sendiri, senyap, sepi adalah saat yang tepat untuk merenungkan banyak hal. Dilara juga sudah memikirkan ini berulang kali, memikirkan konsekuensi, dampak dan akibat dari keputusan yang telah di pilihnya. Meski dia tidak mau, tetapi dia tidak mempunyai pilihan. Dilara memejamkan mata, mengalir setetes bening kala dia membuka matanya kembali. Penglihatannya buram, pikirannya kacau. Tapi setidaknya, ini adalah yang terbaik. Saat dia terjun dari lantai enam gedung ini nanti, semoga tidak ada orang akan bersedih atau merasa kehilangan saat dia tidak ada. Iya.. dia akan mati, hari ini, jam ini, detik ini. Semoga ini adalah yang terbaik. "Ra.." Suara seorang pria menghentikan langkah Dilara saat hampir mencapai tepi, dua langkah lagi semuanya akan berakhir. Tapi.. ada apa ini? Kenapa pria itu menghentikannya? "Ra.." Pria itu sudah menempel pada tubuh Dilara, memeluknya erat dari belakang. "Kamu lagi ngapain sih? Tumben tumbenan jam segini masih di sini?" Dilara mengusap air mata dengan punggung tangannya. Dia semakin sedih saat mendengar suara ini. Suara pria tersayangnya. Tapi dia tidak ingin menunjukan kesedihan itu. Setidaknya dia harus menjadi kuat barang sebentar. "Aku lagi liat senja." Dilara berbalik, membuat wajah mereka berjarak sangat dekat, hanya beberapa inci. Hembusan lembut nafas Zaine bahkan dapat dia rasakan dengan jelas. Zaine menempelkan dahinya pada dahi Dilara, "pulang yuk, bentar lagi langit gelap. Aku takut kamu sakit." Meski enggan, tetapi Dilara mengangguk pada akhirnya, lalu memeluk Zaine manja, "antar aku pulang." Dia berkata seolah olah tidak terjadi apapun. Dilara menggerutu dalam hati, namun dia berhasil menutupinya dengan baik. Dia tidak ingin kekasih hatinya khawatir ataupun curiga. Mungkin ini belum saatnya dia untuk mati. Atau.. tidak?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
462.2K
bc

Accidentally Married

read
102.7K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.9K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.7K
bc

Broken

read
6.3K
bc

Because Alana ( 21+)

read
360.3K
bc

Bridesmaid on Duty

read
162.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook