Chapter 1
Tetes embun yang bergantungan di antara dedaunan bagai mutiara. Kelopak bunga yang mulai mekar, juga buah dipohonnya yang mulai ranum. Hati yang tergores luka pun akan senang dan kembali mengukir senyum kala melihat keindahan alam raya ciptaan Tuhan ini. Seorang gadis berdiri di dekat pohon, merenungi nasib. Seandainya semua ini tidak terjadi padanya. Sungguh ia berharap Tuhan akan memanggilnya segera. Namun ia sadar, dirinya masih memiliki cukup waktu untuk bisa mengubah nasib dan takdirnya.
“Shayana, kok disini? Gue cariin juga.” Seseorang menepuk pundaknya, pelan. Shayana menolehkan kepalanya. Anisa dan Mia, kedua sahabatnya itu mengambil tempat di sampingnya berdiri. Ketiganya kemudian duduk pada sebatang pohon tumbang.
“Kalau ada masalah, cerita aja sama kita Sha, siapa tahu kita bisa bantu. Iya enggak, Nisa?” ucap Mia meminta pertimbangan pada Anisa.
Shayana tersenyum, menutupi kesedihannya. Senyum yang lebih menyakitkan dari pada rasa sakit yang selama ini Ia rasakan. Senyum pesakitan yang kelak akan di ingat orang, kala dirinya tidak ada.
“Gue enggak kenapa - napa kok, oh iya. Udah pada ngerjain tugas dari Miss Dieva, belum?”
Sepi.
Shayana tersenyum melihat ekspresi wajah yang ditunjukkan kedua sahabatnya ini. Ia tahu dan hafal benar keduanya pasti belum mengerjakan tugas itu. Lagi pula dirinya hanya bercanda. Tidak ada tugas apapun untuk materi Bahasa Inggris hari ini.
“Hahaha, gue cuma bercanda kok. Seharusnya gue bawa kaca nih, biar kalian bisa lihat ekspresi wajah kalian. Lucu banget tahu nggak.” kata Shayana di iringi tawa seolah tanpa beban. Sekejap kemudian, tawanya lenyap di telan sepi.
Hening yang tercipta di halaman belakang sekolah kian terasa. Hembus angin membawa terbang dedaunan kering yang terlepas dari rantingnya. Kian lama daun itu terbang hingga akhirnya jatuh pula ke tanah.
“Udah yuk masuk, ntar ada bel.” Suara Anisa memecah kesunyian. Keduanya mengangguk takdzim lalu mengikuti langkah kaki Anisa menuju kelas.
Ruang kelas XII IPA-1 ramai. Pasalnya pagi tadi, kepala sekolah baru saja memberi kabar bahwa Miss Dieva akan dating, sedikit terlambat. Sontak saja kabar tersebut disambut gembira oleh siswa dan siswi kelas tersebut. Bagi mereka ini merupakan sebuah anugerah. Miss Dieva memang terkenal sebagai guru killer yang sama sekali tidak akan memberi tolerier bagi siswa yang macam - macam, apalagi untuk urusan tugas rumah dan kerapian buku pelajaran.
Anisa menatap daun pintu, tepat di depan sana. Gang Angel Girl’s sedang berkumpul. Ia tahu, tentu ada sesuatu yang membuat mereka sampai tertawa cekikikan seperti itu. Lagipula, ia heran. Kenapa juga mereka bersikap selebay itu hanya karena seorang cowok.
“Nis, loe kenapa deh, dari tadi gue perhatiin, loe liatin pintu mulu? Ada apa disana, loe jatuh cinta?” goda Mia.
Anisa menarik bukunya dan memukulkannya pada bahu Mia, pelan. Gadis itu tertawa cekikikan.
Berbeda dengan kedua sahabatnya, Shayana hanya diam. Sejak tadi, ia sibuk berkutat dengan materi Bahasa Inggris yang memang menjadi pelajaran favoritnya. Sejenak, ia berhenti membaca. Tangan beralih memegangi kepalanya. Rasa sakit itu kembali menyerang. Terasa seolah kepalanya tertusuk paku yang demikian banyak.
“Shayana, gue pinj ....” Anisa menggantungkan ucapannya. Dilihatnya Shayana meringkuk di bangkunya, ia mulai khawatir.
Anisa menyikut Mia yang duduk di sampingnya, sorot matanya memberi isyarat yang bahkan Mia tak mampu mengartinya maknanya.
“Shayana, loe enggak apa-apa?" tanya Anisa.
Tak ada sahutan. Shayana masih berkutat dengan kepalanya yang terasa semakin sakit. Disaat seperti inilah, ia sering teringat pada Kakaknya.
Hati Anisa semakin cemas, ia melirik pada Mia. Percuma saja, anak itu tidak akan mengerti bahasa isyarat yang ia tunjukkan. Anisa bangkit dari duduknya, dan berdiri tepat di depan Anushka. Saat itulah ia tahu, wajah sahabatnya yang memucat dan dari lubang hidungnya, mengeluarkan darah semakin banyak.
“Ya Allah, Shayana!” pekik Anisa kaget. Ia berlari ke bangkunya, mengambil tissue dari dalam tasnya, lalu memberikannya pada Shayana. Kepanikannya rupanya terbaca pula oleh Mia dan teman - teman sekelasnya.
“Ya ampun, itu kenapa?” tanya Fio.
“Hidungnya ada darahnya.” sahut yang lain.
“Bawa ke UKS saja.” usul Fio.
Mia yang sejak tadi diam, kini juga mulai terlihat panik. Dalam keadaan seperti ini, ia berharap kelemotannya tak kambuh. Sejenak ia berpikir, memutar otak.
“Eggak usah! Gue baik-baik saja. Mungkin cuma kelelahan aja,” sahut Shayana. Ia membersihkan sisa darah dari hidungnya dengan tissu lalu kembali bersikap biasa saja.
“Tapi, darah loe tadi ....” Tak dilanjutkan. Anisa tahu, bahwa sahabatnya tak ingin dan tak suka di bantah. Ia memilih diam dan kembali ke bangkunya.
Shayana menarik nafas lega, rasa sakit itu telah hilang. Iya, hilang dalam sekejap dan akan muncul lagi nanti. Seperti itu terus, hingga takdir Tuhan akhirnya membuatnya menyerah.
“Dasar caper!” rutuk Anita. Dia masuk di iringi dua dayang setianya. Lina dan Elvira.
Anisa memasang muka suntuk begitu melihat wajah ketiganya. Saat ini, ia berharap diberikan kekuatan agar bisa melawan Angel Girl’s, ia tak tahan lagi dengan gaya dan sikap centil mereka dan terlebih lagi pada sikap semena - mena mereka terhadap siswa lain.
“Girl’s, liat tuh yang cari perhatian. Sok pucet banget, biar ada yang peduliin dia. Padahal itu enggak akan ngaruh juga bagi kita, iya kan?” Anita kembali berolok pedas. Anisa mengepalkan tangannya hampir saja satu pukulan melayang ke wajah Anita. Akan tetapi Shayana yang melihatnya menggelengkan kepala.
“Sabar, Nis.” bisik Mia.
Kelas akan tetap gaduh seandainya Ilham, Kev dan Angga tidak masuk ke dalamnya. Mereka masuk dengan membawa selembar kertas pengumuman. Ketiganya berdiri berjejer. Para gadis itu mulai terpesona, masing-masing berhayal menerbangkan angan hingga langit ke tujuh. Berharap satu diantara ketiga pemuda itu menikahinya kelak.
“Mohon perhatiannya sebentar teman-teman. Gue selaku ketua OSIS SMA Nusa Bhakti, mau ngasih tahu ke kalian. Bahwa mulai Minggu depan akan ada kelas khusus yaitu kegiatan ekstrakurikuler. Kalian bisa pilih masing-masing satu untuk kegiatan apa yang di ikuti.”
Wajah para gadis itu memerah. Mereka hanya diam mendengar suara lembut yang keluar dari mulut Ilham. Tak peduli apa yang di ucapkannya. Bagi mereka suara itu terdengar seperti alunan musik yang merdu, atau mungkin sebuah sabda cinta.
“Kalian harus mengisi formulir ini, nanti bisa kalian kumpulin ke gue.” imbuh Kelvin.
“Nanti gue yang akan mandu kalian, gimana cara ngisinya.” timpal Angga.
Siswa di kelas itu hanya diam. Sesaat kemudian, mereka berteriak histeris dan berhambur mendekati ketiga pemuda itu. Anita tak akan tinggal diam melihat pemandangan seperti itu.
“Eeeh … minggir - minggir! Jangan ganggu Ilham. Dia cuma punya gue tahu! Iya kan bubu.” Anita menyingkirkan tangan - tangan gadis itu, ia sendiri bergelayut manja di lengan Ilham.
“Ilham, ke kantin yuk,” tawar Anita setelah Ilham keluar dari ruang kelas.
“Sorry, Nit. Gue lagi banyak tugas. Ada urusan yang lebih penting dari pada masalah perut.” Ilham melangkahkan kakinya menuju jajaran pintu, lalu memasuki ruang OSIS.
Anita mendesis, ia takkan menyerah begitu saja. Seribu kali ditolak takkan bisa membuatnya menyerah. Ia memiliki seribu macam cara untuk bisa mendapatkan simpati dari Ilham. Apapun keinginannya harus bisa terpenuhi. Anita memasuki kelas, lalu duduk bersama dua temannya.
“Gimana?” tanya Linda.
“Gue gagal.” jawab Anita.
Tapi loe nggak akan nyerah gitu aja, kan?” sahut Elvira.
Anita menggeleng tegas. Ia meraih bukunya, merobek salah satu halamannya dan kemudian meremasnya hingga kertas itu membentuk bola. Tatapannya tajam memandang pada satu titik, Shayana.
***
“Abang, kapan kak Vana …” Tak ia lanjutkan. Shayana bangkit dari duduknya lalu ikut duduk di samping Morgan.
Pria itu menoleh sekilas, menatap lekuk wajah adik yang ia sayang itu. Tak tega rasanya, jika ia harus menceritakan semua padanya. Mungkin belum waktunya dia mengetahui segalanya. Shavana pergi untuk merantau ke Jakarta demi untuk membiayai pengobatan adik mereka. Jika Shayana sampai tahu, dia pasti akan merasa bersalah dan kembali merasa tak berguna.
“Bang, kita akan ke Jakarta, kan?'' tanya Shayana lagi.
Morgan menghela nafas.
“Nanti kita bicara lagi ya dek, sekarang kamu istirahat aja,” pungkas Morgan.
Shayana tak bergeming. Ia tahu, ada yang berusaha di tutupi abangnya dari dirinya. Tapi apa, ia tak mengerti. Gadis itu bangkit, beringsut dari duduknya lalu melangkah memasuki kamar.
Kapan kamu pulang, Vana. Adik kita butuh kehadiran kamu.batin Morgan.
Morgan membuka berkas pentingnya, tetapi kemudian ia teringat sesuatu. Menurut dokter, usia adiknya tidak akan lama lagi. Apa yang harus dia lakukan saat ini. Kecuali membahagiakannya. Ia lalu teringat akan sosok pemuda yang begitu dekat dengan Shayana. Ia ingin menjodohkan pemuda itu dengan adiknya.
BERSAMBUNG