bc

KELUARGA METAL

book_age18+
8.9K
FOLLOW
211.0K
READ
time-travel
goodgirl
brave
mistress
comedy
bxg
city
wife
like
intro-logo
Blurb

( DI anjurkan baca story OM TAMPAN MENCARI CINTA terlebih dulu)

Sequel dari kisah serunya keluarga kepresidenan Republik Rakyat PEA berlanjut lewat celoteh KEZIA FREYA ALATAS ISMAN. Istri dari RENO SADDAM ISMAN dan ibu dari tiga anak. Dua kembar jagoan Erdogan dan Barrack Isman juga satu putri dalam Republik ADITHA RANIA ISMAN alias Tata Isman.

Banyak keseruan yang akan di ceritakan Kezia sebagai ibu negara dan istri president. Dari mulai kelakuan ajai anak anak president rasa sultan yang membuat gemes sampai pingin nyubit, juga celoteh mama Zia soal anggota lain keluarga terdekat president. Mulai dari keluarga kerajaan yang punya raja sakit jiwa, sampai keluarga hot papa manula yang di mana aja mesra mesraan. Story ringan dan menghibur, menarik di ikuti karena konfliknya ringan dan mengundang gelak tawa di sana sini.

Yuk ikuti pengalaman Kezia jadi istri dari om om hot papa, yang tajir melintir seperti raja minyak....cekidot genks....

chap-preview
Free preview
1. Ibu Negara Rasa Emak Emak
KRIINGGGG!!!!. Aku menjulurkan tanganku meraih alarm di meja samping tempat tidur untuk mematikan bunyinya yang menjerit lalu meraba kasur di sebelahku. KOSONG!!, aku langsung bangun terduduk. Dimana suamiku?. “Eh udah bangun, kalah cepat sama aku” ejeknya dari luar kamar. Aku tertawa. “Gak bangunin aku sih Yang?” tanyaku saat dia mendekat lalu melepas kopiah yang dia pakai. “Kamu memang udah gak palang merah?” tanyanya. Aku tertawa. “Tumben kamu gak itungin” jawabku. Gantian dia tertawa. “Sana absen subuh dulu, aku mau tidur lagi, sebelum tugas antar anak anak sekolah” perintahnya. Aku mengangguk turun dari kasur lalu ke kamar mandi untuk wudhu lalu absen subuh. Suamiku begitu kalo tau aku sedang datang bulan, membiarkan aku tidur lebih lama, kalo aku sedang tidak palang merah, dia pasti membangunkanku. Atau kami bangun bersama setelah bunyi jam weker. Setelah absen dan ganti lingerie yang aku pakai dengan daster sebagai seragam kerjaku sebagai emak emak 3 anak kecil, aku bergegas keluar kamar, melihat jagoan kembar, anak anakku. Mereka juga disiplin absen walaupun masih kecil, eh gak terlalu kecil juga, sudah kelas 5 SD. Aku lalu tersenyum mereka sudah tidur lagi masih memakai sarung. Lumayanlah satu jam mereka bisa tidur lagi, sampai tiba waktu sekolah. Berarti tinggal mengecek putri bungsuku. Dia masih terlelap juga, dia doang sih yang memang belum disiplin absen subuh, masih kecil, baru mau 6 tahun, dan sekolah TK. Aku memperbaiki selimutnya, lalu bergerak ke dapur untuk menyiapkan sarapan. “Kez…morning…” sapa ayahku yang tinggal satu rumah denganku. “Morning yah…jogging?” tanyaku. Beliau tertawa. “Ayah buatin teh tanpa gula ya Kez, Noni nanti marah kalo ayah minum teh manis, gula ayah bisa naik” katanya. Aku mengangguk dan ayahku berlalu untuk jogging dengan tetangga sebelah rumahku. Bukan tetangga benaran, mereka masih sepupu suamiku, dan kami bergaul akrab sekali, layaknya keluarga lain. Lupa kenalan, seperti tadi aku bilang, aku emak emak 3 anak. Dua anak lelaki kembar, dan satu putri. Kalendra Erdogan Isman atau Erdo, lalu satu lagi Rajendra Barrack Isman atau Barra. Itu nama anak lelaki kembarku. Nama mereka memang unik, karena memakai nama president terkenal di dunia. Gara gara nama suamiku juga yang berbau nama president, Reno Saddam Isman, begitu nama suamiku, jadilah anak anak kami memakai nama president seperti papanya. Dan untuk itu kami kadang di juluki keluarga president. Tapi putriku tidak memakai nama president wanita, karena aku suka pada ratu Rania dari Yordania yang cantik. Jadilah Tata, nama panggilan untuk putri bungsuku, jadi ratu di sebuah republic. Siapa yang mau protes?. Suamiku namanya aja berbau president, tapi dia lebih pantas di sebut sultan. Dia pengusaha penyewaan alat berat untuk proyek, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di eropa dan Timur Tengah, karena punya kantor perwakilan di sana. Dia juga punya usaha POM bensin, layaknya raja minyak. Belum usaha ekspedisi, walaupun untuk mendukung usahaku yang dia buatkan, dalam bidang fashion retail online. Pantaskan suamiku di bilang sultan kalo dia tajir melintir?. Tapi tetap aja, aku sebagai istri sultan, ada jamnya juga aku jadi emak emak yang harus urus anak dan suami. Suamiku selain tajirun, dia juga keceh badai, walaupun umurnya mendekati setengah abad, 49 tahun. Aku ya masih muda, belum 35 tahun, karena jarak umur kami, 15 tahun saat menikah. Benar sekali kalo kalian bilang, aku menikahi dengan om om. Tapi jangan pikir, suamiku seperti lelaki tua renta, apalagi jompo. Suamiku tuh, semakin tua semakin gahar. Benar orang bilang, pria dewasa dan matang itu, memang menggiurkan. Sikapnya dewasa, jadi ngemong, suamiku begitu. Jadi aku merasa di sayang sekaligus di jaga. Selesai membuat sarapan untuk anak dan suamiku, aku bergerak lagi ke kamar mereka. Sudah jam 6, mereka harus bersiap sekolah, walaupun, sekolah internasional yang masuknya lebih siang dari sekolah negeri. “Abang bangun!!” kataku. Erdo yang membuka mata lebih dulu. “Jawab dulu tebak tebakan abang mah!!” jawab Erdo. Aku menghela nafas. “Gak minat” jawabku sambil menarik selimut mereka. “Bilang aja mama gak bisa jawab” suara Barra. Aku berdecak. “Gimana mama jawab, kalo tebakan kalian gak masuk akal trus” jawabku malas. Mereka kompak bangun terduduk sambil tertawa, karena aku menarik tangan mereka bangkit. “Kenapa p****t keriput?” tanya Erdo. “Jawab mah, baru kita mandi!!” jawab Barra. Aku menghela nafas lalu tolak pinggang di hadapan mereka berdua. “Pasti nyontek di internet” kataku. “Jawab aja mah” jawab Erdo. “Ayo mah, nanti kita cium deh” kata Barra. “Mama bosan di ciumin kalian terus dari kecil” jawabku. Erdo berdecak. “Aku pijitin kalo gitu” jawab Erdo. Aku menatap mereka berdua. “p****t keriput karena di cuci doang, tapi gak pernah di setrika” jawabku. Mereka terbelalak lalu bersorak. “Akhirnya mama bisa jawab!!!” cetus Barra girang. “MANDI!!!” jedaku pada kegirangan mereka. Mereka tertawa. “Sayang mama…cantik deh mama hari ini” rayu Erdo lalu ke kamar mandi. Aku menatap Barra. “Aku mandi habis Erdo mah, masa berduaan” kata Barra. Aku menghela nafas lalu beranjak menyiapkan baju sekolah mereka di awasi Barra. “Kaos kakiku mah, jangan sebelah kanan semua” ledek Barra. “Mana ada sih?” omelku. “Aku cuma ingetin, takut mama salah” jawabnya. Aku tolak pinggang lagi. “Kaos kaki mau kanan atau kiri, bentuknya tetap sama Bar” jawabku. “Udah gak lagi mah, kan kaos kaki zaman sekarang pakai spion biar gak nabrak” jawabnya. Aku menggeram dan dia terbahak menerobos kamar mandi. Bukan dari tadi mandi, malah ledekin aku. “Mama bangunin dede, awas kalo kalian belum rapi pakai seragam” kataku dari balik pintu kamar mandi. “Iya mah…” jawab Erdo yang selesai mandi duluan. “Yang rapi pakai seragamnya bang!” kataku sebelum beranjak keluar kamar. Erdo itu lebih cenderung berantakan dan cuek, beda dengan Barra yang suka kerapian. Aku sekarang ke kamar putri bungsuku. “Loh kok gak ada?” tanyaku pada suster Tata yang keluar dari walk in closet Tata membawa seragam Tata. “Ke kamar ibu, nyusul bapak” lapor Laras suster Tata. Aku jadi beranjak ke kamarku lagi. Benar aja, putri bungsuku sedang tidur berpelukan dengan papanya. “De bangun!!, sekolah!!” kataku. Dia menggeliat sebentar dan masih memeluk papanya. “5 menit mah” jawabnya. “Tapi 5 menit waktu LA” tambah suamiku dengan mata terpejam. Tata tertawa dan aku menggeram. “Berarti masih lama dong pah?, kan kak Ara bilang di LA masih malam” kata Tata. Suamiku tertawa lalu membuka mata dan menciumi wajah Tata. “Makanya kita bobo lagi” ajaknya. Aku menggeram lagi. “Bangun gak!!, kapan tugas ibu negara rapi kalo rakyatnya males” omelku. Tata menoleh menatapku. “Mana ada rakyat sih mah?, papa bilang aku ratu” jawab Tata. Suamiku tertawa mengejek ke arahku. “5 menit gak bangun, mama gak mau urus lagi!!, biar aja mama resign jadi ibu negara” ancamku. Suamiku langsung bangun terduduk. “Mama ngamuk De, ayo kita bangun!!, papa antar ke kamar dede” ajak suamiku. Baru Tata nurut. “Gendong pah!!” rengeknya. Suamiku kabulkan, dia gendong Tata keluar kamar. Aku menggeleng melihat kelakuan anak dan suamiku. Aku kasih tau ya, Tata itu terbawa kebiasaan yang di terapkan ayah angkatnya, yang juga sepupu suamiku, yang tidak suka kotor. Tata jadi terbiasa harus selalu bersih. Jalan di rumah aja, segitu lantai rumah kami bisa untuk ngaca, tetap aja dia pakai sandal. Jangan harap mau jalan telanjang kaki di lantai rumah. Kalo terpaksa jalan, pasti jinjit dengan ekspresi jijik. Kakinya tuh sensitive sekali dengan debu. Dia bakalan nangis kalo dia rasa kakinya kotor. Padahal perasaan dia doang. Pernah karena aku kesal, aku pakaikan dia kaos kaki supaya dia tidak mengeluh kakinya kotor terus. “Anakmu sakit?” tegur ayahku melihat Tata siang siang pakai kaos kaki. “Gak yah” jawabku. “Itu kenapa pakai kaos kaki seperti orang meriang” komen ayahku. Suamiku ngakak. “Kezia pusing Tata minta cuci kaki terus walaupun kakinya cuma kena lantai beberapa detik” kata suamiku. Ayahku tertawa. Ya kadang aku malu, kalo sedang bertamu ke rumah orang. Tidak mau lepas sepatu dalam rumah. Waktu kami harus ke rumah Kirana, rekan kerjaku dari zaman kerja di kantor suamiku di awal kami menikah, karena Kirana habis lahiran anak kedua, Tata ngamuk menolak membuka sepatu. “Kuman mah, lantainya bisa aja gak bersih. Aku gak mau lepas sepatu, kecuali papa gendong” tolaknya. Aku meringis melihat Kirana yang justru terbahak. “Susah dah anak sultan yang datang ke rumah rakyat jelata” komen Kirana. “Maaf Kir…” desisku tidak enak. “Slow sista, namanya anak kecil” jawab Kirana. Jadilah suamiku gendong Tata terus, termasuk saat dia duduk dan mengobrol dengan suami Kirana. Untung tipe hot papa, yang mau repot sama anak. Aku kadang mau ngamuk dengan perlakuan keluarga suamiku terhadap anak anakku. Tapi ya gak enak dan gak bisa juga. Mereka yang di bilang horang kayah oleh orang banyak, pasti selalu mau dapat perlakuan kelas satu dan terbaik. Suamiku juga begitu, kalo aku complen. “Aku cari uang sampe ke Inggris dan arab bisa berminggu minggu, ninggalin kamu dan anak anak, kalo kamu atau anak anak kekurangan, mending aku di rumah aja, ajak si Dodo tempur sama kamu” jawabnya. Jadi aku cuma bisa pasrah dan mengiatkan suami dan anakku sesekali, dan aku memilih tetap bersikap PEA menghadapi ketidakwarasan keluargaku. Kembali ke rutinitas pagiku, akhirnya aku keluar kamar, dan ke meja makan lagi. Suamiku yang muncul lebih dulu. “Makan mah!!” rengeknya plus ciumannya di pipiku. “Duduk!!” jawabku. Dia menurut duduk lalu mengawasiku menyiapkan nasi gorengnya. “Gak goreng pake minyak sayurkan?” tanyanya. Aku menghela nafas. “Harus selalu nanya sih Yang, aku goreng pakai margarine, supaya kamu gak kena kolestrol!!” jawabku. “Pinternya mama Zia, papa Eno biar sehat” jawabnya. Aku tertawa. Suamiku memang menjaga sekali pola makannya, dia bilang harus selalu sehat, karena anak kami masih kecil kecil. Dia menghindari sekali makanan makanan berkolestrol tinggi. Makan ayam aja, mesti tanpa kulit atau ayam kampung. Rajin olah raga dan banyak sekali minum air putih. Menghindari sekali teh dan kopi. Pokoknya seperti onta, kuat sekali minum air putih berliter liter setiap hari. Jadi jangan heran kalo dulu di kamar kami seperti dagang s**u kotak karena abang kembar suka minum s**u kotak, sekarang di kamar kami banyak berderet botol air mineral ukuran setengah liter dan dari merk yang memang memiliki kwalitas air putih bagus. Sekali tenggak harus keluar uang 20 ribuan, bisa hitungkan, berapa duit sehari cuma untuk minum kami?. Suamiku aja, semalaman bisa habis 3 atau 4 botol. Sultan bangetkan?. “PAPA!!!, morning!!” sapa Barra lebih dulu baru Erdo menyusul lengkap dengan tas mereka. “Morning…ayo sarapan!!” ajak suamiku. Kembar jagoan menurut mengambil tempat berderet di meja makan sebelah kanan. Sibuk lagi aku dengan sarapan mereka. “Nasi goreng?, mah aku bilang, aku lebih suka sarapan roti” protes Barra. Erdo justru sudah mulai makan. “Jangan sok londo, makan nasi gorengmu!!” perintahku. Mana kenyang kalo makan roti doang, mereka sekolah sampai jauh siang. “Bukan gitu mah, nasi itu terlalu banyak mengandung karbo, kalo gendut, nanti aku gak ganteng lagi” protes Barra. Erdo tertawa. “Makan!!, orang kalo udah aslinya ganteng mah, mau gendut juga tetap ganteng” ledek Erdo lalu mengacak rambut Barra yang sudah tersisir rapi. “Bang!!, ya elah, rusak rambutnya, aku udah pakai pomade dari bang Timmy” protes Barra sambil memperbaiki jambul rambutnya yang berpotongan spike. Erdo terbahak, potongan rambutnya seperti Barra, tapi Erdo tipe yang tidak suka rapi, jadi dia biarkan jambulnya rebah, dan tidak berdiri seperti Barra yang klimis. “Udah di bilang, jangan panggil abang, kita seumur. Kak Ara sama kak Immy aja panggil nama, kan kembar kaya kita” protes Erdo. Barra berdecak. “Gak panggil abang, trus panggilnya apa?, Dodo?, emang jagoan kecil papa!!” jawab Barra masih sibuk dengan jambul rambutnya yang menurutnya berantakan. Suamiku sampai menyemburkan air yang dia minum lalu terbahak mendengar nama Dodo di sebut. “Pah, kok kesannya aku tua banget, di panggil abang trus sama Barra” protes Erdo pada suamiku. Suamiku menghentikan tawanya. “Nanti dede Tata ikutan panggil kamu nama kalo Barra panggil kamu nama doang” jawab suamiku. Erdo menghela nafas dan Barra tertawa mengejek. “Mah aku masih gantengkan?” tanya Barra setelah yakin rambutnya rapi lagi. “Ganteng kaya toren” jawabku. “HAH!!!” jerit Barra berbarengan dengan Erdo. “Kalian pakai seragam warna orange, mama jadi ingat warna toren rumah kita” jawabku. Suamiku terbahak lagi. “Mama mulai pea pah, masa anaknya ganteng badai paripurna tanpa penyaringan di bilang kaya toren” protes Erdo meniru ayah angkatnya yang tingkat kepedeannya sejuta. Aku tertawa lalu duduk di meja makan. “Gak sekalian bilang kita PPSU, gara gara seragam kita warnanya sama kaya PPSU” protes Barra. Lagi lagi aku tertawa. Lagian heran aku tuh sama sekolah anak anakku. Kesel lebih tepatnya kalo hari senin datang. Seragam mereka celana warna orange terang, kemeja putih dan rompi orange juga. Anak anakku jadi seperti toren. Padahal uang sekolah mereka setahun sampai ratusan juta. Gak bisa apa ya cari seragam yang warnanya gak buat mataku sakit. “Udah habiskan sarapan kalian” jeda suamiku. Mereka menurut makan. “Papa antar kitakan?, bunda Noni bilang, ayah Ino masih hibernasi” kata Barra dengan mulut penuh makanan. Suamiku mengangguk. “Heran aku tuh, ayah Ino kenapa dalam sebulan pasti ada waktu tidur trus, udah mau seminggu, apa kecapean gambar ya pah?, kita kangen di antar ayah Ino, kangen main game bareng, ayahnya malah tidur trus” keluh Erdo yang dekat sekali dengan ayah Inonya. Aku meringis menatap suamiku yang menghela nafas. Gak mungkinkan bilang pada jagoan kembar, kalo ayah angkatnya begitu, karena bunda Noninya sedang datang bulan. Merasa tidak ada kerjaan jadi ayahnya memilih tidur. Kalo bunda Noninya tidak palang merah, pasti bercinta dengan bunda Noninya di mana aja dan kapan aja, semau mereka di setiap ada kesempatan. Nanti aku cerita keluarga lain yang jadi tetangga keluarga kami, mereka keluarga kerajaan beda dengan keluarga kepresidenan seperti keluarga kecilku. “Udah biarin ayah Ino tidur, setiap hari dia kerja gambar trus kalo malam, kalo siang ribet temenin kalian, kalo ayah kalian sakit, nanti kalian sedih” jawab suamiku. Kembar jagoan mengangguk. “Papa…aku cantik gak?” anak bungsuku bergabung sambil berlari setelah turun dari gendongan susternya. Suamiku tertawa lalu menyambutnya. “Cantiknya putri papa” kata suamiku lalu memangku Tata duduk. Tata tergelak. Aku bangkit mengambilkan sarapan Tata setelah mengambil piring bekas suamiku makan. “Mah kok telur ceploknya mateng banget” keluh Tata cemberut. Aku menghela nafas. Ketularan tetangga lagi yang suka makan kuning telur ceplok setengah matang. “Ganti mah, gak mau…” rengeknya. Suamiku menatapku. “BIBI!!” jeritku separuh kesal. Padahal tuh telor ceplok, masih setengah matang versiku tapi untuk Tata beda versi. PRT yang sejak tadi membantuku menyiapkan sarapan mendekat. “Buatin lagi telur ceplok buat Tata!!” pintaku. “Bi, kuning telurnya yang masih endoy endoyan ya, jangan mateng kaya mama goreng, aku supaya pinter makan kuning telur setengah mateng” pinta Tata pada bibi. Bibi tertawa dan aku memutar mataku. “Siap non Tata!!” jawab bibi lalu beranjak. Tata bersorak. “Ayo makan dulu!!” perintah suamiku. “Suapin pah!!, bunda Noni aja udah gede di suapin ayah Ino, aku nanti cape. Aku kan mau sekolah” rengek Tata. Kalo suamiku tertawa, aku rasanya mau sekali menyelupkan anak bungsuku ke bak mandi. Manjanya ampun ampunan. “Abang Dodo, sama abang Babay, keceh amat” sapanya pada jagoan kembar. Kedua abangnya memutar mata malas dengan kompak. “De jangan Dodo. ERDO!!” protes Erdo. Tata tertawa. “Tau, masa Babay, BARRA!!” protes Barra juga lagi lagi memperbaiki jambul rambutnya yang kaku. Tata semakin tertawa. “Emang ngapa, papa aja di panggil Eno, ayah di panggilnya ayah Ino, lucu….” Jawab Tata merengek di akhir kata. Suamiku tertawa lalu menciumi pipi embul Tata karena mulutnya penuh makanan. “Dasar kiting!!” cetus Erdo. Tata tertawa lagi. “Bodo, kiting juga keceh” jawabnya santai. Barra sudah tidak ikutan berdebat, justru bangkit dari duduknya. “Aku pamit sama bunda Noni sama kakek, sekalian lihat ayah Ino” pamit Barra. “Ikut Bar!!” seru Erdo. Berlarianlah mereka ke rumah tetangga. Tata begitu juga kalo papanya keluar negeri untuk meminta bala bantuan untuk kemanjaannya. Aku kan tidak selalu menuruti kemauannya, seperti yang lain. Suamiku tetap menyuapi Tata makan, aku jadi punya kesempatan ikut sarapan. Apalagi telor ceplok pesanannya datang, makanlah Tata dengan antusias, lelehan kuning telur setengah matang. Aku yang jadi eneg lihatnya, dianya santai makan sampai habis lalu minum s**u kotak yang di ambilkan bibi. “Alhamdulilah…” seru Tata dan kami tertawa. Tatanya cengar cengir. “Ayo pah jalan, ayah Ino masih tidur” lapor Erdo begitu kembali. “Yuk!!” ajak suamiku bangkit dan menggendong Tata. “SUSTER!!!” lolong Tata memanggil susternya karena harus ikut dan menjaga dia sekolah. Suster memang harus ikut, karena selain menunggu anak anak sekolah, juga untuk membawa tas bekal abang kembar dan tentu saja tas tuan putri Rania Isman. Pokoknya sekolah doang, seperti mau ngelenong, brendong petong deh. Padahal nih, ada jam istirahat, dan dapat makan siang di sekolah, karena jam pulang sekolah abang kembar sampai jam 3 sore, Tata yang TK aja sampai jam 12 atau jam 1 siang, itu pun masih dapat makan siang. Nah bekal itu di makan saat jam istirahat, anak anakku di set untuk tidak jajan di kantin oleh ayahnya yang paranoid dengan makanan di luaran. Takut kotorlah, takut kadaluarsalah, intinya mereka menurut tidak jajan di kantin. Di pikir pikir, mana ada kantin sekolah elite seperti yang sepupu suamiku khawatirkan. “Dah mama!!, asalamualaikum!!” jerit papa dan 3 anak kompak setelah bergantian mencium pipiku lalu masuk mobil di ikuti suster Tata. “Walaikumsalam!!” jawabku. Berlalulah anak anakku ke sekolah. Sudah jam 7 lebih, mereka masuk setengah 8 pagi, semoga tidak telat. Tugasku tinggal mengurus ayahku sarapan. Itu pun tidak benar benar selesai sebelum suamiku pergi kerja. “Makasih Kez, ayah mandi dulu terus ke kantor” kata ayahku setelah aku temani sarapan. Aku mengangguk lalu menyuruh bibi membereskan bekas sarapan ayahku. “NENG!!!!” Aku menghela nafas mendengar suara suamiku yang pulang mengantar anak anak sekolah. Aku biarkan dia mendekat ke arahku. “Yuk giliran urus bapak president” katanya setelah berhasil merangkul bahuku. Aku tertawa. Bagian urus bapak president sebagai tugas penutup sebagai emak emak rasa ibu negara. Anak anak penerus bangsa sudah belajar untuk masa depan. Bapak negara mesti di urus juga, kan untuk kerja memimpin negara kecil kami. “Mama Zia belum mandikan?” tanyanya begitu menutup pintu kamar kami. “Aku masih pakai baju perang untuk tempur di dapur, mana mungkin aku udah mandi” jawabku. Kode banget. “Kalo gitu kalo tempur sama si Dodo gak usah pakai baju” jawabnya. Aku tertawa lalu terbelalak waktu suamiku sudah bersiap menarik lepas daster yang aku pakai. “Aku bau bawang” cegahku melepaskan cengkraman tangannya di bagian depan dasterku. “Aku suka, apa lagi bawang goreng” jawabnya. “Aku bau iler” jawabku. “Enak iler kamu mah, suka aku” jawabnya semakin memojokkan aku ke arah ranjang. Aku tertawa canggung. “Malam aja yak tempurnya” kataku. Dia berdecak. “Si Dodo udah kelamaan puasa, seminggu mama Zia palang merah, mau ngerock” tolaknya. “Konser di mana mana malam, emangnya ngaji pagi pagi” jawabku. Dia terbahak. “Ih mama Zia pea lagi, papa Eno jadi makin cinta” jawabnya lalu mendorongku ke kasur. Aku menepuk jidatku, harusnya aku waras dulu, udah tau suamiku malah suka kalo aku bersikap PEA. Aku meringis melihatnya melucuti pakaian sampai dia bugil. “Astaga Do…..udah tua bukan makin kisut kok malah semakin berkedok” keluhku merengek. Suamiku ngakak lalu menerjangku di ranjang. Ibu negara apaan?, kok malah harus jadi bintang film Unyil pagi pagi. Ada juga jadi ibu negara pagi pagi lagi ngeteh cantik sambil mendengarkan aspri bacakan jadwal kerja harian, ini malah desah desah sampe mangap mangap tempur sama si Dodo, sebutan jagoan kecil suamiku seperti kedua anak jagoan kembarku bilang.                

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
93.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook