bc

Cinta Sahabat Data

book_age16+
215
FOLLOW
1K
READ
confident
warrior
tragedy
nerd
office/work place
betrayal
whodunnit
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Maila, seorang Operator Sekolah yang mendapatkan berbagai masalah semenjak bertemu dengan Darel. Laptop Maila terkena tumpahan teh panas Darel, karenanya laptop Dapodik yang belum sempat disinkronkan mati. Akhirnya dana Bantuan Operasional Sekolah tidak cair. Ia dituntut oleh Kepala Sekolah dan wali murid sekolahannya. Maila membenci Darel, namun pria dengan aroma kopi itu justru diam-diam memendam perasaan. Darel sangat kagum dengan kepribadian Maila yang masih berjuang demi banyak orang padahal dirinya menderita penyakit lemah jantung.

Mampukah Maila bersatu dengan Darel? Sementara ada pemuda bernama Gilang yang jatuh hati pada Maila sejak SMA.

chap-preview
Free preview
Sial!
Juli— bulan tersibuk bagi Gumaila. Ada dua berkas pencairan proposal keuangan yang harus segera ia kirim ke dinas pendidikan, bantuan operasional sekolah, juga insentif para guru. Deadline mengejarnya seperti desisan angin. Bola matanya terus menyorot ratusan huruf alvabet yang bergerak-gerak di layar laptop. Bunyi ketikan terdengar nyaring seirama bertambahnya lembar tugas. Pikiran terpusat pada jumlah anggaran dan rencana pembelanjaan. Jika salah satu angka terpeleset dari tempatnya, jumlah akan terburai seperti remah-remah roti di lantai. Tak berguna. Ia tidak ingin menghabiskan sisa-sisa akhir bulan julinya untuk merevisi berkas tersebut. "Sachi!" panggilnya pada rekan di sebelah, "kau sedang sibuk?" Wanita itu menoleh. Ia merapikan kerah baju kemudian menggeleng-gelengkan tangan kanan, artinya tidak. "Saya boleh minta tolong, belikan materai sepuluh di kantor pos!" "Baik, Bu. Oh ya, materinya senilai berapa?" "Sepuluh ribuan." Seusai berkas siap, segera ia mintakan tanda tangan kepada kepala sekolah, meneliti sejenak kemudian tancap gas menuju dinas pendidikan. Ia berharap tidak ada muka cemberut dari Bu Susi selaku kurator proposal tersebut. Ia pun tidak ingin ada noda-noda merah di berkasnya. Maila— begitulah banyak orang memanggil, memacu sepeda motor dengan cepat. Udara memeluknya lekat-lekat, seakan melarangnya terbang di antara embusan angin musim kering. Harusnya bulan ini kemarau masih berdiam di bumi Indonesia, tapi hujan dan dingin tak sabar bertamu, maka jangan heran jika pagi setengah siang itu langit mengabu-abu, ada kawanan burung yang pulang ke rumah usai berburu. Kendaraan berlalu-lalang mengangkut kepentingan masing-masing. Maila tidak peduli dengan pernak-pernik detik, ia fokus pada dua proposal di ransel yang bergoyang di punggung mengimbangkan tubuhnya dengan laju sepeda motor. Lampu Apill menyala merah, ia berhenti seperti kendaraan lain. Ketika ia menarik gas motor dan ambil arah ke kanan, sebuah mobil Avanza lari layaknya dikejar setan, ia kaget setengah mati, reflek sepeda motor berjalan ke kiri tanpa sempat melirik spion, sialnya sepeda motor lain sedang melaju, tabrakan terjadi. Ia kehilangan kendali, tersungkur di trotoar. Langit terisak. Embun menyerbuk di ujung-ujung rambut. Kakinya tertimpa tubuh motor yang tak lagi bertenaga. Berharap dirinya pingsan, tidak ingin melihat kenyataan perih di ujung urat-urat deadline. Ia menangis menyadari hujan turun tanpa belas kasihan. Ranselnya basah. "Maaf, saya tidak sengaja! Saya buru-buru," "Saya tidak peduli dengan keburu-buruan Anda, harusnya mata Anda bisa melihat ada sepeda motor lain di depan!" "Saya tahu— yang saya tidak tahu kenapa Anda tiba-tiba belok ke kiri padahal saya sudah hati-hati," Laki-laki itu luka di bagian lutut, ada darah segar mengalir, namun ia tak merasakan sebab perasaan bersalah tumbuh di d**a. Secara logika ini kesalahan mobil Avanza yang ngebut, jika saja Maila tidak kaget, maka ia tidak akan membuat lelaki itu menabraknya, tubuhnya tidak akan luka, motornya tentu masih melaju, dan— proposalnya tidak akan basah. "Haaaaa... Anda tahu saya dikejar deadline? Anda tahu banyak teman-teman yang mengandalkan saya? Anda tahu seberapa lelah saya hari ini?" Lelaki itu mengerutkan dahi, ia tak mengerti dengan gadis yang marah-marah kepadanya, harusnya ada maaf yang keluar dari bibir, bukan justru merasa menjadi korban, ia hendak mengumpat bahwa kecelakaan tersebut bukan utuh kesalahannya, tapi tak punya keberanian. Melihat pipi dipenuhi dengan embun dan seragamnya basah, membuat batin lelaki itu luluh. Seperkian detik, orang-orang berkerumun, memberi pertolongan, angkat sepeda motor Maila dan memapah tubuhnya. Lelaki itu terpincang-pincang memarkir sepeda motor. Mereka berdua menenangkan pikiran masing-masing di depan kafe yang masih tutup. Para penolong memutuskan melanjutkan perjalanan mereka. Tidak ada ambulans datang karena mereka dianggap baik-baik saja. "Kita damai ya?" kata laki-laki itu merasa akrab. "Damai? Anda pikir dengan damai proposal yang basah saya bisa kering?" "Saya juga tidak tahu dirimu membawa berkas penting, saya juga tidak bisa menyalahkan kenyataan yang membuat kita tabrakan hari ini! Anggap saja itu takdir!" "Haaa... " Maila kali ini menangis histeris. Ia menelungkupkan kepalanya di antara dua lutut. Bahunya terisak, rasa sakit kaki dan linu tubuhnya tidak sebanding dengan luka kesia-siaan usahanya menyusun berkas pencairan. Hujan masih turun. Riak air terpercik ke tubuh mereka berdua. "Kalau saja aku tidak kaget," lirih Maila. "Maafkan saya," kata lelaki itu, lelaki yang belum mengenalkan identitasnya kepada Gumaila. Hujan memberi saran supaya Maila pulang dengan cara meredakan jutaan titik air. Pelan-pelan hujan pergi, entah ke kota mana, entah ke pulau siapa, ia pergi tanpa ucap pamit, tugasnya mencetak sejarah pada kehidupan Maila purna. Jalan raya kembali ramai. Jas-jas hujan dilepas. Pejalan kaki di trotoar mulai berjejalan. Bersamaan itu sebuah mobil sedan bercat hitam parkir di depan kafe. Klakson disiulkan tanpa peduli raut sedih Maila. Sialnya genangan air sempat mengenai wajah dan tubuh Maila. Ia spontan mengumpat. "Hei! Parkir jangan sembarangan! Lihat di sini ada makhluk hidup!" ocehnya sambil berdiri. Mata sembabnya menyorot mobil tersebut, ia memarahi sopir yang dianggapnya semena-mena. Sopir turun dengan membanting pintu mobil. Laki-laki berkulit putih, berbola mata elang, nyaris menerkam wajahnya. Laki-laki itu berdiri di sebelah mobil, memandang satu persatu wajah makhluk yang ada di depannya. Kaos hitam dengan lukisan biji kopi menggambarkan dirinya sebagai pemilik kafe tersebut. "Aku parkir sembarangan?" ucap pemilik mobil sambil meletakkan ujung telunjuk setengah membungkuk ke d**a. "Kenalkan! Darel, pemilik Indocafe ini," kemudian tangan diulurkan untuk menjabat. "Maaf, kami menumpang di sini sebentar untuk istirahat, barusan kami tabrakan. Hujan tidak memungkinkan kami segera pergi dengan kondisi tubuh pasca kecelakaan." Lelaki penabrak Maila memberi keterangan. "Oke, baiklah. Silakan pergi, hujan sudah reda." Maila menelan air liur dalam-dalam. Ia kurang suka dengan jawaban yang barusan didengar, benar kafe itu miliknya Darel, tapi apa salahnya jika dirinya numpang sebentar? Lagi pula kafe sedang tidak buka. "Dan kau wanita tidak sopan!" menunjuk wajah Maila, "ucapkan maaf kepada saya karena telah lancang ...." "Buat apa minta maaf pada makhluk tidak berperikemanusiaan dan pelit!" Maila melangkah menuju sepeda motor. Tutup knalpotnya pecah, ia tidak peduli, yang penting ingin segera kembali ke sekolah, mengeprint ulang berkas proposal dan mengantarnya jika ada waktu. "Tunggu! Bagi saya nomor ponselmu, bagaimanapun saya akan menemuimu untuk bertanggungjawab, saya tidak bisa memperbaiki sepeda motormu hari ini karena harus segera pergi," kata laki-laki itu. "Ini bukan tempat pedekate!" cetus Darel sedikit geram. "Pergi! Aku mau masuk!" Maila memakai helm dan meninggalkan mereka, nomor ponsel tidak diberikan, baginya kontak termasuk privasi yang tidak boleh disebarluaskan dengan bebas. Ada banyak pekerjaan menunggu di sekolah. Meski sekadar mengeprint ulang, tapi semuanya butuh kelonggaran waktu, tanda tangan misalnya— ia harus menghadap kepala sekolah, langsung ke rumah, karena pada jam siang itu pasti kepala sekolah sudah pulang. Jarum menunjuk pada angka dua belas lebih sepuluh, dinas pendidikan tutup pukul lima belas, ia masih memiliki waktu tiga jam untuk mengulangi pekerjaan. Satu jam untuk menata berkas, tanda tangan, memberi stempel dan memasukkan ke dalam map masing-masing, satu jam lagi untuk menempuh perjalanan ke dinas pendidikan yang berjarak 45 km dari sekolahannya, satu jam kemudian digunakan untuk memeriksakan berkas kepada Bu Susi. Ia harap Tuhan memperlambat langkah detik. *** Bagi Maila, hari itu merupakan hari paling menyebalkan, jika tidak berurusan dengan tanggung jawab, ia ingin sekali rebah di kamar, peluk guling, semedi dalam sunyi, bisa juga melamunkan hal-hal indah pada masa mendatang. Lelahnya diabaikan, dirinya bahkan lupa dengan rasa sakit. Setiba di sekolah, ia langsung menyalakan printer dan laptop tanpa berganti pakaian, beruntung angin yang ia terobos mengeringkan kain yang melekati tubuhnya. Meski belum kering sempurna namun ia tidak punya banyak waktu untuk pulang mengambil baju. "Guru-guru lain sudah pulang?" tanyanya sambil memencet tombol enter. Sachi mengurungkan niat pulang. Ia iba dengan keadaan Maila yang memprihatinkan, seragam lembab, wajah tegang, dan jari-jarinya berlomba dengan ritme detik. Sebagai guru kelas ia tidak bisa banyak membantu pekerjaan kantor, ia belum memahami administrasi kantor sekolah, apalagi berhubungan dengan anggaran, yang ia kuasai hanyalah cara mengajar dan membuat peserta didik senang. "Sudah, Bu. Ada yang bisa dibantu?" "Baik, kemari, susunlah sesuai yang saya instruksikan, pakta integritas diberi materai pada bendel satu dan bendel dua, surat permohonan diletakkan paling depan, kemudian surat pernyataan tanggung jawab mutlak, RAB, lampiran-lampiran dan ...." banyak sekali perintah yang belum sempat Sachi lakukan, tapi Maila terus bersuara. Tangan Maila bergerak gesit, printer mencetak tanpa jeda, laptop merekam adegan tegang mereka. Kantor berukuran enam kali tujuh itu terasa engap, ada aura pekat yang membuat d**a terasa sesak. Kekhawatiran dinas pendidikan tutup membuat mereka lupa makan dan minum. Keringat membutir di kening, dahaga mengering, senyuman kusut, suara terdengar selalu buru-buru. "Terima kasih Sachi, jika tidak ada dirimu berkas sekolah kita mungkin belum selesai. Saya akan kembali ke kota, semoga setibanya di sana belum tutup dan berkas kita diterima tanpa revisi," "Saya hanya membantu menatanya, selebihnya semua pekerjaan Bu Maila." Maila mengurai senyum. Ia belum bercerita mengenai insiden kecelakaan kecil yang dialami. Sepaham Sachi dirinya pulang karena berkas dimintai revisi. Ia pergi ke rumah kepala sekolah lalu langsung menuju dinas pendidikan. Kakinya bergerak cepat menjejaki tanga-tangga penghubung lantai satu dengan lantai lainnya. Dua tangannya memeluk berkas yang akan dieksekusi. Ribuan syukur ia gumamkan berkali-kali karena Kabid Paud— Bu Suci mau menunggu. Lelah di punggung yang sempat membuat kepala pening musnah seketika. Ia merasa terhormat dengan kelonggaran waktu yang diberikan. Jarum jam berhenti pada titik lima belas lewat tiga puluh, detik di mana senyum Maila memasam. "Bu Maila!" Suara Bu Suci terdengar begitu lembut, menyihir sampai ke pangkal hati, membuat gigi saling bergemeletak dan air liur tertelan getir. Suara lembut tersebut tidak dikehendaki keluar. Proposal tanpa komentar revisi pasti langsung ditutup dan pengantarnya diijinkan pulang. Bu Suci bukan orang yang pandai bertele-tele, ia tegas dan lugas. Ketika nama seseorang dipanggil, itu pertanda ada data atau berkas yang belum selaras dengan permintaan dinas. "Anda tahu berapa kode surat keuangan?" pertanyaan retoris. Bu Suci menandai dua digit angka di bagian nomor surat permohonan dengan tinta merah. Maila melirik berkas, ia lupa mengedit nomor surat, di sana tertulis nol dan angka lima, itu adalah kode surat undangan. "Maaf, Bu. Saya kurang teliti," "Sembilan ratus kode keuangan, hal-hal yang berhubungan dengan uang gunakan kode tersebut!" "Bisakah saya merevisinya hari ini?" "Kamu bawa flashdisk?" Maila mengangguk. "Carilah fotokopian dan printlah di sana, saya tunggu sampai jam empat!" "Baik, Bu. Terima kasih." Kopi, siapa tidak suka dengan minuman itu? Mayoritas penghuni muka bumi ini menikmatinya setiap pagi, pun ketika senja menjemput. Konon kopi pemikat inspirasi dan kisah-kisah manis bagi sebagian kecil kehidupan anak adam. Rasa kopi sering dianalogikan dengan kenyataan, bahwa dalam hidup ada kalanya terasa pahit, adakalanya terasa manis. Tidak selamanya seseorang dipenuhi penderitaan, pasti kebahagiaan hinggap meski sekejab. Seumpama takdir yang menciptakan partikel-partikel di semesta ini berpasang-pasangan, ada panas, ada dingin, hujan kekasih kemarau, musim semi saudara musim gugur, ada perempuan, ada juga laki-laki dan jutaan persilangan di dunia ini. Maka hari itu takdir Maila sedang pahit, ia tak mau menyalahkan cairan kopi panas yang membuat surat permohonannya bernoda cokelat dan tentunya basah kemudian robek. Di depan pintu masuk, ia lagi-lagi mengalami kecelakaan kecil. Tubuhnya menabrak laki-laki pengantar kopi. Tiga cup jatuh tidak berdaya, cairannya mengenai tangan dan badan kertas tanpa dosa. Ia menjerit histeris, merasa sakit, juga sedih pekerjaannya kembali sia-sia. Kali ini ia sadar dirinya yang salah, ia berjalan tanpa memerhatikan sekitar, ia hanya ingin segera tiba di kantor Bu Suci, memberikan kekurangan berkasnya lantas pulang. Sayang, buru-buru membuatnya sial. Kata maaf berat sekali diungkap. Tubuhnya melemah, ia jongkok pelan-pelan, memungut berkasnya. Air mata melinang. Tak tahu harus ia adukan kepada siapa. Mungkin Tuhan memang sedang menguji kesabarannya. Atau mungkin itu hardikan karena dirinya kurang berhati-hati. "Hei! Lihat kesalahan yang Anda perbuat, saya bisa kehilangan pelanggan! Bagaimana saya mengganti kerugian di depan bos saya? Jalanlah dengan tenang dan fokus!" kalimat itu memantul pada dinding-dinding gedung. "Maaf," suara Maila terdengar parau, "maaf karena menumpahkan kopi Anda," "Anda harus membayarnya!" "Yang rugi bukan Anda saja, saya pun kehilangan waktu, kehilangan berkas penting ini— surat yang menyangkut hidup matinya sebuah tanggung jawab. Anda tahu seberapa penting kepercayaan seseorang? Kalau surat ini tidak segera sampai di tangan pemintanya, uang-uang hibah operasional anak-anak didik saya tidak cair! Bukan! Mungkin akan telat cairnya! Bukan! Tapi saya akan menanggung malu karena pekerjaan tidak tuntas!" Lelaki itu jongkok, ia menyeimbangkan tinggi tubuhnya dengan Maila. Wajah sembab malang itu dicermati lebih dekat. Ada kenangan membekas dalam ingatan, sebuah kejadian lampau namun masih berada di permukaan pikirannya melintas. Dua jam lalu dirinya jengkel karena halaman kafe dibuat parkir sembarang. Lebih menyebalkan gadis di hadapannya mengomel semau diri. "Kamu pikir tangismu akan membuat hatiku memaafkanmu? Ganti rugi dulu baru aku maafkan!" kata Darel sambil mengambil cup-cup kopi kemudian memasukkannya ke kantong plastik. Ia bermaksud membuang ke tempat sampah. Ia bicara dengan bahasa santai. Dagu Maila diangkat. Napasnya dirasa amat sesak. Detik seolah berhenti berputar. Dunia terasa begitu sempit, sesempit halaman kertas A4. Ia menandai pertemuan kedua dengan Darel menggunakan tinta merah. Pertanda ada kesalahan yang sedang menimpa. "Oh aku pikir dirimu sungguhan pemilik kafe tadi, rupanya penipu! Hanya karyawan saja belagu, anggap saja kita impas. Kau bayar ganti rugi sendiri, dan aku perbaiki surat berhargaku sendiri!" Maila menyeka air kecewa di pipi, ia berdiri kemudian kembali ke fotokopian. Darel tersenyum sinis. Hatinya geram atas perlakuan sewenang-wenang Maila. Jika bukan untuk menjaga harga diri nama kafenya ia tidak akan melepaskan Maila begitu saja. Pandangannya tiba-tiba terpusat pada benda mungil berwarna putih di atas lantai. Benda yang tidak akan terlihat jika digenggam tangan. Ia ambil dan membawanya pergi. "Baiklah, kita impas." Gumamnya sambil tersenyum licik.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook