bc

Contract With The Devil (Indonesia)

book_age12+
992
FOLLOW
11.4K
READ
others
fated
arrogant
goodgirl
drama
tragedy
comedy
twisted
like
intro-logo
Blurb

Kisah pertemuan Anna yang pertama dengan Sebastian, iblis yang membuat kontrak dengannya.

Mereka membuat perjanjian, dimana Sebastian akan memberikan semua keinginan Anna, sebaliknya Anna harus bersedia memenuhi 1 keinginan Sebastian untuk memberinya seorang anak.

Pencarian jati diri mengenai siapa Anna sebenarnya dan hubungannya dengan Sebastian jauh sebelumnya telah membuka sebuah tabir baru yang akan mengubah hidupnya, alasan ketidak beruntungan dan cerita tentang orangtua kandungnya yang diketahui betul oleh Sebastian seorang. Suatu hari kemudian, mereka

Kedatangan nona Maghdalena yang mengubah nasib kontrak mereka di kemudian hari. Seorang wanita dengan tujuan gelap untuk menghancurkan Sebastian dan kontrak mereka, serta mengambil Anna darinya.

chap-preview
Free preview
Satu
Pintu terbuka lebar, deritnya yang berat dan menyeret, menusuk tajam ke dalam telingaku. Menggusur mimpiku dan membuatku terbangun. Dari sudut tembok di depan kepalaku, bayangan lampu jatuh, membentuk figur seseorang. Orang yang kukenal baik. Untuk sesaat rasa putus asa membumbung di benakku, aku bahkan merasa tak ingin bangun dan lebih memilih berubah tak ubahnya onggokan batu, ditelan dinding tua berwarna abu-abu kecoklatan tak beda jauh dengan tanah kotor di musim hujan. "Aku tahu kau tidak tidur Anna, jadi bangunlah!" dari ekor mataku aku mengintip sejenak. Suara wanita itu begitu kentara, jelas. Tapi bayangannya nampak samar. Aku bangun perlahan, duduk sejenak di atas ranjang tua berbalut selimut yang putih. Ah, tidak, coklat. Dulu ia putih, tapi usang menjadi coklat. Aku menunduk pelan, menatap kedua tanganku yang mengepal. Mengepal menyimpan kesedihan. Aku tahu, malam ini dia seolah datang untuk menentukan nasibku. "Ada apa nyonya?" kataku sebatas penghormatan, meski sejujurnya aku tak antusis sama sekali pada perempuan nyinyir di sampingku. Perempuan dari kelas bawah tapi selalu mencoba untuk terlihat seperti wanita kelas atas. Memakai gaun sutera, perhiasan perak dengan gincu merah di bibir tebalnya. Tiap ia bicara tak ubahnya seperti gemuruh guntur. Tak pernah menyenangkan. "Kurasa kautidak perlu berpura-pura tidak tahu maksudku. Aku sudah mendengar insiden kemarin. Bagaimana bisa kau keluar saat keluarga Willson datang. Kau tahu kau itu seperti aib" bebernya tajam, tanpa iba sama sekali. Aku mengangkat wajahku. Memandangi sosok perempuan gemuk yang berjalan mondar mandir dengan sepatu kayunya yang meletup-letupkan bunyi tajam di atas lantai ubin yang retak tak beraturan, bak kerikil. "Aku merasa itu bukan kesalahan sama sekali. Aku juga memiliki hak yang sama dengan anak lainnya di St. Peter" langkah kakinya sontak meletup tegas seperti menghentak tanah. Kipas bulu ditangannya mulai ia mainkan dengan resah, seperti sedang memegangi cambuk dengan tanpa perasaan. "Apakah aku harus mengingatkanmu lagi? Kondisimu? Seberapa menyedihkannya kau?" ia semakin sinis. Membuatku kehilangan selera sama sekali mendengarkan ocehan dari mulut lebarnya. Aku mengintip ke atas langit dari celah jendela di sampingku. Guguran salju nampak sangat cerah, berbanding tak sama dengan langit yang gelap. Suasana diluar pasti sangat dingin, meski belum ada badai. Nyonya Hudson terus mengoceh, entah apa yang dibicarakannya. Dia sangat menggangu. "Apa kau dengar?" bentaknya seketika. Membuatku berbalik ke arah mata nyalangnya. "Kau sangat menyedihkan. Pergilah!" kataku begitu saja. Entah sudah berapa lama aku memendam kata-kata itu dalam benakku dan sekarang aku meluncurkannya, seperi panah meluncur bebas pada mangsanya. Dia terkejut, sekaligus diliputi emosi. Apa yang akan dilakukannya sekarang?. Komentar nakal benakku yang sedang berontak. "Kau diusir dari St. Petter!" bentaknya dengan keras, hingga tembok kusam yang retak itu menelan kemarahannya, kemudian melemparkannya berulang kali, padaku. "Aku mengerti. Jadi pergilah. Suaramu itu sangat mengganggu, bahkan suara burung hantu di tengah hutan Chrimpson jauh lebih baik" kataku "Kau...!!!" katanya makin tak sabar. Badan gemuknya berjalan ke dekat pintu. Ia membuka laci tua berwarna coklat di sebelahnya dan mengeluarkn semua isinya. Satu demi satu pakaian itu dilemparkannya padaku. "Pergilah malam ini juga! Gadis cacat tidak tahu malu," bentaknya menyalurkan semua kemarahannya dalam cacian tajam. "Jika kau tidak pergi malam ini juga, akulah yang akan melemparmu ke jalan," Setelah mengeluarkan semua pakaian itu, ia berbalik ke arahku. Dengan raut wajah penuh penghakiman. Bibir tebalnya membuka sedikit kemudian menutup dengan kesal. "Aku akan memastikan kau tidak akan ada lagi di sini besok!" ia berlalu sambil membanting keras-keras pintu yang sudah koyak di beberapa bagian. Setelah pintu menutup seluruh ruangan kecil ini kembali diliputi kegelapan, sama gelapnya dengan langit yang nampak hampa. Aku meraih semua pakaian di atas pangkuanku dan melipatnya rapi. Aku akan pergi malam ini. Kemana? Aku juga tidak tahu harus kemana. Meski sudah belasan tahun tinggal di sini aku tidak pernah menginjakkan kakiku keluar dari St. Petter. Bukan karena aku tidak ingin, tapi rasanya berat untuk seorang gadis... cacat sepertiku. Ya, perempuan gemuk itu benar. Meski aku ingin mengingkarinya, rasanya sulit, begitulaah keadaannya. Aku meraih sepasang tongkat kayuku yang bersender di tepi ranjang. Tongkat kayu usang yang bahkan nyaris tak sebanding dengan tinggi badanku. Tetapi aku tidak memiliki uang untuk setidaknya memebeli sepasang tongkat baru. Pun jika aku bisa mendapatkannya, kuharap sampai saat itu tongkatku masih belum patah. Meski aku sedikit ragu saat melihat ujung kayunya yang mulai bergoyang sesekali saat aku berjalan. Setelah membungkus semua pakaian dan mengancingkan jaketku, aku bersiap pergi. Namun sejenak aku mengamati ruang kecilku. Kamar dengan dinding tua dan usang, hanya sebatas jendela untuk memandang dunia luar yang bahkan jauh dari jangkauan. Sulit untuk melihat dengan jelas kamar ini, kamar yang selalu gelap di malam hari dan muram di siang harinya. Tak ingin menunda waktu lebih lama lagi sebelum nyonya Hudson kembali. Dengan mengangkat pelan-pelan tubuhku, aku menapaki koridor St. Petter. Lampu temaramnya yang berwarna kemerahan menuntun jalanku. Dari sela-sela dinding bertiup angin beku. Dingin dan kosong. Kehampaan menemaniku ke ujung koridor. Dari pintu keluarnya aku mendapati guguran salju makin dingin dan tumpukannya makin tebal. Membanjiri semua hal, mengubahnya putih laksana lautan kapas yang beku. Seketika wajahku terasa kering dan dari bibirku mulai mengeluarkan asap seperti menghisap sebuah cerutu. Kupeluk sedetik kedua lenganku, tepat ketika angin berembus. Menabrak gerbang kokoh St. Petter yang kokoh dan tua. Sangat tua di makan kemarau dan dibekukan waktu. Bunyi berderit yang mengerikan serasa berpadu gelap malam yang mistis. Aku menelan ludah, rasanya perlahan nyali dan keberanianku menjadi ciut lalu perlahan mundur beberapa langkah. Tapi ketika mengingat wajah nyalang perempuan itu membuatku lebih ngeri. Setidaknya aku tidak pernah mendengar jika hantu atau serigala menghina seseorang. Yah, aku tidak tahu hal macam apa yang akan aku dapati malam ini, tapi jika memang aku mungkin akan mati, hal itu tidak akan membuat siapa pun bersedih untukku. Untuk seseorang yang tidak memiliki teman dan hidup kesepian dengan semua beban dan hinaan mungkin kematian adalah jalan dalam meraih kebebasan terbaik. Kuinjakkan kakiku pada tumpukan salju yang dalam hingga seolah akan meneggelamkan ujung sepetuku. Bunyi ranting pohon saling pukul menggema di kanan kiriku. Tempat ini sungguh sunyi, nyaris seperti kamar orang mati. Aku makin jauh berjalan, berjalan dan terus saja berjalan. Tapi tak mendapati tanda satu titik cahaya pun. Aku merasa berjalan seperti orang buta. Tak ada cahaya, tak ada tujuan. Sepenuhnya tersesat. Tanpa aku tahu apa yang menyandung kakiku, aku kehilangan keseimbangan tongkat yang kugenggam kuat-kuat melepas dari kedua tanganku. Tubuhku berguling seperti bola di atas salju yang langsung menusuki kulitku seperti ribuan jarum yang menghujam tajam dari celah jaketku yang tak seberapa tebal. Lalu mendadak tubuhku yang berputar dan bergoyang berhenti, bersamaan dengan sesuatu yang terasa tajam dan sangat menyakitkan mengganjal perutku. Seluruh tubuhku menggigil dan rasa sakit itu menjalar hingga membuatku tak kuasa menahan air mataku. rasa sakit yang perih dan sekaligus dalam. Perlahan sesuatu yang kental dan berasa seperti besi dan pahit memenuhi mulutku, mengucur perlahan dan menyusup keluar dari bibirku. Dengan tangan bergetar, aku menyeka cairan itu. Terasa kental lebih kental dari air. Saat kudekatkan kehidungku, rasa amis itu menyengat, tajam. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi dalam kegelapan buta ini. Aku hanya tahu semuanya makin dingin. Seluruh tubuhku dingin hingga perlahan mulai mati rasa dan semakin lemah. Hanya pipiku yang masih terasa hangat dengan bulir air mata. Apakah aku akan mati? Semudah ini kah aku akan mati? Kenapa aku takut saat membayangkan pemakamanku sendiri. Kenapa aku takut sekarang dan berusaha melarikan diri, tidakkah kematian adalah pembebasan tertinggiku?. "Aku tidak mau mati..." lirihku mengalihkan perhatianku dari perasaan mengantuk yang seolah akan memakanku dalam kegelapan abadi, di mana aku tidak akan bisa melihat sinar musim panas. "Selamatkan aku..." kataku lagi. Tapi apakah ada yang akan mendengarku? Apakah ada yang akan peduli padaku? Kurasa Tuhan juga sudah lama mencampakkanku hingga aku juga menyerah padaNya. "Tolong... tolong" kataku tanpa henti. Sementara bayangan kematian seolah semakin dekat diujung mataku. Semuanya semakin sunyi dan aku semakin takut. Sangat! Tapi kedua mataku seolah kehilangan kemampuan untuk melawan, sama sekali. Aku... "Kau ingin hidup" suara itu menggema. Menggema. Suara seseorang. Apakah ia datang menolongku? "Apakah kau ingin hidup?" aku menentang kedua mataku. Mencoba membukanya meski hanya sebaris tipis. "Aku ma...u" entahlahh apakah dia mendengarku atau tidak. "Apakah kau bersedia mengikuti sampai ke neraka?" "Kemana pun" tegasku tanpa berpikir lebih jauh. Tak tahu dari mana tapi derap langkah kaki yang berpadu tumpukan salju terdengar dari kejauhan, perlahan mendekat. Sebaris tipis celah yang nampak di mataku pelan menutup tanpa aku tahu...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

A Secret Proposal

read
376.3K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
221.2K
bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.1K
bc

DESTINY [ INDONESIA ]

read
1.3M
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.3K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook