bc

My Husband is a Gamer

book_age16+
1.1K
FOLLOW
5.4K
READ
arranged marriage
arrogant
comedy
bxg
game player
campus
another world
MMORPG
model
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana rasanya ketika kamu harus nikah sama cowok maniak game, penampilannya culun, nyebelin, irit bicara dan yang paling parah kamu benci banget sama dia?

Irene Julia Ningrum... seorang model cantik dan terkenal harus mengalami semua itu. Karena sebuah surat wasiat, membuatnya harus menikah dengan pria yang begitu dibencinya, Reiki Savian Altezza.

Jadi bagaimanakah kehidupan rumah tangga mereka di saat sang suami lebih suka menghabiskan waktunya bermain game? Terlebih Irene juga sudah punya seorang pujaan hati. Ikuti kisah mereka ya...

chap-preview
Free preview
LEVEL 1
INDONESIA, TAHUN 2030    Di dalam sebuah studio, tampak beberapa kru tengah sibuk mempersiapkan peralatan untuk pembuatan sebuah film atau lebih tepatnya sebuah iklan promosi. Kamera, layar besar dan berbagai alat lainnya untuk mendukung iklan tersebut disediakan dengan sedemikian rupa. Mereka bekerja seteliti dan serapi mungkin. Sang sutradara mewanti-wanti agar tidak ada kesalahan sekecil apa pun dalam pembuatan iklan. “Sudah siap semuanya?” tanya sang sutradara pada seluruh kru. “Siap, Pak!” sahut salah seorang kru berjenis kelamin pria. “Panggilkan model kita kemari!” tambah sang sutradara yang langsung dituruti oleh kru tadi. Dengan gesit dia berlari menuju ruang make up untuk memanggil model cantik yang akan menjadi bintang utama dalam iklan promosi tersebut. “Irene, udah siap, kan? Udah waktunya nih.” ujarnya ketika tiba di ruangan make up sang model. Irene Julia Ningrum, gadis cantik berusia 20 tahun yang sudah menjalani profesi sebagai model sejak berusia 17 tahun. Dia memiliki paras cantik dengan iris mata berwarna coklat terang. Rambut lurus sepunggung, dicat dengan warna sedikit kemerahan. Kulitnya putih mulus tanpa cela. Hidung mancung serta bibir sedikit tebal yang s*****l. Tubuhnya tinggi jenjang dengan perut ramping menggoda, ciri khas seorang model bertubuh ideal. Gadis yang selain berprofesi sebagai model, juga tengah menuntut ilmu di sebuah universitas terkenal di Indonesia itu mendongak ketika mendengar namanya dipanggil. Dia memasukkan smartphone yang sejak tadi berada dalam genggaman ke dalam tas miliknya yang terlihat mahal. Tersenyum kecil pada kru yang memanggil, sebelum beranjak bangun dari duduknya. “Kamu gak gugup, kan, Ren?” Sang kru bertanya hanya sebagai bentuk basa-basi, Irene kembali tersenyum seraya mengedikkan kedua bahunya. “Santai, ini bukan pertama kalinya aku jadi bintang iklan kok. Tenang aja, kalian nggak akan nyesel udah milih aku.” sahutnya, penuh percaya diri. Tanpa kata mereka pun melenggang menuju lokasi syuting.   Irene berdiri di area yang sudah disiapkan para kru, kamera berbagai ukuran tengah menyorot ke arahnya. Disaksikan oleh banyak kru yang berada di lokasi syuting, sama sekali tidak membuat seorang Irene merasa gugup. Dia sudah berpose siap melakukan tugasnya sebagai bintang iklan, hanya perlu menunggu sang sutradara mengatakan kata ‘action’ maka dia pun akan mulai berbicara panjang lebar, menjelaskan perihal objek yang akan dipromosikannya dalam iklan tersebut. “Action!” teriakan sang sutradara akhirnya mengalun di lokasi syuting. Di saat bersamaan layar besar yang berada tepat di samping Irene menyala, memperlihatkan sebuah pemandangan dunia fantasi game online yang mengagumkan.  “Di zaman yang telah canggih ini tentu sudah banyak sekali jenis-jenis game online yang diluncurkan berbagai negara besar. Jika biasanya anda memilih game online yang berasal dari negara asing, inilah saatnya untuk berpindah pada game yang resmi dirilis negara tercinta kita ini, Indonesia.” ucap Irene dengan senyuman tak lepas menghiasi bibir. Tatapannya dari kamera beralih ke arah layar besar yang memperlihatkan sebuah pemandangan alam terbuka yang sangat indah. Penuh dengan pepohonan, tanah berumput, bangunan-bangunan sederhana ciri khas rumah penduduk pada zaman kerajaan. Tak lupa ada juga beberapa medan terjal seperti lahan bebatuan, pegunungan, jurang dan medan berbahaya lainnya yang diperlihatkan dalam pemandangan dunia fantasi tersebut. “Gold Hunter Online atau GHO merupakan game online berjenis MMORPG (Massively Multiplayer Online Role-playing games), yang pertama kali dirilis oleh Indonesia. Ketika bermain game ini, anda akan disuguhkan sebuah petualangan menakjubkan di mana alam bawah sadar anda seolah benar-benar sedang berpetualang di dalam dunia fantasi. Petualangan-petualangan seru akan disuguhkan kepada anda setelah log in ke dalam game. Anda juga bisa berinteraksi dengan ribuan pemain lain, seolah anda benar-benar sedang berada di dunia nyata. Tentu anda bisa menawarkan party bersama mereka. Berbagai skill, item, reward dan event bisa anda nikmati di dalam game,” Irene menjeda bersamaan dengan bergantinya gambar yang muncul dalam layar. “Petualangan akan menjadi semakin seru ketika anda bertemu dengan berbagai monster dan makhluk astral yang akan menjadi musuh anda. Bukan hanya monster lho yang akan menjadi musuh anda, tapi juga sesama pemain. Event memperebutkan gold akan menjadi arena pertarungan team maupun individu antar sesama pemain. Poin, item serta reward yang akan diperoleh jika memenangkan event akan membuat anda ketagihan untuk terus ikut serta menjadi bagian dari event. Golden Battle atau GB akan menjadi turnamen pamungkas untuk memperebutkan emas legendaris.” Gambar di layar berubah, Irene pun kembali menjeda penjelasannya. Kini di layar, sedang memperlihatkan sebuah alat berbentuk earphone berukuran besar yang akan menyambungkan koneksi kedua telinga jika digunakan. Terdapat dua tombol pada earphone tersebut. Tombol berwarna merah dan hijau. “Alat ini bernama NECON atau Nerv Conection yang akan menghubungkan sistem saraf sehingga pikiran anda seolah tengah berpetualang di dalam dunia game. Begitu memasang NECON di kepala anda, cukup menekan tombol berwarna hijau maka anda akan langsung log in secara otomatis ke dalam game. Anda juga bisa menentukan penampilan avatar sesuai keinginan anda dengan skill yang bisa anda pilih sendiri. Anda tidak perlu khawatir karena para ilmuwan kami sudah memastikan NECON sangat aman untuk digunakan. Seratus persen tidak akan terjadi kesalahan karena sudah diuji coba oleh banyak Beta Tester yang terdiri dari gamers profesional yang telah melanglang buana cukup lama di dunia game online. Tentu kemampuan dan ketelitian mereka tidak perlu diragukan lagi,” Gambar di layar kembali berganti begitu pun dengan Irene yang kembali mengganti topik penjelasannya. “Anda susah berkomunikasi di dunia nyata? Kenapa tidak mencoba berkomunikasi di dunia game online? Karena anda juga akan berinteraksi dengan banyak orang di sana. Selain melatih hidup bersosial, anda juga bisa mengasah berbagai kemampuan seperti memasak, menjahit dan banyak lagi pekerjaan rumah tangga lainnya. Profesi anda di dalam game pun, anda sendiri yang menentukan. Anda ingin menjadi seorang ksatria seperti di dongeng-dongeng? GHO bisa mewujudkannya. Anda juga bisa menjalin kasih dengan pemain lain lho, karena ada sistem pernikahan di dalam game ini. Tidak ada yang tahu mungkin saja anda dipertemukan dengan jodoh anda di dalam dunia game, bukan?” Irene membuka telapak tangan dan membuat gesture seolah sedang mempersilakan para penonton untuk mencoba memainkan game yang sedang dipromosikannya, seraya menunjuk ke arah layar yang tengah memperlihatkan gambar game online GHO dalam bentuk kemasan kasetnya. “Jadi, tunggu apa lagi? Game ini sudah dipastikan aman, menyenangkan, penuh tantangan dan yang terpenting bisa dimainkan oleh semua umur dari berbagai kalangan. Tidak perlu memainkan game dari negara asing lagi karena negara kita sudah mampu merilis game online yang tidak kalah keren dengan game online dari negara asing. Selamat mencoba dan selamat bergabung bersama GHO.” Irene tersenyum sembari mengedipkan maka kanan di akhir penjelasannya. “Cut!” teriak sutradara menyudahi sesi syuting. Tak lama kemudian para kru bertepuk tangan karena Irene telah menunjukan bahwa dia memang seorang model yang profesional dan begitu berbakat. Dia bahkan berhasil tanpa perlu melakukan pengulangan adegan. Sesuatu yang wajar mengingat sudah cukup banyak iklan yang dibintangi olehnya. Dia juga sudah berlatih keras selama beberapa hari ini dan tak berhenti menghafal naskah sehingga semua kalimat yang harus diucapkannya sudah melekat di dalam ingatan. “Kamu hebat, Ren. Tidak salah Pak Produser milih kamu.” Puji sang sutradara. “Terima kasih, Pak.” sahut Irene, ramah.  Setelah bercakap-cakap sebentar dengan sutradara, Irene menghampiri sosok pria tampan yang sejak tadi melambaikan tangan padanya. “Wow, keren. Para kru ampe heran kamu ngomongnya lancar banget nggak perlu diulang-ulang.” ucap si pria yang diketahui bernama Ramses Alexander, pria berusia 25 tahun sekaligus manager Irene. Biasanya dialah yang mengatur jadwal Irene dan menemaninya jika sedang bekerja. “Kamu kan tahu aku udah latihan keras supaya lancar syuting hari ini. Ini proyek besar, bukan sembarang iklan. Kalau game-nya sukses, aku juga bakalan tambah terkenal. Kamu kan yang nyemangatin aku kayak gitu?” sahut Irene seraya tersenyum manis pada sang manager. “Ya, kamu emang hebat dan berbakat banget. Sekarang kamu mau ke mana? Ke kampus, kan? Biar aku anter.” Irene mengangguk semangat mendengar tawaran dari manager-nya yang diam-diam dia sukai. Sudah cukup lama Irene memendam perasaan sukanya pada Ramses, terhitung sejak mereka bekerja sama, dua tahun lalu. Ramses tampan karena dia blasteran Indonesia-Jerman. Iris matanya berwarna kehijauan, kulit putih mulus, surai kepirangan dan tubuh atletis nan tegap. Dia juga pria dewasa yang begitu penyabar dan ramah, tipe pria idaman Irene. Irene memang memiliki prinsif, dia tidak akan menikah dengan pria kekanakan atau pria seusianya. Dia bertekad untuk menikah dengan pria yang lebih dewasa darinya. Bersamaan dengan langkah mereka menuju mobil Ramses, suara nada dering smartphone Ramses terdengar mengalun merdu. Membuat kedua insan itu menghentikan sejenak langkah mereka. “Iya sayang, kamu udah sampai ya? Tunggu sebentar ya, aku nganter Irene ke kampusnya dulu. Udah gitu, aku pasti langsung ke sana. Sabar ya sayang.” Percakapan Ramses dengan seseorang di seberang telepon, sukses membuat senyuman yang sejak tadi mengembang di bibir Irene, luntur seketika. Dia merasakan hatinya memanas karena dilanda cemburu yang membara. Irene tahu betul bahwa Ramses sudah memiliki seorang kekasih. Mungkin karena alasan itulah, dia memilih memendam perasaan sukanya. “Ram, kayaknya kamu udah ada janji. Aku bisa pergi ke kampus sendiri kok. Jadi, kamu pergi aja.” ujar Irene setelah Ramses memasukkan kembali smartphone-nya ke dalam saku celana. “Nggak apa-apa. Cuma nganterin kamu sebentar, nggak bakalan lama kok dia nunggunya.” jawab Ramses terdengar tulus. “Nggak usah, kasian cewek kamu udah nungguin lama. Aku naik taksi aja, lagian deket kok jarak dari sini ke kampus.” “Kamu yakin?” Irene mengangguk penuh keyakinan. Akhirnya Ramses mengalah dan membantu Irene menghentikan sebuah taksi. Di dalam taksi, Irene mengerucutkan bibirnya karena marah. Katakan dia jahat dan egois, tapi sebenarnya saat ini dia sedang berdoa di dalam hati agar Ramses dan pacarnya segera mengakhiri hubungan mereka. Dia sudah tidak tahan terlalu lama memendam rasa sukanya pada Ramses.   Setibanya di kampus, Irene bergegas membayar ongkos dengan kartu transfortasinya. Lalu melangkah cepat memasuki kampus. Dia sudah terlambat mengikuti kelas hari ini. “Ren!” Irene berhenti melangkah ketika mendengar suara melengking seseorang memanggil namanya. Dia menoleh dan tersenyum ceria ketika melihat sahabat baiknya, Ririn Amanda yang baru saja memanggil. “Rin, kok lo nggak lagi di kelas? Lo telat juga?” tanyanya seraya mengernyitkan dahi. “Pak Anwar absen hari ini. Tapi dia udah ngasih tugas sih. Dia ngasih bahan tugas pake hologramnya tuh di ruangan dia. Lo ke sana aja.” Irene mendesah lelah seraya memutar bola matanya malas. “Zaman udah terlalu canggih ampe dosen aja bisa ngajar seenak jidat mereka. Tubuh asli nggak dateng, hologram pun jadi ngasih tugas ke mahasiswanya. Enak banget ya jadi dosen di zaman sekarang, mereka bisa nyantai diem di rumah tapi duit tetep ngalir tiap bulan.” ujarnya. “Ya, iyalah. Ngapain teknologi nggak dimanfaatin. Lagian bagus juga mereka nggak dateng, kita kan jadi punya banyak waktu buat santai-santai di kampus.” sahut Ririn diselingi kekehan. Irene menepuk kening Ririn gemas, menghadapi sahabatnya yang terlalu santai itu. “Gue males ke ruangan Pak Anwar. Lo aja ya kirimin tugasnya ke email gue? Boleh, kan, Rin?” “Ah, lo kebiasaan nih. Tapi ya udah deh nanti gue kirimin ke email lo.” “Thanks, lo emang sahabat terbaik gue. Ya udah, gue traktir lo makan siang deh. Kita ke kantin yuk!” ajak Irene yang diangguki Ririn penuh semangat. Siapa yang tidak senang mendapat makanan gratis? Mereka pun melangkah riang menuju kantin, tapi tiba-tiba sebuah insiden menimpa mereka. Seseorang menabrak Irene, membuat si gadis terjungkal ke belakang dan pantatnya mendarat dengan tidak elit di lantai yang dingin dan keras. Irene marah, tentu saja. Terutama ketika menyadari siapa gerangan orang yang menabraknya. Irene bangun, kedua matanya melotot dengan wajah yang memerah penuh amarah. Dia berkacak pinggang di depan orang yang kini berekspresi datar seolah barusan tidak terjadi apa pun di antara mereka. “Heeh, Lo. Mr.Gamer Belagu. Lo nggak punya mata ya? Kalau jalan lihat-lihat dong. Makanya punya mata itu pake buat lihat jalan bukannya dipake buat maen game melulu. Buta kan jadinya, lo!!” makinya dengan suara lantang, membuat mereka kini menjadi pusat perhatian. Namun, alih-alih membalas makian Irene, mengatakan sesuatu untuk membela diri atau mengucapkan permintaan maaf, orang itu justru melenggang pergi begitu saja seolah sosok Irene yang berkacak pinggang di depannya, tak terlihat. “Isshh, kurang ajar banget sih itu orang!” teriak Irene namun tetap diabaikan oleh orang itu karena dia semakin berjalan menjauh. “Udah, Ren. Udah!” Ririn mencoba menenangkan dengan mengusap lembut punggung Irene. “Dia itu dari dulu nggak pernah berubah. Belagu banget.” gerutu Irene masih belum mampu meredam amarahnya. “Emangnya lo kenal dia?” “Iya, gue kenal. Waktu SMA, tiga tahun gue sekelas sama dia. Namanya Reiki Savian Altezza. Dia itu cowok paling nyebelin di muka bumi. Kerjaannya cuma maen game. Dasar maniak game.” Irene kembali menggerutu. “Lo kayaknya benci banget sama dia?” “Iya, gue benci banget. Dia itu sumber kesialan di hidup gue. Lo tahu gak? Dulu gue pernah gagal di salah satu mapel gara-gara dia. Gue pernah satu kelompok sama dia tapi dia lebih mentingin maen game, jadinya gue ngerjain sendiri tugas kelompoknya. Pokoknya nilai gue hancur gara-gara dia. Bukan cuma itu yang bikin gue benci setengah mati sama dia.” Irene bercerita dengan menggebu-gebu, membuat beberapa mahasiswa yang berlalu-lalang di sana tertarik untuk melirik ke arahnya. “Gue pernah putus sama cowok gue gara-gara dia.” “Haah? Serius lo, kok bisa?” tanya Ririn dengan kedua mata terbelalak sempurna. “Dia bikin kesel pas cowok gue lagi di samping gue. Gue marah-marah dong sama dia, cowok gue jadi males gitu kayaknya gara-gara tahu gue orangnya emosian. Cowok gue jadi berubah terus nggak lama dia mutusin gue. Padahal gue baru satu minggu jadian sama dia. Bisa lo bayangin kan gimana bencinya gue sama itu Mr.Gamer Belagu?” “Jangan terlalu benci sama orang, Ren. Ntar lo jadi cinta lagi sama dia. Cinta sama benci itu kan beda tipis.” Ririn menasihati seraya kembali mengusap punggung Irene, mencoba menenangkan sahabatnya yang masih dirundung amarah. Irene seketika tertawa. “Mustahil gue cinta sama dia. Lo nggak lihat penampilan dia? Culun banget, kan? Pake kacamata bulet gede, tebel lagi. Pasti matanya rabun tuh gara-gara kebanyakan maen game. Dia jelas bukan tipe gue.” “Husshh, jangan ngomong gitu, Ren. Ntar kualat lho. Gimana kalau ternyata dia itu jodoh lo?” “Gak mungkinlah Rin, dia jodoh gue. Lagian nih ya, dari pada gue nikah sama dia, mendingan gue gak usah nikah sekalian.” “Ya ampun Ren, rasa benci lo kebangetan.” Ririn menggeleng berulang kali, tak menyangka Irene akan bicara seperti itu. “Udahlah, nggak usah ngomongin dia lagi. Mendingan kita ke kantin, gue jadi tambah laper nih.” Irene menyudahi sesi marahnya. Lalu memilih melanjutkan niat mereka pergi ke kantin. Jika saja smartphone-nya tidak berbunyi, mungkin sekarang mereka sudah duduk manis di salah satu kursi di kantin. Irene membaca pesan yang masuk, rupanya pesan dari ibu tercintanya. Dalam pesan itu sang ibu menyuruhnya untuk segera pulang. “Ck ... sorry, Rin. Kayaknya kita nggak jadi makan bareng deh. Nyokap nyuruh gue balik sekarang. Lain kali aja ya gue traktirnya?” “Iya. Nyantai aja, Ren.” sahut Ririn, memahami situasi Irene. “Ya udah, gue balik dulu. Jangan lupa tugasnya lo email-in ke gue.” “Beres.” timpal Ririn sembari membentuk kata ‘OK’ dengan jarinya. Irene pun bergegas pulang, sepertinya ada hal penting di rumahnya hingga sang ibu menyuruhnya untuk cepat pulang.   “Ren, cepet juga pulangnya?” ujar Ratna, ibu Irene ketika melihat putrinya sudah tiba di rumah. “Iya, Ma. Kebetulan dosennya nggak dateng hari ini.” “Terus syuting iklan kamu gimana? Lancar, kan?” “Lancar kok, Ma,” sahut Irene sambil berjalan, lalu duduk di sofa. “Oh iya, mama kenapa nyuruh Irene cepet pulang?” Irene mengernyit heran ketika melihat sang ibu mendesah lelah, tersirat keengganan di wajah ibunya untuk menjawab pertanyaan itu. “Ren, kamu masih inget nggak sama Om Adrian?” Irene berpikir sejenak sebelum mengangguk mengiakan bahwa dia masih mengingat orang yang ditanyakan ibunya. “Dia itu sahabat baik papa, kan?” tanyanya kemudian. Namun Ratna tidak menjawab dan justru memberikan sepucuk surat kepada Irene. “Apa nih, Ma?” tanya Irene heran. “Surat wasiat dari papa sebelum meninggal.” “Kok baru dikasih sekarang, papa kan udah meninggal tiga tahun lalu?” “Papa kamu yang minta suratnya dikasih ke kamu kalau kamu udah umur 20 tahun. Kemarin kamu ulang tahun ke-20, kan?” Irene mengangguk sambil menelan saliva dengan susah payah. Entahlah, dia hanya merasakan sebuah firasat buruk ketika menerima surat wasiat itu. Dengan teramat perlahan, Irene membuka surat wasiat ayahnya. Lalu dia membaca tulisan di dalamnya dengan seksama. Kedua alisnya naik ke atas dengan dahi yang berkerut, kedua mata membelalak dengan mulut yang terbuka menyiratkan dia sedang begitu terkejut saat ini. “Ma ... ini maksudnya, aku dijodohin sama anaknya Om Adrian?” Irene menggeleng tak percaya ketika ibunya merespons dengan sebuah anggukan. “Tapi, Ma, di zaman yang udah canggih gini, emang masih ada ya jodoh-jodohan kayak di zaman Siti Nurbaya? Aku gak mau nikah sama cowok yang nggak aku kenal. Aku penginnya nikah sama cowok pilihan aku sendiri.” tolaknya dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. “Makanya malam ini kita makan malam bersama mereka supaya kalian bisa ketemu dulu sebelum menikah.” Irene semakin terbelalak tak percaya. “Irene nggak mau, Ma. Aku pengin nikah sama cowok pilihan aku sendiri.” “Tapi, Ren, ini keinginan papa kamu. Papa nggak pernah minta apa pun sama kamu, dia juga selalu dukung apa pun yang kamu pengin. Cuma ini permintaannya sama kamu, permintaan terakhirnya masa kamu tega, Ren? Mama ngerti perasaan kamu, tapi mama juga nggak bisa ngapa-ngapain. Ini wasiat terakhir papa kamu sebelum meninggal.” Irene masih terdiam, dia menunduk dalam dengan lelehan air mata yang sudah membanjiri wajah ayunya. “Kamu sayang papa, kan?” tanya Ratna yang diangguki Irene. “Kalau gitu jangan bikin papa kecewa. Dia pengin banget lihat kamu nikah sama anak sahabat baiknya.” Irene semakin terisak, kendati demikian akhirnya dia mengangguk karena tak enak hati menolak keinginan terakhir ayahnya. “Ya udah, kamu ganti baju. Kita berangkat sekarang supaya nggak telat.” Irene mengangguk lagi, dia melangkah gontai menuju kamarnya.   Setibanya di restoran tempat mereka mengadakan makan malam bersama. Keluarga Adrian sudah tiba lebih dulu di sana. Terlihat Adrian dan sang istri bernama Santy, sudah menempati salah satu meja. Irene dan ibunya pun bergegas menghampiri mereka. “Waah, Irene makin cantik aja ya? Om sering lihat kamu di majalah sama di TV.” ujar Adrian riang. Santy sama riangnya, dia memeluk Irene dengan begitu antusias. Irene dan ibunya ikut bergabung, duduk bersama pasangan suami istri yang tampak serasi itu. Namun, Irene tampak gelisah, dia menggulirkan bola mata kesana-kemari mencari sosok pria yang akan menjadi suaminya kelak. “Kamu pasti lagi nyari anak tante ya? Udah nggak sabar pengin ketemu ya?” tanya Santy, Irene gelagapan karena tebakan Santy tepat sasaran. “Dia lagi ke toilet. Nah, itu dia ke sini.” Irene bergegas menatap ke arah yang ditunjuk Santy. Pria itu masih berjalan cukup jauh darinya. Namun, tetap mampu membuat jantung Irene berdetak bagai orang yang baru saja lari berkilo meter jauhnya. Bukan, dia bukan gugup karena melihat pria itu sangat tampan, melainkan karena terlalu terkejut pria itu sangat dikenalnya. “Re-Reiki ....” gumamnya pelan ketika sang pria kini menjulang tinggi berdiri di depannya.     Ya, pria yang akan menjadi suaminya ternyata Mr.Gamer Belagu yang begitu dibencinya setengah mati. Reiki Savian Altezza.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Me and My Broken Heart

read
34.5K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.9K
bc

A Million Pieces || Indonesia

read
82.2K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Accidentally Married

read
102.7K
bc

MOVE ON

read
95.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook