bc

Peringatan dari Burung Hantu

book_age16+
671
FOLLOW
3.4K
READ
dark
goodgirl
others
drama
tragedy
bxg
mystery
scary
secrets
crime
like
intro-logo
Blurb

CERITA INI HANYALAH FIKSI!

Ningsih Prameswari ~ Mbok Nah

Ningsih Prameswari, seorang guru honorer yang baru saja ngekos di desa Kampung Manggis. Hari ke hari ia lalui dengan bahagia karena merasa nyaman dengan tempatnya mengajar. Tetapi tidak dengan depan rumah kosnya yang selalu dihinggapi burung hantu tiap malamnya. Tentu semua itu mengganggu tidurnya.

Berbagai kejadian tak terduga terjadi, rasa penasaran selalu timbul terkait rumah yang ada di depannya. Para warga banyak mengatakan bahwa rumah itu sudah lama tak berpenghuni. Lalu, apa yang akan dilakukan Ningsih selanjutnya? Apakah Ningsih menemukan sesuatu yang tak diketahui oleh warga?

chap-preview
Free preview
Bab 1 [Kerjaan Baru?]
"Ningsih, sampeyan ning ngendi? (Ningsih, kamu dimana?" teriak seorang nenek dengan lirih sambil membawa tongkat sebagai penyangga untuk berjalan. Tubuhnya tampak ringkih dan kulitnya telah keriput. Bahkan untuk bernafas pun terlihat kesulitan.  Orang-orang memanggilnya Mbok Nah atau dengan nama lain Nahisera. Mbok Nah berjalan menuju dapur. Menghampiri cucunya yang tampak asyik memasak sayur lodeh untuk makan siang nanti. Mbok Nah mendekati cucunya dengan menepuk pelan bahunya. Bibirnya sudah lelah berbicara. Sang cucu, Ningsih berjingat kaget. Ningsih menepuk dadanya pelan. Berusaha menetralkan nafasnya yang lagi lari marathon. Lalu menatap neneknya dengan tatapan bertanya. "Onok telfon (ada telfon)," ujar Mbok Nah. "Nggih, mbok. Sinten sing nelfon? (Iya, mbok. Siapa yang menelfon?)" tanya Ningsih sambil mengaduk-aduk sayur lodeh buatannya. Ia memasak di tungku. Walau di zaman yang sudah maju telah ada kompor gas, tetapi ia lebih suka memakai tungku. Baginya, budaya dari nenek moyang harus tetap dilestarikan. "Wes, mbok wae sing ngentas ko. Gari nunggu mateng tok kan (Sudah, mbok saja yang angkat nanti. Tinggal menunggu matang saja kan)." Ningsih mengangguk. Kemudian ia meninggalkan Mbok Nah menuju kamarnya. Ponselnya bergetar lalu berhenti. Ada 5 panggilan tak terjawab. Batinnya bertanya-tanya akan siapa gerangan yang menelfonnya. Ia mengernyit heran pada nomor telfon tak terdaftar itu. Ponselnya kembali berdering. Ningsih langsung saja mengangat panggilan tersebut. "Halo," ujar Ningsih. "Ningsih, kamu ini dimana, sih? Aku telfon-telfon tak segera angkat panggilan," ujar suara di seberang dengan nada kesal. Ningsih berdehem sejenak. "Tadi lagi masak, Ra." "Udah dapat kerjaan belum?" tanya Rara. Ningsih menggelengkan kepala pelan. Lalu ia menepuk dahinya pelan. Sadar bahwa Rara takkan melihat ekspresinya. "Belum, Ra." "Ohh, ya. Ini aku dapat rekomendasi pekerjaan dari temenku. Di desa Manggis, SMP Manggis." Kedua mata Ningsih berbinar. "Butuh guru apa, Ra?" "Seni budaya kalau gak salah, Ning. Kan cocok tuh sama bidangmu. Gak beda jauh dengan Seni Rupa. Nanti aku kirim persyaratannya lewat wa, ya." "Iya, Ra. Makasih, ya." Rara mengakhiri telfonnya setelah mengatakan iya. Ningsih membuka wa-nya yang baru saja mendapat pesan dari Rara. Dengan begitu teliti ia membaca persyaratannya. Setelah paham, Ningsih meminta izin kepada Mbok Nah untuk mempersiapkan datanya dan langsung mengumpulkan ke pihak sekolah. Dalam hatinya ia berharap keterima. Walau ia agak gusar mendapati jarak sekolah dan rumahnya yang sekitar 32 km. Tetapi ia juga tak mungkin untuk menolak. Karena inilah yang ditunggu-tunggu. Sudah setahun lamanya ia tak bekerja. Kini saatnya ia mengabdi dan membagi ilmu yang diperoleh kepada anak didiknya nanti. Menjadi lulusan S-1 jurusan Seni Rupa tak mudah bagi Ningsih. Apalagi ia hanya tinggal bersama Mbok Nah. Hidup tanpa kedua orang tuanya yang mendampingi, baik suka dan duka. Waktu akan memutuskan kuliah saja ia harus mempertimbangkan dulu. Selain karena ia tak mampu, juga biayanya yang dibutuhkan pastilah banyak. Mbok Nah tak mungkin mampu membiayai sekolahnya lagi. Namun dengan penuh keberanian ia mencoba untuk ikut jalur bidikmisi. Jika memang ia lolos ia akan kuliah, jika tidak, ia akan memilih bekerja saja memajukan perkebunan Alm. Joyanda, kakeknya. Takdir begitu indah padanya, ia lolos bidikmisi. Ia pun membawa Mbok Nah untuk ikut bersamanya. Walau ia akan bekerja paruh waktu untuk biaya kosnya Mbok Nah. Lagipula ia tak tega meninggalkan Mbok Nah sendiri. Hanya 3 bulan, Mbok Nah yang tak tega dengan Ningsih pun memutuskan untuk di rumah saja. Meyakinkan Ningsih bahwa ia dapat menjaga dirinya dengan baik. Saat iti Mbok Nah memang tak selemas sekarang. Dulu Mbok Nah tidak memakai tongkat. Bahkan kesehariannya masih tampak kuat untuk berkebun. ************* Seminggu berlalu.. "Mbok," teriak Ningsih mencari Mbok Nah dari kamarnya sampai dapur. Namun ia tak mendapati keberadaan Mbok Nah. Ia baru saja mendapat kabar yang membahagiakan. Kini ia mencari Mbok Nah untuk berbagi bahagia. Ningsih teringat bahwa Mbok Nah diam-diam selalu menuju kebun. Entah untuk sekedar menengok perkembangan tanaman yang di tanam atau untuk jalan-jalan menikmati udara segar. Ningsih pun memutuskan untuk ke kebun. Ia tersenyum lega saat mendapati Mbok Nah duduk di tanah sambil memegang daun tanaman buah semangka. Mbok Nah yang merasa ada orang dibelakangnya pun menoleh. Ternyata ada Ningsih yang sedang menatapnya. "Ono opo (ada apa)?" Ningsih memeluk Mbok Nah dengan pelan. "Ningsih keterima kerja, Mbok." "Mbok bahagia, Ning," ujar Mbok Nah sambil mengelus kepala Ningsih dengan lembut. "Tapi Ningsih kudu ngekos, Mbok. Jarake ko omah adoh (Tetapi Ningsih harus ngekos, Mbok. Jaraknya dari rumah jauh)." "Gak opo-opo. Mbok ning kene wae. Sing penting Ningsih sukses lan bahagia, mbok yo seneng (Tidak apa-apa. Mbok disini saja. Yang penting Ningsih sukses dan bahagia, mbok ya seneng)." Ningsih hanya mengangguk. Ia akan membawa Mbok Nah bersamanya. Mau tak mau. Karena ia tak tega meninggalkan Mbok Nah sendirian. Jika dulu ia harus terpaksa tega, kali ini ia tak akan tega. Mbok Nah terkadang lupa. Bawaan dari umurnya yang sudah tua. "Semangkanya belum berbuah juga yo, mbok." Mbok Nah mengangguk. Padahal biasanya sudah berbuah, tetapi kini sama sekali. Jangankan untuk berbuah, mendapati bunganya saja tidak. Padahal tiap hari rajin menyiram dan memberikan pupuk. "Mbok, Pak Supri ya yang memupuk?" "Iyo, Ning." "Sesuk Ningsih nyang omahe Pak Supri, mbok. Mau tanya dikasih pupuk opo karo Pak Supri," ujar Ningsih dengan bahasanya yang campuran. Ningsih memang keturunan Jawa dan Kalimantan. Tetapi sejak lahir ia tak pernah melihat kedua orang tuanya. Mbok Nah memegang bahu Ningsih. Ia berusah berdiri. Ningsih membantu Mbok Nah berdiri lalu mengajak Mbok Nah pulang. Meninggalkan kebun semangka yang penuh teka-teki. Malamnya, setelah makan malam, Ningsih memindahkan baju-bajunya ke dalam tas besar. Hanya beberapa baju saja yang ia bawa. Setelah menyelesaikannya, Ningsih menuju kamar Mbok Nah. Melakukan hal yang sama ia lakukan tadi. Untung saja Mbok Nah tidak ada di kamar. "Arep dikapakno iku, Ning? (Mau diapakan itu, Ning)?" tanya Mbok Nah. Ningsih menoleh kaget kearah pintu. "Ningsih mau bawa mbok ikut sama Ningsih," ujar Ningsih pelan. Ia Mbok Nah duduk di ranjang. Meletakkan tongkatnya di dekat meja. "Mbok gak ikut, Ning." "Kenapa, mbok?" "Mbok nyang omah wae. (Mbok di rumah saja)." "Mbok," ujar Ningsih pelan. Raut wajahnya tampak sedih. Mbok Nah tetap kekeuh tidak ikut. Ia ingin menikmati masa tuanya di rumah. Mbok Nah merasa masih mampu mengerjakannya sendiri. Biarlah Ningsih meraih impiannya disana. Mbok Nah hanya bisa mendo'akan yang terbaik buat Ningsih. Ningsih tak lagi mampu berkata-kata. Sekuat apapun ia memaksa, jika Mbok Nah tak mau akan tetap tak mau. Ningsih pun memutuskan untuk pulang seminggu sekali untuk menemui Mbok Nah. Ia ingin sekali meminta bantuan tetangga untuk mengurus Mbok Nah lalu ia akan membayarnya, namun ia tak memiliki uang yang banyak. Ditambah tabungannya juga tinggal sedikit. Ningsih merapikan kembali baju Mbok Nah ke dalam almari. Ia keluar kamar dan menutup pintunya pelan. Dari jendela tampak sekali langit mendung. Tetapi hujan belum kunjung turun. Ningsih menggeser selambu dan menutup pintu depan. Lalu ia memutuskan untuk tidur.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

RAHIM KONTRAK

read
418.2K
bc

HYPER!

read
556.9K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.1K
bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
291.0K
bc

Tuan Bara (Hasrat Terpendam Sang Majikan)

read
111.0K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
311.1K
bc

See Me!!

read
87.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook