bc

Membuang Luka

book_age18+
12.8K
FOLLOW
118.4K
READ
revenge
love after marriage
doctor
drama
twisted
bxg
poor to rich
substitute
like
intro-logo
Blurb

"Perempuan miskin ini pasti udah guna-guna kamu, Pram. Kamu harus diruqyah secepatnya."

"Bukan Mas Pram, Bu yang harus diruqyah. Tapi Ibu."

Plak!

Tamparan kedua mendarat di pipiku sore ini. Membuat Mas Pram menatap nyalang ibunya.

"Ceraikan perempuan tidak berguna ini, Pram! Ibu tidak sudi lagi punya menantu sepertinya!"

Bagaimana rasanya memiliki mertua yang senantiasa menganggap rendah pada kita? Haruskah melawan atau terus berusaha meluluhkannya?

chap-preview
Free preview
Menang Undian
Pembalasan Menantu Miskin "Sini! Kamu tuh nggak pantes pake beginian!" Ketus suara Mayang—adik iparku terasa memekakan telinga. Cincin emas dengan berat dua gram yang aku beli setelah mendapatkan arisan RT dilepasnya dari jari manisku tanpa perasaan. "Kamu apa-apaan, sih, May! Sini!" Aku mendelik, berusaha mengambil paksa cincinku yang ia rampas sesuka hati. Mayang memandangi cincinku yang kini telah tersemat di jari manisnya. Gadis yang masih duduk di bangku kelas dua SMA itu tampak bangga mengenakan perhiasan rampasan dari perempuan yang selama ini selalu dipandangnya sebelah mata. "Eeh, Listi, berani kamu, ya!" hardik Mayang sambil menatap nyalang padaku. Status kakak ipar yang kusandang sama sekali tak berarti di matanya. Baginya, aku tak lebih dari gadis miskin yang kebetulan numpang di rumah gedong orang tuanya yang besar ini. "Tapi itu cincin aku, May!" Kesal rasanya, saat barang yang telah lama kuidam-idamkan dia ambil begitu saja dari tanganku. Bukan apa-apa, selama ini aku harus menyisihkan uang belanja yang minim agar bisa membayar uang arisan. Tentu saja aku tak ingin uang itu mubadzir kalau tidak kubelikan barang. "Heh, kamu beli ini juga pake duit Mas Pram kan? Gegayaan bilang kalau ini cincin kamu. Mulai sekarang, ini punya aku!" bentak Mayang sambil menatapku tajam. Aku memilin jari dengan kaku, menahan rasa dongkol yang sedari tadi memenuhi rongga d**a. Bagaimana tidak dongkol? Sudah lebih dari tiga tahun menikah dengan Mas Pramono, perhiasan setengah gram pun tak pernah suamiku belikan. Padahal, aku juga wanita biasa yang kadang ingin berhias seperti teman-teman yang lain. "Fokus aja masak sama nyuci! Nggak usah kepedean pengen menye-menye pake emas-emasan segala. Udah untung kamu dinikahin sama Mas Pram. Kamu kira aku gak tau, kalau keluarga kamu tuh K-E-R-E?" Kata-kata pedas itu terlontar lagi sebelum Mayang berlalu tanpa mengembalikan cincin rampasan yang ia ambil paksa dariku. Aku pun terpaksa gigit jari. Memiliki suratnya saja tanpa diperkenankan memakai perhiasannya. "Bu … liat, deh, cantik, kan?" Aku yang sedang menyuapi Riana mendengar dan melihat bagaimana Mayang tampak mengagumi diri sendiri saat menatap takjub jarinya yang dilingkari cincin hasil rampasan. "Iya, dong, cantik. Anak siapa dulu? Anak ibu …." Mertuaku memuji anak manjanya secara berlebihan. Membuat adik iparku makin besar kepala. "Cincin siapa, sih, May?" tanya ibu kemudian. "Cincin Mayang lah, Bu … walaupun Listi yang beli. Tapi kan pake duit Mas Pram, jadi ya cincin Mayang, dong …." "Iya bener-bener, lagian, orang kere kayak Listi gak ada pantes-pantesnya pake ginian." Ibu mertuaku menimpali. Cih! Kekanak-kanakan sekali. Sebulan setelah pembelian cincin, aku yang tengah melakukan aktivitas rutinku—mencuci seluruh pakaian keluarga, dibuat tersentak saat handphpone jadulku yang cuma bisa buat telepon dan SMS tak berhenti berdering. Ada apa, ya? Kuelapkan tanganku yang basah pada ujung baju sebelum mengangkat telepon yang entah dari siapa. "Selamat siang." Suara seorang lelaki terdengar saat telepon tersambung. "Si-siang." Aku menjawab agak gugup karena takut ada apa-apa. Takut juga Mas Pram kecelakaan dan nomor tak dikenal ini tengah menghubungi pihak keluarga untuk mengabarkan kabar tersebut. Astaghfirullah …. "Betul dengan Ibu Listiyani?" Pertanyaannya benar-benar mampu membuat bulu kudukku meremang. Sungguh, aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Mas Pram. Ya, walaupun pelit padaku, tapi dia cukup bertanggung jawab pada putri kami—Riana. Tak terbayang olehku jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan terjadi padanya. "I-iya, saya sendiri." "Selamat, anda memenangkan satu unit mobil Honda CRV on the road dalam rangka ulang tahun toko emas kami." "Ap-apa, Pak?" "Iya, selamat, ya, anda pembeli yang beruntung. Silakan ambil hadiah di toko emas cabang terdekat dalam waktu 3x24 jam dengan membawa KTP dan KK sesuai dengan data yang anda isi pada kupon undian." Kupon undian? Oh, iya … aku pernah mengisi kupon undian berhadiah setelah membeli emas yang dua gram itu. "I-iya, Pak." Aku mengangguk gugup sebelum mematikan sambungan telepon. Ya Allah, aku menang mobil? Harus kuapakan mobil itu? Haruskah aku membawanya pulang? Tapi buat apa? Nanti yang ada, adik ipar dan mertuaku makin besar kepala lagi. Ah … mending aku jual saja mobilnya, buat membeli rumah sederhana. Aku harus mempersiapkan diri menjadi janda mulai sekarang. Cukup sudah aku menjadi b***k di rumah mertua. Lebih baik aku fokus membesarkan Riana sambil banting tulang sendiri setelah ini. Menjadi buruh cuci gosok pun tak masalah. Yang terpenting aku bisa lepas dari mertua dan ipar toxic seperti ibu dan Mayang. Oh … indahnya dunia setelah menang undian.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
91.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
202.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
10.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
13.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook