bc

Teary Eyes

book_age16+
18.9K
FOLLOW
125.8K
READ
love after marriage
age gap
CEO
drama
icy
office/work place
betrayal
affair
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

Kehidupan damai seorang Yasmine Bintara berubah setelah terungkapnya kabar bahwa kekasih yang begitu ia cintai dengan teganya telah menjalin hubungan dengan wanita lain―bahkan jauh sebelum berpacaran dengannya.

Tidak lama setalah itu, kabar ini pun sampai ke telinga keluarganya dan untuk menyelamatkan reputasi serta nama baik keluarga―maka dia terpaksa menikah dengan lelaki pilihan Ayahnya.

Apakah pernikahan ini nantinya akan mampu untuk menyembuhkan luka hatinya atau justru akan menjadikannya semakin parah?

chap-preview
Free preview
01. Pengkhianatan
Di sudut ruang tamu sebuah rumah, duduklah sesosok perempuan yang saat ini tengah menundukkan kepalanya dalam. Di depannya ada ayah dan ibunya yang tengah menatapnya marah bercampur kecewa. Sesosok perempuan itu adalah Yasmine Bintara—perempuan malang yang saat ini tengah disidang keluarganya atas sesuatu yang bukan merupakan kesalahannya. “Bisa kamu jelaskan maksud dari berita di koran ini?” tanya Wira Bintara—papa Yasmine seraya menunjukkan koran dengan headline memuakkan di atasnya. Lily melirik koran yang disodorkan tepat di depan wajahnya sedih. Papanya menyodorkan beberapa koran ke arahnya dengan tulisan headline yang berbeda, namun dengan makna yang serupa. Di sana dengan jelas tertulis : “Putri dari Politikus Wira Bintara, Tertangkap Sedang Berkencan dengan Tunangan dari Pewaris Tandjaya Group.” Yasmine kemudian melirik ke koran lain, isinya tidak jauh berbeda dengan yang lainnya. Dan ada satu yang membuat hati Yasmine berdenyut sakit—“Mengenal Putri dari Politikus Wira Bintara, yang Diduga Selingkuhan Pengusaha Ternama.” Yasmine memejamkan matanya sejenak—tidak kuat dengan tulisan-tulisan menyakitkan yang ditunjukkan papanya kepadanya. Sebenarnya wajar jika papanya sampai semarah ini—siapa yang tidak marah begitu mengetahui namanya terpampang jelas di headline surat kabar terkenal seperti itu. Akan lebih baik jika para paparazzi itu memuat namanya saja, bukan nama papanya. Para wartawan itu memang paling bisa membuat berita panas. Mereka tahu bahwa Wira Bintara—papa Yasmine yang merupakan politikus di Indonesia akan melenggang ke pemilu bupati tahun ini. Wira yang saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan kampanye dan kemudian terkena berita semacam ini tentu akan sangat menggemparkan publik. “Kamu nggak bisa menjelaskan?” desis Wira sambil mengayun-ayunkan koran di depan wajah Yasmine. Yasmine menggigit bawah bibirnya gugup, dan tanpa sadar tangan di pangkuannya sudah bergetar hebat. Sejujurnya Yasmine sangat takut dengan papanya yang sedang marah. Dari kecil dia tidak pernah mau membuat papanya marah, tak disangka begitu dewasa dia justru harus merasakan kemarahan papanya—yang kini jauh menakutkan dibanding ketika dia masih kecil dulu. “Kamu bener-bener bikin Papa malu, Yasmine!!” sentak papanya sambil melempar koran-koran tersebut tepat di hadapan Yasmine. Papanya sudah mulai hilang kesabaran, dan hal itu membuat Yasmine semakin memejamkan matanya rapat, dirasakannya air mata yang kini sudah mulai menggenang. Dia takut, sangat-sangat takut. “Mas, sabar dulu,” ucap mama Yasmine, mencoba menenangkan suaminya. “Kita coba dengar penjelasan Yasmine dulu,” katanya hati-hati. Namun ucapan mamanya itu justru dibalas papanya dengan sengit, “Penjelasan? Kamu lihat itu anak kamu, dia bahkan nggak mau ngomong sepatah kata pun!” “Hah! Selingkuhan? Rasanya itu berita paling memalukan selama Papa menjabat sebagai politikus,” ucap Wira sinis. “Bertahun-tahun Papa bangun image bersih ini, dan kamu malah dengan mudahnya mengahancurkan jerih payah Papa. Setidaknya kalau tidak bisa membanggakan, jangan membuat Papa susah!” bentak papanya membuat hati Yasmine luluh lantak. Mendengar hal semacam ini dari mulut papanya sendiri membuat rasa sakitnya sekarang berkali-kali lipat. “Yasmine, coba kamu jelaskan ke papa kamu dulu. Bilang yang sebenarnya ya, Sayang. Kamu nggak perlu takut,” bujuk mamanya yang kini sudah duduk di samping Yasmine. Namun Yasmine masih bergeming. Sebenarnya mudah saja, dia hanya perlu mengatakan kalau ia bukan seperti yang dituduhkan di koran itu. Namun berhadapan dengan papanya memang tidak pernah mudah. Dari dulu hingga sekarang Yasmine memang akan selemah ini jika sudah menyangkut papanya. “Lihat, dia nggak bisa menjelaskan ‘kan? Secara nggak langsung dia sudah membenarkan kalau dia memang selingkuhan dari—“ “Yasmine bukan selingkuhan Ben,” ucap Yasmine memotong kalimat papanya. Dia muak dengan istilah rendahan itu, dan lebih muak lagi begitu kalimat itu keluar dari mulut ayahnya sendiri. “Oh ya? Lalu kamu sebut diri kamu apa? Wanita simpanan Ben? Begitu?” “Mas!!” tegur mamanya berang. “Itu bukan kalimat yang pantas untuk diucapkan seorang ayah kepada putrinya,” ucap mama Yasmine dengan tatapan terluka. Dan bukan hanya mamanya saja yang merasa sakit dengan ucapan papanya, karena Yasmine pun sama. Dalam hati ia merutuki Ben Hendrawan—kekasihnya yang ternyata adalah tunangan orang, dan lebih paranya ia adalah tunangan dari Diana Tandjaya—putri dari pengusaha ternama di Indonesia, Tandjaya Group. Dia sudah ditipu selama dua tahun ini, dan belum cukup dengan itu, dia juga harus menanggung pandangan negatif dari semua orang—termasuk keluarganya sendiri, karena berita-berita tak berdasar ini. “Kamu harus menikah,” putus Wira yang sontak membuat Yasmine mengangkat kepalanya kaget. Dipandanginya papanya dengan sorot mata kebingungan. “Me-menikah?” “Ya. Ini cara satu-satunya agar gosip ini cepat mereda,” ucap Wira tegas. “Papa juga sudah menyiapkan calon suami potensial untuk kamu, namanya Damar—dia anak kenalan Papa, dan yang jelas dia jauh lebih baik dibandingkan dengan pacar nggak bertanggung jawab kamu itu!” “Tapi, Pa—“ "Papa akan bilang ke pers kalau hubungan kamu dengan Ben hanya sebatas pertemanan biasa. Papa mau hubungi keluarga Damar dulu," ucap Wira sembari pergi meninggalkan Yasmine bersama mamanya. "Ma, Yasmine nggak mau menikah." Yasmine terlihat begitu putus asa. Air matanya tidak berhenti mengalir sedari tadi dan kini dia bahkan sudah bersimpuh di hadapan Mamanya. Hanya Mamanyalah harapan Yasmine satu-satunya. "Mama nggak bisa berbuat apa-apa, Yasmine. Ini sudah keputusan papa kamu," jawabnya sambil mengelus puncak kepala putrinya lembut. Hatinya terasa teriris melihat keadaan anak semata wayangnya yang seperti ini. *** Saat ini Yasmine tengah termenung sendirian di dalam kamar. Dia sedang berada di depan jendela kamarnya―melihat sorot bulan yang kini tengah menerangi gelapnya malam sembari merenungi nasib buruk yang kini tengah menimpanya. Tidak pernah sedikitpun terpikirkan oleh Yasmine akan menjadi seperti ini akhir kisah cintanya bersama Ben. Yasmine dan Ben telah menjalin hubungan selama dua tahun dan selama ini hubungannya selalu baik-baik saja. Selama mereka berpacaran hampir tidak pernah ada pertengkaran dalam hubungan mereka. Namun semuanya berubah ketika di suatu pagi Yasmine menemukan fakta yang membuatnya begitu terpukul. Kekasih yang selama ini begitu ia cintai ternyata sudah memiliki tunangan―bahkan jauh sebelum Ben menjalin hubungan dengannya. Dan yang lebih menyakitkan lagi, berita itu ia dapatkan bukan langsung dari mulut sang kekasih melainkan dari surat kabar. Di koran itu disebutkan bahwa ia dianggap berselingkuh dengan Ben yang disebut tunangan dari Diana Sandjaya―bahkan paparazzi tersebut juga ikut menyertakan beberapa foto kebersamaan Yasmine dengan Ben. Melihat kabar tersebut tentu saja membuatnya begitu shock, apalagi ketika tau kalau ternyata Ben sudah bertunangan dengan Diana Sandjaya sejak tiga tahun yang lalu. Dan belum selesai dengan masalah luka hatinya, sekarang papanya justru meminta dirinya untuk segera menikah dengan lelaki pilihan beliau. Yasmine sungguh tidak mau menikah. Luka hatinya bahkan belum sembuh, tapi kenapa papanya justru menyuruhnya menikah? Dia juga tidak mengenal calon suaminya. Selain itu, hubungannya dengan Ben juga masih belum jelas, banyak kekhawatiran yang masih menyelimuti hatinya. Tiba-tiba ponsel di atas nakas kamarnya berdering. Yasmine sedang tidak ingin bicara dengan siapapun saat ini, tapi dering dari ponselnya tidak berhenti sedari tadi. Dengan malas dia pun mulai menghampiri nakas dan mengambil ponselnya. Ternyata panggilan dari Ben. Sebenarnya dia masih belum sanggup untuk bicara lagi dengan Ben. Tapi masalah ini harus segera diselesaikan. "Halo," ucapnya mengawali panggilan. "Yasmine, kamu baik-baik aja?" Suara Ben terdengar begitu khawatir di ujung sana. Bagaimana mungkin Yasmine baik-baik saja, apa Ben tidak sadar separah apa dia menyakiti Yasmine? "Kamu sudah punya tunangan?" tanya Yasmine langsung. "Masalah gosip itu aku bisa jelasin―" "Jawab pertanyaanku, kamu sudah punya tunangan?" sergahnya cepat. Hening beberapa lama hingga akhirnya Ben mengeluarkan suara yang membuat air mata Yasmine lagi-lagi luruh, "Ya, aku punya tunangan." "Sejak kapan?" tanya Yasmine sambil menahan isakannya. "Sejak sebelum kita punya hubungan." "Kamu jadiin aku selingkuhan?" ucap Yasmine dengan nada getirnya. "Aku nggak bermaksud begitu," balas Ben di ujung sana. Yasmine terlihat mengerjap-ngerjapkan matanya—berusaha menghentikan air mata yang terus saja keluar. Dia harus tegar, pria semacam Ben tidak pantas ia tangisi. "Hubungan kita sudah selesai. Terima kasih untuk semuanya.” "Yas, dengerin aku dulu," kata Ben berusaha mencegah keputusan sepihak Yasmine. "Setelah ini, aku mau kamu jangan hubungi aku lagi. Anggap kita nggak pernah kenal." Dengan segera Yasmine memutuskan panggilan teleponnya dan mulai mematikan ponselnya. Semuanya sudah berakhir. Dia ingin marah, tapi kepada siapa? Bukankah yang seharusnya marah disini adalah tunangan Ben? Dia lebih berhak marah dibanding dirinya. *** Saat ini Yasmine tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Masih banyak desain gaun yang belum dia kerjakan tapi pikirannya terus saja teringat dengan ucapan Papanya tadi pagi. ‘Papa sudah buat janji makan malam dengan keluarganya Damar. Papa tunggu di Le viere Restaurant jam tujuh malam nanti. Jangan sampai terlambat.' Sepertinya Papanya benar-benar serius. Yasmine harus menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia kenal. "Hei, bengong aja. Makan siang yuk, udah jam dua belas lewat nih." Kedatangan Lila membuat Yasmine tersadar dari lamunannya. Sudah setengah hari dia bekerja dan belum menghasilkan desain apapun. Sepertinya dia harus makan siang dulu. Akhir-akhir ini terlalu banyak masalah di hidupnya. Meski begitu dia harus tetap memperhatikan kesehatannya. "Aku beresin ini dulu ya," ucap Yasmine sambil membereskan selebaran kertas di mejanya. "Gue tunggu di lobby kalo gitu." Setelah selesai dengan kertas-kertas di mejanya, Yasmine pun dengan segera menyusul Lila. Karena hari ini jalanan begitu macet, jadi mereka berencana untuk makan siang di cafe dekat kantor. "Yas, gue udah lihat tentang gosip tentang lo di koran kemarin." Lila tau ini bukan waktu yang tepat membahas hal ini, tapi dia ingin tau keadaan Yasmine. "Lo nggak papa ‘kan?" tanyanya hati-hati. "Bohong kalo aku bilang nggak papa," jawab Yasmine sendu. "Sebenernya ada apa, Yas? Kenapa di koran itu tertulis kalo lo jadi selingkuhannya Ben?” Yasmine terlihat menghela napasnya pelan, sebenarnya dia sedang tidak ingin membicarakan hal ini. Dia ingin mengubur kenangan pahit ini dalam-dalam. Namun untuk Lila, sepertinya Yasmine harus menceritakannya. Apalagi Lila memang sudah tau kisah cinta Yasmine dan Ben dari awal. "Ben udah punya tunangan sebelum jadian sama aku. Dan aku baru tau kemarin, itu pun taunya dari koran." "Ben berengsek!" maki Lila. Ya, dia tau Ben berengsek. Dia laki-laki kurang ajar yang sudah menipunya selama dua tahun ini. "Mungkin nggak sih kalo gosip di koran itu ulahnya Diana?" tanya Lila. Bukan tanpa alasan dia menaruh curiga kepada Diana. Keluarga Diana itu cukup terpandang. Bukan hal sulit baginya untuk memuat berita murahan seperti itu di koran. Lila memang tidak mengenal Diana secara personal, namun banyak kabar yang mengatakan bahwa tabiat putri dari pemilik Sandjaya Group itu memang buruk. "Aku juga awalnya mikir begitu. Tapi siapapun itu, aku justru berterima kasih. Berkat dia aku jadi tau gimana busuknya Ben," ucap Yasmine memilih untuk tidak menyalahkan siapapun. "Iya juga ya," balas Lila setuju. "La, aku mau cerita sesuatu." Sepertinya Yasmine memang harus menceritakan ini ke Lila. Dia butuh teman cerita, dia bisa gila kalau menyimpannya sendiri. "Apa?" "Aku mau nikah." Lila yang tadinya sedang asik dengan minumannya kini langsung terbatuk-batuk. "Ini nggak lucu, Yas!" ujarnya sambil menatap Yasmine kesal. "Aku serius. Papa ngejodohin aku sama anak kenalannya. Gosip itu bikin papaku marah besar." "Terus hubungannya sama nikah?" "Papa nggak mau putrinya dicap jadi selingkuhan orang. Dengan aku nikah, publik akan ngira kalo aku sama Ben memang nggak ada hubungan khusus,” jelas Yasmine yang tidak seratus persen benar. Karena kenyataannya, papanya hanya tidak ingin kabar ini merusak image-nya yang terkenal bersih dari skandal. Selain itu, papanya juga tidak ingin kabar ini berdampak ke rencananya melenggang ke pemilihan bupati tahun ini. "Dan lo mau?" "Mau gimana lagi? Aku nggak mau papaku semakin marah,” jawab Yasmine pasrah. Kemarahan papanya adalah hal yang paling tidak ingin Yasmine lihat. "Tapi lo masih muda…" kata Lila agak keberatan. Usia Yasmine masih 24 tahun. Dan menurut Lila, usia itu masih terlalu muda untuk menikah. Di usia seperti ini, bukankah lebih baik untuk mengembangkan karir? Apalagi beberapa hari lalu, Yasmine sempat bercerita kepada Lila untuk mengembangkan karirnya di bidang fashion design dengan mendirikan brand miliknya sendiri. Meski masih sebatas angan-angan, namun itu masih mungkin untuk diwujudkan. "Aku nggak masalah kalau memang harus nikah muda," bohong Yasmine. Kalau boleh jujur, ini semua bukanlah keinginan Yasmine. Tapi dia akan melakukannya, demi nama baiknya dan juga demi reputasi papanya. "Jadi―lo beneran mau nikah?" tanya Lila sekali lagi. Yasmine pun menatap Lila sambil tersenyum tipis, "Kamu harus datang di acara pernikahanku nanti." Seharusnya sekarang Lila bahagia. Sahabat tersayangnya akan segera menikah. Tapi entah kenapa Lila merasa kalau Yasmine sendiri tidak bahagia dengan keputusannya ini. *** Saat ini Yasmine telah berada di Le viere Restaurant bersama dengan kedua orangtuanya dan orangtua Damar. Sekarang sudah jam delapan malam dan Damar masih belum menampakkan batang hidungnya. Mungkin Damar juga tidak menginginkan perjodohan ini, itu sebabnya malam ini dia tidak datang. "Maaf, saya terlambat." Oh itu Damar. Ternyata dia datang, padahal Yasmine berharap agar laki-laki itu tidak datang. "Kamu kemana aja Damar? Kamu udah telat satu jam loh ini," ujar mama Damar sambil menatap kesal anaknya. "Maaf Ma, ada rapat mendadak tadi." Setelah menyalami para orangtua disana, Damar pun dengan segera duduk di kursinya―dimana tempat duduknya saat ini tepat berhadapan dengan Yasmine. Damar tidak banyak bicara selama makan malam. Beberapa kali matanya bertatapan dengan Yasmine, tapi dia terlihat biasa saja―sedangkan Yasmine menjadi salah tingkah sendiri. Damar laki-laki yang tampan dan juga terlihat pendiam. Tapi sejujurnya Yasmine agak takut dengan sorot matanya. Sorot matanya menyiratkan kesan misterius, wajahnya pun tidak banyak menunjukkan ekspresi. Yasmine menjadi sulit menebak apakah laki-laki ini benar-benar menyetujui perjodohan ini atau mungkin sama seperti dirinya yang terpaksa menerima perjodohan ini. "Damar, lebih baik kamu ajak Yasmine keluar berdua. Kalian belum saling mengenal sebelumnya, ajak Yasmine jalan-jalan biar kalian bisa lebih dekat," usul Bram―papa Damar. "Iya, biar para orangtua yang mendiskusikan tentang pernikahan. Kalian bisa jalan-jalan berdua," imbuh papa Yasmine. "Kalau begitu, saya izin bawa Yasmine dulu Om, Tante." Setelah selesai berpamitan, Damar pun dengan segera menggenggam tangan Yasmine dan mengajaknya keluar dari area restoran. Yasmine bingung, sejujurnya dia tidak nyaman dengan genggaman Damar di tangannya. Tapi dia tidak tau bagaimana cara menolaknya. Dia takut Damar tersinggung. Untunglah tidak lama kemudian mereka telah sampai di pakiran dan Damar pun sudah melepaskan genggamannya. "Kita keliling-keliling aja ya, saya lagi malas buat keluar," ujar Damar. Sekarang mereka sedang berada di dalam mobil Damar. Tidak ada tujuan, hanya berputar-putar mengelilingi jalanan ibukota. "Berapa usia kamu?" "Saya?" tanya Yasmine bingung. Laki-laki ini sungguh ajaib, tidak ada basa-basi dan langsung menanyakan usia. Benar-benar di luar dugaan. "Ya." Bahkan bicaranya pun terkesan dingin. "Saya 24 tahun." "Usia kamu sangat jauh di bawah saya." "Ehm―kalau boleh tau usia Mas berapa?" tanya Yasmine hati-hati. Dilihatnya saat ini Damar yang sedang mengerutkan dahinya heran. Ada yang salah? Apakah karena panggilannya barusan? Damar bilang usia Yasmine jauh di bawahnya, jadi sudah seharusnya kan dia memanggil Damar begitu. "Saya 32." Ternyata jarak usia mereka cukup jauh juga. Ini pertama kalinya Yasmine menjalin hubungan dengan lelaki yang usianya terpaut jauh darinya. Kebanyakan mantannya memiliki usia yang sama dengannya―termasuk Ben. Hening beberapa saat. Rasanya sangat canggung. Sesekali Yasmine melirik ke arah pira di sampingnya, pria itu sibuk menyetir dan terlihat seolah tidak terganggu dengan keheningan yang menyiksa ini. “Ada yang mau saya tanyakan,” ujar Damar tiba-tiba. Yasmine pikir, Damar akan terus diam. Tapi ternyata pria itu berinisiatif untuk mengajaknya mengobrol lagi, dan Yasmine sangat bersyukur dengan niat Damar ini—karena jujur saja, di otak Yasmine sekarang buntu, dia tidak tahu harus mengobrol apa lagi dengan pria yang bahkan baru ditemuinya beberapa jam yang lalu. “Mas Damar mau tanya apa?” balas Yasmine ramah. “Apa kamu menginginkan perjodohan ini?” tanyanya membuat Yasmine terdiam. Menit demi menit terlewati, namun Yasmine masih belum menemukan jawaban yang pas untuk Damar—lebih tepatnya, jawaban yang sekiranya tidak menyakiti ego laki-laki itu. “Karena kamu cuma diam, jadi sepertinya kamu juga nggak menginginkan pernikahan ini,” kata Damar dengan mata yang masih lurus ke jalanan. Yasmine semakin terdiam dibuatnya. Namun dia menggaris bawahi kata ‘juga’ yang tadi diucapkan oleh Damar. Sepertinya bukan hanya Yasmine saja yang berat dengan perjodohan ini, namun Damar juga. "Sudah malam, saya antar kamu pulang ya." Sekarang baru jam setengah sembilan malam. Mereka baru berkeliling lima belas menit, mereka juga belum mengobrol banyak. "Iya, terserah Mas Damar." Sepertinya Yasmine sudah bisa membayangkan akan seperti apa kehidupan rumah tangganya nanti. *** Yasmine sudah berbaring di tempat tidurnya. Dia sudah siap untuk tidur sekarang, tapi entah kenapa matanya sulit untuk terpejam. Dia tengah mengkhawatirkan masa depannya. Damar lelaki yang tampan, tapi dia terlihat begitu dingin. Sepertinya Damar juga tidak menginginkan perjodohan ini. Sikapnya semalam menunjukkan segalanya. Dia terlihat enggan ketika mengobrol dengan Yasmine. Dia juga tidak terlihat tertarik ketika para orangtua tengah heboh membicarakan rencana pernikahan mereka. Wajahnya masih tetap sama―datar dan dingin. Yasmine tidak yakin akan sanggup menikah dengan laki-laki seperti itu. Di tengah kemelut pikirannya, Yasmine merasakan ponselnya berdenting sekali. Dan ternyata itu pesan dari Ben, lagi. Dia sudah muak dengan Ben. Sudah berkali-kali dia bilang jangan mengganggunya lagi, tapi Ben masih saja terus menghubunginya. Yasmine sudah menolak panggilannya berkali-kali bahkan sampai mengabaikan semua pesan-pesannya. Tapi kenapa laki-laki ini tidak menyerah juga. Yasmine ingin move on. Dia tidak mau dianggap sebagai perebut tunangan orang. Tidak lama setelah itu ponselnya kembali berdering. Kali ini bukan pesan dari Ben lagi―melainkan panggilan dari Ben. Sepertinya Yasmine memang harus bersikap tegas. "Halo." "Akhirnya kamu angkat juga," ujar Ben dengan menghela nafas lega. "Aku udah bilang jangan hubungi aku lagi!" ucap Yasmine dengan setengah berteriak. Sejujurnya Yasmine adalah tipe orang yang jarang marah. Bahkan berteriak pun tidak pernah. Tapi kali ini dia harus tegas. Dia harus menunjukkan kepada laki-laki itu kalau ucapannya tidak main-main. "Yas, apa nggak bisa kamu kasih aku kesempatan buat jelasin semua ini?" tanya Ben dengan nada memohon. "Nggak perlu. Lagipula kamu udah punya tunangan Ben, jaga perasaan tunangan kamu." "Tapi aku cintanya sama kamu." Jujur, hati Yasmine sempat menghangat ketika mendengar pernyataan Ben barusan. Biar bagaimanapun dia masih mencintai Ben. Selama ini hubungannya dengan Ben selalu baik-baik saja. Dan sekarang harus berakhir begitu saja karena fakta Ben yang telah membohonginya selama dua tahun ini. Tapi dia harus tetap ingat, Ben lelaki yang sudah bertunangan. Ben punya Diana, dan Yasmine tidak boleh mengambil Ben demi egonya sendiri. "Kita udah selesai Ben, jauhi aku." Segera setelah Yasmine mematikan panggilannya, isakannya pun tak tertahankan. Malam ini dia menangis lagi. Kenapa Ben membuatnya berat seperti ini? Dengan air mata yang masih terus berderai Yasmine kembali meraih ponselnya, dia pun membuka kontak Ben dan langsung memblokirnya. Seharusnya dia melakukan ini dari kemarin.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook