bc

NOMOR 4 (*)? ATAUKAH MATI (*)?

book_age18+
127
FOLLOW
1K
READ
dark
dominant
brave
dare to love and hate
drama
tragedy
twisted
mystery
scary
like
intro-logo
Blurb

COMPLETED STORY (as @ Sept 30th, 2020)

Klik Add ya kawan-kawan, baru klik Read. Bisa login dengan akun sss /email. Dengan mengklik ADD atau tap ❤️ via apl Dreame, akan memudahkanmu membacanya di lain waktu dan sebagai penghargaan bagi Author ybs ?

'Nomor 4. Ya memang. Terus kenapa? Lha, dari sebelum kemari juga aku sudah tahu, rumah ini bernomor 4. Tapi... bukannya kata orang Tionghoa, empat itu dilafalkan 'Si'? Selintas terkesan mirip dengan 'si' yang artinya mati?

Itu sebabnya gedung-gedung yang dikelola oleh mereka, seperti gedung tempatku berkantor dulu, nggak ada lantai 4nya.

Dari lantai 3, langsung lantai 5. Ah, masa bodoh. Setahuku, huruf pinyinnya saja beda. Satunya * sedangkan yang lainnya *. Dalam keadaan terdesak begini, gila saja kalau aku masih memikirkan hal macam itu. Lagi pula, aku ini juga bukan orang Tionghoa, kan? Kurang relevan memikirkan hal itu,' percakapan-percakapan ini menjajah pikirannya.

**

Benarkah nomor 4 pada rumah yang dikontrak oleh Zetta hanya sekadar 'nomor' belaka?

atau sebenarnya, semestinya gadis itu juga menaruh perhatian pada aura mistis yang menyergapnya begitu dirinya tiba tadi, dan mempedulikan firasat buruk yang melintas di benaknya?

chap-preview
Free preview
CHAPTER SATU : PINDAH (1)
                Pagar tinggi rumah bercat hijau lumut itu terbuka lebar. Pagar itu sendiri berwarna hitam pekat dengan ujung-ujung yang runcing. Ada secuil keganjilan yang mungkin mengusik siapa saja yang melihat bentuk pagar itu. Tak lain, disebabkan ujung runcing pada pagar yang bukannya menjulang ke atas sebagaimana pada umumnya ditemukan pada bentuk pagar lainnya, melainkan menghujam ke arah bawah, seolah menusuk bumi atau tanah tempat berpijak. Entah didasari pertimbangan serta alasan apa, sehingga sang empunya rumah memilih bentuk pagar yang kurang umum ini, dulunya.                Sebuah truk yang sarat muatan, tampak keluar dari halamannya yang teramat luas. Truk tersebut bergerak lamban, bagai merayap, untuk selanjutnya melipir di pinggiran jalan, tepat di depan pagar. Barangkali karena mempertimbangkan langit yang agak mendung, sebuah terpal dipergunakan untuk menutupi barang-barang yang ada di dalam bak truk.                Seorang pemuda belia berusia sekitar 22 tahun, terlihat berjalan kaki menyusul truk, menuju pagar setelah dia mengecek pintu rumah sekali lagi. Ia juga menyempatkan melayangkan pandangannya ke segenap halaman rumah yang luas itu, seakan mengucapkan kalimat perpisahan yang tak sanggup ia ucapkan secara verbal.  Langkah kakinya terasa berat, seolah hati dan jiwanya telah tertinggal di tempat ini dan tak memungkinkan untuk dibawa serta.              Setelah melewati pagar, dengan sekali gerakan pemuda itu menutup pagar dari arah luar. Lantas ia melingkarkan sebuah rantai di sela pagar dan memasang gembok.              “Sudah dicek semua, Mas Faisal? Nggak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Ali, sang kernet truk, kepada Faisal selagi pemuda itu memutar anak kunci pada gembok di pintu pagar.              Bukannya segera menjawab pertanyaan Ali, yang ditanya justru termangu di tempatnya seusai mengunci pagar rumah.             Faisal Anjasmoro Heriadi. Demikian nama lengkap pemuda itu. Tatap matanya kini terarah ke dalam, seolah hendak menembus halaman rumah bernomor 4 itu, melalui celah pagar. Ia mengamati pohon-pohonnya yang menjulang tinggi dan ia tahu pasti, senantiasa disenangi oleh ibunya selama menempati rumah itu. Dari celah pagar itu pula Faisal memandangi teras rumah yang menawarkan keteduhan alami dan kerap disemarakkan oleh canda tawa serta gurauan teman-teman Afifah Aryanti Heriadi, adik perempuannya.              Area teras rumah memang difavoritkan oleh teman-teman Afifah, setiap kali datang bertamu. Seingat Faisal, teman-teman sang adik bisa betah berlama-lama berada di sana. Dari mengerjakan tugas kuliah bersama, bermain cashflow quadrant, saling bercerita tentang siapa Cowok yang tengah mereka taksir di kampus, hingga mengagumi aneka tanaman bunga kepunyaan ibunya Afifah.              Baru terkenang di bagian itu saja, hati Faisal kontan terasa berat untuk beranjak pergi meninggalkan rumah ini. Bahkan, untuk sekadar mengangkat kakinya lantas mulai melangkahpun, dirasakannya teramat sulit. Seolah-olah, kedua kakinya digayuti oleh beban berat yang tak terlihat oleh mata. Ya, kendatipun dirinya belum terlalu lama menghuni rumah tersebut, seolah ada sebuah keterikatan yang sukar diingkarinya. Keterikatan yang tentunya sukar untuk ia lepaskan saat ini. Keterikatan yang tak dapat dipahami apalagi diterjemahkannya pada saat ini.              ‘Kenapa rasanya aku amat terkoneksi dengan rumah ini? Seakan-akan, pergi dari rumah ini juga tidak memutus hubungan begitu saja dengan rumah ini? Seolah rumah ini punya jiwa, bukan benda mati semata. Ini melampaui daya pikirku. Ada apa sebenarnya?’ pikir Faisal masgul.              “Eh, Mas Faisal kenapa, tuh?” gumam Ali, kala memergoki kemurungan yang teramat dominan mewarnai wajah Faisal. Kernet truk tersebut akhirnya memutuskan untuk melompat turun dari bak truk. Dengan sekali gerakan melompat yang gesit lantaran telah terbiasa sekian lamanya dengan hal serupa kakinyapun segera menginjak tanah dengan mantap. Tanpa cedera, tanpa terkilir ataupun salah urat.              Maksud hati hendak menghampiri Faisal, namun begitu melihat Faisal diam terpekur, mendadak Ali tersapa perasaan tidak tega. Hati nuraninya bicara, membujuknya untuk memberikan sedikit ruang dan waktu kepada Faisal.              Maka kernet truk itu berpikir bahwa dia perlu memberi sedikit waktu untuk Faisal melakukan-entah apa itu, merenung ataukah apa, dengan berdiam diri macam itu. Alipun mengurungkan niatnya, dan berbalik hendak  menghampiri sang supir.               Di tempatnya berdiri Faisal sama sekali tidak menyadari gerakan Ali yang berubah sedemikian cepatnya. .             Ada desakan keluh di benak pemuda belia itu, yang memaksa untuk dibebaskan keluar saat ini juga. Segumpal kesedihan membersit, terkenang halaman belakang, tempat yang selama ini digunakannya untuk latihan band bersama sejumlah kawannya. Ia menggelengkan kepala, seolah tidak rela akan kehilangan semua momen itu.               Apalagi, sewaktu ia juga membayangkan luasnya ruang keluarga, di mana dia beserta pak Yanuar Rahmat Heriadi, ayahnya, bu Meiske Anjani Briastuti, sang ibu, serta Afifah, bercengkrama di malam hari.               Tak sadar, mata Faisal memejam.              “Susah banget buat percaya, semua ini harus kulepaskan begitu saja. Kehangatan dan kenyamanan ruang keluarga yang jadi saksi bisu keharmonisan keluarga, haruskah secepat ini jadi sekadar kenangan semata?” Faisalpun setengah bergumam, mengenang komitmen tak tertulis keluarganya, yakni senantiasa menyempatkan duduk bersama di ruang keluarga pada penghujung hari.                 Ya, duduk bersama di ruang keluarga merupakan waktu berharga, quality time, bahasa kerennya,  yang senantiasa mereka gunakan untuk saling berkisah tentang aktivitas masing-masing sepanjang hari. Rutinitas harian, selama menghuni rumah yang sebentar lagi bakal ditinggalkannya.                Tak pelak, kini Faisal teringat pula canda ria serta adu tebak-tebakan, yang kerap mewarnai kebersamaan mereka, terutama saling olok dengan Afifah yang berujung tawa atau saling menggelitiki. Momen berebut irisan terakhir bolu tape buatan ibunya, yang merupakan kesukaan mereka berempatpun, bak menari-nari di pelupuk matanya sekarang.                 Andaikan kenangan indah berwujud nyata dan dapat digenggam selamanya, pasti Faisal tak akan sekadar menggenggamnya. Ia pasti akan melakukan yang lebih dari itu. Faisal tidak mungkin ragu untuk menyimpan semua kenangan indah yang dimilikinya selama keluarganya menempati rumah tersebut dalam sebuah kotak harta karun, lalu digemboknya berlapis agar dapat abadi selamanya, sebelum menyembunyikannya ke tempat rahasia yang paling sulit dijangkau dan tidak terpikir oleh siapapun. Ya, dia akan melalukan segalanya demi memastikan agar kenangan indah itu tak akan pernah tercuri apapun dan siapapun, selamanya.                  Apa hendak dikata, segalanya kini lenyap tanpa bekas. Mengingatnya, lantas membandingkan dengan situasi yang melingkupinya sekarang, membuat langkah kaki Faisal tambah berat, menolak digerakkan.                Mau tak mau Faisal tergoda untuk membandingkan betapa berbedanya keadaan sekarang dengan saat keluarganya memasuki rumah ini setengah tahun yang lampau.                 Dulu, di hari kepindahan mereka kemari, dengan penuh semangat ibunya membawa semua tanamannya dari rumah dinas sang suami. Tanaman itu segera membuat asri halaman rumah ini. Wajah berseri Bu Meiske, ibunya, adalah respon spontan, begitu diberitahu bahwa Pak Yanuar mengontrak sebuah rumah besar berhalaman luas.              ‘Semuanya senang. Afifah saja sama sekali nggak keberatan pindah kemari, biar pun  jarak ke kampusnya lebih jauh kalau ditempuh dari rumah ini dibandingkan dengan jarak dari rumah dinas Ayah. Aku nggak bisa lupa, betapa dia bersorak kegirangan, mendapatkan kamar yang lebih luas di sini, ketimbang kamar lamanya di rumah dinas Ayah dulu,’ batin Faisal, terkenang antusiasme keluarganya begitu menyaksikan sendiri pilihan tepat sang ayah untuk tempat tinggal mereka, dahulu.                          Faisal mengembuskan napasnya dengan berat. Seakan-akan dengan begitu, dia dapat melepaskan beban yang terasa menyesaki dadanya.                 “Ya apalagi aku, begitu tahu Ayah memperbolehkan aku berlatih band di rumah. Dengan begitu, aku sama teman-temanku kan nggak perlu lagi merogoh kocek serta membagi rata biaya sewa studio lagi, seperti saat kami masih tinggal di rumah dinas Ayah,” gumam Faisal lirih, mirip sebuah bisikan kepada dirinya sendiri. Dia terkenang rumah dinas sang Ayah yang terletak di tengah kompleks perumahan.                 Bertolak belakang dibanding rumah dinas ayahnya, letak rumah ini memang sangat strategis. Di sisi kanan rumah besar ini, terdapat sebuah kebun kepunyaan sang pemilik rumah. Kebun itu berada tepat di pinggir jalan kecil. Adapun jalanan kecil itu kurang lebih selebar satu buah mobil saja dan biasanya merupakan salah satu alternatif jalan yang ditempuh orang untuk menuju ke lapangan warga yang terletak di belakang rumah.  Jalanan yang sungguh minim dari keramaian lalu lintas.                 “Mas Faisal kelihatannya berat banget buat ninggalin rumah ini, ya, Pak Tody. Mungkin, terlalu banyak kenangan keluarganya di sini,” kata Pak Ali kepada sang supir truk. Selintas, rasa kasihan menyelinap di benaknya, memergoki Faisal yang memejamkan mata sesaat.                 Pak Tody menatap lebih dahulu ke arah Faisal, barukemudian ia memalingkan wajah kepada kernetnya, pak Ali.                 “Biarkan dulu saja, kasih Mas Faisal waktu-waktu sebentar. Nggak apa-apa kita tunggu saja,” kata Pak Tody.                 “Ya sudah kalau begitu,” kata Pak Ali yang segera menganggukinya.                 Sementara menanti Faisal selesai dengan ‘urusan’nya, Pak Ali yang merasa ‘mati gaya’ lantaran tidak tahu harus melakukan apa, melayangkan pandangan matanya, menatap keadaan rumah.                  “Pak Tody merasa rumah ini berkesan eksklusif, nggak? Tuh, di sebelah kiri rumah saja, ada dua kavling tanah kosong. Selain luas, kelihatannya kavling itu juga sudah lama kosongnya. Terus, di sebelah kanan rumah juga ada kebun. Apa keluarganya Mas Faisal nggak merasa janggal, waktu nempatin rumah ini, ya? Saya saja nggak yakin mau mengajak keluarga saya tinggal di sini walaupun gratis,”  cetus pak Ali tiba-tiba, seraya mengusir perasaan aneh yang menggoda.                 Untuk sebuah alasan yang sulit dipahaminya entah mengapa dia ingin secepatnya beranjak pergi, meninggalkan kawasan ini. Seakan ada dorongan yang demikian besar dan sulit dilawannya.                  Pak Tody tidak menanggapi perkataan sang kernet.                 Ia duduk tenang di belakang kemudi truk, melirik sekilas pada Faisal yang masih betah berdiri di tempat semula.                  “Pak Tody, apa aku samperin saja, Mas Faisalnya?” Pak Ali meminta pendapat. Sepertinya dia sudah mulai tidak sabar.                  Tidak jelas disebabkan alasan apa, sebuah pemikiran hinggap begitu saja di kepala Pak Ali begitu dia melayangkan pandangannya ke halaman depan rumah hingga dinding luar rumah tersebut.                 “Rumah ini sejatinya nggak horor. Tapi kenapa ya, perasaanku kok semakin nggak enak saja sekarang ini? Padahal tadi pas angkut-angkut barang di dalam, biasa saja. Atau jangan-jangan, saking sibuk aku yang mengabaikan pertanda? Bisa saja, kan? Sementara saat ini, begitu semua sudah selesai, seperti ada desakan supaya aku cepat meninggalkan tempat ini. Seperti ada peringatan supaya aku bergegas, kalau nggak mau sampai terkena masalah. Aduh! Apa sih! Tapi herannya si mas Faisal malah masih betah mematung begitu. Ih, kenapa sih dia?” gumam Pak Ali super pelan, tidak ubahnya sebuah bisikan yang ditujukan kepada dirinya sendiri.                                                                                                                                                                                                  - Lucy Liestiyo -

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Married With My Childhood Friend

read
43.6K
bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

Wedding Organizer

read
46.6K
bc

Dependencia

read
186.2K
bc

You're Still the One

read
117.3K
bc

Married By Accident

read
224.0K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook