bc

Can't Stop Loving You Even If You're Psycho

book_age18+
483
FOLLOW
2.1K
READ
revenge
dark
forced
badgirl
dare to love and hate
serious
enimies to lovers
first love
crime
model
like
intro-logo
Blurb

[TAMAT]

Alasan kedatangan Irish ke Jakarta bukan untuk merintis kariernya sebagai seorang model di Mode-In, sebuah agensi model terbesar di tanah ibukota, melainkan untuk membalas dendam atas kematian Gladis—teman online-nya sejak dirinya mulai dilarang orangtuanya untuk berkelana di dunia luar karena khawatir apabila dirinya sampai membuat keributan gara-gara krisis empatinya—karena bunuh diri setelah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari sekumpulan laki-laki.

Akankah Irish mampu menuntaskan misinya sementara salah satu dari pelaku ternyata sangat mencintai dirinya tanpa peduli dengan kegilaannya sesudah menghancurkan masa depan dari sebagian besar pelaku?

"Tunggulah. Kau akan menjadi mangsa terakhirku."

Irish selalu mengingat kata-katanya dalam pertemuan perdananya—mungkin hanya anggapan sepihak—dengan laki-laki itu. Laksana sumpah setianya. Apakah bisa kesampaian? Biarkan waktu untuk menjawabnya.

***

Cover: Canva + Hải Nguyễn from Pexels,

Randylle Deligero from Pexels,

lilartsy from Pexels

chap-preview
Free preview
1. Cinta Pertama Kafka
DETIK-DETIK matahari akan terbenam seutuhnya sudah menanti, sekian menit sebelum menuju waktu malam, suasana ruang tengah di kediaman keluarga Abraham terlihat kurang kondusif karena suara televisi dan sosok wanita muda di sana terdengar seperti balapan. Dia meninggalkan kesan manja selama duduk di sofa bersama ibunya tercinta, bahkan sampai memeluk salah satu lengan ibunya dengan menggunakan kedua tangannya sementara kepalanya disandarkan pula. "Ma, aku ingin melihat dunia luar," rengeknya. Di sela-sela aktivitas santai berupa menonton drama korea, Bu Rere terpaksa mengalihkan perhatian. Dia meraih salah satu sisi kepala putrinya dengan sebelah tangannya, sedikit memutar kepala dan bertanya dengan lembut, "Apa maksudmu, Nak?" "Lusa, aku akan berangkat ke Jakarta sebagai salah satu calon model di Mode-In, Ma," jawab Irish, masih bergelayut manja. Bu Rere tersentak. Wajah hangatnya sirna seketika. Dia terlihat memendam kekesalan setelah mengetahui bahwa putrinya telah berani membuat keputusan secara sepihak. Di umur 22 tahun, Irish memang sudah cukup dewasa untuk bertualang di luar sana, meraup banyak ilmu dari semesta. Akan tetapi, Bu Rere teramat khawatir apabila dunia berisi kebebasan akan membawa dampak buruk untuk putrinya. "Nak." "Kau tahu benar," ujar Bu Rere dengan berat hati. "Papamu tidak mungkin mengizinkanmu." Jawaban barusan sungguh mengecewakan. Irish berusaha untuk duduk tegak dengah sorot mata berubah tegas, sosok manis sebelumnya sudah menghilang bagaikan ditelan perut bumi, terkubur dalam-dalam. "Tapi, aku sudah mengirimkan formulirku ke sana dan diminta untuk segera melakukan wawancara," ucapnya dan terdengar tidak bisa didebat. Diawali dengan helaan napas, Bu Rere mulai meluruskan kepala, tetapi dibuat sedikit tertunduk karena disertai maksud tertentu. Dia tahu benar, memasuki usia 43 tahun artinya sudah tidak muda lagi sehingga apabila menghadapi berbagai situasi harus bisa menyelesaikan dengan cara dewasa. "Baiklah, nanti mama akan mencoba bicara dengan papamu." "Tidak perlu. Aku sudah mendengar semuanya," ucap seorang laki-laki berbadan gempal dengan usia sekitar 47 tahun, terlihat masih mengenakan setelan kantor, berdiri tegak di area ruang tengah dengan jarak hanya beberapa meter dari tempat mereka, "dan jawaban papa adalah tidak." "Papa?" Baik Irish dan Bu Rere sama-sama terkejut dengan kemunculan Pak Rehan. Bahkan, Bu Rere sudah bangkit dari sofa dan menghampiri suaminya. "Ayolah, Pa. Biarkan Irish menggapai mimpinya. Toh, sekarang ... putri kita sudah sembuh," ujarnya dengan nada membujuk, wajahnya dibuat bersinar seakan-akan sedang memantulkan setiap spektrum cahaya dari lampu. Dalam rangka melunakkan hati ayahnya, Irish mencoba untuk tersenyum lembut, sebisa mungkin bersikap seperti gadis manis, bukan tukang onar. "Iya, Pa," katanya, "aku sudah sembuh." Pak Rehan akan diburu ketidaktenangan, misalkan malah hanya kemakan kepalsuan. Dia terus terang khawatir andaikan sampai salah dalam mengambil keputusan. Adalah alasan untuknya selalu ekstra hati-hati. Diambang penolakan, Irish masih berusaha untuk membujuk ayahnya. Dia tidak mau menuai kegagalan dalam mencapai tujuan terselubungnya. "Jadi, mustahil untukku menyakiti siapa pun. Pernahkah Papa melihatku berbuat ulah lagi?" Jeda sebentar. Dia menatap ayahnya dengan segenap kesungguhan, apalagi kalau bukan untuk memperdaya dengan menanyakan, "Tidak, bukan?" "Bahkan, walaupun sering digigit Wolfy, aku selalu bersikap lemah lembut kepadanya," imbuhnya dengan ekspresi wajah dibuat memprihatinkan, masih mencoba untuk berburu rasa iba dari ayahnya. Dia cukup cerdik dengan membawa-bawa nama anjing kesayangan kedua orangtuanya. "Ya, sudah," kata Pak Rehan. "Papa izinkan." Usaha Irish berbuah manis. Dia mampu menipu ayahnya, bertambah sempurna setelah mengamburkan dirinya ke pelukan ayahnya. "Wah, asyik!" Tiba-tiba, tidak berselang lama setelah pelukan mereka teruraikan, Pak Rehan menuturkan, "Asalkan dengan satu syarat. Kau harus tinggal di rumah sahabat papa." "Bisa diatur, Pa." Irish terlalu malas untuk meributkan masalah sepele. Dia tetap tersenyum senang, setidaknya dirinya tidak dihalang-halangi, dapat terhindar dari luapan emosi. "Mn ... aku mau beres-beres dulu." Demikianlah. Dia sungguh-sungguh tidak sabar untuk mengekspresikan kepuasannya di kamar pribadi dan penuh privasi tanpa gangguan dari siapa pun. Tiap makhluk bernyawa tentu berhak untuk memiliki ruang dan waktu tersendiri sehingga bisa bersikap sebebas-bebasnya, bukan? *** Di suatu momen sesudah memasuki akhir bulan di awal tahun, ketika matahari akan tergelincir ke ufuk barat, sepulang dari rumah sakit tempat dimana dirinya bekerja, Kafka sengaja mampir ke sebuah bangunan bertingkat di pusat kota, mencari teman bicara untuk mengungkapkan keluh kesahnya, setidaknya ... meski belum dapat dipastikan kalau akan menghadirkan solusi, jiwanya bisa sedikit diberikan kelegaan. Kafka sudah berada di ruangan pribadi dari pemilik bangunan, sebagai tempat ternyaman Chakra untuk menjalankan semua urusan bisnis. Mereka berdua sedang duduk bersebelahan di sofa empuk berwarna abu-abu tua dengan posisi terlihat menghadap ke arah meja kaca di hadapan mereka. Meski sudah cukup minum air untuk melegakan tenggorokan, Kafka masih belum mampu memanen ketenangan. Dia tidak akan puas sebelum meluapkan unek-uneknya. "Kau tahu," serunya dengan irama menggebu-gebu karena sedang kesal setengah mati, "seluruh mantan pacar Darren terus mendatangiku. Mereka selalu mengaku hamil dan memintaku untuk membujuk Darren supaya segera menikahi mereka." Dia malah berupaya untuk mencari jalan keluar sendiri. "Mulai sekarang, aku tidak boleh terlalu sering berurusan dengannya," katanya ketika kedua lengannya dijatuhkan di atas lutut dengan kedua ibu jari sibuk bermain di buku-buku jarinya. "Di sini, nama baikku sedang dipertaruhkan," tambahnya. Tiap wanita berperut besar memasuki ruangan pribadinya di rumah sakit selalu berakhir meresahkan. Dia adalah dokter umum, bukan dokter kandungan. Jika mereka sudah mendatanginya dengan tujuan di luar medis, maka hanya akan menghadirkan problematika. "Bayangkan," ucapnya dengan ditemani muka sengitnya. "Setiap mereka masuk ke ruanganku, mereka selalu berkata, Kafka, aku hamil." "Hahaha." Alih-alih menyabarkan Kafka, Chakra malah tertawa sepuasnya. Dia merasa bahagia di atas penderitaan orang lain. "Jika orangtuaku mendengarnya, mereka bisa pingsan dalam waktu bersamaan," tambah Kafka ketika tawa Chakra mulai mereda. "Darren benar-benar sudah tidak waras." Tangan Chakra terangkat sebelah untuk memegang salah satu lengan Kafka sekadarnya. Dia hendak mengoreksi pernyataan kawan karibnya barusan. "Yang tidak waras bukan Darren, melainkan dirimu." "Kau sudah dua puluh lima tahun bernapas. Tapi, tidak pernah merasakan surga dunia." Hidup di lingkungan serba bergelimang dosa, Kafka masih berupaya untuk menjaga kemurnian tubuhnya, berbeda sekali kalau dibandingkan dengan keempat temannya dari TIGER band, mereka tidak pernah berlagak suci, sudah terbiasa menikmatinya, kadang-kadang saling terbuka satu sama lain. Meski digoda berkali-kali, Kafka tetap memegang teguh prinsipnya. Dia tidak membutuhkan waktu lama untuk menegaskan, "Aku tidak murahan seperti kalian. Tubuhku eksklusif." "Cih." "Munafik." Chakra meneruskan pekerjaan semula, memeriksa lembaran dokumen di atas meja satu per satu setelah dianggurkan selama sekian menit dengan punggung dibiarkan tersandar seutuhnya, mencari posisi tersantai. Dia terlihat telaten dan sangat teliti. Di sela-sela waktu sibuknya, bibirnya terbuka untuk menuturkan, "Wajah polosmu tidak bisa menipuku." "Terserah. Aku tidak peduli dengan penilaianmu," kata Kafka setelah melirik ke arah Chakra sepintas dengan muka malasnya. Akan tetapi, diam-diam diliputi rasa penasaran akan aktivitas sahabatnya. "Omong-omong," ucapnya, "sejak tadi kau sibuk apa, sih?" Tanpa melepaskan perhatian dari sekumpulan snapshot—bidikan spontan, tanpa modelnya diatur terlebih dahulu—di tangan, selama dihadapkan dengan calon model berparas tercantik, kedua matanya teramat segan untuk beralih ke lembar berikutnya. Dia dibuat terpesona hanya gara-gara melihat sosok wanita berkulit cerah, mulus dan bersih, berambut hitam lurus, dianugerahi dengan wajah berbentuk oval dan manik mata bersorot tajam. "Tidak ada," katanya kemudian. Dia masih tidak mengetahui, sampai kapan jemari tangan kanannya akan tertahan di area sudut kanan bawah dari map bersampul biru gelap di tangan kirinya. Garis senyumnya tertarik dengan sendirinya. "Aku hanya melihat-lihat beberapa calon model di perusahaanku," gumamnya. Lepas badan sedikit dicondongkan ke depan, kepalanya diputar ke arah kanan dengan menjatuhkan tatapan ke teman karibnya. Dia segera menunjukkan snapshot dari calon model tercantik menurut versinya dan mengatakan, "Perhatikan." "Cantik, bukan?" Map di tangan Chakra tahu-tahu sudah berpindah tangan. Kafka tidak menjawab. Kedua kornea matanya berubah penuh. Dia bukan terpesona lagi, tetapi teramat gembira dengan segenap kerinduan di dadanya. "Irish? Inikah dirimu? Benarkah kau sudah kembali?" Yang Kafka tahu, selaku teman masa kecilnya, Irish masih melanjutkan studi di Amerika Serikat sehingga ketika tiba-tiba sudah berada di sini, wajar kalau hatinya sampai bergetar dengan begitu hebatnya. Akankah penantian panjangnya selama bertahun-tahun dapat segera terbayarkan? Bisakah mereka berdua dipertemukan sekarang? "Irish Dellecia Abraham." "Dia tidak hanya cantik. Tapi, memiliki tubuh seksi." Saat Kafka asyik bernostalgia, Chakra malah mengoceh tanpa henti dan cukup sukses dalam membuat seseorang meradang karena sempat memperagakan sebuah gerakan. "Jujur, rasa-rasanya, kedua tanganku sudah tidak tahan untuk memegang asetnya." "Dasar." "Cucilah otak kotormu." Kafka tidak akan pernah mengizinkan Chakra untuk mendekati cinta pertamanya, sosok gadis cantik sebagai keturunan dari adik kelas ayahnya. Dia masih mengingat dengan detail, setiap kedua keluarga mereka saling bertamu ke rumah masing-masing secara bergantian, seperti momen penyatuan. Alangkah indah setiap adegannya hingga mereka bisa terkesan akrab sekali. "Aku melarangmu untuk berbuat macam-macam kepadanya. Dia adalah teman masa kecilku." Chakra tercengang setelah mendengarnya. Yang lebih mengkhawatirkan bukan kedua mata bulatnya, melainkan kekecewaannya. Tidak ada celah, sepertinya. Dia segera memastikan dengan bertanya, "Ha? Benarkah?" Ketika Kafka memilih bungkam, Chakra sudah bisa menyimpulkan sendiri. Dia tidak hanya sebatas kecewa sekarang, tetapi sesuatu seperti hilang dari dirinya. "Yah ... sayang sekali," gumamnya dengan suara pelan. "Aku tidak bisa bermain-main dengannya." "Tapi, misalkan aku berniat serius. Apa kau akan merestuiku?" "Bangunlah dari mimpimu," sahut Kafka dengan nada tidak suka. Pada awalnya, Chakra sudah berniat untuk taubat kalau bisa memiliki Irish, ternyata harus menjadi angan-angannya semata. Saat melihat Kafka senyum-senyum sendiri, Chakra menangkap sebuah sinyal bernama cinta. "Wait. Wait." "Jangan bilang," kata Chakra dengan dipenuhi binar ketertegunan sesudah menyadari sesuatu, "kalau kau sengaja menjaga kemurnian tubuhmu untuknya." Meski suara hatinya sudah terwakilkan lewat senyuman, Kafka tetap mempertegas dengan mengucapkan, "You've got the point, Bro." "Sht!" Lepas mengumpat sesuka hatinya, Chakra menghela napas singkat dan menyatakan, "Aku hanya kalah satu hal darimu." Kafka tidak merasa terluka dengan umpatan beberapa waktu lalu. Mungkin, semua berkat ketulian kedua telinganya karena sudah eror secara instan dan tanpa pertanda. Dia terlalu terlena dengan rupa dari cinta pertamanya disamping harus sedikit menahan ketidakrelaan karena wanita terkasihnya terlihat mengenakan pakaian terbuka hingga lekuk tubuh wanita itu dapat dinikmati siapa pun secara bebas. Awalnya, Kafka tebersit untuk mengoreksi pernyataan Chakra, tetapi ternyata hanya berujung keheningan. Dia tahu benar bahwa dibalik satu kekalahan, kawan dekatnya memiliki banyak kelebihan, baik dari segi finansial maupun fisik. Laki-laki itu ditakdirkan luar biasa kaya raya dan berparas tampan dengan warna tubuh mendekati kuning langsat, satu tingkat di atasnya. "Hari sudah malam. Aku harus pulang sekarang," ujarnya tidak berselang lama setelah mengembalikan map di tangannya kepada pemiliknya. Dia baru akan berdiri selama bibirnya tiba-tiba membuat celah dan mengatakan, "Ah ... aku memiliki satu pesan untukmu." "Jangan pernah bosan untuk mendengar curhatanku," sambungnya. Dia bangkit dari sofa seraya meraih kunci mobil di atas meja sebelum bergeser dan segera berlalu untuk keluar dari ruangan. Dalam rangka menanggapi kepergian Kafka, Chakra secara mengejutkan malah berubah kurang ramah dengan mengucapkan, "Percayalah. Kau tidak akan mendapatkannya."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
93.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook