bc

Nightmare in Bukit Lawang

book_age12+
91
FOLLOW
1K
READ
revenge
family
dominant
tragedy
mystery
supernatural
horror
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Latifah, gadis berusia 19 tahun yang memiliki keistimewaan dengan panca inderanya. Kehidupannya tidak istimewa, bahkan terkesan biasa saja.

Gadis itu mampu merasakan apa yang tak dirasakan orang normal pada umumnya hanya dengan indera penciumannya, gadis itu mampu mengetahui sosok hantu yang datang padanya, dengan maksud baik ataupun buruk. Namun yang semula normal dan biasa-biasa saja kini menjadi berantakan sebab kepindahannya ke desa bernama Bukit Lawang. Kepindahannya bukanlah sebuah pilihan, melainkan keputusan. Maka apa yang ia alami di desa itu pun bukan pula pilihan, melainkan kesialan.

Lantas apa yang akan terjadi pada Latifah selanjutnya?

chap-preview
Free preview
Chapter 01
Angin malam menerpa wajah putih pucat yang sejak tadi sudah merasakan hawa dinginnya kota Samarinda. Jalan-jalan malam itu tak disangka akan berteman dengan hujan lebat yang mengguyur bumi Samarinda. Tak heran jika hujan saat malam akan selebat ini, karena saat siang hari matahri akan bersinar dengan sangat terik, bahkan bisa mencapai 30C. “Mbak Latifah, kan?” Yang ditanya pun menoleh, melihat seorang driver ojek online yang baru saja menyapa. Latifah tersenyum dan mengangguk. Dia tahu jika driver ojek itu yang beberapa menit lalu ia pesan. Driver ojek tersebut pun mempersilahkan agar Latifah masuk ke dalam mobilnya. Latifah menatap ke luar jendela sepanjang perjalanan, malam ini adalah malam terakhir dia dapat melihat keindahan kota Samarinda yang tidak pernah dilanda kemacetan, karena lusa dirinya akan pindah ke luar kota untuk ikut serta dengan kedua orang tuanya. Sayangnya, Latifah harus melakukan penerbangan sendiri karena Ayah dan Bundanya sudah lebih dahulu berangkat. Bibirnya tersenyum bahagia, seumur-umur baru kali ini dia mengitari kota Samarinda meskipun berakhir pulang dengan kedinginan. Tak apa, yang terpenting Latifah sudah merasakan jalan-jalan di kota yang indah ini. Hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai ke depan gerbang kediaman Latifah. Dia pun membayar driver tersebut. “Saya bisa minta bintang limanya, Mbak?” tanya driver itu. “Iya, Mas.” Latifah membuka ponselnya dan memberi bintang lima di sana. “Sudah ya, Mas.” Driver tersebut pun mengecek ponselnya dan mengangguk terima kasih, tak lupa tetap tersenyum ramah. **** Samarinda, Bandar Udara Internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto. Latifah menyeret koper bewarna biru muda berukuran besar itu dengan tergesa sebab alarm yang tak cukup mempan membangunkan tidur lelapnya pagi tadi. Tidak, ini bukan salah alarm, melainkan salah Latifah sendiri mematikan dering alarm yang terdengar sangat mengganggu. Alhasil, dirinya nyaris tertinggal pesawat. Setelah check in, Latifah langsung berlari ke terminal pesawat sesuai yang tertera pada tiketnya dan ternyata penerbangan tengah delay karena hujan dan angin lebat yang sangat tidak memungkinkan untuk melakukan penerbangan saat itu. Setidaknya ini sedikit menguntungkan bagi Latifah. Untuk menghilangkan rasa bosannya, Latifah memasang earphone yang sejak tadi melingkar di lehernya ke telinga. Setengah jam kemudian, panggilan boarding di bandara menandakan bahwa penumpang harus segera menuju gerbang keberangkatan untuk masuk ke dalam pesawat. Latifah melihat arlojinya telah menunjukkan pukul 9:45 kemungkinan perjalanannya kali ini akan sedikit lebih lama dari sebelumnya. Latifah akan transit selama 1 jam lebih di Jakarta sebelum terbang ke Medan. Dia beranjak dengan membawa tas ranselnya untuk  melangkah masuk ke dalam pesawat dan duduk tenang hingga menunggu pesawat mendarat di Jakarta. Sebelum duduk, Latifah ingin meminta bertukar duduk dengan seseorang yang sudah duduk di dekat  jendela. “Sorry, boleh saya duduk di ujung?” tanya Latifah dengan sopannya. Pemuda itu meliriknya sekilas dan tersenyum. Latifah berpikir jika dia akan mendapatkan duduk di dekat jendela pesawat, ternyata salah. “Duduk dengan tenang saja di tempatmu.” Latifah pun langsung duduk di tempatnya dan menghela napas pelan mendengar jawaban pemuda itu. Terlalu malas menanggapi penolakan pemuda itu. Meskipun sedikit kesal, Latifah hanya meredamnya saja. **** 27 Desember 2018. Jakarta, Bandar Udara Soekarno Hatta. Setelah satu jam duduk bersampingan dengan pemuda yang sangat songong, akhirmya kini Latifah bisa jauh dari pemuda itu. Setidaknya hanya satu jam dia duduk bersebelahan dengannya tadi. Setelah ini tidak lagi. Latifah kembali menyumpal telinganya dengan earphone kembali dan berjalan lurus ke depan untuk ke tempat pengambilan koper. Sebelum mengambil kopernya, Latifah bertujuan untuk ke toilet terlebih dahulu agar membasuh wajahnya. Sepanjang langkahnya bibir Latifah terus bersenandung kecil mengikuti alunan lagu yang dia dengar. Dengan rasa malas Latifah menarik kopernya menuju lift untuk naik ke lantai atas dimana dia akan kembali melakukan check in untuk penerbangan selanjutnya. Penerbangannya kali ini benar-benar terasa sangat membosankan. Sendirian tanpa memiliki teman mengobrol. Tidak, Latifah tidak sendirian, dia bersama temannya. Hanya saja temannya tak terlihat kasat mata. Bisa disangka tidak waras jika dia berbicara dengan teman tak kasat matanya itu saat di tempat umum seperti ini. **** Medan, Bandar Udara Kuala Namo. Mendaratnya pesawat di kota yang dia tuju, Latifah mengucapkan lafadz hamdalah karena perjalanannya aman dan sampai dengan selamat ditujuan. Latifah keluar pesawat dengan segera, terlalu malas untuk berlama di bandara yang menampung ribuan orang di dalamnya. Latifah tidak menyukai tempat yang ramai. Dia adalah si penyendiri namun tak ingin merasa sendiri. Aneh sekali. Setelah sudah mendapati kopernya, Latifah langsung keluar dari kerumanan orang-orang itu dan menelpon kedua orangtuanya. “Halo, Bunda. Tifah sudah sampai nih. Bunda sama Ayah dimana?” “Oh, oke. Sorry Bunda sama Ayah sedang sibuk, kamu dijemput sama anak dari teman Ayah, ya? Perjalanan ke rumah akan memakan waktu cukup lama, jadi Bunda harap kamu tidur saja di mobil. Sudah dulu ya, hati-hati di jalan, love you, Sayang.” Tut! Panggilan terputus langsung. Latifah menghela napasnya. Selalu begitu. Pikir Latifah. Dia sudah cukup paham dengan kesibukan kedua orangtuanya. Sebenarnya, Latifah ingin tetap berada di Samarinda, toh juga di sini bersama kedua orang tua yang sibuk dengan dunianya masing-masing dan tak memiliki waktu untuk sekedar berkumpul bersama. Latifah ingin sekali mempunyai banyak teman agar hidupnya lebih berwarna, hanya saja Bunda tak mengizinkannya karena Latifah yang selalu saja dimanfaatkan oleh teman-temannya. Kini Latifah hanya berteman dengan makhluk tak kasat mata—hantu. Kedua orang tua Latifah pun tak masalah jika anaknya berteman dengan makhluk gaib, selagi itu baik. Bundanya yang indigo, tahu makhluk mana yang baik dan tidak untuk bermain dan menemani putrinya. Latifah tersentak kaget sendiri mendapati ponselnya yang bordering saat dirinya tengah melamun. “Halo? Saya yang diminta untuk menjemputmu,” terdengar nada dingin tak bersahabat dari seberang telepon. Dari suaranya, Latifah tahu itu laki-laki yang masih lumayan muda. Logikanya saja, Bundanya tadi mengatakan jika yang menjemputnya adalah anak dari teman Ayahnya. Jadi, kemungkinan yang menjemput itu seumuran dengannya atau lebih tua sedikit darinya. Latifah menghela napasnya pelan, orang diseberang telepon terkesan sangat tidak, sopan. “Saya di lobby bandara.” Setelah mengucapkan kalimat itu pun Latifah langsung memutuskan panggilan teleponnya. Tak perduli komentar dan sumpah serapah apa yang akan terucap dari bibir lelaki itu. masa bodo, Latifah tak perduli, yang terpenting Latifah hanya harus menunggu lelaki itu. “Latifah Hairunnasyah Firda?” Latifah terhenyak kaget saat seseorang dari belakang menyentuh pundaknya sekaligus menyebut nama lengkapnya dengan tepat. Dia pun menoleh, mendapati sosok lelaki yang lebih tinggi belasan sentimeter dan tampak lebih tua darinya. Jika Latifah tebak dari pakaian kasualnya, lelaki itu sudah duduk di bangku kuliahan atau mungkin saja sudah bekerja. “Kau Latifah, bukan?” Latifah hanya menjawabnya dengan deheman saja. “Ikutin saya.” Lelaki itu pun melangkah di depan Latifah menuntun gadis itu menuju parkiran tanpa membantu Latifah membawakan kopernya. Latifah hanya menurut dan mengikut saja, setidaknya dia berharap lekas sampai rumah dan tak payah untuk beradaptasi dengan budaya Sumatera Utara ini. Karena dia hanya butuh satu teman, tak perlu banyak. Satu untuk menemani dan menerimanya dengan baik sebagai seorang teman. Lelaki itu terhenti di dekat mobil Pajero Sport berwarna putih, mungkin itu mobil orangtuanya. Dia membuka bagasi mobil dan membantu Latifah untuk memasukkan kopernya di sana. “Masuk,” ujarnya. Tanpa menjawab dan banyak cerita, Latifah langsung masuk ke mobil, duduk di kursi sebelah kemudi. Dan lelaki itu pun memijak pedal gas mobilnya untuk membelah jalanan Medan. **** Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan antara dua insan itu, hanya alunan lagu lah yang mengisi keheningan di dalam mobil. Latifah yang pendiam pun taka da niatan untuk memulai percakapan terlebih dahulu. Kemacetan terjadi, Latifah tidak suka jika sudah terjebak di tengah-tengah kemacetan seperti ini. Pasti akan memakan waktu yang cukup banyak. “Saya Zafran.” Latifah melirik lelaki yang baru saja menyebutkan namanya itu. dia pun hanya mengangguk saja. “Setidaknya kau tahu nama saya setelah saya tahu namamu,” katanya lagi. “Terima kasih, karena kamu sudah mau jemput aku.” Zafran mengernyitkan dahi. “Kamu?” “Iya. Ada yang salah?” “Panggil saya dengan panggilan Abang. Lebih baik karena saya lebih tua darimu.” Latifah hanya mengangguk saja, tak lagi berniat membuka suara. Zafran yang sejak tadi risih dengan pemandangan di kaca spion tengahnya membuat netranya menyipit memastikan. Ada makhluk lain yang tengah duduk di bangku penumpang belakang. Zafran ingin bertanya pada Latifah, tetapi tampaknya gadis itu tengah lelah. Dia berpikir jika yang berada di bangku belakang tersebut ikut dengan Latifah, tapi jika tidak, mungkin saja sosok itu hanya sekedar menumpang saja. Anak kecil perparaskan Belanda itu tengah duduk dengan manisnya meski rambut panjang kecokelatan sepunggungnya itu nyaris menutupi seluruh wajah yang tertunduk, namun masih tak menutupi seringaiannya. Seperti anak kecil pada umumnya. Zafran yakin usia hantu anak kecil itu sekitar 9 tahun. Hanya saja tidak bisa dipungkiri, Zafran sedikit merasa ngilu dengan darah yang mengalir keluar dari matanya. Duduknya yang memunggungi kaca tengah pun membuat Zafran melihat ada luka lebar di punggung hantu anak kecil itu. Zafran meringis pelan. “Namanya Misha. Dia teman aku. Campuran Indonesia-Belanda,” ujar Latifah saat mengetahui gelagat Zafran yang sepertinya dapat melihat sosok Misha. Misha juga lebih dulu memberi tahu Latifah dengan mengatakan jika Zafran indigo. “Sudah saya duga. Kau indigo?” “Nggak. Apa Bang Zafran mengira aku indigo karena aku punya temen hantu?” “Bagaimana bisa kau melihatnya jika kau saja tidak indigo?” Latifah menghela napasnya pelan, “Aku memang nggak indigo, tapi aku bisa mengetahui keberadaan dan jenis hantu apa mereka dengan penciumanku. Hanya saja Misha yang menampakkan dirinya sendiri sama aku, makanya aku bisa melihat dan berteman dengannya selama ini.” “Tidak cukup logis, tapi masih bisa saya terima.”    ****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
288.2K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
399.8K
bc

Over Protective Doctor

read
474.0K
bc

Si dingin suamiku

read
489.9K
bc

I Love You, Sir! (Indonesia)

read
260.3K
bc

Living with sexy CEO

read
277.6K
bc

Nikah Kontrak dengan Cinta Pertama (Indonesia)

read
453.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook