bc

Suddenly A Wife

book_age18+
756
FOLLOW
2.5K
READ
love after marriage
age gap
goodgirl
sweet
humorous
female lead
wife
naive
sacrifice
substitute
like
intro-logo
Blurb

Tentang Laura yang mendadak harus menikahi calon kakak iparnya lantaran sang kakak (Lidya) kabur tepat di hari H pernikahannya. Dengan berat hati Laura akhirnya menuruti permintaan kedua orangtua angkatnya sebagai baktinya pada mereka dan demi menjaga reputasi keluarga.

Laura meyakinkan diri untuk menjaga batasannya karena yakin Lidya akan kembali. Namun seiring berjalannya waktu, perlakuan dan sikap manis yang kerap Arsen tunjukkan padanya memunculkan perasaan aneh di hati Laura. Laura semakin dilema karena tidak bisa lagi merasakan cinta yang utuh untuk Geno, kekasihnya.

Semua semakin rumit ketika satu per satu masalah dalam hidupnya mulai muncul. Kehadiran sang sahabat (Gendhis) di antara ia dan Geno serta kembalinya Lidya dengan sederet rahasia besarnya membuat Laura semakin frustrasi.

Apa yang terjadi pada Gendhis dan Geno?

Rahasia besar apakah yang Lidya sembunyikan dari Laura?

Lantas, akankah Laura berakhir bahagia dengan Arsen, ataukah Arsen memilih kembali pada Lidya?

chap-preview
Free preview
Mendadak SAH
“Me—nikah?” Laura Sarasvati terkesiap mendapati permintaan kedua orangtuanya yang begitu tiba-tiba. Bibirnya bergetar dengan mata yang terasa kebas menahan tangis. Lagi-lagi Laura dijadikan tumbal. Selasa, 10 Oktober 2017. Tak pernah terbayangkan jika hari pernikahannya datang dengan begitu cepat. Aneh dan sangat tidak masuk akal. Laura tahu, ia paham jika Tuhan sudah mengatur jodoh setiap hambanya dengan cara yang tak terduga hanya saja, menikah dengan orang yang seharusnya menjadi kakak iparnya adalah hal yang sangat aneh. Apalagi pernikahan pernikahan itu dilakukan dengan tiba-tiba. Tidak, Laura harus menolak. Ia tidak ingin dijadikan tameng oleh keluarganya. Arsen juga belum tentu mau menerima pernikahan ini jika mengetahui yang menjadi mempelai perempuannya adalah calon adik iparnya. Arsen yang baru saja berbaring kemudian mengubah posisinya dan beringsut duduk, begitupun dengan Laura yang kemudian duduk bersandar pada kepala ranjang. Keduanya saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya Laura menunduk, entah karena malu atau segan pada lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparnya itu. “Bapak harap kamu bisa mengerti keadaan keluarga kita, ini semua demi kehormatan dan nama baik keluarga.” Herbowo menyahut dengan suara tegas. Sejak semalam Herbowo—ayah Laura—sudah disibukkan dengan urusan mencari putri sulungnya yang tiba-tiba menghilang dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang menyatakan jika ia tidak siap menikah. Bagaimana bisa ia mengatakan tidak siap menikah sementara semua persiapan sudah matang? Alasannya sangat tidak masuk akal dan membuat semua orang dilanda panik. Tidak ada hal yang lebih memalukan bagi keluarganya selain kaburnya sang calon pengantin menjelang pernikahannya yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan. “Jika bukan kamu, siapa lagi yang bisa menyelamatkan muka ayahmu ini, Laura?” desak Herbowo. Rahangnya mengeras tanda tidak ada kata main-main dalam ucapannya. Apa yang ia ucapkan adalah perintah untuk Laura. Herbowo yang duduk di samping Laura menghela napas panjang, “Bapak mohon, Nak….” Saat ini memang tidak ada cara lain selain mencari pengantin pengganti daripada membatalkan pernikahan yang sudah di depan mata. Para tamu undangan sudah mulai berdatangan, para kolega bisnisnya sudah pasti akan meremehkannya karena insiden memalukan tersebut. Sebagai orang yang sangat menjaga reputasi keluarganya, Herbowo harus tetap melangsungkan pernikahan tersebut, apapun yang terjadi. Laura masih terpekur menatap ujung kakinya. Gadis berusia 19 tahun itu tampak berat hati untuk menuruti permintaan kedua orangtua angkatnya. Namun, ia bisa apa? Sebagai anak angkat yang telah dibesarkan dalam keluarga Herbowo dengan berbagai privilese yang ia dapatkan tentu ada bayaran yang harus ia keluarkan, bukan? Dan mungkin saat inilah ia harus membayar kasih sayang keluarga Herbowo. “Ibu mohon turuti permintaan kami, hanya kamu yang bisa menyelamatkan kehormatan keluarga kita.” Kartika—ibunya—menambahkan. Sedari tadi ia tak hentinya menangis. Putri kesayangannya pergi meninggalkan pernikahan yang sudah di depan mata. Harapan seorang ibu yang ingin melihat putrinya menikah dan bahagia tinggal harapan kosong. Melihat kedua orangtuanya yang sangat ia sayangi sampai memohon padanya membuat Laura tak tega untuk menolaknya. Apalagi, ini menyangkut reputasi keluarga besar mereka. Apa kata orang-orang jika pernikahan yang digelar mewah itu tidak terlaksana karena mempelai perempuannya kabur? Meskipun itu artinya, ada hati yang harus ia korbankan. Bukan hanya hatinya sendiri, tetapi Geno, kekasihnya. Laura tidak memiliki banyak waktu untuk menimbang permintaan orangtuanya apalagi untuk memberi penjelasan pada Geno karena kurang dari satu jam lagi akad akan segera dilaksanakan. Laura pun tidak sempat memikirkan bagaimana perasaannya saat ini mengingat kehormatan orangtuanya lebih penting dari apapun. Dibantu oleh sang designer, Laura mengenakan kebaya milik kakaknya yang sedikit kebesaran di tubuhnya. Beruntung kebaya tersebut bisa diakali sehingga cukup bagus melekat di tubuh Laura. Laura pun dituntun menuju meja akad di mana semua orang sudah menunggunya. Senyum sang pengantin pria yang tadinya merekah lebar tiba-tiba sedikit berubah meski ia masih menyisakan sedikit senyum di ujung bibirnya. Laura yakin jika Arsen merasa bingung dengan perubahan mempelai perempuannya. Seseorang menghampiri Arsen dengan langkah tergesa-gesa kemudian membisikkan sesuatu terkait apa yang terjadi. Arsen tampak mengangguk, mengerti dengan apa yang orang itu katakan. Sementara itu Laura tiba-tiba terhenti. Ia ragu, takut Arsen akan berbuat yang tidak-tidak, seperti menuangkan amarahnya karena pernikahannya tidak sesuai rencana. Ingin rasanya Laura mundur saja dari pernikahan ini karena di sini bukan hanya perasaannya saja yang dipertaruhkan, tetapi juga perasaan Arsen. Di luar dugaannya, Arsen justru beranjak dari kursinya lalu berjalan menghampiri Laura yang tampak mematung. Ia mengulurkan tangannya tepat di hadapan Laura. Sekilas Laura melihat Arsen mengangguk dengan senyum tenang. Dengan sedikit keyakinan, Laura pun menyambut uluran tangan Arsen. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah Arsen akan menerima pernikahan ini begitu saja? Tanpa protes? *** Arsena Pranata mengucapkan ijab kabul dengan lancar meski pada awalnya ia terlihat heran karena harus mengucapkan nama yang berbeda dari yang sudah ia hapalkan, apalagi ia tahu jika yang akan ia nikahi adalah Laura, adik dari Lidya, calon istrinya. Laura menghela napas panjang lalu perlahan mengembuskannya dengan hati resah. Semua ini tidak akan terjadi jika saja kakaknya–Lidya Sarasvati–tidak kabur tepat di hari pernikahannya. Laura mengeluh sepanjang acara akad yang seharusnya menjadi momen sakral. Seperti yang Laura ketahui, Lidya dan Arsen sudah menjalin hubungan selama dua tahun, dan dua bulan yang lalu mereka resmi bertunangan kemudian sepakat untuk segera menikah. Tidak ada hal yang aneh selama kurun waktu dua bulan terakhir, kecuali sehari sebelum akad Lidya terlihat murung hingga menjelang akad ia menghilang tanpa kabar. Laura pun tidak menyangka jika Lidya akan melakukan hal gila seperti itu. Apalagi ia tahu jika Arsen sangat mencintai Lidya. Kini Lauralah yang harus menanggung konsekuensi dari perbuatan sang kakak. Gadis semester tiga jurusan psikologi di salah satu universitas swata itu harus berbesar hati mendadak menjadi mempelai pengantin perempuan untuk menggantikan sang kakak tanpa persiapan apapun. Semua terasa seperti mimpi. Kakaknya yang dilamar, tetapi ia yang menjadi pengantinnya. Tuhan memang penuh kejutan. Tapi ini bukan takdir, ‘kan? cetus Laura dalam hati. Bagaimanapun ia merasa bersalah karena menikahi calon suami kakaknya sendiri. Bagaimana jika suatu hari Lidya tiba-tiba muncul? Apakah kakaknya itu tidak benar-benar mencintai Arsen? Apakah Arsen akan kembali pada Lidya? Lalu bagaimana dengan dirinya? Laura menghela napas pelan, mungkin sudah takdirnya terlahir untuk menjadi tumbal di keluarga Herbowo. Gemuruh di dadanya semakin hebat hingga membuatnya pusing ketika ia mengingat kekasihnya. Geno? Bagaimana hubungannya dengan Geno? Apakah dia bisa menerima kenyataan ini? Laura mengusap lelehan air matanya. Jika pengantin lain menangis karena rasa bahagia dan haru yang membuncah, berbeda dengan Laura. Air matanya adalah tanda ketidakberdayaannya menghadapi takdir. Tanda jika hatinya tidak baik-baik saja. “Bagaimana para saksi, apakah sah?” Pertanyaan dari sang Penghulu membuyarkan pikirannya. Tiba-tiba saja hatinya bergetar ketika mendengar sahutan “SAH” yang menggema dari para saksi. Kepalanya masih menunduk dengan mata terbelalak, tidak percaya jika saat ini, detik ini, ia sudah sah menjadi Nyonya Laura Pranata! Bagaimana bisa, sudah sah? Secepat ini? Sah? Sah? Sah? Kata-kata “SAH” terus berdengung di telinganya. Degup jantungnya kian berdebar hebat, lebih cepat dari debaran jantung setelah ia minum kopi. Sang penghulu kemudian memanjatkan do’a yang diamini oleh para saksi dan tamu undangan yang hadir. Suasana haru bagaimanapun juga tetap bisa Laura rasakan hingga sebuah pertanyaan kemudian muncul di benaknya. Kenapa Arsen tetap menerima pernikahan ini? Setelah do’a terpanjatkan, itu artinya pernikahan mereka telah resmi di mata agama. Tinggal menunggu meresmikannya secara Negara karena untuk mengurus segala berkasnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Meskipun belum bisa menandatangani buku nikah karena harus diurus ulang dengan alasan salah nama, tetap saja itu artinya … sekarang Laura bukan lagi berstatus sebagai perempuan lajang. Sudah ada tanggungjawab sebagai istri, bukan begitu? Kepala Laura semakin berdenyut-denyut memikirkan semua itu. Mengurus diri sendiri saja ia belum bisa, tapi sekarang tiba-tiba ia mendapat tanggungjawab mengurus rumah tangga. Arsen menyematkan cincin di jari manis Laura, namun ukuran jarinya yang lebih kecil dibandingkan kakaknya membuat cincin itu hampir jatuh karena terlalu longgar. “Besok Mas ganti sama cincin yang sesuai sama jari kamu ya, Neng.” Arsen berbisik lembut seraya memasangkan cincin itu di ibu jarinya. Untuk sesaat Laura sempat mengekeh dalam hati. Aneh. Laura mendongak dan melihat seberkas senyum Arsen. Ia bersikap sesantai itu, kok bisa? batin Laura. Laura mencium punggung tangan Arsen sesuai instruksi MC acara. Setetes air matanya kembali jatuh ketika Arsen mengecup keningnya. Ia tidak tahu perasaan apa yang sedang menjalari hatinya, marahkah, kecewakah, bahagiakah, entah apa tapi yang pasti ia hanya ingin menangis saat ini. Melihat Laura menangis, Arsen pun mengusap air mata yang menganak sungai di pipi Laura dengan perlahan. “Maaf….” lirihnya seraya mengulas sebentuk senyum. Setelah serangkaian acara yang begitu menguras emosi itu selesai, Laura memutuskan untuk langsung beristirahat di kamarnya. Namun, “Laura, kamu mau kemana?” tanya Kartika melihat Laura berjalan tergesa ke kamarnya, “Tidur di kamar Lidya ya, kasian Arsen sendirian. Barang kali ada yang mau kalian bicarakan?” Laura yang dari tadi menunduk perlahan menegakkan kepalanya enggan, matanya tak sengaja bertumbukan dengan mata Arsen yang tengah berdiri di belakang Kartika. *** “Terus terang Mas juga kaget,” ucap Arsen ketika mereka sudah duduk berseberangan di sofa di kamar Lidya. Laura masih teriam. “Sejak semalam Lidya tidak bisa dihubungi,” imbuhnya. Laura menatap sendu, pikirannya kalut, lidahnya kelu. Jika bukan karena terpaksa, ia tidak akan menerima pernikahan itu. Kini dirinya harus terbelenggu ke dalam ikatan yang tidak ia inginkan. Arsen mengembuskan napas panjang, “Maaf….” Arsen berkata lirih. Ia tak enak hati melihat Laura yang semakin murung. Memang bukan salah Laura, dan seharusnya pernikahan ini bukan menjadi tanggungjawab Laura. Laura mendesah lesu lalu menggeleng ... pasrah, “Sudahlah. Aku capek.” Gadis itu melirik ranjang pengantin yang seharusnya menjadi milik sang kakak. “Nggak usah khawatir, malam ini Mas akan tidur di sofa,” ucap Arsen seolah paham kegusaran Laura. Laura tidak menjawab, hanya menatap Arsen dengan tatapan datar yang terasa membunuh. Arsen bisa memahami sikap Laura. “Oke, mas tidur di … luar,” sahut Arsen cepat seraya memungut bantal sofa. Laura menggigit bibirnya, “Ng-nggak usah Mas. Tidur di sofa aja, nggak apa-apa kok.” Laura menyahut begitu saja ucapan Arsen. Membiarkan Arsen tidur sekamar dengannya bukan hal mudah namun ia percaya Arsen tidak akan berbuat macam-macam dengannya. Toh jika terjadi sesuatu, ia tinggal berteriak kencang. Laura membersihkan diri di kamar mandi sebelum tidur. Ia tidak nyaman dengan keadaan tubuhnya yang sudah lengket karena keringat. Seharian ia harus bersikap manis menyambut tamu undangan yang hadir. Beruntung tidak ada yang bertanya macam-macam padanya. Jika iya, entah apa yang harus ia katakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Beruntung lagi, Arsen selalu ada di sampingnya untuk memberikan penjelasan tentang kesalahpahaman yang terajadi pada keluarga besarnya yang datang. Meski sudah berusaha menutup mata, Laura masih belum bisa tertidur. Pikirannya masih mengawang memikirkan sang kakak yang sampai detik ini belum memberi kabar. Apakah Lidya tahu tentang pernikahan ini? “Mas,” panggil Laura gamang. “Gimana?” sahut Arsen cepat. Ia memang belum tidur, mungkin ia juga sedang merenungi pernikahan yang penuh kejutan itu. Ditinggal calon istri tepat di hari H pernikahan bukanlah hal yang mudah diterima, bukan? “Aku rasa pernikahan ini salah,” tutur Laura dengan suara sendu. Arsen tidak menjawab, ia hanya tersenyum simpul. Jenis senyum yang sukar diartikan. Sejak akad tadi, Laura menerka-nerka apakah lelaki itu menyesal, kecewa atau marah? Kenapa sikapnya terlihat tetap sabar dan tenang? Apakah ada yang salah dengan Arsen? “Pernikahan ini, seharusnya … nggak pernah terjadi,” gumam Laura. Namun, Arsen yang tengah berbaring di sofa masih bisa mendengarnya. “Bagaimana jika semua ini memang takdir?” Pertanyaan balasan dari Arsen membuat mata Laura membulat lalu terdiam beberapa saat. “Tapi … Mas Arsen tahu kan kalau aku sudah punya pacar?” Laura bertanya dengan suara terisak. Gadis itu kembali menangis, “Terus, gimana sama kak Lidya kalau tahu pernikahan ... kita?” Arsen yang baru saja berbaring kemudian mengubah posisinya dan beringsut duduk, begitupun dengan Laura yang kemudian duduk bersandar pada kepala ranjang. Keduanya saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya Laura menunduk, entah karena malu atau segan pada lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparnya itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook