bc

Mengejar Bidadari Surga

book_age18+
1.0K
FOLLOW
10.1K
READ
goodgirl
boss
student
sweet
campus
first love
like
intro-logo
Blurb

Arvino tidak pernah memercayai cinta. Dia sudah mati rasa pada kata romantis itu. Namun, pertemuan dengan Adila merubah sudut pandangnya. Berbeda dengan dirinya, Adila sangat menjunjung tinggi cinta.

Rasa penasaran sekaligus tertarik membuat Arvino terus mengejar Adila. Sementara Adila memilih tidak menjauh karena menyadari posisinya sebagai seorang muslimah. Bukan Arvino namanya kalau menyerah dengan segala penolakan Adila.

Ketika Arvino mulai mendapatkan perhatian Adila dan memercayai cinta lagi, sebuah kenyataan menghantam. Adila terhubung dengan masa lalu yang ingin dilupakan oleh pria itu. Padahal dia sudah berusaha bertahun-tahun untuk mengubur kenangan pahitnya.

Keraguan Arvino muncul. Bisakah dia meneruskan hubungan dengan Adila yang menghubungkannya pada luka lama? Sanggupkah cintanya pada Adila mengalahkan derita masa lalunya?

Cover by: Lina Rahayu

Edited by: Canva

chap-preview
Free preview
1. Adila
“Dil.” Aku merasakan tangan Diva yang kembali menarik jilbabku. Aku mendengkus dan mencoba membaca buku yang sejak tadi tidak berpindah halaman. Ini karena Diva terus-terusan menarik hijab dan mengganggu konsentrasiku. Sebenarnya apa maksud Diva menggangguku?  “Adila Shakila Ufairah!” seru Diva keras.  Ingin rasanya aku menutup buku dengan kasar, tapi tidak, aku pencinta buku. Jadi, aku menarik napas dan menenangkan hati sebelum menutup buku dengan hati-hati. Mataku menilik keadaan sekeliling. Banyak mata yang memperhatikanku, lebih tepatnya pada sosok yang duduk di sampingku.  Karena si pembuat onar tidak merasa bersalah, aku tersenyum pada setiap orang yang merasa terganggu oleh tindakan Diva. Menangkupkan kedua tangan di depan d**a untuk meyakinkan mereka jika Diva tidak bermaksud mengganggu ketenangan di perpustakaan.  Aku bisa mendengar semua orang menggerutu, meski tidak lama. Mereka kembali hanyut dalam keheningan membaca, menulis beberapa hal penting, dan mengerjakan tugas. Aku lega karena tidak menjadi pusat perhatian lagi.  “Kamu apa-apaan sih, Va?” bisikku.  “Kamu itu yang apa-apaan,” sentak Diva.  Sekali lagi, aku mengedarkan pandang. Para penghuni perpustakaan menatapku dan Diva sebentar, lalu menggelengkan kepala. Aku meringis untuk menutupi rasa malu. Wajahku pasti sudah memerah sekarang.  “Bisa enggak suaranya dikecilkan? Aku enggak tuli, Va. Lagian, kita ini lagi di perpustakaan kalau kamu enggak ingat,” ucapku sesabar mungkin.  Memiliki teman seajaib Diva memang harus ekstra sabar. Dia pribadi yang penuh semangat dan ceria. Kami sudah bersahabat sejak bayi. Maksudku, kami sudah lama bertetangga. Jadi, kami sudah bertemu saat kami sama-sama masih bayi.  Diva itu sangat menakjubkan. Dia mungkin cuek dan tidak terlalu memedulikan orang lain. Dia juga suka berbuat semaunya. Asal dia bahagia, dia tidak akan peduli dengan hal lainnya.  Meski begitu, Diva adalah pendengar setia. Hanya dia yang bisa bertahan mendengar cerita konyol tentang cita-cita masa depanku untuk memiliki sebuah sekolah. Atau keinginanku memiliki perpustakaan di rumah. Atau kesedihanku saat ada yang mengejekku tidak memiliki ibu.  Sebenarnya, aku memiliki ibu, tapi beliau meninggalkan rumah saat aku belum genap berusia satu tahun. Ayah bilang, Ibu tidak pernah menyetujui perjodohan mereka. Ibu merasa tersiksa dan memilih pergi untuk meninggalkan kami.  Dulu, aku sempat membenci dan menyalahkan Ibu. Namun, Ayah selalu berkata jika Ibu sebenarnya mencintai kami. Hanya saja, Ibu tidak merasa cukup hanya dengan cinta. Ibu membutuhkan hal lain yang tidak dapat Ayah berikan, kebahagiaan.  Sampai sekarang aku belum mengerti apa maksud ucapan Ayah itu. Jika Ibu mencintai kami, bukankah seharusnya Ibu bahagia saat bersama dengan kami? Memangnya kebahagiaan seperti apa yang diinginkan Ibu dan tidak bisa diberikan oleh Ayah?  “Cinta dan bahagia tidak selamanya bisa disandingkan. Kamu akan memahaminya saat dewasa nanti. Meskipun begitu, kamu tidak boleh membenci siapa pun. Hiduplah dengan menaburkan cinta pada sesama. Karena cinta bisa membuatmu lebih damai,” kata Ayah kala itu.  “Walaupun kita tidak bahagia?”  “Bahagia itu pilihan, Nak. Jika kamu memilih untuk bahagia, maka kamu akan bahagia. Tapi jika kamu memilih sebaliknya, maka akan terjadi seperti itu.”  “Berarti Ibu memilih tidak bahagia?”  Ayah tidak menjawab, hanya tersenyum simpul sambil membelai rambutku. Aku yang masih belum mengerti tidak menuntut banyak. Saat itu aku merasa belum perlu untuk menanyakan tentang Ibu secara detail.  Sekarang, ketika berusia hampir dua puluh tahun, aku semakin takut untuk bertanya. Ayah mungkin tidak keberatan jika aku bertanya tentang Ibu, tapi Ayah tidak pernah memandang mataku selagi bercerita tentang Ibu. Aku merasa ada yang berusaha Ayah tutupi. Entah apa.  Aku ingin sekali bertemu dengan Ibu dan bertanya langsung padanya tentang segala hal. Tapi aku belum beruntung. Ayah hanya memberiku selembar foto dan sebuah nama, Naziha Yasna. Nama yang bagus, bukan? Semoga ibuku juga merupakan orang yang baik. Karena sangat penasaran, aku bahkan pernah mencari nama itu di media sosial, tapi tidak ada yang sesuai dengan foto Ibu. Mungkinkah Ibu mengganti namanya atau Ibu memang tidak seterkenal itu atau Ibu tidak pernah menyentuh dunia maya? Aku tidak tahu pasti.  “Adila!” Aku tersentak begitu merasakan guncangan di kedua bahu. Mataku mengerjap dan mendapati Diva yang menatapku khawatir. “Kamu baik-baik saja?”  Aku tersenyum. Sifat Diva selanjutnya yang aku sukai adalah perhatian. Bukan hanya padaku, tapi juga pada orang-orang yang sedang kesusahan. Dia itu pemberi jalan terbaik. Aku pernah menyuruhnya untuk pindah ke jurusan psikologi, tapi dia menolak. Dia ingin menjadi guru dan menciptakan generasi yang cerdas, persis sama dengan mimpiku.  “Aku hanya sedikit terbawa suasana. Aku baik-baik saja. Thank’s.”  “Kamu ingat ibumu lagi?” tebaknya. Aku terdiam dan menjawab dengan senyuman singkat. “Apa kita perlu menyewa detektif? Tapi biayanya cukup mahal. Dari mana kita bisa mendapatkan uang yang banyak?”  Aku menutup mulut untuk menahan tawa. Diva ikut-ikutan menutup mulut dengan buku. Kami merapat dan mulai terkikik. Tentu saja dengan suara yang sangat pelan agar tidak ada yang memelototi kami lagi.  “Jadi, kenapa kamu menggangguku dari tadi, hah?” tanyaku setelah berhasil mengontrol tawa. Diva masih memegangi buku untuk menutup mulut. Pasti dia masih tertawa. Tangannya yang lain memegangi perut dan sesekali meremas. Aku memutar bola mata dan menunggunya selesai tertawa.  “Cabut, yuk!”  Aku melotot pada Diva yang tahu-tahu sudah menarik tanganku. Dia meletakkan telunjuk di bibir begitu mulutku terbuka untuk protes. Kepalanya menggeleng-geleng dengan mata tertutup. Dengan berat hati, aku pun mengikuti langkahnya.  *** “Jadi, apa yang membuat kamu menyeretku ke sini?” tanyaku penasaran.  Diva menyeretku ke taman kampus yang dekat dengan perpustakaan. Aku heran melihat ada banyak mahasiswa dan mahasiswi yang bersantai di tempat ini. Maksudku, sebentar lagi kami ujian. Mengapa malah berleha-leha. Bukannya belajar atau mengerjakan tugas akhir.  Aku bicara begini bukan karena sok pintar. Terus terang saja, aku termasuk orang yang diberkahi dengan otak pas-pasan. Saat orang lain bisa bersantai belajar, aku harus bekerja keras. Lain cerita dengan Diva yang terlahir membawa kecerdasan. Dia hanya perlu mendengar sekali dan langsung memahami setiap pelajaran.   Sejak sekolah bersama Diva, dia selalu menjadi guru privatku. Dia akan mengajariku dengan sabar, tanpa mengeluh ataupun marah-marah. Aku perlu mengulang dua sampai tiga kali sebelum memahami sebuah materi. Sebagai ganti untuk waktunya mengajariku, aku harus rela menemani Diva membaca novel sepanjang hari.  Oke. Aku memang suka membaca, tapi bukan cerita fiksi yang menurutku tidak ada gunanya. Aku lebih suka membaca buku pengetahuan yang akan menambah kepintaranku dan mengejar ketinggalan dari kawan-kawan sekampus.  Mau tahu apa komentar Diva saat aku berkata seperti itu? Aku sampai menghafal setiap katanya, karena dia terlalu sering mengatakannya. Ini kalimat andalannya.  “Jangan meremehkan cerita fiksi. Novel itu bukan sekadar khayalan. Ada banyak hal yang ingin disampaikan penulis melalui kisah mereka. Makanya otak jangan terlalu lambat!”  Ya, Allah. Aku awalnya agak tersinggung dengan kata “lambat” yang dilontarkannya. Tapi mau bagaimana lagi. Aku memang sedikit lambat dalam mencerna kata-kata. Memangnya itu salahku?  Lalu, aku mulai bosan dengan protes Diva. Aku bertekad akan membaca satu novel keren dan menceritakannya kembali hasil bacaanku. Meski harus mengulang beberapa kali, aku akhirnya berhasil.  Berbekal novel “Bidadari untuk Dewa” yang super keren, aku membuat Diva bertepuk tangan. Dia memberiku banyak pujian. Sayangnya, di akhir kalimat dia mengatakan ini.  “Kamu itu sebenarnya pintar, Cuma agak lambat saja.”  Menyebalkan tidak, sih? Sabar! Kalau ada yang bisa diandalkan dalam diriku, maka itu adalah sikap mengendalikan diri. Semarah atau sesebal apa pun diriku, aku tetap bisa mengendalikannya. Karena amarah adalah bisikan setan. Masa kamu mau sih menuruti setan? Aku sih jelas tidak mau.  “Kamu dengar aku enggak sih, Dil?”  “Eh? Kenapa, Va?”  “Ya, Allah!” seru Diva. “Kamu itu kebiasaan bengong, Dil. Kayak yang mikir berat saja.”  Aku tersenyum. “Maaf. Kamu tadi ngomong apa?”  Diva mengacungkan sebuah buku padaku. “Novel?”  “Kamu kan bisa baca, Dil.” Telunjuk Diva menunjuk sampul depan novel itu. Seorang wanita yang mengenakan gaun putih, lengkap dengan buket bunga di tangan. Mungkin novel tentang pernikahan. “Novel ini keren banget,” ujar Diva tidak sabar seraya menunjukkan sampul belakang novel itu.  Aku melirik blurb novel itu dan membacanya dengan cepat. Tepat seperti dugaanku, isinya tentang pernikahan dua sejoli yang memiliki jarak umur cukup jauh. Aku mulai membayangkan pernikahanku. Siapakah yang akan bersanding denganku kelak?  “Adila!”  Ya, Allah. Lagi-lagi aku membayangkan hal aneh.  “Serius deh, Dil. Kamu cocok jadi pengarang. Kamu kan suka melamun,” celetuk Diva. Aku tertawa kecil menanggapi perkataannya. “Coba kamu ceritakan apa yang kamu lamunkan. Mungkin saja kamu bisa membuat novel.” Aku yang melihat bibir Diva sedikit terangkat mulai mengerti arah pembicaraannya.  “Enggak usah merajuk, deh,” kataku sambil mencolek dagunya. “Jadi, apa isi novel itu? Pernikahan, kan?” Diva mengangguk penuh semangat. Kedua matanya berbinar-binar. Membuatku mengerutkan kening. Lalu, aku menyadari sesuatu. Jangan-jangan dia mau ....  “Aku pengin nikah, Dil.” Aku hampir tersedak es jeruk yang sedang kuminum saat mendengar perkataan Diva. Ingin menikah? Kami bahkan belum menyelesaikan kuliah.  “Kamu mau menikah muda?” Diva kembali mengangguk.  “Tapi, kita masih terlalu muda untuk menikah,” ujarku.  “Di novel ini, perempuannya juga menikah muda, lho,” ucap Diva, dia kembali mengibaskan novel yang diagung-agungkannya itu di depan wajahku. Serius! Aku penasaran sekali dengan isinya. Ini bukan pertama kalinya Diva membaca novel tentang pernikahan. Mengapa kali ini dia jadi ingin menikah?  “Kayaknya nikah itu seru,” tambah Diva setengah menerawang.  “Seru gimana?”  Aku tidak pernah memiliki gambaran pernikahan. Lain dengan Diva. Dia memiliki keluarga utuh. Kedua saudaranya bahkan sudah menikah. Tentu saja dia punya banyak cerita mengenai ikatan suci itu.  “Seru, dong. Ada yang bakal perhatian sama kita, antar jemput, kasih uang bulanan, bisa manja-manja. Yang paling penting, kita bisa mengekspresikan cinta tanpa takut dosa. Iya, kan?” Aku manggut-manggut mendengar kalimat Diva. Meski bagian awalnya terdengar aneh di telingaku, kalimat penutupnya begitu manis.  “Bebas mengekspresikan cinta tanpa takut dosa,” gumamku mengulang perkataan Diva. “Kamu dapat kata-kata itu dari mana, Va?” Aku menoleh pada sahabatku ketika dia tak kunjung menjawab.  Pantas saja. Diva sedang asyik bengong. Tunggu! Dia bukannya sedang bengong, tapi sedang memperhatikan seseorang. Mataku mengikuti arah pandangnya.  “Kamu masih suka Kak Haikal?”  Diva langsung memutuskan pandang dan melihatku dengan sendu. “Miris banget sih naksir sama cowok populer.”  “Kamu sih pakai acara naksir. Awas, lho! Nanti jadi zina mata,” tegurku  “Astagfirullah. Jangan menakuti begitu, dong, Del. Aku kan enggak sengaja.”  “Iya, iya. Aku cuma menegur sambil mengingatkan diri sendiri, biar aku juga terhindar dari hal yang kayak gitu."   Diva menghela napas dan menopang dagunya. Aku hanya tersenyum, membiarkannya merenung. Aku mengambil novel yang membuatku penasaran sejak tadi dan mulai membuka lembar demi lembar. Sepertinya isinya memang seru.  *** “Enggak mau ikut masuk?” tanya Diva di depan toko buku langganannya.  “Nanti aku nyusul. Aku mau beli mi ayam dulu,” ujarku sambil menunjuk sebuah warung tenda yang menjual makanan favoritku itu.  “Tadi sih diajak makan enggak mau. Keasyikan baca novel. Tumben banget.”  “Habisnya aku penasaran kenapa kamu tiba-tiba pengin nikah begitu baca novel itu.” Diva terkikik. “Ya, sudah. Makan dulu sana. Nanti susul aku, ya. Hati-hati.” Dia mengedipkan mata sebelum memasuki toko buku.  Aku menyeberang jalan dengan tergesa-gesa. Cacing di perutku sudah protes sejak tadi. Namun, sebelum mencapai warung yang aku maksud, mataku menangkap sekumpulan orang yang terlihat aneh.  Tubuhku langsung menggigil melihat kejadian itu. Aku terduduk di tepi jalan dengan mata terpejam. Kedua tanganku menutup telinga yang mulai berdengung. Aku bisa merasakan butiran-butiran keringat yang mulai membasahi dahi. Jantungku bahkan berdetak lebih cepat. Aku semakin meringkuk saat merasakan dadaku yang sangat sesak.  Diva, tolong aku!  Aku benar-benar butuh pertolongan sekarang. Mengapa suara-suara yang kudengar sangat berisik. Apa sebenarnya yang mereka bicarakan. Aku tidak bisa menangkap satu pun kata yang terlontar dari mulut mereka.  “Kenapa diam? Loe enggak ingat gimana gue dulu nolong loe? Masa loe mau lihat orang lain bernasib sama kayak loe?”  Kepalaku menggeleng keras begitu mendengar suara familier itu, tapi aku tidak berani membuka mata. Aku masih sibuk menenangkan jantung dan dadaku yang bergemuruh. Ini sungguh menyakitkan.  “Adila! Bantu dia demi gue. Loe mau berterima kasih sama gue, kan? Lakukan apa yang gue minta. Loe enggak bakal kenapa-kenapa. Percaya sama gue.”  Suara itu kembali menggema di kepalaku. Membuatku menyeka air mata yang entah sejak kapan sudah membasahi kedua pipi. Aku berdiri dan menenangkan diri beberapa saat. Mataku nyalang menatap segerombolan orang yang masih belum beranjak dari tempat mereka tadi.  Kedua tanganku mengepal kuat. Jantungku masih menyentak keras di dalam sana. Dengan langkah lebar, aku menghampiri gerombolan yang masih tidak menyadari kedatanganku. Aku merasa menabrak seseorang, tapi tidak ada yang protes. Jadi, aku berusaha tidak memedulikan hal itu dan tetap melanjutkan langkah.  Aku menarik napas panjang setelah cukup dekat dengan tujuanku. Bisa kulihat anak kecil yang meringkuk di bawah sana. Lalu, berteriak sekeras yang aku bisa. Telingaku sampai berdengung mendengar teriakan itu, tapi aku tidak peduli. Yang aku pikirkan hanya bagaimana cara tercepat untuk membebaskan anak itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Married By Accident

read
224.1K
bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
288.3K
bc

Accidentally Married

read
102.7K
bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

Pengganti

read
301.7K
bc

Wedding Organizer

read
46.6K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook