bc

Don't Love Me

book_age4+
597
FOLLOW
2.0K
READ
family
friends to lovers
goodgirl
others
drama
sweet
serious
genius
first love
like
intro-logo
Blurb

"Sampai kapan Nin?" aku menoleh, menatapnya menantang.

"Sampai kamu sadar, kita itu engga ada. Kata kita adalah sesuatu paling mustahil untuk diwujudkan." jawabku tenang, menatap matanya langsung.

Senyum paling kubenci hadir, dia mundur dan tertawa pelan.

Aku tau, sangat tau dan mengerti diriku sendiri.

Karena pada dasarnya sejak bertahun-tahun lalu aku telah jatuh di jurang paling menyedihkan itu. Jurang mengerikan untuk kaum perempuan dan aku membenci fakta itu.

Yaitu Cinta.

chap-preview
Free preview
Perkenalkan, Anindira
Seperti biasanya, pantai selalu menjadi tempat paling menyenangkan disini. Mereka bisa berbuat sesukanya apalagi dekat dengan alam, air yang begitu jernih dan tawa-tawa yang begitu Indah. Perkenalkan, namaku Anin, perempuan yang sangat suka berhalusinasi dan sangat suka apalagi bertemu dengan pantai yang begitu luas, jadi nantinya saat aku menceritakan perjalanan panjangku, kalian jangan bosan mendengar apalagi menemukan suasana pantai. Pekerjaaan? Bisakah menulis disebut pekerjaan? Jika bisa maka kukatakan dengan lantang. Pekerjaanku adalah seorang penulis, banyak pembaca yang menyukai kisah khayalan yang selalu ku suguhkan. Buku? Yaps. Ceritaku sudah banyak tertata rapi di lemari toko buku dengan nama pena 'Ombak' kenapa itu? Karena kembali lagi. Aku suka pantai, pantai adalah dunia paling menyenangkan. "Nin, pulang yuk." ku gelengkan kepalaku cepat, aku belum ingin pulang. "Kamu sudah berjam-jam disini, Nin. Bisa saja penjaga pantai bosan melihat wajahmu." Ku tolehkan kepalaku kesamping, menatap laki-laki dengan rambut diikat kebelakang, mata agak kecoklatan serta hidung agak mancung, sedikit. Kulitnya bisa dikatakan imbang, kadang putih kadang juga coklat. Entah. "Mungkin kamu yang bosan sama saya." sedetik kemudian suara dengusan terdengar, mataku kembali menatap bentangan pantai yang begitu cantik. "Nin, mamaku tidak datang bertemu denganmu kan?" "Tidak." jawabku singkat, padahal pantai itu airnya jernih sayangnya harus terlihat biru karena pantulan langit diatas sana. "Nin, kalau kamu mau dilamar dan mau menerima lamaranku. Besok pun aku dengan senang hati datang membawa apapun persyaratan yang kamu berikan," Kembali kutatap wajahnya, kenapa dia harus Cinta mati pada perempuan sepertiku? Kenapa dia tidak mencintai perempuan yang juga suka padanya? "Kenapa? Kamu berubah pikiran? Ingin menerima lamaranku kan? Nin?" Aku tersenyum lembut, sangat ramah. "Jawabannya iya kan?" matanya berbinar senang, sayangnya harus meredup kembali setelah aku menggelengkan kepalaku. Maaf, komitmen tidak pernah ada dalam otakku. "Alga, kamu itu tampan, kaya, pekerjaanmu Bagus. Kenapa harus saya yang selalu kamu kejar selama bertahun-tahun ini? Pastinya mama kamu punya banyak kandidat, kenapa tidak memilih salah satu dari mereka saja? Saya yakin kamu tidak perlu lagi berdebat panjang dengan mamamu soal pernikahan." Sudah hampir 4 tahun, tapi kenapa dia tidak menyerah juga? "Nin, aku engga masalah selama apapun aku menunggu. Aku duluan, takutnya model-model nunggu lama. Jangan kelamaan disini, kamu harus pulang dan istirahat setelah hampir seminggu sibuk dengan revisian novel terbaru mu. See you dan love you more." Mataku tak memandangnya pergi, lebih kupilih menatap kilau matahari yang kian naik pertanda sudah berjam-jam lamanya aku disini. A L G A Hanya empat huruf dan orangnya menyenangkan. Sayangnya, meskipun aku mencintainya maka aku lebih memilih menutupinya seumur hidupku, membiarkan semuanya selalu pada jalannya. Cinta itu tidak ada, Cinta hanyalah jebakan untuk orang-orang yang siap patah dan mati rasa. Cinta hanyalah lima huruf yang akan selalu kupuja pada setiap novelku sayangnya begitu kubenci pada kehidupan nyataku. Aku tidak punya tempat pulang, dan jalan takdirku hampir sama dengan tumpukan cerita diluar sana. Anak panti asuhan dan akhirnya memilih mandiri saat masuk jenjang SMA,aku ingin menolak fakta itu karena rasanya sangat banyak dijadikan cerita sayangnya aku tidak bisa. Itu faktanya. Rumah? Tentu saja, mana mungkin penulis sepertiku tidak mempunyai rumah sama sekali. Rumah yang kubeli dari upah pertamaku dalam terbitan buku perdana, 7 tahun lalu yaitu saat umurku masih 19 tahun. Sudahlah, akan lebih baik aku pulang. Melanjutkan cerita baru yang baru kumulai semalam. "Kamu jangan banyak santainya, Nin. Pembaca kamu itu banyak, mereka selalu menunggu cerita penulis bernama pena Ombak untuk menerbitkan buku baru, jadi secepatnya. Saya dan tim tunggu cerita kamu selanjutnya, secepatnya." Itu adalah perkataan editor, semenit setelah aku menyetor hasil revisian cerita yang akan diterbitkan minggu ini. Jahat tapi aku suka tantangan. *** Dengan mata malas, ku tatap banyaknya deretan baju pada akun olshop yang selalu kutempati membeli pakaian apapun, ada banyak baju terbaru. "Dua puluh delapan ribu, apa iya harganya segitu? Kan modelnya kayak harga lima puluan keatas." gumamku, "Tujuh belas ribu? Ini penjualnya lagi ngeprank apa gimana?" ku lempar ponsel ke ranjang, rasanya tidak bisa percaya ada pakaian semurah itu. Kududukan tubuh pada kursi paling nyaman ini, ku tatap dengan serius noted yang terulis tepat di ujung layar laptop, sengaja ku tempelkan disana agar tidak malas bekerja apalagi mageran. 'Ayo ngetik, rekeningmu akan kosong kalau tidak mengetik. Yakin mau mageran terus? Ingat juga. Keranjang di ponsel butuh checkout segera' Sungguh kalimat yang langsung membuat kita semangat bukan? Jemariku perlahan menari diatas laptop. Jadi kali ini, aku menulis tentang seorang perempuan yang begitu cantik dan anggun sayangnya perempuan itu miskin, engga punya uang. Punya pacar, baik sih sayangnya lagi pacarnya suka gonta ganti perempuan. Karena butuh uang, perempuan itu tetap pacaran biar dapat uang. Aku ngekhayalinnya, perempuan itu tak akan pernah tersingkirkan karena berapapun banyaknya pacarnya yang paling dia suka hanya perempuan Pertama itu. Terus kenapa gitu? Suka gonta ganti pacar, biar seru dan punya pengalaman hidup. Jariku berhenti mengetik, baru 100 kata yang tertera berarti baru sedikit sekali. Kenapa aku berhenti? Ponselku di ranjang berdering tanpa henti. Kemungkinan yang menelpon hanya dua, kalau bukan Alga ya Mba Jena, editor paling rese dan paling menyebalkan. Kenapa aku bisa menebaknya? Karena yang tau nomorku hanya mereka berdua. Alga tersayang. Kalian pasti sudah menebak siapa yang memberi nama itu, tentunya orangnya sendiri. "Sudah makan?" tanyanya setelah ku geser tombol hijau di benda pipih itu. "Nin? Sudah makan? Kalau belum aku kesana bawain kamu makan. Jangan kebanyakan didepan laptop Nin, takutnya kepalanya pening lagi." kusimpan ponsel di dekat Laptop, membiarkan Alga terus mengoceh. "Nin, aku bawain apa? Martabak atau tahu bakso? Takutnya kalau bawa dua-duanya kamu banyak makan, banyak makan dan timbangannya naik malah nyalahin aku. Atau nasi goreng aja? Atau gado-gado aja? Iya ya. Aku minta bibi buatin kamu Gado-gado aja jadi kemungkinan berat badannya naik engga ada. Tunggu ya, love you more." Sambungan telepon mati, ku tatap ponsel kini yang terlihat disana hanyalah kata-kata untuk penyemangat untuk diriku sendiri. 'Hai Anin, kamu hebat dan jangan lupa ke pantai.' Latarnya hitam, dan tulisan itu hanya ku edit menggunakan aplikasi sederhana sekali. Kembali ku fokuskan pandanganku pada layar laptop, jemariku kembali bermain diatas keyboard yang sudah ku pasangkan stiker berwarna orange agar tidak merasa sumpek dan bosan. Ketikanku sudah sampai bab 3,pada babak ini perempuan miskin nan cantik itu sedang meminta uang pada pacarnya, padahal pacarnya sedang duduk berdampingan dengan perempuan lain, kalau begini pasti banyak pembaca yang greget, komentarnya menjadi penyemangat untukku. Dengan pikiran yang cukup tenang, aku hanyut pada cerita mengenangkan ini. Apalagi saat perempuan yang ada di samping pacarnya protes, meminta laki-laki itu untuk memilih. Perempuan miskin atau dia? Maka tanpa pikir panjang ku ketik disana, tentu saja si laki-laki memilih perempuan miskin itu. Kuhentikan ketikanku, kupijat pelan jemariku secara bergantian. Kulirik bagian sudut layar laptop, sudah 700 kata, baiklah. Setidaknya, Mba Jena tidak akan mengomel tengah malam nanti. Tok tok tok. Kenapa Alga cepat sekali datangnya? Ktinggalan laptop lagi, kubuka pintu kamar dan berjalan kedepan. Rumah ini memang kecil, tapi aku suka. Mba Jena pernah mengatakan hal seperti ini padaku, "Anindita yang mukanya baby face tapi sayangnya malas punya temen, Mba yakin kamu punya cukup uang untuk ganti rumah kecil ini, terus kenapa engga diganti." Dengan cepat kujawab, "malas." Singkat padat dan sangat jelas, bukan? Ceklek. Senyum Alga langsung terlihat, memegang rantang besi kemudian di sodorkan padaku. "Bibi bikinnya cepat banget, dimakan ya. Kamu jangan lama banget ngetiknya takutnya kepalamu pening dan naskahmu malah terkendala. Mba Jena juga pasti engga suka kalau kamu terlalu memaksakan diri seperti ini, istirahat ya?" Tangannya terulur, menepuk pelan kepalaku hanya sekali. "Love you more," tepat setelah dia berbalik, kututup kembali pintu rumah. Beginilah sikapku padanya, bukannya membuatnya menyerah malah makin dekat dan selalu mengatakan Cinta disetiap ujung pertemuan kami. Ku belokkan kaki ke dapur, duduk di meja makan dan membuka rantang yang tadi Alga berikan. Beneran gado-gado ternyata. Kirain ada martabaknya, atau tahu baksonya atau bisa juga nasi gorengnya. 15 menit cukup, aku kembali ke kamar membiarkan rantang kosong itu bertumpuk bersama piring kotor lainnya,aku ingin mengetik, masalah cuci piring itu besok atau pun lusa. Selagi masih ada piring yang bisa aku pakai makan maka kubiarkan menumpuk. Kaki berhenti melangkah, menatap dan membaca dalam diam poster yang memang sengaja kupasang di pintu kamar. Dimana-mana orang akan menulis namanya, atau gambar idolanya atau mungkin gambar kartun kesukaanannya. Maka berbeda lagi denganku, kupilih mengedit kata-kata dan memprint di tempat khusus poster. 'Hai Anin, setelah masuk kamar jangan lupa periksa isi botol air minummu, jika habis maka segera isi sebelum menghadap laptop. Semangat Anin, kamu hebat!' Dengan malas, aku masuk dalam kamar memeriksa botol minum yang tersimpan di dekat laptop, masih ada setengah jadinya tidak perlu ke dapur lagi. Ku regangkan jemariku terlebih dahulu kemudian duduk kembali, membiarkan diriku hanyut dalam imajinasi yang begitu panjang dan menyenangkan. Pastinya, malam ini aku harus menyelesaikan satu bab jadinya bisa menjadi penutup cerewetnya Mba Jena. Yang dekat denganku awalnya hanyalah Mba Jena, perempuan berumur 25 tahun kala itu tiba-tiba datang menghampiriku dan memintaku menjadi penulis dibawah naungannya, katanya dialah yang akan menjadi editorku. "Hai Anin, bergabung denganku yuk. Kita akan menjadi partner penulis paling hebat dan aku akan selalu mendukungmu apapun yang terjadi, ceritamu Bagus dan aku suka. Hanya perlu dipermak sedikit maka kamu akan menjadi penulis yang disukai banyak orang." Awalnya memang manis, sangat manis apalagi saat itu umurku saat itu masih 17 tahun, kalau sekarang sudah seperti ibuku sendiri, apalagi sekarang umur Mba Jena sudah masuk usia 30'an keatas, cuman aku malas hitung. Mba Jena menikah tepat satu minggu setelah bukuku lounching Perdana, dan saat ini sudah memiliki anak yang katanya akan masuk ke sekolah dasar. Sudah lama bukan? Tentu, makanya dia tidak pernah sungkan lagi. Tentangku? Aku terlalu malas membahas tentangku, rasanya kisahku terlalu mirip dengan cerita-cerita di jejeran novel. Anak panti Asuhan, katanya ditemukan, diberikan nama oleh pihak panti tapi katanya memang namaku hanya saja aku sedikit lupa detailnya bagaimana. Oke. Mari menyelesaikan bab 3 malam ini kemudian bertemu dengan Mba Jena besok siang. Semangat Anin, kamu hebat.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Perceraian Membawa Berkah

read
17.3K
bc

Anak Rahasia Suamiku

read
3.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU

read
60.1K
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
51.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook