bc

Bossy Boss

book_age16+
480
FOLLOW
2.9K
READ
revenge
friends to lovers
arrogant
powerful
confident
dare to love and hate
boss
sweet
bxg
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Nadin terpaksa harus menerima kenyataan begitu Wisnu mengirimnya ke kantor cabang Malang. Tempat yang berusaha ia jauhi, namun pada akhirnya harus menjadi tempat berpijaknya selama 1 tahun ke depan.

Elwira, atasan barunya di Malang yang ternyata adalah teman masa kecilnya. Elwira sudah melupakannya bahkan membencinya. Tetapi takdir tetap mengikat mereka berdua di satu tempat yang sama, yakni tempat bekerja.

Bagaimana hidup Nadin di sana? Apakah ia bisa menghilangkan benci di diri Elwira dan menghilangkan rasa trauma masa kecilnya?

chap-preview
Free preview
One | Move
Nadin berlari sekuat tenaganya begitu ia turun dari taksi yang ia tumpangi. Rok hitam selutut beserta kemeja slim fit di tubuhnya membuat langkah geraknya sedikit terhambat, dan itu membuatnya kesal. Rambut panjangnya yang bergelombang ikut bergoyang mengiringi gerak tubuhnya. Sepatu heels 5 cm nyaris membuat kaki jenjangnya keseleo. Wajahnya bahkan hampir dipenuhi dengan bulir keringat. Sepertinya ia harus pergi ke toilet untuk mengecek keadaan make-up nya setelah ini. "Ya Tuhan, kalau sampai si Bos udah ada di ruangannya, mati gue!" ringis Nadin dengan menahan amarahnya yang ingin meledak. Nadin langsung menerobos masuk ke dalam lift. Tidak peduli dengan tatapan karyawan lain yang menatapnya kesal karena telah menyerobot masuk. Ia melirik jam tangan silver yang melingkar di pergelangan tangannya. Seketika ia menghela napas panjang. Telapak kakinya tak bisa berhenti bergetar menunggu lift yang ia naiki berhenti di lantai 20. Begitu lift berhenti di lantai 20, ia langsung keluar seraya merapikan tatanan rambut dan pakaiannya yang mungkin saja sudah berantakan karena berlarian tadi. Ia juga mengelap wajahnya yang berkeringat dengan tisu dan mempersiapkan senyum manis untuk menyambut si Bos yang mungkin saja sudah ada di ruangannya. "Please, belom dateng, please ... please God ...." Semesta memang tidak pernah berpihak padanya. Nadin meringis dalam hati. Pria berumur 58 tahun dengan rambut yang sebagian sudah memutih itu berhenti tegap di depan jendela yang memperlihatkan kondisi Jakarta pagi ini. Wisnu Putra Adhitama, CEO dari TM Group yang bergerak di bidang bisnis properti. Hampir 40 tahun lebih Wisnu berkecimpung dalam mengembangkan bisnis turun temurun dari kakeknya yang diturunkan kepadanya setelah ayahnya meninggal dunia. TM Group adalah pengembang properti berupa menara tower komersil, pusat perbelanjaan, hunian, apartemen, hotel dan juga restoran. Berkiprah selama lebih dari 80 tahun membuat TM Group menjadi salah satu perusahaan yang memiliki aset atau kekayaan terbesar di Indonesia. Nadin Ayu Nasution, sekretaris direksi yang sudah bekerja khusus untuk Wisnu Putra Adhitama selama 5 tahun. Menjadi tangan kanan Wisnu, orang nomor satu dalam TM Group tak selalu membuat Nadin merasa senang. Justru menjadi seseorang yang paling dekat dengan Wisnu membuat Nadin jauh lebih sibuk dari siapapun. Pasalnya walaupun Wisnu berada di puncak posisi tertinggi dalam TM Group, pria itu tidak pernah lengah atau berleha-leha. Seperti sekarang ini, ketika banyak dari karyawan yang belum datang, pria itu sudah datang dan berdiri di dekat jendela yang menampakkan sekeliling gedung-gedung tinggi di pusat Jakarta. Setelah meletakkan tasnya di meja kerja, Nadin langsung masuk dan berdiri tak jauh dari pintu ruangan tanpa sempat mengatur napasnya yang tak beraturan. "Selamat pagi, Pak," sapa Nadin dengan mengeluarkan senyum terbaiknya. Ia mencoba mengatur napasnya yang berat tanpa meninggalkan suara. Sepertinya akhir pekan ini ia harus lebih banyak berolahraga. "Sudah 5 tahun kamu kerja dengan saya―" "Tapi masih saja terlambat," potong Nadin yang sudah hafal dengan ucapan bosnya. Membuat pria bernama Wisnu tersebut sontak menolehkan kepalanya cepat. Nadin langsung menyengir dengan lebar. Membuat jajaran gigi-gigi kecilnya yang rapi terlihat. "Saya buatkan kopi ya untuk Bapak? Bapak pasti belum sarapan, kan? Tadi saya juga mampir ke toko roti, ada roti pandan kesukaan Bapak. Sangat pas jika dipadukan dengan kopi hitam." Wisnu berdeham pelan. Tidak bisa menolak tawaran Nadin yang terlihat menggiurkan. "Dasar kamu ini. Selalu tau cara membuat saya tidak marah." Nadin tertawa renyah. "Tunggu sebentar ya, Pak. Saya siapkan dulu kopi dan rotinya untuk Bapak." "Meeting siang nanti sudah kamu siapkan bahannya, kan?" "Sudah dong, Pak. Beres itu mah." "Good, sana pergi." Nadin menurunkan kepalanya dan beranjak keluar dari ruangan Wisnu setelah menutup pintu kaca tersebut. Ia langsung membuang napas lega. Pekerjaan bahkan belum dimulai, tapi rasanya ia sudah lelah dan ingin kembali merobohkan diri ke atas kasur. "Kayaknya omongan lo yang bilang mau cabut dari sini sebelum penilaian 3 bulan cuma omdo, ya?" "Gue yang nggak lucky," balas Nadin dengan sindiran sahabatnya, Vera. "Lamaran yang gue apply di lebih dari 10 perusahaan nggak ada yang lolos." Vera tertawa dan mengintili kepergian Nadin menuju pantry. "Padahal sebelumnya nggak ada yang pernah betah kerja sama Pak Wisnu lebih dari 3 bulan loh. Tapi lo emang hebat, bertahan sampai 5 tahun lamanya. Antara lo yang kepala batu atau Pak Wisnu yang nyerah untuk buat lo mengundurkan diri dengan sendirinya." "Lo itu lagi muji atau mau ngejatohin gue, ya?" "Dua-duanya," ujar Vera yang membuat Nadin langsung melayangkan tatapan tajam untuknya. Sambil menunggu kopi hitamnya panas, Nadin mengeluarkan kardus roti yang sudah ia beli. Sebuah piring kecil, khusus untuk si Bos sudah tersedia. Begitu ia membuka roti tersebut, sebuah tangan sudah lebih dulu mencomot potongan roti pandan tersebut. "Gila lo, itu buat Bos gue," geram Nadin dengan menahan suaranya agar tak berteriak. "Enak banget soalnya, Na," ucap Vera dengan mata menyipit karena tersenyum lebar bersamaan dengan mulutnya yang penuh akan roti pandan. "Gue suka. Lain kali lo jangan cuma beli buat bos lo doang dong, tapi beliin 1 buat gue," lanjutnya. "Ini mahal lo tau? Kalau gue nggak terlambat juga gue nggak akan beli ini roti," gemas Nadin saat mengingat nominal yang harus ia keluarkan untuk membeli roti pandan di hadapannya itu. "Oh iya gue lupa, lo cuma beli roti itu setiap lo buat kesalahan. Demi membuat si Bos nggak ngamuk." "k*****t lo. Pergi sana, jangan bikin mood gue hari ini jadi lebih buruk lagi dari ini." Vera tertawa puas. "Oke, gue pergi. Good luck sama pasangan," bisiknya seraya berlari pergi. Nadin langsung memaki Vera tanpa suara. Vera memang paling senang menggoda dirinya dengan Pak Wisnu adalah pasangan. Dan jika sampai ucapan Vera itu tersebar ke karyawan yang lain, Nadin akan memastikan Vera sudah ia gantung di depan gedung. ***** Nadin melirik jam tangannya. Sudah menunjukkan pukul 7 malam, tapi atasannya itu sama sekali tak terlihat ingin beranjak dari duduk dan pulang. Saat ia melirik ke dalam ruangan, Pak Wisnu terlihat sedang berdiri diam di depan jendela. Posisi yang hampir selalu ia dapati ketika atasannya itu sedang tak sibuk bekerja. "Lo masuk ke sini pas banget nggak lama setelah istrinya Pak Wisnu meninggal karena kecelakaan. Lo harus hati-hati, jangan sampai buat Pak Wisnu murka kalau nggak mau meninggalkan perusahaan ini." Begitulah pertama kalinya Vera mengajaknya berbicara. Dan sejak saat itu, Vera lah yang menjadi teman dekat Nadin di kantor. Mereka jadi sering pergi menghabiskan waktu berdua, untuk sekedar makan atau jalan-jalan. Tanpa sadar Nadin menghela napas panjang. Walau dari belakang punggung bosnya itu masih terlihat tegap, tapi ia bisa tahu bagaimana sepinya hati pria itu. Ditinggalkan seseorang yang dicintai tentu saja ada rasa sakitnya kehilangan. Dan mungkin karena itulah, Pak Wisnu selalu berangkat lebih pagi dari kElangwan yang lain dan pulang ketika waktu malam. Tak ada siapapun di rumah dan tak ada orang yang menyambutnya. Nadin tahu itu ketika ia datang menjenguk Pak Wisnu ketika pria itu sakit. "Bukan waktunya lo kasihan sama orang lain, Na. Kasihanin diri lo sendiri. Udah 29 tahun masih aja jomlo dan nggak tau rasanya pacaran." Nadin menyadarkan dirinya sendiri. Ia kembali duduk di kursinya dengan tenang. Melirik jam dinding dan kembali menghela napas panjang. "Kalau setiap hari gue berangkat lebih pagi dan selalu pulang malam, kapan gue bisa cari pacar, Tuhan?" Belum sempat Nadin menjatuhkan keningnya ke atas meja, suara panggilan dari dalam membuat ia langsung kembali duduk dengan tegap. "Nadin!" Ia bangkit berdiri dan masuk ke dalam ruangan Pak Wisnu dengan cepat. "Iya, Pak?" "Kamu akan saya pindahkan ke TM Hotel di Malang," telak Wisnu sebelum Nadin ia berikan kesempatan untuk duduk. "Ap-Apa, Pak?" Nadin mengerutkan keningnya tipis. Barusan ia mendengar apa? Karena yang ia dengar hanya kata 'Malang'. "Kamu akan saya pindahkan ke TM Hotel di Malang," ulang Wisnu. "APA?!" pekik Nadin. "Eh, maaf, Pak ...." Nadin langsung membungkam bibirnya kembali yang tak sadar telah berteriak. "Duduk, Nadin." Dengan otak yang masih mencoba mencerna kata-kata Pak Wisnu tadi, Nadin menurut untuk duduk di sofa hitam tepat di depan Pak Wisnu. "Pak, saya rasa Bapak salah nama. Harusnya bukan saya kan' yang Bapak panggil ke sini?" tanya Nadin penuh harap. "Saya rasa kamu pasti sudah mengetahui kalau perusahaan ini memiliki cabang perhotelan di Malang. Saya sudah memikirkan hal ini dari jauh-jauh hari. Dan saya juga sudah yakin untuk memindahkan kamu ke sana." "Apa? Tapi kenapa, Pak? Apa Bapak kurang puas dengan pekerjaan saya di sini? Kenapa harus dipindahkan ke Malang, Pak? Kenapa harus saya?" tanyanya bertubi-tubi. "Tidak, Nadin. Bukan karena pekerjaan kamu yang kurang di sini. Justru kamu sudah banyak membantu saya selama 5 tahun ini. Walau kamu terkadang ceroboh dan masih sering terlambat, pekerjaan kamu selalu selesai dan tak pernah ada yang kurang. Saya puas dengan cara kamu bekerja." "Lalu kenapa Bapak mau pindahkan saya? Nanti siapa yang bantu Bapak di sini? Saya harus tetap di sini biar bisa bantu Bapak." Pak Wisnu tersenyum tipis. Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meminta Nadin untuk membukanya. Begitu membaca isi dari lembaran-lembaran kertas di dalam amplop tersebut, mata Nadin tak bisa berkedip dan hanya terus membulat. "Pak, ini ...." "Saya kasih kamu waktu 6 bulan. Bantu General Manager di sana dan jadilah Assisstent General Manager yang baik dan amanah. Datang lagi ke sini saat kamu sudah bisa memberikan laporan perkembangan TM Hotel di Malang. Jika kamu mampu bekerja di perusahaan utama dengan baik, maka kamu pasti bisa melakukan yang terbaik juga di sana." "Tapi, Pak―" "Tidak ada tapi, Nadin. Senin depan kamu sudah bisa bekerja di sana. Persiapkan diri kamu. Tidak perlu khawatirkan soal biaya hidup di sana. Saya akan beri kamu gaji 2x lipat jika kamu bersedia menerima perintah saya. Tidak ada pilihan lain untuk kamu selain menerima perintah dari saya." Nadin membuka bibirnya lebar. Lidahnya mendadak kelu dan tak tahu harus merespon seperti apa. Otaknya menyampaikan pesan dengan lambat, sehingga lidahnya pun hanya bisa terdiam. Entah akan seperti apa kehidupannya mulai senin depan. Yang pasti Nadin sudah bisa merasakan jika hidupnya akan terasa pahit dan kelam di Malang sana. *****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook