bc

Love You Till The End

book_age12+
679
FOLLOW
1.6K
READ
sweet
school
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Ditta menyukai Beni, Kakak kelasnya, apapun yang Beni lakukan selalu menjadi hal yang paling menarik bagi Ditta. Usahanya untuk mendapatkan Beni begitu keras, sempat ingin menyerah karena cowok itu terlalu dingin dan cuek. Tapi pada akhirnya Ditta kembali berusaha dan berhasil meluluhkan batuan es yang ada di dalam diri Beni. Namun, Ditta harus dihadapkan pada sebuah kenyataan kalau Beni tidak bisa selalu berada di sisinya, Beni punya cita-cita untuk kuliah ke New York dan Beni harus memilih antara Ditta dan cita-citanya.

dan Beni memilih keduanya, akhirnya Beni dan Ditta menjalin LDR. Namun, bukan perkara mudah untuk menjalin hubungan LDR, keduanya diuji berbagai masalah. Akankah hubungan Beni dan Ditta akan berhasil di tengah masalah yang tak henti-hentinya menguji hubungan mereka?

chap-preview
Free preview
SATU
Hujan turun 3 menit kemudian setelah aku sampai di teras kafe, Minka menyusulku setelah memarkirkan motor. Hari ini aku dan Minka awalnya berniat untuk keliling kota bandung. Tapi tiba-tiba saja cuaca berubah jadi buruk dan akhirnya aku dan Minka memutuskan untuk ke kafe yang ada di sekitaran jalan braga. Kata Minka kafe ini menjual cake red velvet yang enak parah, jadi aku langsung menyetujui Minka ketika merekomendasikan tempat ini. Kami masuk dan langsung disambut semerbak aroma manis cake strawberry, di dalam suasananya cukup instagramable, serba pink dan putih, pengunjungnya juga cukup ramai dan sebagian besar adalah remaja wanita. Aku dan Minka duduk di meja nomor 2. Kemudian suara Austin Mahone yang menyanyikan lagu All I Ever Need terdengar memenuhi ruangan kafe. Kalau saja aku datang kesini bukan dengan Minka melainkan dengan pacarku, mungkin suasananya akan terasa sangat pas. Tapi sayangnya, aku tidak punya pacar. Hanya ada seseorang yang aku suka secara diam-diam. Minka mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan, ya. Seperti biasa, Minka akan berfoto selfie ketika menemukan objek yang dirasa bagus dan menarik perhatiannya. Sementara itu, aku celingak-celinguk mencari keberadaan waiters untuk memesan makanan, setelah menemukan sosok waiters itu aku langsung melambaikan tangan dan waiters itu dengan cepat menghampiriku dan Minka. "Mau pesan apa, Mbak?" Tanyanya dengan tangan memegang pulpen dan kertas, siap untuk mencatat pesanan. Aku melirik Minka yang masih asyik selfie "Mau pesen apa, Minka?" Minka melirikku sebentar sebelum kembali fokus selfie seraya menjawab "Cake red velvet dan jus alpukat tapi gulanya jangan banyak-banyak." Aku mangut dan "Saya juga red velvet sama es teler aja deh." Ucapku seraya membaca buku menu. "Oke, tunggu sebentar ya, Mbak." Aku mengangguk seraya tersenyum. Sepeninggal waiters itu aku mengedarkan pandanganku untuk melihat keseluruhan suasana kafe ini. Ini memang kali pertamaku datang kesini. "Ta, katanya Kak Beni juga sering kesini, lho." Minka meletakkan ponselnya, mendengar nama itu disebut aku langsung terfokus pada Minka seutuhnya "Serius? Hari ini bakal kesini ga?" Tentu saja aku langsung antusias ketika nama pria itu disebut. Minka mengedikkan bahunya "Umm, belum pasti. Lo berdoa aja supaya hari ini Kak Beni dateng." Kak Beni. Ya, cowok yang selalu membuat dadaku berdegup kencang. Pokoknya, apapun yang dia lakukan selalu menjadi hal yang paling menarik bagiku. Kak Beni adalah kakak kelasku, tahun ini adalah tahun ketiganya di SMA dan tahun ini adalah tahun keduaku di SMA. Sebenarnya aku sudah menyukai Kak Beni sejak mos di mulai. Kala itu, Kak Beni salah satu panitianya karena di anggota osis dan Kak Beni adalah satu-satunya orang yang langsung menarik perhatianku di pertemuan pertama. Dia dingin, cueknya gak ketulungan, irit bicara dan tentu saja dia tampan, Kak Beni berperawakan jangkung, kulitnya memang tidak putih tapi dia manis menurutku, potongan rambutnya ala militer dan cara berjalannya selalu tegap dengan wajah kaku yang seolah tidak dapat tersenyum. Menyukainya memang menjadi hal yang berat karena sulit sekali bagiku mendekatinya, Kak Beni terlalu cuek dan dingin. "Eh, by the way. Kak Beni sendirian aja dateng kesini?" Tanyaku kemudian "Katanya si iya, tenang Ditta, gue yakin Kak Beni nggak punya pacar." Minka memasang wajah percaya dirinya "Lo yakin?" Jujur saja aku ragu, bisa saja kan dibalik sosoknya yang dingin dan cuek ternyata di belakang, Kak Beni punya pacar dan merahasiakan pacarnya kepada semua orang karena pacarnya terlalu cantik dan Kak Beni tidak mau membiarkan pacarnya digoda karena biasanya, cowok dingin dan cuek di luar itu, dalemnya cemburuan. "Percaya sama gue." "Apa jaminannya?" "Ih pokoknya lo harus percaya sama gue." "Oke, gue coba percaya." Minka mengangguk-anggukan kepalanya "Nah, gitu dong." Tidak berselang lama, pesanan ku dan Minka datang, dua cake red velvet, jus alpukat dan es teler. "Terima kasih." Ucapku, lalu langsung di balas senyuman dan anggukan dari waiters itu. Tidak menunggu lama lagi, aku dan Minka langsung menyantap cake red velvet dan rasanya enak sekali, sesuai dengan perkataan Minka. Ketika tanganku beralih mengaduk es teler, lonceng kafe berbunyi, menandakan pengunjung yang baru saja masuk. Pandanganku refleks beralih ke arah sumber suara dan saat itu pula pupil mataku mendadak membesar. Kari-jari tanganku berhenti mengaduk es teler, itu Kak Beni. Seseorang yang menyembunyikan lonceng kafe dan baru saja memasuki kafe. Mataku mengikuti Kak Beni sampai cowok itu duduk di meja nomor 8, sendirian. Ya, dia sendirian. Memakai kaos polos berwarna putih dengan luaran kemeja moka yang dibiarkan terbuka dengan bawahan celana jins selutut berwarna hitam. "Ada apa, Ta?" Tanya Minka sejurus kemudian, aku menelan ludah susah payah lalu melirik Minka "Ada Kak Beni." Ucapku dengan jantung yang sudah berdebar hebat. Minka membelalakan mata lalu dengan spontan menggenggam tanganku "Serius? Mana?" Aku menunjuk posisi Kak Beni dengan isyarat kepala dan Minka langsung menyadarinya, dia menatapku sekali lagi dengan mata yang masih membelalak "lo barusan baca doa apaan? Sampe Kak Beni bener-bener datang kesini?" Aku menggelengkan kepala "Gue harus gimana? Nyamperin dia terus berkata hai atau sekarang gue harus ke meja kasir terus seolah-olah nggak sengaja liat dia dan nyapa?" Ujarku panjang lebar dengan suara seolah-olah sedang berbisik. Aku benar-benar gugup sekarang, apalagi melihat Kak Beni yang hari ini terlihat sangat cool dan ganteng. "Pelan-pelan apa ngomongnya, gue bingung harus jawab apa?" Bisik Minka. "Kayaknya, lo harus pura-pura ke meja kasir deh, terus nyapa sebagai adik kelas yang baik saat ketemu kakak kelasnya." Lanjut Minka dengan suara yang masih setengah berbisik. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyetujui Minka dan segera berdiri untuk siap-siap pergi ke meja kasir. Sebelum itu, aku terlebih dahulu menyempatkan diri untuk berkaca pada layar ponsel dan setelah dirasa rapi aku langsung melancarkan aksiku. Sesekali aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tidak terlihat gugup. Langkahku semakin dekat dengan meja Kak Beni, ketika tepat berada di depan meja itu, langkahku terhenti. "Kak Beni?" Sekali lagi aku menelan ludah kemudian tersenyum lebar, Kak Beni yang langsung menyadari kehadiranku langsung mendongak dan mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya "Iya?" Aku diam sejenak, entah kenapa tiba-tiba saja aku lupa dengan kalimat yang sudah aku siapkan "Umm, Kakak disini juga? Umm, aku Ditta.." kalimatku terhenti, entah kenapa bisa terhenti begitu saja, intinya aku memang gugup. Kak Beni mengernyitkan dahinya, sepertinya dia berusaha untuk mengingat sesuatu, dan dia menatapku cukup lama membuatku semakin salah tingkah dibuatnya, sampai akhirnya aku melanjutkan kalimatku lagi "Adik kelas Kakak." Mendengar ucapanku, Kak Beni langsung mangut-mangut "Oh, ya." Di tersenyum tipis, sangat tipis. "Sama siapa? Ditta?" Hatiku meleleh tidak berbentuk ketika Kak Beni menyebut namaku dengan suara indahnya. "Umm, sama temen, Kak." Kak Beni mangut-mangut lagi, dirasa sudah tidak ada lagi topik pembicaraan, aku memutuskan untuk mengakhirinya saja sebelum aku semakin salah tingkah "Ya Udah, Kak. Aku ke meja kasir dulu." Ucapku, Kak Beni mengangguk dan dia sekali lagi tersenyum tipis. Aku meneruskan langkahku dan tersenyum diam-diam. Bicara dengannya membuatku jantungku hampir copot dan loncat keluar. Setelah kembali dari meja kasir, Minka langsung mencercaku dengan banyak pertanyaan sekaligus "Gimana? Berhasil? Kak Beni jawab apa? Dia inget lo nggak?" "Bentar, gue masih gugup Minka, tapi kayaknya dia nggak terlalu ingat gue deh, tapi sumpah! Dia cool banget!" Aku berusaha untuk menahan nada antusias agar tidak menjadi pusat perhatian dan yang penting agar tidak terdengar oleh Kak Beni. "Menurut gue, dia kenal sama lo, cuma kan Kak Beni cuek gitu orangnya." "Kayaknya sih, tapi dia senyum tadi ke gue." Aku benar-benar tidak bisa menahan rasa bahagiaku hari ini. Bertemu Kak Beni, bicara dengannya walaupun cuma basa basi dan melihat senyumannya adalah sebuah anugerah dalam hidupku. *** Jam sudah menunjukkan pukul 14.30, aku dan Minka menyudahi obrolan kami dan memutuskan untuk pulang, kebetulan hujan sudah reda dan tinggal udara dinginnya saja yang tersisa. Aku menoleh sebentar ke arah Kak Beni, cowok itu masih belum pulang. Kali ini, Kak Beni sedang berkutat dengan laptopnya dengan secangkir kopi yang ada di mejanya, aku memperhatikannya cukup lama sampai akhirnya Minka membuyarkan lamunanku "Ayo balik, Ta." Minka bangkit dari duduknya, aku menyusul tak lama kemudian. Setelah keluar dari kafe, Minka langsung menuju parkiran dan aku menunggunya di teras kafe, tak berselang lama Minka kembali dengan helm yang terpasang di kepalanya, entah kenapa raut wajahnya berubah cemas "Ta, motor gue mogok lagi." "Hah? Terus gimana dong?" Aku juga mendadak cemas setelah mendengar ucapan Minka "Ini gue lagi hubungin Kakak gue, tapi nggak diangkat." Minka sibuk menghubungi Kakaknya sedangkan aku mencoba untuk bantu berpikir bagaimana caranya bisa pulang "Ta, lo pulang naik bis nggak papa kan? Gue nggak bisa ninggalin motor juga di sini." "Gue nemenin lo aja deh, halte bus lumayan jauh juga dari sini." "Iya juga ya. Eh, lo naik gojek aja. Gimana? Atau lo…" Tiba-tiba kalimat Minka tersendat begitu saja, pandangannya juga teralihkan ke arah lain. Aku yang penasaran, ikut-ikutan menoleh kebelakang dan mendapati Kak Beni yang baru saja keluar dari kafe, dia langsung menyadari keberadaanku dan Minka, untuk kedua kalinya dalam hari ini, jantungku berdebar. "Kalian belum pulang?" Tanyanya sejurus kemudian, Minka dengan cepat mendekat "Belum, Kak. Motornya mogok nih, um..Kakak naik apa kesini? Aku tidak tahu kenapa Minka tiba-tiba saja bertanya hal seperti itu kepada Kak Beni, apalagi Minka sempat menyenggol tanganku pelan. Wajah Kak Beni saat itu terlihat agak bingung, entah mungkin itu adalah ekspresi wajah cueknya. "Saya sendiri, kenapa?" Tiba-tiba saja Minka menarik tanganku untuk lebih mendekat ke arahnya "Teman saya butuh tumpangan nih, Kak. Boleh nggak? Kasian mamanya sakit dan harus buru-buru pulang dan motor saya malah mogok." Aku tercengang, sangat tercengang menatap wajah Minka yang penuh dengan isyarat kepuasaan setelah bicara seperti itu kepada Kak Beni, sampai dia tidak sadar betapa gugupnya aku sekarang. Aku menyenggol tangan Minka, dan menatapnya tajam. Tapi, sepertinya Minka tidak juga peka. Sampai akhirnya Kak Beni menjawab "Boleh." "Boleh?!" Aku refleks hampir berteriak, lalu aku buru-buru diam dan menggigit bibirku keras-keras karena saking malunya. "Ya, Boleh, yaudah saya ambil motornya dulu." Setelah Kak Beni berlalu untuk mengambil motornya. Minka beralih merangkulku "Gimana? Gue berhasil kan bikin lo sama Kak Beni bisa boncengan berdua?" Minka tersenyum jahil "Iya sih, tapi lo pake statement bohong soal mama gue, Minka!" Sedikit kesal, tapi ya.. rencana Minka tidak terlalu buruk juga. Kak Beni tak lama kembali dengan motor scoopy hitamnya "Ayo." Minka mendorong punggungku pelan lalu dia berbisik "Pegangan yang kenceng ya, bestie." Seraya terkekeh pelan di akhir kalimat. Meskipun gugup luar biasa tapi aku berusaha untuk terlihat enjoy dan stay cool di depan Kak Beni. Jujur saja, ini pertama kali aku dibonceng Kak Beni, rasanya campur aduk. Asem, manis, gurih, pokoknya semuanya jadi satu dan tidak bisa dideskripsikan. Dengan jantung yang masih berdebar hebat aku menaiki motor Kak Beni lalu "Makasih ya, Kak. Udah bantu temen saya, hati-hati di jalan." Teriak Minka dan aku masih menatapnya tajam. Sebelum melajukkan motornya Kak Beni menoleh ke arahku "Ta, saya ajak mampir ke toko buku dulu ya, soalnya ada sesuatu yang ingin dibeli." Ucapnya. Sebagai jawabannya aku menganggukan kepala "Iya, Kak." ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.1K
bc

Head Over Heels

read
15.6K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.5K
bc

DENTA

read
16.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook