bc

LINKED : Rise of Werewolves

book_age18+
2
FOLLOW
1K
READ
sex
fated
drama
tragedy
bxb
ABO
mpreg
Bright x Win
like
intro-logo
Blurb

Sepasang takdir dari sang Luna, kini kembali diberi tugas untuk menyelamatkan dunia. Di satu malam, Win terbangun. Kepada sang alpha, ia berkata, “Alpha, aku mimpi kalau semua serigala bangun. Kita di ambang kematian dan dunia kita… hancur.”

chap-preview
Free preview
PROLOGUE : Throne of The King
    Capital     Februari, 2028     Di pusat kota, berdirilah sebuah istana megah yang masih pekat dengan bau cat. Tidak seluruhnya, hanya satu ruangan luas terletak di sisi tenggara yang pada hakikatnya adalah sebuah ruangan untuk memasak. Singkat cerita, seorang omega terhormat ingin memberi kejutan untuk sang alpha. Nahas, di satu pagi yang tenang, sebuah dapur meledak tanpa sebab yang jelas. Dikarenakan tingkah dari papa dua anak itu terlanjur dianggap sebagai sesuatu yang antik dan di luar akal manusia, seorang raja pun mengampuninya dengan mudah. Maka, dua bulan pun berlalu dan reparasnya selesai.     Win, sebagai omega yang sempat menghancurkan dapur itu, kini berdiri di depan pintu dapur. Jemarinya memegang ragu di depan mulutnya sendiri, menggosok dagunya, dan terkadang menyentuh hidung yang tak gatal. Ada rasa malu yang sedang ditutupi dengan susah payah. Beruntung bahwa berita ini tak menyebar ke khalayak ramai. Bagaimana pendapat orang lain jika mereka tahu pemimpinnya bertindak begitu ceroboh seperti ini?     Dapur itu kini tampak lebih futuristik dan punya nilai fungsional lebih daripada yang sebelumnya. Akan tetapi, roman-romannya tempat ini tak lagi dijadikan dapur utama. King Bright, mate-nya, memutuskan untuk menjadikan tempat ini sebagai dapur pribadi.     “Papa! Papa!”     Panggilan melengking yang terdengar memaksa itu sudah jelas berasal dari satu orang. Ya siapa lagi kalau bukan Ano, anak laki-lakinya. Pangeran kecil itu melangkah cepat dengan kakinya yang masih pendek, mengundang Win untuk berjongkok dan menyambut sang anak dengan senyuman. “Kenapa lari-lari? Hm?”     Ano meringis kecil dengan tangan tangan yang menggaruk kepalanya sendiri. Karena tak kunjung mengucap kata, Win berinisiatif untuk mencubit kecil pada pipi anaknya, bertanya, “Ada apa? Kak Thaea?”     Dengan ragu, Ano mengangguk. Ia mendekatkan bibir ke telinga sang ayah. “Tadi Kak Thaea nyusun domino,” bisiknya lirih, “terus gak sengaja aku jatuhin. Kakak marah, aku habis ini—”     “Kano Aldrich Cherrington!”     Aduan belum tuntas dikatakan, dan suara gadis kecil lebih dulu menggema dalam ruangan disertai hentakan kaki yang berapi-api. Kalau sudah begini, tandanya istana akan hancur dalam hitungan detik. Meskipun anak-anak ini masih berusia enam tahun, namun kekuatan mereka dalam melempar dan menghancurkan barang sungguh tidak main-main.     “Papa! Tolong!”     Thaea memegang sebuah buku panjang yang digulung—senjata andalannya dalam menghajar sang adik. Wataknya begitu mirip dengan mendiang Gulf, kakak yang amat dirindukannya. Gadis mungil itu tak berpikir dua kali untuk menggebuk, mengolok, atau melakukan tindakan ekstrem lain pada adiknya.. Hal itu cukup membuat Win pusing tujuh keliling. Diam-diam, ia merasa bersalah pada ayah ibunya karena selalu membuat keributan di masa mudanya dahulu.     “Ano! Jangan sembunyi! Heh!”     “Papa! Tolongin Ano! Papaaa!”     Yang bisa dilakukan Win hanyalah memijat pangkal hidungnya. Omega itu terlihat pasrah dengan badan yang terhuyung-huyung akibat anak-anak yang berlari di sekitarnya. Ano akan menggunakan sang papa sebagai tameng, lalu Thaea akan mengejar adiknya dengan beringas. Sangat disayangkan bahwa anak laki-lakinya ternyata mempunyai sifat jeleknya dalam merusak barang.     “Thaea, berhenti dulu, ya? Adiknya jangan dipukul—”     “Kak! Jangan marah mulu, muka Kak Thaea jelek banget kayak kambingnya om JJ!”     Nah, kan. Dasar anak setan.     Win mengelus d**a, ia masih berusaha menangkap anaknya dan menghentikan pertengkaran mereka.     “Diem! Sini kamu! Siniiii!” Thaea semakin kesetanan.     “Ano, udah jangan malah ngejekin kakaknya. Diem dulu—”     “Kneel.”     Ribut selama nyaris sepuluh menit, suasana mendadak hening dalam satu kedipan mata. Tiga manusia di ruangan itu langsung berlutut, bersimpuh di atas lantai yang dingin. Sedangkan dari balik dinding yang menjulang tinggi, muncullah seorang lelaki yang memiliki d******i penuh atas segala urusan duniawi. Ia adalah seorang alpha, seorang raja, mate, dan ayah yang sedang menunjukkan senyuman manis.     Sebagai pihak yang seharusnya bebas dari kesalahan, Win mengangkat wajah dan cemberut, tidak terima jika ia ikut-ikutan didisiplinkan seperti ini. King Bright Yang Agung, malah asyik tersenyum jahil pada mate-nya sendiri. Ia memaksa dua anaknya untuk menunduk dan tidak dapat melihat pertengkaran kecilnya dengan si papa.     “Ano, Thaea, kalian kenapa lagi?” tanya Bright dengan santai. Tangannya mengambil gulungan buku yang ada di tangan Thaea, membukanya, membaca judul “Alpha, Beta, Omega”, lalu tertawa kecil.     Bright saat ini sedang dalam balutan pakaian formal dengan aura kuat khas alpha menguar dari tubuhnya. Tiap langkahnya yang semakin dekat mampu membuat jantung dua bocah itu berdebar kencang, takut kalau sang ayah akan memarahi mereka. Padahal, Bright tidak melulu seperti itu. Selama bukan kesalahan besar, ia akan mendekat dengan pelan, lalu mengacak pucuk kepala kedua anaknya. “Jangan lari-lari di dalem rumah. Kalau ada satu barang pecah, ayah tarik semua tabungan kalian buat bayar.”     Kata-kata itu terdengar menyeramkan meski nyatanya hanya kisah kosong yang tak berarti apa-apa. Manusia mana yang percaya bahwa seorang raja yang memiliki seisi dunia harus menabung atau melakukan hal sejenis itu? Tetapi anak kembar itu begitu patuh pada ayahnya. Tidak menyela, tidak membantah.     “Ano, minta maaf ke kakak,” pinta Bright.     Dengan bibir yang dimajukan, Ano berucap lirih, “Sorry…”     “Yang tulus dong?” dorong Bright. Ia mengambil tangan anak laki-lakinya, lalu menyodorkan jari-jari mungil itu agar dijabat oleh si kakak yang masih merengut marah.  “Ayo? Salaman dulu.”     Dengan penuh ragu dan dendam kesumat khas bocah cilik, Thaea menjabat tangan adiknya, bergumam, “hm.” Sungguh kejam dan tak berperasaan.     Kaki mereka masih terkunci gravitasi aneh. Ketiga orang itu tak mampu bangkit dari posisi, termasuk Win yang sibuk mendumel dalam bahasa yang susah dimengerti. Yang dipahami Bright hanyalah fakta bahwa mate-nya menjadi jutaan kali lebih menggemaskan jika sedang kesal.     “Oke. Good, kalau berantem lagi, ayah marah beneran. Sekarang kalian berdua ke depan, ada tante sama Kak Nam. Main sama mereka dulu, ayah mau ngobrol sama papa. Ya?”     Tidak perlu mengulang pinta untuk kedua kalinya karena sepasang anak kembar itu langsung melesat bak bintang jatuh. Mereka seolah lupa pada pertengkaran yang sempat terjadi dan langsung berteriak, “KAK NAM!!!” Meninggalkan seorang omega dewasa yang sibuk memalingkan muka.     “Mate? Kenapa?” tanya Bright basa-basi.     Win merotasikan bola matanya, tampak ogah-ogahan memandang raja dunia yang sedang tersenyum jahil di depannya.     “Hey, sayang?”     Bright sendiri terlihat puas bermain-main. Dirinya menikmati bagaimana omeganya terlihat begitu lucu saat cemberut dan berharap agar segera dipersilakan berdiri. Jadi, setelah cukup membuat Win berada dalam posisi yang menyebalkan, Bright akhirnya membantu mate-nya untuk kembali berdiri.     Tanpa sedikit pun malu, alpha itu merentangkan tangannya, berharap mendapatkan sebuah pelukan hangat setelah terpisah jarak selama dua minggu lamanya. Tapi, apa yang dilakukan Win? Omega itu justru mengabaikannya, berpura-pura merajuk, dan melangkah ke dalam dapur. Melihat itu, Bright tak kuasa untuk berteriak, “Mate! Sayang! My moon!”     Telinga omega itu ditutup, seolah-olah sedang mengejek alphanya. Ia bergerak gesit dalam membuka kulkas, mengambil sekotak jus jeruk, dan menuangnya ke dalam sebuah gelas. Cairan oranye itu ditelan dengan rakus, ditenggak habis tanpa melirik mate yang sedang menontonnya dengan penuh kesabaran.     “Mate, gak kangen apa?”     Win masih jual mahal. Ia menggali sisi manja seorang raja dunia yang tak pernah ditunjukkan kepada siapa pun. Pokoknya dia akan terus mengabaikan lelaki itu sampai terdengar suara rengekan yang menyedihkan.     “Winnnn~”     Menjijikkan. Namun, Win begitu ingin bertepuk tangan sewaktu mendengarkannya. Dengan posisi yang masih membelakangi alphanya, ia tersenyum kecil sebelum kembali pada akting payahnya.     “Sini, katanya mau peluk?” Win bertanya melalui media link.     Mendengar suara tanpa bibir yang membuka, Bright sontak menggumam, ‘Woah’, dengan suara tipis. “Kenapa pake link?”     “Pengen aja. Hehe.”     Tepat setelah link dikirim oleh Win, seorang alpha yang ada di sana tak tahan untuk tak segera memeluk sosok yang dirindukannya. Mereka saling merengkuh bak sepasang kekasih yang baru menjalin hubungan dalam hitungan hari. Bagi mereka, tidak pernah ada kata bosan, tidak ada satu hal pun yang berubah. Ketika rindu, ketika mengucap cinta, semuanya masih sama seperti dahulu kala.     Omega itu sudah pasti akan mengandalkan kekuatan mate-nya, ia dengan ceroboh akan melompat, menggantungkan badan bak koala yang bertemu pohon terindah di dunia. Kakinya melilit kuat pada pinggang sang alpha, kedua tangannya memeluk sementara hidungnya mengendus bau cendana yang selalu jadi candunya.     “Gitu katanya gak kangen?”     Pertanyaan yang diajukan Bright cukup untuk membuat omeganya mengerutkan kening. “Kata siapa aku gak kangen?”     Sungguh, konversasi ini hanya membuat orang-orang di luar sana ingin muntah kupu-kupu. Perkataan demi perkataan yang keluar dari mulut masing-masing hanya berisi obrolan manis. Demi menuntaskan kangen yang disembunyikan dengan gengsi, keduanya berubah menjadi pasangan yang menggunakan kata murahan untuk saling menggoda.   ***       Di siang hari, istana begitu sepi. Tempat tinggal keluarga kerajaan ini tidak memiliki terlalu banyak maid. Mereka kebanyakan beraada di bangunan sebelah, tidak akan ke istana utama jika tidak ada keperluan seperti bersih-bersih atau mengantar makanan. Apalagi sejak Win membakar dapur di dua bulan lalu, tugas memasak dialihkan ke dapur bangunan sebelah. Tidak ada lagi hiruk pikuk pisau yang beradu dengan tatakan ataupun spatula yang menciptakan irama bersama wajan dan sebagainya. Dengan anak-anak yang dibawa oleh Gigie untuk berkunjung ke rumah orang tua mereka, istana luas ini terlalu sunyi jika hanya diisikan oleh dua orang.     “Alpha,” panggil Win terhadap Bright yang baru saja selesai berganti pakaian menjadi lebih kasual.     Tidak merespons, Win mengulanginya. “Alphaaa.”     “Hm?”     Bright hanya menoleh, lalu menggerakkan tangannya untuk mengambil cangkir kopi yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Berbaring di atas ranjang luasnya, Win langsung mengubah posisinya menjadi duduk bersila, matanya menatap lurus pada sepasang mata tajam yang berubah lunak ketika berada di depannya.     Untuk beberapa detik, sepasang pemimpin dunia ini saling melempar pandangan yang tak menemukan titik temu. Bright beberapa kali mengangkat alis, Win pun hanya memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri. Mirip seperti sepasang i***t yang mencoba untuk berkomunikasi.     “Laper?” dan “Jalan-jalan, yuk?” diucap berbarengan.     Seketika, dua bibir langsung kembali mengatup.     Disebabkan oleh kondisi konyol ini, Win sekonyong-konyong melompat dari kasur, lalu berlari kecil ke sudut ruangan. Di sana, ia menghadap pada sebuah foto yang akan selalu menjadi kesayangannya. Lirih, ia malah mengadu, “Bang, Alpha Bright aneh banget sekarang?”     Dengan agak menyedihkan, Win menirukan cara sosok di foto itu dalam berbicara, “Kenapa lagi tuh setan? Gak ngasih kamu makan?”     Kembali, Win berlaga seolah sedang berbicara sungguh-sungguh dengan mendiang kakaknya. “Gak sih, Bang. Dia sekarang jarang ngelonin aku.”     “Oalah. Minta kelon?” pun menjadi tanya yang mengalir lembut tepat di belakang telinganya. Tahu-tahu, sebuah kehangatan mengalir dari balik punggungnya, bergerak lembut melilit pinggangnya yang ramping.     Win mencubit lembut pada tangan yang mendekapnya. Kepala omega itu menoleh ke belakang, meniup usil pada wajah mate-nya. “Enggak tuh?” sanggahnya.     Sang alpha pun menggoyangkan badannya ke kanan, ke kiri, kanan, kiri, membuat Win terombang-ambing lalu mencium gemas pada pipi alphanya yang sekarang berubah lebih gembul. “Jalan-jalan mau gak, alpha?”     Tawaran omega itu disambut dengan ciuman di sudut bibir, terasa legit dan mengundang sebuah tarikan kecil untuk tersenyum manis. Bright melepaskan pelukannya dan bertanya, “Jalan-jalan ke mana? Ke sektor lain?”     Win menggeleng. “Di sini aja. Keliling istana.”     Tidak ada tanggapan kreatif yang diberikan oleh Bright. Alpha itu mengangguk santai, kemudian meraih lima jari untuk dikaitkan ke sela jarinya sendiri. “Yaudah ayo?”     Adegan berikutnya menampilkan pemandangan yang cukup langka di mana Bright menggenggam tangan Win untuk diajak mengelilingi istana. Sebab, pada hari-hari biasa, King Bright dan pasangan takdirnya itu tak pernah menginjak lantai selain jalur pintu masuk — kamar — kamar anak — dapur — kamar mandi. Kemewahan yang dipersembahkan sebagai bentuk terima kasih itu tak pernah diperhatikan dengan baik. Taman yang indah, lampu mahal, lukisan kuno, semuanya hanya angin lalu. Mengatur dunia adalah hal yang melelahkan hingga Bright tidak tahu ada berapa kamar di rumahnya, atau Win yang masih sering lupa pohon apa yang tumbuh di dekat gerbang masuk istana. Mereka memegang separah itu. Selain urusan dunia dan keluarga, kebanyakan cenderung diabaikan.     “Alpha, Alpha, kenapa dapur gak dipindah ke sini aja?” tanya Win tiba-tiba.     Lawan bicaranya terlihat seperti memikirkan sesuatu. Butuh dua kali menenggak ludah untuk menjawabnya dengan, “Karena… pengen aja?”     Win sontak mencebikkan bibir. “Dih, serius ah.”     Bright terkekeh, tangannya membawa punggung tangan sang omega untuk dikecup singkat. “Serius. Biar kamu lebih gampang kalau mau eksperimen, atau biar aku lebih enak kalau pengen masak.”     Apa yang dituturkan oleh Bright cukup membuat Win jengkel. Ia bak dicemooh karena tak bisa memasak, meskipun itu adalah fakta mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Omega mengenaskan.     “Alpha,” panggil Win.     Pandangan raja itu menyapu ke lukisan raksasa yang menggambarkan pasukan berkuda yang sedang mengangkat pedang serta tameng tinggi-tinggi. Sebuah lukisan realisme yang sedikit diromantisasi. Yang paling depan adalah sesuatu yang sangat familiar, gambar seorang raja dunia di zaman dahulu. Ia mengenakan baju zirah dengan jubah merah yang mencolok, mengangkat pedang legenda yang tak diketahui keberadaannya, dengan detail wajah meneriakkan kemenangan. Bright bisa melihat jelas cipratan darah di pipi raja itu, juga setetes air mata yang mengalir samar. Sedangkan di bawah, tampaklah mayat-mayat berjubah hitam yang tak jelas itu apa.     Di seumur hidupnya, ia selalu bertanya: “Perang apa yang membuat raja menitikkan air mata?”     “Alphaa!”     Bright tersentak. Ia terlalu tenggelam dalam lukisan di depannya sampai melupakan kehadiran lelaki tampan yang dapat merajuk dalam hitungan detik. Maka, sebelum kucing putih ini mencakarnya, ia buru-buru mencium sisi kepalanya. “Ya? Kenapa, mate?” tanyanya tenang, “Maaf, tadi aku lihatin lukisan di depan.”     Tidak ada angin, tidak ada hujan: “Di aula utama ada orang gak? I want to sit on your throne.”     Alpha itu mengedikkan bahunya. “Harusnya gak ada. Bukan jadwal buat dibersihin juga kan?”     Dua jempol diacungkan. Win menepuk tangan sekali, wajahnya berubah cerah sampai Bright ingin memakannya saat itu juga. Nada riang dilantunkan, mengiringi sebuah kalimat yang berbunyi, “Ke sana yuk? Pengen cuddle, hehehe.”     Tak pernah disangka jika setan-setan barak lima masih menghantui jiwa Win. Nakalnya, caranya menggoda, hal-hal seperti itu masih melekat erat. Benar-benar penguji nomor satu terhadap keimanan dan kepatuhan Bright terhadap Bunda Luna.     “Oke.”   ***       Tangan ditarik dengan kuat. Sepasang linked mate yang sama sekali tak menua ini berlari kecil mengitari istana, menyebarkan aura menyenangkan di setiap langkah mereka selama menuju ke aula utama yang terletak di istana bagian depan. Dari jauh, keduanya tidak seperti pemimpin dengan banyak tanggung jawab, tidak pula seperti ayah yang harus mendidik dua penerus takhta. Hanya sepasang mate yang saling mencintai, tidak lebih.     “Yes! Beneran kosong!” pekik Win begitu sampai di aula yang menjadi tempat penting di berbagai acara kerajaan.     Aula itu hanya dibuka ketika King Bright harus mengumumkan perihal penting kepada dunia. Entah itu peraturan baru, kelahiran penerus takhta, atau hal-hal lain yang menyangkut kemaslahatan banyak orang. Di ujung, di atas panggung, terdapat sebuah singgasana yang megah. Ini adalah kursi kemuliaan yang hanya bisa diduduki oleh Bright dan Win saja.     Omega itu melompat-lompat. Dua kakinya masih begitu gesit, jauh dari kesan letoy sebagaimana mereka pertama kali bertemu di delapan tahun lalu. Hap! Hap! — Win sudah duduk di atas singgasana raja. “Alpha! Sini duduk!”     Sebetulnya, berteriak seperti itu sangat tidak perlu. Yang ada malah menciptakan gemaa sia-sia. Tapi, melihat senyum kelinci yang lama tak dilihatnya, alpha itu membiarkan omeganya bertingkah sesuka hati. Mengangguk, Bright pun berjalan santai dan turut duduk di sisi Win.     Kursi berselimutkan kulit serigala ini muat untuk diisi dua manusia dewasa. Begitu mendarat di atasnya, p****t akan terasa nyaman. Empuk dan lembut. Sungguh cocok jika ini disebut sebagai kursi agung sebuah kerajaan dunia.     “Mate, menurut kamu—”     Baru mengucap permulaan sebuah kalimat, Bright disela oleh tingkah yang lebih muda. Win dengan gampang beranjak dari duduk, lalu memilih sepasang paha untuk dijadikan landasan pantatnya.     “Hehe.”     Sang raja hanya bisa tersenyum. Tidak lama, pahanya dibuka, mempersilakan si omega untuk duduk di antara pahanya. Ia bersandar pada kursi, menyamankan posisi.     “Tadi mau ngomong apa?” tanya Win, kepalanya ditolehkan ke belakang dengan punggung yang menempel sempurna di d**a hangat alphanya.     Dua lengan Bright sudah melingkari pinggang kesukaannya dengan otomatis. Kepalanya ditelusupkan ke leher omeganya, menghirup vanila untuk menenangkan dirinya yang dilanda gundah secara tiba-tiba. “Mau ngobrol serius.”     “Hm? Tumben banget?”     Di atas singgasana, di dalam sebuah aula yang sepi, pemimpin dunia tengah bertukar afeksi. Gerakan-gerakan halus diciptakan, saling membelai lembut kepada satu sama lain, mengiringi topik pembicaraan yang akan memberat setelah ini.     “It’s about future.”     “Future? Why?”     Bright terlihat berusaha mengontrol dirinya sendiri. Kepalanya tak mau berhenti bergerak, terus menerus mengusakkan kepalanya bak seekor kucing, juga mencuri ciuman-ciuman kecil di sepenghujung bahu indah milik sang omega.     Merasakan ada kegelisahan yang susah diutarakan, Win pun mengangkat tangan alphanya, menciumnya, mengelusnya pelan, lembut, penuh kasih sayang. “Alpha, say it all. I will listen.”     Akan tetapi, Bright masih diam. Ia kesulitan merangkai kata-kata.     “Tentang apa? Ada konflik antarsektor lagi?”     Bright menggeleng.     “Khawatir masa depan anak kita?”     Bright, masih menggelengkan kepala.     “Terus?”     Menghela napas, satu pernyataan ternyata mampu membuat Win membeku bingung. Katanya, “I’m worrying about the past.”     “Masa lalu?”     “Hm.”     “Kenapa?”     Pikiran raja itu melalang buana. Dari memikirkan masa lalu di mana dunia masih dipimpin seorang raja, jauh sebelum pemberontakan, masa-masa di mana half-shifter berkuasa, atau mungkin… masa di mana Bright belum mengetahui segalanya. Kenangan tentang masa kecilnya yang terasa samar, momen di mana ia mengikuti Alpha Camp di tahun 2017, atau saat dirinya berlaku keras kepada Barak 5, pertarungan hidup dan mati, penobatan yang mengubah seluruh hidupnya… adakah sesuatu yang belum tuntas? Kenapa hatinya tidak bisa tenang?     Secara teknis, bibir tebal itu belum terbuka. Namun, jiwa yang terikat bersamanya tahu betul apa yang ada di dalam hatinya. “Aku ngerti, Alpha.”     “Hm?”     Win sedikit membalikkan badannya, meletakkan telapak tangannya di atas jantung yang masih berdetak normal. “I feel it too, Alpha. Don’t think too much. Kalau Bunda Luna ngasih hal-hal ngerepotin yang lain, then it’s not only for us. It’s for our world.”     Seekor serigala pemimpin, sudah sepatutnya ia memasang taring dan juga cakar yang tajam. Ia akan berlaku kejam di depan musuh, berdiri begitu angkuh, memaksa seluruh kawanannya untuk patuh, hanya karena ia tak mau serigala di belakangnya jatuh. Betapa agungnya ia, betapa besar beban yang menggantung di ekornya. Itu adalah Bright yang seharusnya. Namun, saati ini ia hanyalah seekor kucing dengan taring yang tumpul. Kuku tajamnya telah dipangkas habis. Sekarang, King Bright yang memiliki otoritas penuh terhadap dunia, hanyalah seekor kucing berbulu lembut dengan jemari yang bundar. Sama sekali tak berbahaya, dan hanya butuh kasih sayang dari majikannya.     “Alpha, gakpapa buat khawatir. Gak masalah kalau cuma pengen santai, gak mikirin apa-apa, dan cuma mikir ‘nanti mau makan apa?’. Kalau belum ada yang selesai, kita selesaiin bareng-bareng. Whenever it comes, we will face it together.”     Bright adalah seseorang dengan pribadi yang susah dimengerti. Ia mungkin terlihat sederhana, semua orang menganggapnya sebagai sosok yang maha sempurna. Tapi, ia jauh dari itu. Dia adalah pemimpin dunia, bisa mengendalikan segalanya. Lalu, orang lain peduli apa?     Tidak ada yang peduli perasaan King Bright.     Tidak ada yang khawatir padanya.     Ia dianggap sebagai dewa.     Padahal, ia masih manusia.     Ketika berada di titik terendahnya, di mana ia tak mengerti harus bersikap bagaimana, beruntung sekali jika Win masih duduk di sampingnya, di atas singgasananya.     Maka, setelah tenggelam dalam rasa kebingungan atas dirinya sendiri, Bright kembali kepada kesadarannya. Ia melengkungkan senyum, begitu manis, mendorong bibir lain untuk melengkungkan senyum yang sama.     Alpha itu mengulurkan tangannya, mengusap kepala orang yang paling dicintainya. Terkekeh, ia berujar, “Win, nginget gimana kamu ragu mimpin dunia waktu kita tahu kalau kita itu linked mate… sekarang kamu udah berubah.”     Win kebingungan harus merespons seperti apa. Otaknya kosong melompong.     Bright merengkuh mate-nya dengan lebih erat. Ia menikmati bagaimana vanila meluruskan benang ruwet yang bersarang di kepalanya. “Kamu udah lebih siap dari aku, lebih cocok jadi King buat sekarang.”     Bukan. Itu bukan kalimat menyebalkan yang menyudutkan Win. Tapi lebih kepada kalimat sanjungan yang membuat seorang omega menoyor kepala alphanya.     “Udah ah, Alpha. We exactly know what we have to do, and it’s okay to act like this. Kadang emang perlu ngeluh, kan?”     Kalimat itu diberi anggukan. Bright sepenuhnya setuju.     “Hm… berarti boleh cium-cium kamu di sini?”     Demi Bunda Luna! Pertanyaan apa ini?!     “Alpha,” panggil Win.     “Ya, sayang?”     “Jaka sembung bawa golok.”     “...?”     “Bentar lagi mendung, ya udah ayok.”     Tanpa diketahui, burung-burung yang hinggap di sekitar aula utama pun beterbangan. Kepakan sayap itu begitu riuh sampai membuat dua insan di atas takhta ini mengembangkan satu senyuman konyol.     Linked Mate selalu selaras dengan alam. Terkadang, hewan-hewan memahami apa yang sedang dilakukan King Bright dengan mate-nya. Mereka turut melindungi utusan sang Luna. Tapi, kalau feromon cendana bercampur vanila menyeruak keluar, itu tandanya ada hal lain yang tidak boleh disaksikan siapa pun.     Cup— Bright mencium sudut lancip rahang milik sang omega. Menuntun sebuah leher untuk diangkat, dipersilakan untuk dijamah.     “Mnh.”     Bibir tebal sang raja menempel di atas kanvas hidup, menyapukan lidah basah di atasnya, lalu menciptakan bunyi kecipak yang beradu dengan napas yang memberat. Dari posisi awal, lama-lama dua tubuh itu mencari pegangan lain untuk meletakkan kewarasan yang sebentar lagi akan dicabut dari hati.     Mereka rindu rasa tubuh masing-masing.     “Alpha, ahh.”     Win kini menghadap pada alphanya. Ia duduk sempurna di atas paha sang alpha, membuka kaki, dan mulai kesusahan meredam nafsu yang mulai keluar dari sangkarnya.     “Mnh, Win, you still taste good,” puji Bright jujur.     Omega itu membiarkan dua buah tangan mulai menyingkap kaos yang sedang dikenakannya. Kulitnya tertabrak angin dingin, tapi ia menikmatinya. “Am I? Ahh, Alpha….”     “Hm.” Bright hanya menggumam singkat, tidak jelas berbicara apa. Sebab, mulutnya sudah sibuk melakukan hal lain ketimbang bercakap.     “Alpha, nghh…”     Desah yang mengalun tertahan terdengar begitu menyiksa. Win harus mengatur suaranya, meskipun tubuhnya mati-matian menahan nikmat dari sesap jahil yang menerpa dadanya. Sekali alpha tetaplah alpha. Dan Win benci ketika ia tidak bisa menahan dirinya.     “Enak?” tanya Bright retoris.     Sedangkan Win, ia hanya mampu memejamkan mata erat-erat, membusungkan dadanya dan membiarkan noktahnya dimanjakan. Digaruk kecil, ditekan lembut, diputar-putar, sampai ia membuat celana Bright basah terkena slick yang merembes.     “Alpha, ugh, lagihh…”     Begitu putus asa, begitu menggairahkan.     Di atas singgasana yang agung, sepasang mate malah saling memanja. Tak lama, mereka berciuman. Dua bibir itu saling melumat, menyesap rasa manis yang lama tak dirasakan. Semuanya basah. Permainan itu semakin liar tanpa bisa dikontrol oleh siapa-siapa.     Win bergerak serampangan. Kain mulai kusut, dan sesuatu yang lunak kini berubah keras serta panas. Kecupan demi kecupan, sengatan demi sengatan, semua bercampur dalam irama napas yang tersengal-sengal.     Dua tangan Bright bergerak di pinggang ramping milik omeganya. Naik. Turun. Naik. Turun. Ia memuja tubuh indah itu lewat sentuhan-sentuhan yang memabukkan.     Sang omega tak bisa diam. Lidah panjangnya sesekali terjulur, minta diperhatikan. Atau mungkin, ia akan menjilat-jilat kecil seperti kucing kecil, menggoda segaris bekas luka di bibir atas alphanya.     “Nghhi, Alpha, aku mau— mnh..”     Bright paham. Dan ia juga menginginkan hal yang sama.     Mereka hanya ingin satu penyatuan untuk melepas rindu.     Ruangan raksasa ini begitu sepi, juga memalukan. Semua yang di sini harusnya dingin. Namun, kini terbakar oleh gairah yang tak terbendung. Tak ada gema mutlak dari perintah raja dunia. Isi dari aula hanyalah embusan napas yang pekat akan tuntutan nafsu.     “Win, do you let me to touch you here?”     Dan Win mengangguk. Dia sudah kalut.     “Okay, sekarang aku——”     Brakk!     “Papa! Ayah! Aku mau—”     Suara yang khas. Ya siapa lagi kalau bukan Kano Aldrich Cherrington?!     Tepat sebelum anak kecil itu menolehkan mata ke singgasana, Bright buru-buru menghentikan waktu. Api yang menyala-nyala sontak tersiram air es. Sepasang linked mate tengah membeku.     “Bunda Luna jahat bener, masa nanggung gini?” keluh Win. Meski begitu, ia masih bahu membahu bersama sang alpha dalam membereskan segala kekacauan yang sempat terjadi.     “Mate, kita perlu kabur aja? Kita.. ugh, bau feromon.”     Saran dari Bright langsung disetujui tanpa dikaji lebih lanjut. Win mengangguk, lalu dua pasang kaki itu terbirit meninggalkan aula utama, seolah tak pernah ada apa-apa di dalam sana.     “—pamer mainan baru!”     Suara Ano berlanjut, dan—Ctak!— anak laki-laki itu dipukul oleh kayak kembarnya sendiri. “Udah dibilang ayah sama papa gak di sini!”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
100.1K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook