bc

Alive (Indonesia)

book_age0+
1.9K
FOLLOW
11.6K
READ
family
friends to lovers
playboy
band
drama
comedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

(18+)

Sejak kecil Rachel sudah dihadapkan dengan kehilangan dan pengkhianatan. Dua hal yang sampai kini sangat dibencinya. Lalu ketika satu-satunya orang yang selama ini menjadi pusat dunianya mengkhianatinya, Rachel tidak tahu lagi harus melanjutkan hidup ntuk siapa.

Hancurnya hidup Rachel inilah, yang membawa Rachel pada tempat asing, dan mempertemukannya dengan Alvin. Sosok yang dalam waktu singkat, berhasil mengalihkan Rachel dari rasa sakit yang ia rasakan. Yang kemudian menjadi pusat dunia Rachel, dan tujuan Rachel kembali bersemangat untuk hidup.

Namun, apakah Alvin akan terus berada disisinya, dan tidak meninggalkan Rachel sama sekali? Lalu bagaimana jika ternyata Alvin malah mengkhinatinya?

chap-preview
Free preview
Chapter 1
            Ketika mendengar kata Jakarta, yang terlintas diotak Rachel adalah kota metropolitan yang sangat crowded dan menyesakkan. Semua yang terlintas diotaknya langsung terbukti nyata ketika ia memasuki mobil yang akan mengantarnya pada apartemen barunya. Pandangan Rachel terus mengarah pada jendela, untuk memandangi lingkungan sekitar. Berbagai macam kesibukan langsung terpampang didepan matanya. Jalanan yang padat, gedung-gedung tinggi, juga hiruk pikuk keramaian.             Rachel justru bersyukur dengan padatnya kota ini. Karena satu-satunya cara untuk membunuh waktu hanyalah dengan mengisinya sesibuk mungkin, agar ia tidak punya waktu lagi untuk sedih dan mengenang masa lalunya.              Sudah seminggu Rachel berada di lingkungan barunya. Sebisa mungkin, ia berusaha menutup dirinya dari siapapun. Beberapa kali, ia sempat diajak ngobrol, tapi hanya disahutinya dengan gelengan atau anggukan kepala singkat. Lama kelamaan orang-orang disekitarnya itu mulai memahami sifat Rachel yang ini, sehingga mereka tidak pernah mengajak Rachel ngobrol lebih jauh mengenai hal-hal privasinya, untuk menjaga kenyamanan Rachel.             Begitu mata kuliah terakhirnya selesai, Rachel langsung bangkit dari kursinya dan secepat mungkin keluar dari kelas. Sengaja meminimalisir interaksinya dengan teman-teman di kelasnya.             Langkahnya terhenti begitu ia sampai di lobi. Pandangan Rachel tidak berhasil menemukan Budi yang biasanya sudah stand by di depan kampus pada jam-jam pulang begini.             Rachel benci menunggu. Ia benci ketika harus berada di hall kampus yang ramai, sendirian, dan tidak tahu harus berbuat apa. Tempat ini masih terasa sangat asing baginya.             “Halo, Bapak dimana sih? Tadi kan Rachel udah bilang stand by jam sepuluh!” omel Rachel begitu teleponnya tersambung dengan Budi.             “Maaf non, tadi setelah ngater Non, saya mau cari sarapan. Terus pas mau nyamperin kampus Non lagi, saya kejebak macet, Non. Kayaknya didepan ada kecelakaan deh, Non.”             Rachel mendengus. Kemacetan semacam ini sangat jarang terjadi, atau malah tidak pernah Rachel alami ketika di Bali. “Terus masih jauh nggak, Pak?”             “Masih lumayan jauh sih, Non. Soalnya tadi saya ke SPBU sekalian beli bensin. Kalo nggak macet sih, lima belas menit sampe, Non.”             Tanpa menyahut lagi, Rachel langsung mematikan sambungan telepon. Rachel tidak suka berada di keramaian karena, ia merasa seolah semua mata sedang tertuju kearahnya melemparkan tatapan aneh, dan agak sinis. Entah karena asing dengan keberadaan Rachel disini, atau karena muka Rachel yang setengah western dengan rambut kecoklatan yang membuatnya berpeluang untuk menjadi pusat perhatian lebih besar.             Setelah berfikir sejenak, ia memutuskan untuk pulang ke apartemennya naik taksi. Bukankah ini lebih baik, dibanding diam disini menunggu dengan waktu yang tidak ditentukan? Tadi Pak Budi memang bilang akan sampai lima belas menit lagi KALAU TIDAK MACET. Sedangkan pada kenyataannya, Jakarta selalu macet kan? Apalagi di jam makan siang begini. Ia tidak bisa membayangkan harus menunggu berapa lama lagi.             Ini akan menjadi kali pertama Rachel naik taksi seumur hidupnya. Selama ini, hidup Rachel—yang setengahnya dihabiskan di Bali, dan setengahnya lagi di Singapura—selalu dikelilingi dengan fasilitas lengkap seperti supir pribadi yang akan menjemput dan mengantarnya kemana pun dan kapan pun. Sehingga kata taksi nyaris tidak pernah terbesit diotaknya.             Makanya, sekarang Rachel kebingungan harus memanggil taksi dengan cara apa. Ia tidak memiliki aplikasi taksi online yang sedang heboh dibicarakan orang-orang. Selama ini, Rachel berfikir kalau ia tidak akan pernah membutuhkan aplikasi itu. Tentu saja karena ada Budi yang selalu mengantarkannya kemana pun dan kapan pun ia mau.             Setelah ini Rachel jadi kepikiran untuk mendownload salah satu aplikasi ojek online tersebut, dan meminta Budi untuk mengajari bagaimana cara menggunakannya. Demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti ini. Yah, meskipun dalam hatinya ia berharap tidak akan ada lagi hal-hal semacam ini di kemudian hari.             Perempuan yang hari ini memakai rok selutut berwarna khaki dan blouse chiffon putih itu mulai gelisah. Akhirnya, jalan satu-satunya yang ia temukan adalah membuka laman google dan menuliskan “Cara memesan taksi online” pada kolom pencarian.             “Iyaa! Buruan monyet! Gue tunggu lima menit! Lebih satu detik aja, gue cabut duluan!” teriakan seorang laki-laki jangkung didekatnya membuat Rachel mendongakkan kepalanya. Laki-laki itu tertawa dengan mengacungkan kepalan tangan pada temannya yang sedang berlari menuju lift.             Sejak tadi, Rachel memilih untuk duduk disalah satu sofa sambil memainkan ponselnya untuk browsing. Dan sekarang, laki-laki jangkung itu mengambil tempat duduk disebelahnya.             Berhubung hasil dari pencariannya di google sangat bertele-tele dan tidak praktis, karena artikel yang dia dapatkan adalah daftar nomor taksi untuk berbagai wilayah, dan Rachel harus men-scroll jauh untuk menemukan nomor taksi yang sesuai dengan lokasinya. Ia kepikiran untuk meminta bantuan pada sosok jangkung disebelahnya ini. Dengan berdalih ide ini bisa menghemat waktunya beberapa menit, akhirnya Rachel memberanikan diri untuk meminta bantuan.             Rupanya, laki-laki itu sedang asyik bermain game online di ponselnya.  Rahangnya yang tegas dengan hidung yang cukup mancung membuat jantung Rachel berdebar sedikit lebih kencang.             ‘Sial! Kenapa dari samping gini aja, ganteng banget!’             Oke mungkin debaran jantung Rachel yang tidak normal ini bukan hanya karena laki-laki ini ganteng, tapi juga ini akan jadi pertama kalinya dia mengajak laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali untuk berbicara lebih dulu. Dan yang lebih memalukkannya lagi, dia meminta dipesankan taksi, yang mana hal ini seharusnya sudah bisa dilakukan oleh siapapun, bahkan anak kelas 5 SD sekalipun.             “Gue boleh minta tolong buat dipesenin taksi nggak?”             Rasanya Rachel ingin merutuki dirinya yang barusan bertanya dengan suara sangat pelan, yang malah membuat laki-laki itu mendongak heran dengan menaikkan sebelah alisnya.             “Apa? Lo ngomong sama gue?” laki-laki itu sempat menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan kalau tidak ada orang lain yang bisa diajak bicara oleh Rachel selain dirinya disini.             Rachel menarik nafas panjang. “Gue boleh minta tolong, pesenin taksi?”             Alih-alih menjawab permintaan Rachel, laki-laki itu malah memandangi Rachel dari atas sampai bawah. Membuat Rachel menggeram kesal. Bukankah screening semacam ini sudah biasa dilakukan oleh laki-laki manapun setiap pertama kali bertemu cewek? Tapi tetap saja Rachel kesal. Karena entah kenapa, kelakuan laki-laki ini malah membuat detak jantung Rachel berpacu jauh lebih kencang lagi.             “Lo anak baru ya? Bukan pertukaran pelajar kan?” alih-alih menjawab permintaan Rachel, laki-laki itu malah mengulurkan tangannya disertai seulas senyum yang memamerkan kedua lesung pipinya. “Gue, Alvin.”             “Gue cuma mau minta tolong buat dipesenin taksi aja.”   Kalau dilihat dari auranya, sepertinya laki-laki ini bisa digolongkan kedalam laki-laki womanizer yang harus dijauhi. Maksud Rachel, terlalu ramah dan hobi tebar pesona dengan stranger membuat kedua lutut Rachel lemas. Bahkan, muka Alejandro yang memiliki keturunan langsung dari Australia saja masih kalah manis dari cowok ini.             “Gue baru kali ini liat lo disini. Kayaknya lo bukan maba, iya kan?” timpal Alvin, masih dengan tangan terulur.             “Kenapa lo yakin banget kalo gue bukan maba?” tanya Rachel.             “Soalnya…” laki-laki itu mengambil jeda sejenak, membuat Rachel tidak sabaran dan langsung menyela. “Apa? Soalnya muka gue muka tua, dan nggak pantes disebut maba gitu?”             Ucapan penuh sarkasme Rachel membuat Alvin tertawa renyah. Jenis tawa yang membuat pelakunya jadi terlihat lima kali lebih ganteng. Alvin menarik tangannya yang sejak tadi terulur. Pegal juga kelamaan meminta salaman, tapi yang diminta sama sekali tidak minat begitu.             “Bukan.” Mulut Alvin membuka dan menutup beberapa kali, seperti ingin bicara, tapi takut salah kata. “Karena gue ketua panitia Ospek. Walaupun gue nggak ngehafalin muka seluruh maba tahun ini, tapi gue yakin kalo gue nggak ngeliat muka lo dibarisan maba kemarin. Terus juga dari kalimat lo barusan yang lancar ngomong Bahasa, gue yakin lo bukan mahasiswa pertukaran pelajar kan? Meskipun muka lo agak kebule-bulean, tapi gue sih, yakin kalo lo bukan student exchange,”             Alvin sengaja memotong kalimatnya, untuk mengambil nafas sejenak. “Juga dengan muka lo yang super dahsyat cantiknya ini, nggak sulit bagi gue atau siapapun buat selalu inget muka lo. Dan gue yakin banget kalo selama dua tahun gue kuliah disini, ini pertama kali gue ketemu elo kan?”             Rachel memang sudah sangat sering dipuji soal bentuk fisiknya semacam itu. Tapi biasanya, kalimat pujian yang mengarah padanya selalu diikuti dengan keburukan dibelakangnya. Seperti, ‘Rachel cantik banget, tapi percuma kalo sombong dan belagu begitu. Mentang-mentang orang kaya.’ Dan berbagai kalimat buruk lainnya setelah kata ‘tapi’ yang selalu menyambung dengan kalimat pujian didepannya.             Namun kali ini, laki-laki ini terdengar memujinya dengan kalimat yang polos tanpa ada nada sinis sama sekali. Bahkan, pemilihan kata ‘super dahsyat cantiknya’ itu membuat Rachel semakin tersipu dan salah tingkah setengah mati. Saking cepatnya jantungnya bergerak, dadanya jadi terasa sesak dan membuatnya sedikit kesulitan bernafas.             Demi Tuhan, ini hanya kalimat bullshit sepele, Rachel!             “Dan gue juga inget banget kalo anak pertukaran pelajar nggak ada yang mukanya secantik elo. Lagian meskipun muka lo agak bule, tapi dari gaya bicara lo yang sarkasm tadi, gue yakin lo bukan anak pertukaran pelajar kan?” lanjutnya dengan senyum lebar.             “Jadi, lo mau bantuin gue atau enggak?” Setelah menarik nafas panjang beberapa kali untuk menormalkan kinerja jantungnya, Rachel berusaha memasang muka sedatar mungkin. Ia benar-benar ingin secepatnya pergi dari sini.             Sudah lama jantungnya tidak bereaksi sedahsyat ini ketika ia bertemu dengan laki-laki manapun. Kalau ia tidak salah ingat, terakhir kali jantungnya berpacu sekeras ini adalah ketika hubungannya dengan mantannya masih baik-baik saja, sekitar satu setengah tahun yang lalu.             “Lo minta tolong ke gue, tapi gue nggak boleh tau nama lo?” Alvin berdecak kesal, dengan kedua alis yang tertaut.             “Oke, kalo nggak mau nolongin. No probs. Gue minta tolong yang lain aja.”             Menit berikutnya, Rachel langsung merutuki tindakan implusifnya barusan yang malah langsung menolak dan berdiri dari kursi, bersiap meninggalkan laki-laki itu. Padahal, apa salahnya hanya menyebutkan sepotong namanya, kemudian cowok ini akan membantunya memesankan taksi. Lalu ia bisa pulang secepat mungkin? Toh ini hanya nama kan, bukan id Line atau nomor w******p.             Karena sudah terlanjur bertindak bodoh, Rachel terpaksa tetap melangkahkan kakinya menuju lobi dengan muka terangkat keatas penuh keangkuhan. Ah, lebih tepatnya, ia berusaha seangkuh mungkin untuk menutupi tindakan bodohnya barusan.             “Oke, gue bantuin!” teriakan dibelakangnya membuat langkah Rachel otomatis terhenti.             Alvin setengah berlari dan berdiri dihadapan Rachel. Tangannya sudah menggenggam ponsel, bersiap memesankan taksi.             “Lo mau taksi atau ojek?”             “Taksi aja.”             “Serius lo nggak punya aplikasi gojek, uber atau grab gitu? Presiden aja punya aplikasinya loh!” Alvin menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Lo hidup di belahan dunia mana sih, selama ini?’             Rachel hanya diam, malas menjawab. Lagipula, saat ini Rachel lebih sibuk mengatur detak jantungnya agar tidak ugal-ugalan begini. Jarak keduanya yang cukup dekat, membuat Rachel bisa menghirup aroma parfum laki-laki ini. Dan tentu saja aroma parfum maskulin langsung merasuki penciumannya, dan membuat Alvin jadi terlihat lima kali lebih ganteng dari saat pertama kali ia lihat beberapa menit lalu.             “Tujuan lo kemana?” tanya Alvin, bersiap memasukkan alamat ke kolom destination.             “Branz BSD.”             Kepala Alvin terangkat dengan mulut yang setengah terbuka, tanpa suara. Ia menatap cewek didepannya dengan pandangan tidak percaya. Berkali-kali Alvin meyakinkan diri kalau pendengarannya tidak salah, dan masih berfungsi dengan baik. Kemudian, ia kembali menelusuri penampilan Rachel dari atas sampai bawah, untuk yang kesekian kalinya.             “Bisa agak cepet nggak? Atau gue minta tolong yang lain aja?” ia berusaha memotong pandangan Alvin yang terpaku kearahnya dengan sedikit takjub, yang sialnya itu membuat Rachel salah tingkah.             “Lo serius tinggal di Branz?!” Sepasang bola mata Alvin berbinar.             “Bisa langsung pesenin aja, nggak usah nanya-nanya?”             “Bukan gitu! Maksud gue, kalo lo beneran mau ke Branz, bareng gue aja. Apartemen gue juga disitu!” kini Alvin malah mengantongi ponselnya, tidak jadi memesankan taksi. “Kalo sama gue gratis, lho. Sumpah gue anaknya nggak suka pamrih dan ikhlas banget kok kalo ditebengin. Apalagi kita satu apartemen. Gue ikhlas deh, kalo lo mint ague anterin sampe depan unit lo.”             “Nope.” Rachel memutar bola matanya kesal, kemudian langsung berjalan ke lobi utama, dan kembali mengedarkan pandangan kesekeliling, berharap ada orang bermuka baik yang mau menolongnya.             Benar kan apa katanya, cowok ini adalah tipe womanizer parah yang harus dia hindari. Mulutnya manis banget, dan sangat bahaya untuk hati Rachel yang sedang rapuh seperti sekarang.             “Rachel!” dari belakangnya tiga orang cewek berdiri dengan melempar senyum lebar.             Untungnya Rachel langsung bisa mengenali ketiga cewek itu yang notabene-nya adalah teman sekelas Rachel. Tapi, ia hanya mengingat bentuk mukanya saja, dan tidak menghafal namanya satu persatu.             “Hai, Chel! Masih disini aja ternyata.”             “Iya. Gue kira lo udah balik dari tadi.” Rachel hanya mengulas senyum tipis untuk menjawab sapaan teman-teman sekelasnya itu. Tadi sebelum kelas dimulai, Rachel memang diajak ngobrol dengan mereka semua ini. Ya meskipun dia banyak diam, tapi menurutnya mereka ini cukup ramah dan menyenangkan. Hanya Rachel saja yang belum bisa menyesuaikan diri dengan bercandaan mereka.             Yang membuat Rachel merasa tidak enak adalah, mereka sangat sering mengajaknya hangout sepulang kuliah, dan selalu Rachel tolak dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak masuk akal. Tapi teman-temannya tetap biasa saja, dan tidak pantang menyerah untuk selalu mengajaknya hangout. Termasuk tadi pagi, dan Rachel lagi-lagi menolak. Makanya ketika dia bertemu teman-temannya disini, dia kembali merasa tidak enak, karena tadi dia bilang harus cepat pulang karena ada urusan penting.             “Kalian berdua saling kenal?” tanya cewek ketiga yang sejak tadi hanya diam, belum menyapa Rachel. Ia menatap Alvin dan Rachel bergantian. Alih-alih menanyakan kenapa Rachel belum pulang juga, padahal tadi dia bilang ada urusan penting setelah kuliah, teman-temannya malah lebih curiga dengan keberadaan Alvin didekat Rachel, dan dari kejauhan tadi mereka juga sempat melihat keduanya ngobrol.             Alvin mengabaikan pertanyaan itu, dan malah cengengesan kesenengan karena mengetahui nama cewek ini, juga fakta bahwa Rachel mengenal teman-teman dekatnya juga. Hal ini membuat Alvin semakin yakin kalau Tuhan memang sengaja menciptakan kebetulan ini untuk memudahkannya mendekati Rachel.             “Nggak kok.” Jawab Rachel cepat. “Gue udah mau balik. Tapi supir gue masih kena macet. Jadi mau balik naik taksi aja.”             Salah satu cewek yang rambutnya paling panjang diantara ketiga cewek itu menatap Alvin heran. “Lo ngapain, Vin, disini?”             Sebagai balasannya Alvin tertawa. “Ya menurut lo aja, gue ngapain?”             “Urusan yang gini-gini aja gercep amat ya, Pak!” cewek itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya tanpa perlu diucapkan dengan gamblang, mereka juga sudah tau gelagat Alvin yang tengah berusaha mendekati Rachel.             “Udah-udah sono kalian cabut aja! Ganggu aja lo pada!” usir Alvin.             “Lo ati-ati aja ya, Chel sama dia. Ntar kalo dia mulai aneh-aneh dan nyebelin, bilangin aja ke kita-kita ya!” pesan si cewek yang satu lagi.             “Kita duluan ya, Chel!” setelahnya mereka bertiga berjalan beriringan menuju tempat parkir.             “Eh, tunggu dong!” buru-buru Rachel mencegah kepergian teman-temannya.             Ketiganya menatap Rachel bingung. “Gue boleh minta tolong dipesenin taksi?”             Raut muka teman-teman Rachel kini berubah semakin heran dengan kerutan di dahi mereka, lalu menatap Alvin penuh tanya. “Kok jadi mau naik taksi? Gue kira lo bakal dianterin Alvin.”             “Emang mau gue anterin! Tadi kan gue udah bilang mau anterin elo, Rachel!” seloroh Alvin sebelum Rachel mengeluarkan kata-kata dan sengaja menekankan nama Rachel sambil menyengir lebar.             “Enggak ih. Gue mau naik taksi aja. Tadinya mau minta tolong dia buat pesenin. Tapi dia pelit banget nggak mau. Jadi gue boleh minta—“             “Bukannya pelit astagaaa… Gue kan bilang, bareng gue aja! Gratis, dan lebih aman. Mobil gue dijamin wangi dan supirnya ganteng juga. Kalo naik taksi kan, mobilnya biasa aja. kursinya keras. Belum kalo mobilnya bau, dan supirnya om-om perut buncit yang bau nafas?” sela Alvin.             Teman-teman sekelas Rachel itu tertawa keras. “Emang bisaan banget lo ya, Vin, kalo ngerayu cewek!”             “Tuh, omongan Alvin ada benernya juga kok, Chel. Jadi lo bareng Alvin aja ya.” Ucap salah satu dari mereka yang rambutnya paling panjang dan selama ini paling baik pada Rachel. Sayangnya Rachel benar-benar lupa siapa namanya.             Kemudian cewek itu berpaling pada Alvin. “Anterin balik sampe apartemen beneran lho. Vin! Jangan lo ajak mangkir kemana-mana. Awas jangan sampe lecet!”             “Yaudah kita balik duluan ya!”               Rachel hanya tersenyum tipis, melihat kepergian teman-temannya. Lalu begitu teman-temannya menghilang, ia langsung memasang muka datarnya.             “Mereka temen sekelas lo?” tanya Alvin retoris. “Berarti lo anak accounting dong? Semester 5? Bener kan kata gue. Lo bukan maba. Tapi anak baru lintas semester.”             Alih-alih menjawab ucapan Alvin, Rachel memilih kembali menekan nomor Budi dan meneleponnya.             “Masih lama nggak, Pak?”             “Sebentar lagi, Non. Non masih di kampus?”             “Iya, Pak. Rachel udah nunggu lama banget nih. Mana pake digangguin sama orang jahat, lagi! Agak dicepetin ya pak!”             Merasa kalau ucapan Rachel ditujukan padanya, bola mata Alvin membulat tajam. “Really? Lo ngatain gue jahat?! Mana ada orang jahat seganteng gue?!”             Namun Rachel tidak menghiraukan Alvin, dan kembali mendengarkan ucapan Budi yang cemas. “Waduh Non, maafin saya. Non duduk didekat satpam aja. Biar nggak digangguin orang jahat. Saya secepatnya kesana Non.”             Begitu Budi menyelesaikan kalimatnya, Rachel langsung menutup telepon sepihak.             “Supir lo? Udah dibilang bareng gue aja! Gue bakal anterin lo dengan selamat sampe kedepan pintu unit lo!” ucap Alvin yang masih berjuang meyakinkan Rachel.             Rachel masih diam. Pandangannya kembali pada layar ponselnya dan membaca beberapa pesan yang masuk. Ada beberapa pesan dari Daris dan juga beberapa dari Mamanya. Rachel tidak mengerti kenapa Mamanya selalu konsisten mengiriminya pesan setiap hari, padahal Rachel tidak pernah membalasnya sekalipun.             “Kenapa sih, lo ngeliat gue kayak gue maling ayam tetangga? Lo bisa tanya Selin atau Laura bagaimana kerennya reputasi gue, dan nggak pernah jahat sama siapapun. Catetan kriminal gue kosong.”             Ucapan Alvin barusan membuat Rachel teringat kalau cewek yang berambut panjang tadi bernama Selin, sedangkan yang berambut sebahu adalah Laura, dan yang satu lagi yang memakai anting-anting panjang dan sneakers full color, Rachel masih belum ingat siapa.             “Oh iya, by the way, apartemen lo yang tower mana?” tanya Alvin. “Gue yang west tower. Moga aja kita satu tower sih. Tapi kalo beda tower, gue rela kok, jalan ke tower lo buat anter jemput.”             Sekuat tenaga, Rachel berusaha untuk menutupi keterkejutannya mendengar ucapan Alvin. Bagaimana mungkin laki-laki menyebalkan ini bisa satu tower dengan dirinya? Ia pikir memilih apartemen yang agak jauh dari kampus membuat dirinya tidak perlu repot-repot bertemu teman sekampusnya dalam satu tower yang sama. Tapi, nyatanya kemungkinan yang sangat kecil itu malah terjadi. Untung saja, selama ini ia tidak pernah bertemu dengan laki-laki itu di apartemen. Sepertinya mulai sekarang ia harus semakin mengurangi intensitasnya berada disekitaran apartemen, untuk mengantisipasi pertemuannya dengan laki-laki ini di apartemen.             Alvin memang ganteng. Tapi tujuannya ke Jakarta bukan untuk ini. Sebisa mungkin, ia kembali mensugesti otaknya untuk melupakan pikiran aneh-aneh soal cowok didepannya ini, yang tadi sempat terlintas dipikirannya.             Sialnya, laki-laki disebelahnya ini sangat sulit ditolak pesonanya. Mau sekuat apapun Rachel berusaha memalingkan mukanya dari cowok ini, ekor matanya tetap tidak bisa berhenti mencuri-curi pandang kearahnya. s**t.             Selama ini, tidak terhitung berapa ratus laki-laki ganteng yang sudah ia temui. Baik di Bali, Singapura, ataupun daerah lain. Tapi entah kenapa, Rachel tidak pernah merasakan setegang ini, ketika ada laki-laki yang mengajaknya ngobrol begini. Juga tidak pernah langsung terpesona pada laki-laki manapun hanya dalam hitungan menit begini.             Atau jangan-jangan, laki-laki dihadapannya ini memakai susuk, pelet, atau sejenisnya?             “Muka lo kenapa kaget gitu sih? Nggak nyangka ya, bisa satu apartemen sama cowok ganteng?” Alvin melebarkan senyumnya. “Sama sih, gue juga nggak nyangka bisa satu apartemen sama lo.”             “Sesama tetangga apartemen nih, kita bisa jadi temen kan? Siapa tahu lo butuh bantuan gue buat angkat galon ke dispenser.” Ujarnya lagi.             “Atau jangan-jangan, lo kuat angkat galon ke dispenser sendiri? Wah, gila sih. Dari dulu gue selalu kagum dan naksir banget sama cewek yang mandiri dan kuat begini.”             “Diem deh!”             “Diem? Susah sih, biasanya gue kalo diem pas lagi tidur atau makan doang. Lo mau ngajak gue makan siang bareng sekalian? Boleh banget! Didepan sana ada Soto Betawi enak banget langganan gue.” sahut Alvin santai.             Baiklah, sepertinya Rachel tahu alasannya kenapa dia langsung terpesona dengan laki-laki ini. Sekarang dia percaya kalau Alvin tidak memakai susuk, pelet, atau apapun itu namanya. Tapi, tatapan innocent dan ketulusan yang Alvin pancarkan langsung menembus relung hati Rachel, dan berhasil meluluhkan pertahanan hati Rachel.             Diantara ratusan laki-laki ganteng yang sudah Rachel temui, sepertinya memang hanya Alvin yang mengajaknya ngobrol dengan sederhana yang santai seperti ini. Meskipun terdengar receh dan cerewet banget, tapi entah kenapa malah membuat Rachel jadi semakin penasaran dengan kalimat apa saja yang akan keluar selanjutnya.             s**t. Sepertinya pikiran Rachel sudah mulai menjalar sampai kemana-mana. Rachel langsung menghela nafas kasar, dan berusaha menghapus segala macam pemikirannya itu.             “Atau lo lebih suka bakso dari pada soto? Gue tuh heran deh sama orang yang nggak suka Soto Betawi. Padahal enak banget lho!” lanjut Alvin tanpa peduli Rachel akan menanggapinya atau tidak. “Saking enaknya nih, gue udah langganan sama warung Soto Betawi yang diujung pengkolan situ, deket lampu merah. Coba aja lo kalo kesana, bilang, kalo lo temennya Alvin artis ganteng. Dijamin penjualnya langsung paham, dan lo bakal dapet es teh gratis!”             “Lo bisa diem nggak sih?!” hanya satu kalimat itu yang berhasil keluar dari mulut Rachel. Otaknya mulai membeku dan tidak bisa berpikir ketika melihat raut muka Alvin yang penuh kekecewaan dan terlihat cukup menggemaskan.   Dengan gerakan secepat mungkin, Rachel langsung meninggalkan Alvin ketika ekor matanya sudah menangkap mobil Budi memasuki lobi utama.             Berkali-kali hatinya merapalkan kalimat pusaka.             ‘Jangan jatuh cinta, Chel!’             ‘Jangan jatuh cinta. Chel!’             ‘Rachel, jangan jatuh cinta!’             Tanpa disadarinya, itu malah menjadi boomerang untuknya sehingga ia malah semakin terperosok masuk kedalamnya.   tbh~  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Long Road

read
118.3K
bc

Rewind Our Time

read
161.2K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
15.6K
bc

RAHIM KONTRAK

read
418.2K
bc

LARA CINTAKU

read
1.5M
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook