bc

Pernikahan Kedua

book_age16+
3.8K
FOLLOW
38.2K
READ
forbidden
age gap
goodgirl
drama
sweet
bxg
campus
office/work place
love at the first sight
passionate
like
intro-logo
Blurb

"Risa, menikahlah dengan saya."

Kepala Risa terangkat naik, namun setelahnya dibuat membeku di tempat. Kedua matanya melebar tidak percaya, dengan apa yang baru saja ia dengar dan dikatakan pria di hadapannya itu.

"Menikahlah dengan saya, Risa. Menikahlah dengan saya supaya omongan-omongan miring itu nggak terarah sama kamu lagi. Menikahlah dengan saya supaya saya tetap bisa menjaga kamu, bukan sebagai seseorang yang saya anggap sebagai anak saya sendiri, tapi sebagai pendamping hidup yang memang saya inginkan.” Ucap Divan tulus.

Risa, 19 Tahun adalah mahasiswi Psikologi yang menginjak tahun kedua di universitasnya. Wanita sederhana berhijab itu tidak menyangka kalau pertemuannya dengan seorang laki-laki berstatus duda dengan dua anak berusia 42 Tahun benar-benar menjadi titik balik untuk kehidupannya yang semula datar-datar saja.

Risa jatuh cinta, Risa merasakan perasaan itu pada seorang pria bernama Divan yang hampir seusia dengan kedua orangtuanya. Perbedaan status, usia, sosial, dan pandangan masyarakat pada perasaan mereka berdua jelas menjadi hal terberat untuk mereka lewati. Lantas bagaimana akhir dari kisah mereka? Akankah menemukan akhir yang bahagia?

chap-preview
Free preview
1. Hampir Saja
Jam di atas dashbord mobil sudah menunjukan pukul 22.30 malam, lumayan larut untuk seorang yang hanya pulang dari kantor karena lupa dengan waktu. Bukan karena terlalu sibuk, tapi karena dia memang selalu bisa larut dengan apa yang dirinya kerjakan. Hingga dia sendiri lupa, bahwa tubuhnya butuh diistirahatkan, lupa bahwa ada orang-orang yang menunggunya di rumah, lupa dengan kewajiban utamanya sebagai orang tua tunggal yang harus tetap memperhatikan kedua anaknya meski dengan kesibukan pekerjaan di luar sana sekalipun. Nama pria dewasa yang sedang mengemudikan audy hitamnya itu adalah Divan Kartanegara, pria berusia 42 tahun yang memiliki dua orang anak laki-laki berusia 17 dan 13 tahun. Pria yang harus menjadi orang tua tunggal karena perceraiannya dengan sang mantan istri saat usia pernikahan mereka justru di mata banyak orang sudah melewati "fase aman". Namun pada akhirnya dalam hal ini, Divan harus mengakui, bahwa pernikahan memang tidak semudah apa yang dibicarakan atau digosipkan banyak orang. Bahkan ketika Divan merasa sudah sangat tahu wanita yang hidup bersamanya lebih dari 20 tahun itu pun ternyata bisa berubah dan tidak lagi bisa mengarungi jalan hidup bersama. Meski banyak orang mengira perbedaan prinsip itu alasan klise bagi pasangan yang bercerai, nyatanya dalam pernikahan yang Divan jalani hal itu benar-benar sebuah batu besar yang tidak bisa ia lewati selain dengan cara menghancurkannya.Maka hancurlah hubungan itu, sebagai konsekuensi agar hidupnya beserta kedua anak-anaknya tetap berjalan ke depan, bukan berdiri di tempat lantas meratapi nasib masing-masing. Benak pria itu masih berkelana kesana-kemari. Dalam kesunyian malam yang selalu mengurungnya sejak perceraian dengan mantan istrinya 2 tahun lalu. Saat fokus terhadap kemudinya hilang beberapa detik karena mencari ponselnya yang entah di mana, Divan disadarkan dengan hadirnya seseorang yang tengah berjongkok di jalan pada malam yang larut. Cepat-cepat Divan menginjak pedal rem audy hitam yang dikemudikannya, berusaha untuk menghindari tabrakan dengan siapa pun di luar sana itu. Decitan roda mobil dengan aspal yang menyebabkan gesekan kuat membuat seseorang yang berjongkok itu seketika memejamkan mata dengan rasa takut yang mencekamnya. Sementara Divan di balik kemudi pun melakukan hal yang sama sambil memegang erat-erat kemudi yang ada dalam kendalinya. Mata pria itu terpejam refleks, degup jantungnya sudah berpacu menggila. Pria itu takut, takut usahanya untuk menghentikan mobil yang masih berusaha berhenti tidak berhasil dan tetap melukai sosok yang ada di luar sana. Hingga beberapa detik setelahnya, ketika Divan merasa mobilnya sudah berhenti, pria itu memberanikan diri membuka mata, memastikan sekitar lantas memutuskan keluar dari audy hitam itu tergesa. Harusnya tidak apa-apa, harusnya tidak terjadi apa-apa karena Divan tidak merasakan benturan dengan benda lain yang ada di luar mobil. Langkah Divan membawa tubuh gagah pria itu mendapati seseorang yang tengah berjongkok di depan mobilnya menunduk dan menutup mata dengan tubuh yang tegang. Masih bertahan seperti itu untuk beberapa detik selanjutnya hingga Divan mengeluarkan suara bertanya. "Kamu baik-baik aja?" tanya Divan cemas sekaligus takut. Barang kali saja, di mata Divan sosok itu memang terlihat tidak apa-apa, tapi siapa yang tahu. Itu kenapa Divan memastikannya. Sosok itu akhirnya bergerak dari posisinya, ragu-ragu membuka mata, mengamati apa yang bisa sepasang matanya jangkau masih dalam posisi yang sama, hingga ia memberanikan diri untuk mendongak pada arah sumber suara. Seorang gadis. Gadis muda dengan tatapan jenaka yang kini sedang menatap Divan seksama, lantas menyandra sepasang mata Divan untuk bertahan mendalami mata itu dalam beberapa detik yang terlewat, saat itu, meski dalam pencahayaan yang minim. Gadis itu kemudian berusaha berdiri, setelah sebelumnya sibuk memunguti beberapa kertas yang berserakan di sekelilingnya dan ringisan cemas dan malu. "Ma-maaf, Pak. S-saya benar-benar minta maaf. Saya nggak lihat-lihat dulu tadi karena refleks dengan kertas tugas saya terbang nggak tahu kenapa. Maafin saya ya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf." Ujar gadis itu berulang, dengan raut bersalah yang sangat kentara. Divan masih diam beberapa detik setelah gadis itu menyelesaikan kalimatnya, hingga dia kembali dari keterpakuan dan menghadapi gadis yang kini ada di hadapannya itu tenang. "Nggak, saya juga yang salah karena nggak fokus nyetir tadi. Kamu serius nggak apa-apa?" tanya Divan sekali lagi. Gadis itu refleks tersenyum lega, lega karena rupanya si pengemudi yang hampir menabraknya itu tidak lantas memaki-maki dirinya karena tidak hati-hati. "Nggak apa-apa kok, Pak. saya baik-baik aja. Sekali lagi saya minta maaf karena hampir bikin kita celaka." Ucap gadis itu masih dengan ringisannya, yang coba dia kemas dengan senyum. Senyum yang tanpa sadar membuat sepasang mata Divan enggan berpaling dari wajah gadis itu untuk beberapa detik yang terlewat. "Kamu mau kemana?" ujar Divan memecah suasana yang sempat hening. "Eh?" "Ah maaf, bukannya saya mau ikut campur atau apa, tapi ini udah malam, jadi—" kalimat Divan menggantung, bingung, entah bagaimana cara menyampaikannya kalau dirinya sedikit-banyak khawatir mengenai gadis di hadapannya itu. Hari sudah semakin larut, terlebih tempat mereka berada saat ini tergolong kawasan sepi. Gadis itu memeluk kumpulan kertas dalam dekapannya semakin erat, jemarinya terlihat bergerak gelisah di antara ujung-ujung kertas itu. "Eum.. Saya mau pulang, dan ini lagi tunggu taksi online sebenarnya," kata gadis itu nyaris berbisik. Tatapan Divan liar berkeliling ke sekitarnya, memang ada beberapa kendaraan yang melewati jalanan itu, tapi tidak terlalu banyak, dan setahu Divan jalanan itu memang jarang dilewati taksi, kecuali taksi pesanan tentunya, seperti yang gadis itu bilang. Pandangan Divan kembali pada gadis itu, yang sepertinya sempat memperhatikan Divan dan mengikuti arah pandang pria dewasa di hadapannya. Tatapan keduanya sempat bertemu, hanya beberapa detik sebelum akhirnya dipecah oleh gadis itu yang memilih mengalihkan matanya dan menunduk. "Kamu sudah pesan taksi-nya? Yakin?" Gadis itu mengangkat tatapannya kembali dan menatap Divan dengan kening berkerut, perlahan kepalanya menggeleng ragu. "Sebenarnya belum, Pak. Maksud saya sejak tadi saya sudah coba tapi mereka menolak karena jaraknya jauh untuk menjemput ke sini.” “Begitu... Terus kamu mau bagaimana?” “Tetap akan saya coba, sampai ada yang mau mengantar saya, mungkin.” Suara gadis itu terdengar tidak yakin, lalu melirik ponselnya yang sudah memberikan peringatan kalau daya ponselnya melemah. "Kalau seperti ini kamu nggak akan pulang-pulang. Nggak ada kepastian apa ada taksi online yang mau jemput kamu atau nggak. Dan di sini juga jarang lewat taksi konvensional, dan memang harus memesan dulu sebelumnya seperti yang kamu bilang." Sepasang mata gadis itu melebar mendengar ucapan pria di hadapannya. Terlihat dari pergerakan kecil gadis itu yang terlihat cemas dan gelisah. Dia juga sepertinya tidak menduga situasinya akan menjadi seperti ini. "Sebenarnya kamu dari mana? Dan mau pulang kemana? Biar saya antar." Divan ahkhirnya mengeluarkan tawaran itu tanpa maksud apa-apa selain menolong. Pasalnya gadis muda di hadapannya saat ini mengingatkan Divan pada kedua anaknya di rumah, meski Divan tidak memiliki seorang putri, melainkan hanya dua orang putra, tapi Divan bisa memahami perasaan orang tua, apalagi orang tua gadis ini yang pasti sangat khawatir menunggu putrinya pulang dengan selamat. "Eh? Nggak usah, Pak. Benar-benar nggak usah. Anu.. Saya akan tetap coba panggil taksi aja sampai—" “Sampai baterai ponsel kamu habis dan kamu benar-benar nggak bisa pulang?” Gadis itu kembali diam, tidak bisa merespon apa yang diucapkan pria di hadapannya. Sebab bagaimanapun apa yang dikatakan pria ini benar, terlebih ketika gadis itu menoleh pada ponselnya, yang tertera di sana hanya peringatan daya baterai yang melemah dan hampir mati. Sebenarnya gadis itu bisa mengenali kalau pria di hadapannya itu adalah salah satu artis ibu kota yang sering berseliweran di televisi meski gadis itu tidak bisa mengingat siapa namanya. Tapi hal itu bukan berarti dapat membuatnya bisa begitu saja ikut ajakan orang asing yang benar-benar tidak dikenalnya secara personal, kan? Bukannya berburuk sangka, tapi gadis itu patut tetap waspada, karena tidak banyak orang-orang yang benar-benar bisa langsung di percaya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook