bc

SELECTION

book_age16+
384
FOLLOW
3.1K
READ
others
drama
tragedy
comedy
sweet
mystery
like
intro-logo
Blurb

Clarisa itu cantik, kaya, dan banyak penggemarnya. Namun tetap saja tidak ada yang diciptakan sempurna di dunia ini, selalu saja ada kurangnya. Hidupnya terlalu monoton hingga Langit—pemuda yang ia elu-elukan terus menolak kehadirannya tanpa suatu alasan yang jelas.

Sehingga dalam waktu dekat, kemudian satu-satu permasalahan hidup semakin memporak-porandakan pertahanannya yang telah lama hancur. Dirinya yang lagi-lagi dipaksa untuk mengiklaskan dikarenakan perpisahan dengan lancangnya merenggut akal sehatnya yang tersisa.

Athala Cleo Putra, pemuda berengsek yang pada akhirnya malah mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Lantas perpisahan macam apa yang Clarisa alami ini? Mari buka lembar pertama untuk mengetahui bagaimana akhir cerita mereka bertiga.

chap-preview
Free preview
Arrogant
Di SMA Kencana mana ada yang tidak kenal dengan sosok perempuan berwajah dingin bernama Clarisa Prisila, anak kelas dua belas jurusan Bahasa. Wajahnya yang bule menjadi daya tarik sendiri hingga banyak orang yang menyukainya. Meski begitu, Clarisa sosok gadis yang tak tersentuh. Makanya dia memiliki banyak penggemar rahasia. Clarisa itu gadis yang tidak suka banyak basa-basi, tidak suka jika urusannya dicampuri oleh orang lain, tidak suka diganggu dan tidak suka dipandang rendah. Bagi gadis itu, dipandang rendah atau dikasihani orang lain membuat harga dirinya merosot detik itu. Dan dia sama sekali tidak menyukai itu. Tapi semuanya tak akan berlaku saat dia berhadapan dengan Langit Bagaskara anak IPS 5, cowok b******k yang tidak pekaan. Gadis yang selalu terlihat angkuh itu akan lembek saat berada di depan Langit seolah semua latihan bela diri yang ia pelajari selama ini tak berarti baginya. Sebucin itu memang si Clarisa. Sudah menjadi rahasia umum kalau Clarisa yang sering diidam-idamkan kaum adam untuk menjadi kekasihnya itu menyukai Langit. Bahkan mereka berdua kenal sejak SMP, terhitung sudah lama sekali Clarisa berjuang namun tak kunjung mendapatkan balasan. Segitu tidak pekanya cowok itu. Tapi bukan Clarisa namanya kalau menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan, lagian tanggung juga. Dari SMP dia berjuang sampai saat ini tak mungkin dia menyerah begitu saja, haram hukumnya. Karena setau Clarisa, Langit tak merasa terganggu karena kehadiran dirinya. Jadi dia enjoy saja. Sebab ada satu hal yang selalu ditekankan oleh gadis itu pada dirinya sendiri, kalau Langit bilang dia risih setiap dekat dirinya, tanpa ditunggu dia akan mundur begitu saja. Baginya, hidup jangan terlalu kaku, frontal saja, kalau gak suka bilang langsung, biar dia mundur. Tapi kalau cowoknya biasa saja jadi jangan salahkan Clarisa yang akan terus berada di sampingnya. Satu hal lagi, Clarisa sebenarnya tak mempunyai teman. Bukan karena tak ada yang ingin berteman dengannya hanya saja gadis itu memang tak membutuhkannya untuk saat ini. Tapi berbanding terbalik dengan keinginannya saat satu gadis berambut pendek itu terus mengikutinya ke mana-mana sampai mereka berdua menjadi sangat dekat hingga sekarang. Panggil dia Maya, cewek yang sangat tertarik untuk berteman dengan seorang Clarisa yang cuek bebek. Tak ada alasan lain untuk berteman dengan Clarisa menurut Maya. Karena yang Maya tau hidup Clarisa itu monoton nggak ada bagus-bagusnya sama sekali, meski begitu ia tetap ingin berteman. Toh nggak ada salahnya juga, ‘kan? Tapi dia tidak menyangka kalau Clarisa mau berteman dengan dirinya, sejak kelas dua SMA mereka mulai dekat dan sampai sekarang. Bagi Clarisa berteman dengan satu manusia tidak membuatnya rugi, selagi nyaman pertahankan. Kalau sudah tidak berguna ya banting saja kelautan. Opininya tersebut bahkan disetujui oleh Maya, mereka berdua memang satu frekuensi. “Muka lo jelek banget, May. Nggak ada aestetiknya sama sekali. Oplas ajalah!” hardik Clarisa tanpa ekspresi setelah memberikan ponsel ditangannya itu pada pemiliknya. Ceritanya Maya minta fotoin sama Clarisa. Maya melihat hasil jepretan Clarisa, mengabaikan hujatan yang dilayangkan gadis itu pada dirinya sebentar sebelum mulutnya juga ikut bersuara. “Tangan lo keknya cacat deh, Ris. Megang ponsel mahal aja alergi!” Untuk urusan hujat-menghujat mereka pemenangnya. Tidak akan ada yang sakit hati diantara mereka karena sudah pada kebal dan mereka tidak bisa menyangkalnya karena hal kecil inilah mereka bisa akrab. “Udah ah mau balik, gerah gue di sini,” ujar Clarisa seraya mencepol rambutnya asal menggunakan ikat rambut yang selalu berada di pergelangan tangan kananya. “Heran gue sama yang punya tempat, gada niatan pasang AC kah? Miskin banget!” Clarisa belum puas mengomel ternyata, Maya hanya diam sambil menggelengkan kepala. Lagian mana mungkin taman kota dipasangi AC, memang dasar otak Clarisanya saja yang terlalu sempit untuk berpikir. Memangnya mau dipasang di mana itu AC, di bawah tanah? “Makan sushi yok,” ajak Maya. “Ogah ah, males gue. Cap—“ “Gue ada yogurt nih tiga kotak, sayang dibuang, mubadzir.” “Lo yang nyetir.” Maya terkekeh, tak membutuhkan waktu lama untuk mereka saling kenal. Mereka berdua sudah saling tau sifat dan sikap masing-masing. Termasuk Maya, dia sudah hapal di luar kepala tentang kebiasaan Clarisa, makanan yang disuka, kelemahannya apa dan masih banyak lagi. Begitu pula sebaliknya, meski sering terkesan tidak peduli dengan lingkungan sekitar gadis itu juga tau betapa bodohnya Maya. “Langit ganteng banget sumpah!” seru Clarisa heboh setelah melihat postingan ** cowok itu di ponselnya. Seperti biasa hanya pada Maya dan Langit gadis itu bisa menampilkan ekspresi seperti itu. Saat ini mereka sudah berada didalam mobil Clarisa dengan Maya yang menyopir, kebiasaan Clarisa yang malas sekali membawa kendaraannya sendiri. “Segitu bucinnya lo sama bocah blangsak kek dia,” kata Maya yang terkesan cetus, Clarisa menoleh, “dia gak begitu aslinya. Lo sama kek yang lain nilai orang dari depan doang!” “Cih! Lagian lo masih aja ngejar cowok yang suka gonta-ganti cewek kek Langit. Kek gada lagi gitu cowok yang lebih baik dari dia.” Setelah itu Maya mencibir. Sebenarnya bukan maksud dia mematahkan semangat juang Clarisa, hanya saja dirinya tak tega melihat sahabatnya itu terus jatuh ke lubang yang sama. Hal ini bukan terjadi satu atau dua kali, bahkan berkali-kali. “Gak peduli gue sama kebiasaannya, karena gue suka orangnya bukan kelakuannya,” jawab Clarisa masih saja tetap tersenyum sambil melihat postingan oknum yang sedang dighibahin. “Kalau lo mundur gue orang pertama yang bakalan ngetawain lo sepanjang koridor,” tantang Maya. “Siapa takut.” “Sipi tikit,” cibir Maya. Clarisa mengabaikan, cewek bule itu masih enggan keluar dari lapak sang pujaan. Semua postingan Langit yang berjumlah ribuan itu dia like. Memang ya kalau orang udah bucin akut, susah buat diobatin. Mereka berdua sudah sampai di restoran sushi, Maya tengah memarkirkan mobil sedangkan Clarisa memutuskan menunggu di samping pintu masuk. Gadis itu menendang angin karena Maya lama sekali, dia mulai bosan. Saat mendongak tanpa sengaja mata gadis itu menangkap sosok Langit yang tengah bergandengan mesra dengan seorang gadis sedang menuju ke tempatnya saat ini. Clarisa tak bisa menyangkal sakit dihatinya saat Langit bersama perempuan lain. Tapi apa boleh buat, dia bukan siapa-siapa yang berhak melarang pria itu untuk melakukan apapun yang dia mau. Clarisa cukup sadar diri dengan posisinya yang bisa dikatakan seorang fans yang tidak diketahui idolanya apakah dia hidup atau tidak di dunia ini. “Eh Clarisa! Lo ngapain?” tanya Langit saat menyadari kehadiran gadis itu, lagi pula posisi Clarisa lebih dari kata strategis untuk dilihat orang yang ingin masuk ke dalam restoran. "Ngamen, Bwang." “Mau makan nih,” sahutnya berusaha sekalem mungkin di depan sang pujaan. Senyum yang ditampilkan Clarisa sangat langka, dan Langit salah satu penikmatnya meski dia terlihat biasa saja. “Pasti sama maya, 'kan?” Tebakan Langit langsung diangguki oleh Clarisa. “Dia siapa, Sayang?” tanya gadis di samping Langit manja, Clarisa yang melihat langsung mengubah ekspresinya sedatar mungkin. “Calon istrinya.” “Temenku di sekolah. Yaudah, Sa, gue tinggal masuk ke dalam ya.” Lagi-lagi Clarisa mengangguk. Bertepatan perginya Langit, Maya tiba dan langsung masuk begitu saja membuat Clarisa gemas menarik ujung rambutnya. Salahkan Maya. “Anj!” umpat Maya seraya melepas tangan Clarisa dari kepalanya. *** Clarisa datang ke dojo dengan perasaan dongkol, seharusnya dia menarik paksa Maya untuk pulang dari tempat j*****m itu karena matanya sudah ternodai dengan adegan uwu yang diciptakan oleh Langit dengan ceweknya. Lambungnya terasa bergejolak seperti ingin mengeluarkan lahar yang akan ia siram tepat kewajah perempuan sok cantik di depannya saking kesalnya dia. Bukannya ditenangin Maya semakin menjadi meledeknya, dia bilang, “nasib percintaan lo buruk banget, kek muka lo.” Memang setan si Maya, tuh cewek belum pernah kena triple bogem dari Clarisa jadi seenaknya mengatainya yang iya-iya. Sabar, kunci itu yang selalu Clarisa tanam dalam jiwa dan raganya untuk menghadapi makhluk tak kasat mata jenis Maya Caroline. Setelah mengganti pakaiannya dengan dogi, Clarisa langsung pemanasan dengan menjadikan samsak korbannya. Perempuan itu berlatih bela diri dari dirinya pertama kali belajar berjalan, sang ayah pelaku utamanya. Ayahnya bilang, dia nggak mau punya anak lemah seperti kebanyakan anak diluaran sana. Satu alasannya yang lebih penting, dia gak mau putrinya mengeluarkan air mata saat menghadapi satu masalah. Baginya, satu tetes air mata Clarisa adalah tamparan untuknya. Enggak tau aja Nathan—ayah Clarisa, kalau putri pertamanya itu selalu uring-uringan tak jelas sendiri di dalam kamarnya saat profil whatshap Langit seringkali berganti dari yang tidak memakai foto sampai foto perempuan yang terus berganti dua kali dalam seminggu. Kalau Nathan tau, habis sudah Langit begitupula Clarisa sendiri. Fyi, Clarisa itu dua bersaudara. Adiknya perempuan bernama Syela, sudah kelas tiga SMP. Berbeda dengan Clarisa yang dididik dengan keras, Syela malah dididik dengan lemah lembut. Sempat terpikir kalau dirinya anak pungut di keluarga sejahtera ini, tapi gadis itu segera mengenyahkan pikiran gila itu setelah mendengar ceramah dadakan dari Maya. “Lo itu anak pertama, jadi wajar dididik dengan cara beda. Lo itu yang diharepin, Ris, buat keluarga lo. Seharusnya lo bangga, berarti orangtua lo percaya sepenuhnya sama lo. Kata lainnya sih, lo itu beban keluarga.” Sempat tersanjung sampai langit ke tujuh, tapi terbanting lagi sampai hilang tak bersisa kekaguman yang bernilai 0,1% yang Clarisa berikan secara ikhlas pada Maya. Semuanya hangus tak tersisa seperti roket yang lepas landas. Maya, tolong filter sedikit bahasamu. Dojo sebenarnya milik kakek Clarisa sendiri, makanya dia bisa leluasa melakukan apa pun yang dia mau. Lagipula pamannya—yang mengurus setelah kakek tiada, terkadang suka membabukannya untuk melatih anggota yang baru masuk. Jadi apasalahnya sih timbal balik? Puas memukul dan menendang samsak dengan tangan kosong, Clarisa beralih untuk mengambil sarung tinju di rak yang sudah disediakan samping kanan di bagian pojok belakang. Saking asiknya bergelut ia sampai tak menyadari kalau tempat latihan sekarang sudah mulai ramai. Entah kenapa Clarisa butuh pelampiasan untuk saat ini. “Ris!” panggil David—pamannya. Clarisa cuman fokus pada satu titik tapi dia tidak tuli juga, jadi dengan satu teriakan ia langsung menoleh ke sumber suara lalu melepas sarung tinju di kedua tangannya. Perempuan itu melangkah mendekat pada pamannya sambil menyelipkan poni panjangnya ke belakang telinga. “Kenapa?” Seperti biasa, Clarisa akan selalu bersikap cuek. “Kenalin ini Brian, baru gabung dia. Tolong kamu bantu bimbing dia, Paman lagi kerepotan soalnya ada beberapa kyu yang mau urus administrasi,” jelas David. “Oke,” jawab Clarisa. Setelah David pergi, Clarisa mengamati Brian dari kepala sampai ujung kaki. Tubuh cukup tinggi, kulitnya juga putih pucat, sorot mata tajam, hidung yang mancung, rahang yang tegas dan bahu lebarnya juga terlihat sangat kokoh. Apa benar dia anggota baru yang tidak tau apa-apa? Dari perawakannya saja sudah seperti atlet. “Clarisa,” ujar perempuan itu memperkenalkan diri. “Brian.” Mereka berdua menggeser tempat berdiri agak ke samping kiri agar tak menghalangi jalan. “Latihan sama gue langsung ke ring, Sensei pasti udah bilang,” ujar Clarisa tanpa ekspresi. Brian mengangguk. Seperti biasa, Clarisa suka melakukan apa pun yang dia mau. Perempuan itu memberikan sarung tinju berwarna biru pada Brian. “Buat lo.” Brian mengambilnya dan langsung memakainya, setelah terpakai dengan apik di kedua tangannya, cowok itu menatap bingung perempuan yang tidak melakukan hal yang sama sepertinya. “Lo ...?” tanyanya menggantung. “Oh maaf, tanpa sarung tangan gue udah hebat. Lo yang pemula gak masalah make begituan, itung-itung antisipasi dari kematian,” jawab Clarisa menyombongkan diri, cowok di depannya mengulum senyum. Mereka berdua sudah berada di dalam ring, beberapa orang memutuskan untuk menonton dan sebagian memutuskan fokus pada diri masing-masing. Clarisa memang sudah terbiasa diajarkan untuk tak peduli pada lawannya, mau dia pria atau pun perempuan, tua atau pun muda. Yang ia tau hanya satu, yang cari masalah musnahkan. Dimulai. Banyak yang tak bisa mengartikan latihan untuk seorang Kyu baru jika Clarisa yang menjadi pembimbingnya. Bukan apa-apa ya, jika orang yang melihat langsung pasti dia tak akan segan berkata kalau yang terjadi pada Brian dan Clarisa saat ini bukan latihan melainkan pertandingan. Satu pukulan menghantam perut perempuan itu dan hampir saja membuat pertahanannya goyah. Tapi yang namanya Clarisa susah untuk ditaklukan, dengan cepat satu tendangan maut mendarat di wajah Brian hingga bibir pemuda itu mengeluarkan darah. Dan disusul serangan bertubi-tubi perempuan itu layangkan pada sosok pemuda yang sekarang sudah berada di bawahnya. Mau menonjok lagi tapi ia urungkan, salahnya yang lepas kendali hari ini. Perempuan itu berdiri dari posisinya lalu membantu Brian berdiri. “Sorry,” ujarnya. Dari awal gadis itu memang sedang mencari pelampiasan dan tak menyangka malah anggota baru seperti Brian yang terkena sasaran empuknya. Maaf Brian. “Gak masalah,” jawab Brian beserta ringisan pelan yang keluar begitu saja dari mulutnya. Clarisa meniup poninya lalu menarik tangan Brian secara paksa ke kursi kayu panjang di belakang untuk ia obati lukanya. “Lemah banget sih lo,” gerutu Clarisa. Brian menggelengkan kepalanya pelan, menatap aneh gadis yang tengah menyeretnya itu. Perempuan itu yang salah malah dirinya yang dihina. Saat Brian sudah duduk di kursi, Clarisa mengambil kotak P3K yang bergantung di tembok belakang mereka saat ini. Gadis itu lalu mengobati Brian dengan telaten. “Lo petinju?” tanya Clarisa disela aktivitasnya. Brian mengangguk ragu. “Tau dari mana lo?” tanyanya. “Dari cara lo ngehindar dari pukulan gue,” jawab Clarisa. “Kok—“ “Gue belajar bela diri campuran, skil yang lo punya masih cetek dibandingkan gue.” Clarisa tanpa ragu menjatuhkan lawannya dengan hinaan. Bukannya tersinggung, Brian malah tersenyum sambil menatap wajah Clarisa yang fokus mengobati luka robek di bibirnya. Gadis yang terlalu frontal, pikirnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Si Kembar Mencari Ayah

read
28.3K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Pembalasan Istri Tersakiti

read
8.1K
bc

Istri Tuan Mafia

read
17.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook