bc

Damai Untuk Jenggala

book_age16+
36
FOLLOW
1K
READ
drama
tragedy
comedy
sweet
humorous
serious
scary
like
intro-logo
Blurb

Alicia Callie merasa ditakdirkan dalam ketidak adilan, ia tak mendapat cinta tapi kesengasaraan yang tak punya pelabuhan berakhir. Sampai saat doánya terkabul, ia menemukan keajaiban Tuhan melalui pria bernama Gleen Fergie, pria yang ternyata memiliki kepribadian ganda tapi juga menyuguhkan kebahagiaan dan kasih sayang bersampul kedinginan.

Rupa – rupanya dan siapa yang akan menyangka jika keajaiban itu berakhir begitu ceoat saat orang – orang kejam tega melakukan segala cara hanya demi keegoisannya. Bisakah Alicia menghadapi kenyataan dan takdir yang Tuhan ciptakan?

chap-preview
Free preview
Bab 1
Bab 1 (Real Queen) Jangan pernah gantungkan hidupmu pada orang lain Bergantunglah pada Tuhanmu Yang jelas – jelas memeberikanmu kehidupan tanpa imbalan *** ‘’Pembayaran dengan kartu kredit berhasil senilai lima ratus tujuh puluh satu seratus rupiah, terima kasih...’’ Gadis cantik dengan apron bertuliskan Netra Café melekat di tubuh mentutpi sempurna dari d**a sampai pahanya menggelengkan leher ke kanan dan ke kiri seolah berusaha mematahkan kepalanya. Tak hanya itu, ia juga mengibas – kibaskan pergelangan tangannya ke samping kanan dan kiri mencoba meredakan pegal dan keram di jari – jari mungilnya. Sudah dari jam Sembilan malam sampai dengan jarum pendek berhenti di angkat satu, Alicia masih berdiri sedangkan jari – jari tangannya sibuk menulis dan menjumlah menu makanan yang di pesan pelanggan. ‘’Ahh...’’ Alicia menghembuskan nafasnya lega ketika jarum panjang tepat di angka satu. Ia segera memutar tubuhnya ‘’Aku balik dulu ya bang,’’ ‘’Iya tiati Ca... mau dianterin Edo nggak? Nanti gua yang bilang...’’ ‘’Ngga usah bang, masih ada ojol nih langganan dari jaman kerja disini. Aku duluan ya, masih banyak tugas belum kelar di kosan.’’ ‘’Yoi ca, take care ya caca!’’ ‘’Thanks bang Fino!’’ Pagi hari yang senyap, sepi, sunyi, dan gelap. Seorang gadis tujuh belas tahun berdiri menanti seseorang yang amat berjasa di kehidupannya selama satu tahun terakhir di depan café , lampu tempat ia mencari kehidupan masih berpijar seumpama matahari pagi, suara music klasik masih terdengar mengalun merdu, tak kalah lagi si pagi hari yang khas dengan aroma embun pekat juga menyuguhi hawa dingin menembus jaket tebal diskonan dan celana jeansnya cuci gudang. Remaja mungil itu mulai resah, sudah lima belas menit berlalu tapi seseorang yang jauh dinanti tak kunjung menghampiri. Ia nampaknya sudah sangat ingin istirahat terlihat dari wajahnya yang lesu, kantung mata terlihat makin menghitam serta rambut yang dicepol asal – asalan hampir setinggi ubun – ubunnya. ‘’Lumayan banget yah dinginnya, ini mana si Farel ya kok ngga dateng – dateng...’’ ‘’Ca! balik bareng gue aja!’’ ‘’Nggak bang, takutnya Farel udah dijalan. Mungkin mampir ke pom dulu kali yak, soalnya tumbenan dia telatnya lama.’’ ‘’Lah ya udah lah kalo gitu, hati – hati ca! kalo Farel belum dateng lo minta tolong Fino aja,’’ ‘’Lah gampang bang Edo, malah tutup café aku potong gaji haha,’’ ‘’Oke bye, see you ca.’’ Gadis yang akrab dipanggil Caca melambai – lambaikan tangannya memberikan salam perpisahan, ia berjalan bolak balik maju dan mundur sebab kakinya sudah terasa sangat pegal sementara seua kursi di café dipenuhi pelanggan dan mau tidak mau ia harus berdiri di depan bangunan yang buka selama dua puluh empat jam. ‘’Hii caca!’’ Teriakan seorang pria dengan jaket hijau kebanggaannya mengundang senyuman di wajah Alicia yang langsung datang menghampirinya. Sambil tersenyum ia menyapa Farel dan menepuk pundaknya pelan lalu di respon gelak tawa dari pria yang dikirim tuan menjaganya ketika malam hari mengikuti garis takdir yang Tuhan sendiri ciptakan. ‘’Kok lama si, caca kira gak bisa jemputt...’’ sambil berbicara seolah merajuk kepada kakak kandungnya, ia segera naik dan memeluk pinggang Farel, menyandarkan kepalanya ke bahu kiri pria yang selama ini membantunya. ‘’Yuk jalan!’’ ‘’Yeyy!!!’’ Alicia yang duduk di atas motor bebek tersenyum sumringah sambil menyanyi riang bersama Farel, tertawa seolah melupakan beban hidupnya. Bagi gadis itu, berada di atas motor sambil menyusuri malam yang mulai senyap hanya berada orang – orang yang diberi kekuatan lebih untuk bertarung dengan dunia luar menjadi kelegaan tersendiri, ia bisa membagi bebannya kepada lelaki yang tengah mengendarai motor, ia juga berbagi tawa tanpa menuntut imbalan seolah – olah Tuhan yang datang menjadi penolongnya. ‘’Cape ca?’’ Farel bertanya sambi melirik ke arah kaca spion. ‘’Enggak, caca ngga cape.’’ ‘’You sure?!’’ ‘’Iyaaaa!’’ gadis itu berteriak, ia mengatakan Yes dengan suara yang lumayan kencang untuk memberitahu pada dunia jika ia tidak lelah sekalipun tubuhnya kalah. ‘’Ca, kenapa nggak pulang aja. Caca pasti dapet kehidupan yang jauh lebih layak dari ini.’’ Farel berusaha menasehati wanita yang sudah ia jaga seperti adik kandungnya. Ia berusah membuat remaja tujuh belas tahun itu kembali ke rumah dan mendapatkan kehidupan layak seperti sebelumnya. ‘’Kenapa pulang? Memang definisi kehidupan layak menurut kak Farel apa?’’ Alicia balik bertanya, pasalnya sudah berkali – kali teman sejatinya inii menanyakan hal yang sama tapi tak pernah ia jawab. ‘’Kok balik nanya ca? kan Farel nanya ke Caca?’’ ‘’Ya Farel jawab dulu apa... nanti baru Caca jawab...’’’ ‘’Kehidupan layak ya berkecukupan Ca,’’ ‘’Rell!, Caca bersyukur kok sama kehidupan yang Caca pilih. Caca masih bisa makan dua kali sehari, punya pakaian layak, tempat tidur empuk, bisa minum dan punya air bersih, masih bisa kerja dan punya uang yang cukup. Kalo definisi layak Caca sama Farel aja udah beda gimana Caca bisa terpengaruh sama ucapan Farel.’’ Pria berumur dua puluh tahun itu hanya bisa menghembuskan nafasnya berat. Pada nyatanya memang sulit membujuk remaja yang ingin berpetualang. Bagi Farel selama Alicia tidak terjerumus pada pergaulan bahkan sexs bebas its okay. Mungkin belum saatnya Alicia pulang. ‘’Emang Farel ngga seih kalo Caca pulang... kan jauh,’’ Mendapat pertanyaan itu, Farel lantas emnciut dan mengangguk. Pastilah sedih, bagaimana tidak. Ia menemukan Alicia pertama kali di terminal sedang menangis karena ia ditipu oleh orang-orang licik dan tak meninggalkan sepeserpun uang sedangkan saat itu Alicia baru saja lulus sekolah menengah atas. Karena tak tega melihat anak kecil menangis endirian hanya membawa tas kecil yang bersisi beberapa pakaian, Farel memutuskan membawa gadis kecil yang masih menggunakan seragam pelepasan siswa ke rumah ibunya. Dan disitulah ibunya mulai mencarikan kos – kosan yang layak dan beberapa kali menanggung biaya hidup Alicia tanpa meminta imbalan. Ibu dan Farel menganggap Alicia sebagai keluarganya dan itu menjadi penolak ketidak adilan yang bagi Alicia selalu hadir dalam hidupnya. ‘’Alhamdulillah sampai,’’ Alicia si gadis tak kenal lelah itu berguma dan langsung turun. Ia mengetuk helm dikenakan farel dan memberikan senyuman indah untuk rasa terima kasih lalu memeluk Farel sekejap. ‘’Caca masuk ya... Farel hati – hati, see you Farel and good morning...’’ ‘’Ya ca, see you too and morning too. Aku berharap kebaikan selalu bersamamu.’’ ‘’Thanks...’’ *** Tok tok tok... ‘’Assalamualaikum Sa, ini aku Caca...’’ ‘’Walaikumussallam ca... bentar ca.’’ ‘’Iya sa, aku sabar banget kok.’’ Setelah menegtuk pintu dan memanggil seseorang di dalam ruangan berukuran enam kali delapan meter, tak lama kemudian terdengar suara knop pintu yang di tarik kebawah dilanjut terdorongnya pintu ke dalam. Sigapnya Alicia langsung masuk, menutup pintu, melepaskan atribut seperti tas, kaus kaki, sneakers, jaket, menggantinya dengan setelah baju tidur bercelana panjang yang sudah terlihat lusuh. Tanpa menyapa Sasa yang sudah tau kebiasaan dan semua kegiatan sahabatnya, remaja itu lansgung mendatangi meja kecil berukuran lima puluh kali tujuh puluh lima sentimeter di pojokan setelah mengambil beberapa buku tahun ajaran ke dua. Ia mulai menggerakan pena di atas kertas putih untuk memecahkan tugas fisika dan Bahasa inggris sampai pukul empat pagi. Setelah semuanya selesai, Alicia mulai berbiaring di atas lantai putih bukan di atas ranjang kecil yang tidak empuk seperti sebelumnya ia katakana. Ia sengaja berbaring di atas keramik untuk menghilangkan kenyamanan supaya tidak terlambat shalat subuh dan bisa berangkat ke sekolah yang butuh waktu tempuh tiga puluh menit menggunakan angkutan umum. Gadis itu mulai memejamkan matanya berusaha menyatukan alam dunia nyata ke dalam alam mimpi sekalipun kesukarannya melebihi tugas matematika IPA. Ia terus berusaha memejamkan mata hingga akhirnya terlelap sekalipun sekejap. Akhirnya gadis yang memilih kehidupannya sendiri melepaskan beban meskipun hanya satu setengah jam, ia berhail hidup di alam mimpi yang tak pernah menuntut kehidupan yang layak, ia berhasil pergi jauh kea lam mimpi untuk mendapatkan kedamaian. Karena setelah ia bangun, kenyataan dan ketidak adilan dalam hidupnya mulai berperan sebagai tokoh utama membuat jiwa dan raganya mengalah mengikuti permainannya. *** ‘’Ca, bangun ca subuh...’’ ‘’Ca!’’ ‘’Caca!’’ ‘’Aliciaaa. Ayo bangun udah subuh,’’ Sasa berusaha menraik kembali jiwa sahabatnya yang tengah bermukim sementara di alam mimpi ke dunia nyata, memulai kembali aktifitasnya dan menerima kenyataan. Gadis yang baru saja terlelap beberapa jam terbangun lalu segera mandi, shalat, dan bersiap ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan formal yang sangat ia perjuangkan. ‘’Ca, gue pinjem duit lo ada? Ortu gue belum kirim nih bingung,’’ ‘’Berapa Sa?”’ ‘’Dua ratus deh, lo ada kan?’’ ‘’Iya ada tapii...’’ ‘’Oke thanks, taruh di atas lemari gue ya. Lo berangkat duluan aja, gue di jemput doi soalnya.’’ ‘’Hum.. oke, jangan lupa dikunci kosnya.’’ ‘’Ya ca, thanks banget.’’ ‘’Sama – sama Sa...’’ Alicia si gadis yang baik itu menghembuskan nafas kasar ketik adi dompetnya hanya tersisa selembar kertas biru yang diawali angka lima jelas. ‘’Cukup kok, dua hari lagi aku gajian, besok juga kamis lumayan bisa puasa.’’ Ia berjalan melewati gang kecil langkah semi langkah dengan lesu. Selain kekurangan waktu tidur, Alicia juga tidak punya kesempatan untuk bercerita, hal itu semakin membuat hidupnya terasa berat. Ia merasa butuh seseorang yang mengerti dirinya dan memberikan kedamaian. Langkah gadis itu terhenti di sebuah halte bus, lalu tak lama kemudian gadis berseragam sekolah menengah atas dengan rambut dikuncir ke belakang rapih lalu poni yang terslampir sedikit di sela telinganya merubah wajah lesunya Nampak manis, tas gendong merk brand local masih terlihat bagus, tapi sayangnya sepatu hitam manipulasi brand internasional sudah terlihat kumal. Hal itu semua bukan tak diperdulikan tapi ia merasa belum butuh. Sesampainya di gerbang sekolah setlah tiga puluh menit berdiri di dalam bus ia sengaja berhenti dan bersandar pada tembok yang jauh lebih mengkilap dibandingkan sepatunya. Bangunan tinggi berlantai enam, lapangan basket yang terlihat amat mewah, lobi sekolah yang dibuat seperti lobi hotel, lalu guru – guru berkapakain rapih, dan hilir mudik mobil mahal berhenti tepat di parkiran luas depan sekolah hanya untuk menurunkan calon penerus perusahaan. JEWELRY International Senior High School berdiri menjulang tinggi di tengah pemukiman warga dengan kemewahannya, dominan siswa di sini lahir dari keluarga kaya raya termasuk dirinya. Ia juga lahir dari pasangan suami istri yang mengelola perusahaan batu bara dan saham bank international bahkan beberapa lagi bergerak di bidang property. Tapi dibalik semua kekayan itu Alicia lebih memilih kabur menjalani hidup sendiri tanpa ayah dan ibu yang tak pernah menilik bahkan menanyakan setitik kehadiran ssekaipun. Awalnya gadis itu melangkah seperti biasa, tidak lesu, berusaha berjalan dengan penuh kekuatan, sengaja menyembunyikan kepada semua orang jika aku ini penuh dengan kelelahan. Tapi tidak sampai disitu, ia terus berjalan melewati orang – orang penuh kemewaan santai, menyalami satu per satu guru dengan berbagai ras, suku, budaya, bahkan agama. Ia seperti biasanya, menebar senyum memberikan aura positif kepada semua orang yang melihatnya. Melanjutkan perjalanannya, gadis itu masih saja tersenyum riang. Melwati koridor lantai satu, ia sempat ingin berhenti berjalan guna membukaa knop pintu ruangan bertuliskan Musical Room tapi ia urungkan mengingat bel peringatakn lima belas menit pelajaran hampir di mulai sementara jika ia ingin masuk harus menaiki lantai dua untuk mendapatkan kunci ruangan itu. ‘’Hi Alicia?’’ ‘’Oh Hai!,’’ Dua gadis remaja bersegaram SMA itu saling sapa, menayakan kabar satu sama lain sambil menapaki satu persatu keramik yang membawa mereka menuju ruang kelas. Sesampaiinya di kelas, Alicia kembali mendapatkan suguhan manis. ‘’Ca, lo cantic banget hari ini...’’ Bisik seorang pria bernama Morgan. ‘’Thanks Morgan, you too...’’ ‘’Yay! So pasti, eh btw tugas lo udah kan??’’ ‘’Ck, dasar. Gue dah paham nih sama yang beginian. Come...’’ Alicia terkekeh mendapat sanjungan manis sekaligus pajak pagi hari dari Morgan. Ketua kelas penuh humor di kehidupannya sudah biasa mewarnai hari – hari Alicia dengan pajak tugas dan bonus tertawa di hari – harinya meskipun berdurasi lima belas detik. ‘’Thanks Ca, nanti gue balikin ya...’’ ucap Morgan pada Alicia yang meneyrahkan buku tugas Fisika dengan santai dengan senyum lebarnya. ‘’Ya Morgan...’’ jawab Alicia singkat. Riuh ramai siswa semenjak kedatangan Alicia di kelas semakin menjadi, keributan Nampak dua kali lipat ramainya karena hampir semua siswa berbondong – bongong menyalin tugas milik gadis yang dikenal rajin walaupun bukan nomor satu di kelas ini. Tapi bagi mereka, Alicialah orang yang paling baik dalam berbagi. Tha’ts true... Lihat saja, ketika semua orang sibuk dengan tugas miliknya yang di salin itu. Ia malah bolak balik membuka dompetnya yang hanya tersisa tiga puluh lima ribu saja, untuk pulang ke kos ia butuh lima belas ribu, sedangkan untuk pergi ke café ia harus membayar dua belas ribu. ‘’Huuh...’’ suara hembusan nafas berat seorang gadis mengalihkan perhatian pria yang duduk tepat di belakang kursinya. ‘’Brisik banger nafas lo. Apaan si Ca...’’ Farhan menjawab hembusan nafas Alicia dengan heran. ‘’Gak han, gue lagi mikir aja. Sorry ya ganggu lo.’’ ‘’Mikir apaan lo, jangan – jangan beasiswa lo dicabut ya?!’’ Farhan menaikan nada bicaranya di akhir kalimat. Mengalihkan focus semua orang kepada Alicia yang membulatkan matanya. ‘’Engga! Lancar kok!.’’ Mendengar perkataan si gadis tokoh utama ini seluruh siswa penghuni kelas kembali melanjutkan aktifitasnya yang sempat tertunda beberapa saat. ‘’Cause why??’’ ‘’Nothing, eh emang lo dah ngerjain tugas! Kook nyante gitu, nggak biasanya??’’ ‘’Halaa! Tugas mah gampang, biasa lahhh...’’’ Kekehan Alicia mulai terdengar, wajah ayunya semakin manis karna ucapan Farhan yang sederhana. ‘’Ck, Humor lo receh banget sumpah...’’ kata Farhan. ‘’Its me...’’ ‘’Ck, dasar kambing...’’ ‘’Selamat pagi semuanya....’’ ‘’Wooiiiiii!’’ teriakan salah satu penghuni kelas memporak porandakan sekelompok siswa sampai bubar. Sementara sang wanita paruh baya dengan rambut dicepol kebelakang, kemeja tiga per empat, lalu celana kain sampai ke tumitnya menggeleng pelan sembari duduk. ‘’Kumpulkan tugasnya...’’ kata Ms. Hana. Guru fisika yang ramah namun terkenal tegas dan menyenangkan. ‘’Yes Ms.’’ Seru anak – anak dengan kompak, Morgan yang bertanggung jawab mengumpulkan tugas anak – anak menerima cacian dan clotehan ngeri sebab tak memberikan kode jika guru yang bersangkutan datang. ‘’Damn you!’’ ‘’b******k lo,’’ ‘’Sialan lo!’’ ‘’Gannn! Gue belum selesai plis...’’ ‘’Morgan anj***’’ ‘’Gue belum selesai anj***’’ ‘’Ketua kelas sialan lo,’’ ‘’Gue kudeta lo nanti siang!’’ ‘’Thank you Morgan...’’ dengan senyuman manis penutup caci maki penguhuni kelas. Senyuman penutup cacian itu membuat Morgan nyengir amat lebar sampai Ms. Hana mengatakan. ‘’What Happened with you Charles Morgan? But I love your smile...’’ ‘’No Ms, and thank you. Saya tau saya ganteng...’’ ‘’Huuuuuu!!!!’’ sorakan seluruh penguhini kelas langsung di susul tawa. Mereka merasa beruntung dua tahun memiliki pemimpin yang baik, bertanggung jawab, humoris, dan yang paling penting banyak duit. Morgan tak segan – segan mentraktir semua anak kelas bahkan terhitung seminggu sekali saking kayanya. Selah melewati banyak drama. Kegiatan belajar mengajar di kelas XI IPA 7 berjalan mulus, beberapa siswa sibuk focus menyalin tanpa memahami pelajarannya, beberapa siswa menyalin tanpa melihat white board, beberapa lagi hanya melamun melihat banyaknya angka dan hurus X, beberapa diantaranya juga tidur tak memperdulikan apa isi pelajaran hari ini sebab yang terpenting adalah uang saku dari orang tua mereka yang jumlahnya sangat tak terkira. *** Kring.... Kring... ‘’Kring.... Bel tanda pembelajaran sesi satu usai, siswa yang kuat dan tangguh berhasil melewati masa suram selama empat jam di dalam ruangan ber ac. Berperang melawan kantuk, bosan, pusing sebab tak paham, lapar, dan banyak lainnya. Tak berbeda dari sekolah - sekolah baik elite maupun local, ketika bel berbunyi semua siswa berhamburan mencari kesenangan yang mengikuti naluri, hanya Alicia yang memaksa melawan naluri. Gadis berpakaian amat sopan itu memilih melangkah ke ruangan music. ‘’Sepi... ‘’ lirinya pelan. Ia mendekati piano yang bertengger manis di sudut ruangan, perlahan ia menekan tuts sesuai kunci dari lagu milik Katelyn Traver – You Don’t Know. Ia memainka piano merk Yamaha denngan penuh penghayatan, bagi ia. Saat – saat seperti ini adalha momen terindah baginya. Ia bisa menyanyi, menyampaikan apa yang ia rasakan tanpa merugikan orang lain. I know you’ve got the best intentions Just trying to find the right words to say Promise I’ve already learned my lesson But right now, I want to be not okay Aku tahu kamu punya niat yang baik, hanya mencoba memilih kata yang tepat, aku berjanji aku sudah mendapatkan pelajaran, tapi untuk saat ini, aku ingin menjadi tidak baik-baik saja. Ia bernyanyi dengan pelan. Raut wajahnya yang sudah tak segar sebab perutnya juga menuntut haknya. Ia tetap berusaha emngalihkan perhatian dari itu semua selama dua puluh menit jam istirahat. I’m so tired, sitting here waiting If I hear one more “Just be patient” It’s always gonna stay the same Aku sangat kelelahan, duduk disini menunggu, jika aku mendengar sekali lagi saja ada yang mengatakan “bersabarlah”, maka hasilnya akan selalu sama. So let me just give up So let me just let go If this isn’t good for me Well, I don’t wanna know Jadi biarkanlah aku menyerah saja, biarkanlah aku merelakannya, jika memang ini tidak bagus untukku, aku tidak ingin tahu. Dalam bait ke tiga lagu milik Katelyn, Alicia menaikan volume suaranya. Ya benar, gadis itu merasakan hal yang sama. Semua lirik dari lagu ini sama persis denga hidupnya saat ini. Let me just stop trying Let me just stop fighting I don’t want your good advice Or reasons why I’m alright Biarkanlah aku berhenti mencoba, biarkanlah aku berhenti berjuang, aku tidak memerlukan nasihat baikmu atau alasan kenapa aku baik-baik saja. No, aku nggak akan bisa berhenti berjuang, aku nggak akan pernah bisa menyandarkan punggungku ke tembok seklaipun sejejap, aku hanya akan terus berjuang mencari kedamaian setelah lama tersesat dalam hutan, hanya itu.... Hanya itu yang bisa aku lakukan. Kata Alicia dalam batinya sambil tak berhenti menyanyikan lagu milik Katelyn Traver. You don’t know what it’s like You don’t know what it’s like Kamu tak tahu bagaimana rasanya, kamu tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya. Can’t stop these feet from sinking And it’s starting to show on me You’re staring while I’m blinking But just don’t tell me what you see Aku tidak bisa menghentikan kakiku untuk tidak tenggelam, dan hal itu mulai menunjukkan padaku, kamu menatap kearahku saat aku sedang berkedip, tapi jangan katakan padaku apa yang kamu lihat (jangan katakan betapa hancurnya aku, jangan menilai keadaanku) I’m so over all this bad luck Hearing one more “Keep your head up” Is it ever gonna change? Aku berakhir diatas semua kesialan ini, mendengar satu lagi “angkat kepalamu”, tapi apakah ada yang akan berubah? Prok prok prokk... Bunyi tepuk tangan seorang pria yang amat ia kenal membuatnya berhenti bernyanyi. ‘’Bagus banget Ca, gue suka kalo lo lagi nyanyi.’’ Kata Morgan sambil melambaikan tangan memberikan kode untuk mendekat. Tentu tak ketinggalan, senyuman Alicia melekat di wajahnya sambil berjalan ke arah Morgan. ‘’Kita makan bareng yuk, gue laper tappi ngidam makan abreng lo. Ck.’’ Morgan meletakan peaper bag berisi makanan. Hal itu membuat Alicia terharu. Tak banyak bicara, hanya diam dengan mata yang sudah mulai berkaca – kaca. ‘’Gak usah nangis, yuk makan nanti bel bunyi lo kelaperan.’’ Morgan berusaha keras agar Alicia tak menitikan air matanya di saat seperti ini. ‘’Thanks Morgan,’’ kata Alicia sambil tak bisa menahan tangisnya. Ia menyeka air mata lalu tersenyum tulus kea rah Morgan. You are the real Queen, Alicia Calica. Gak pernah ada yang bisa nyamain lo di dunia ini. Gue jamin lo nggak bakal kelaperan atau bahkan sedih kalo ada gue. Ini janji gue ke Tuhan. Batin Morgan melihat Alicia makan dengan pelan, ia tahu jika gadis di hadapannya ini masih sungkan meskipun ia sendiri sudah sering mentraktir banyak anak – anak kelas. ‘’Morgan... can I ask??’’ Alicia berbicara dengan lirih, wajahnya terlihat tak nyaman. ‘’Ya, why not.’’ ‘’ Why are you doing to this?’’ ‘’Um... cause you are my queen? May be?’’ ‘’Hah?! Maksudny?’’ ‘’Ck, dasar...’’ Morgan tertawa kilat sambil mengacak – acak poni Alicia, perlakuan itu membuat Alicia tersipu. ‘’Apapun alesan yang ada sama lo, gue Cuma mau bilang terima kasih. Selama ini lo yang paling pengertian dan paling peka kalo gue lagi kesusahan. Bagi gue lo itu mirip dengan Malaikat yang Tuhan gue kirim. Thanks...’’ ‘’Ca... lo itu orang baik, pasti Tuhan gue juga kasih kode ke gue kalo lo lagi bokek.’’ ‘’Ck, apaan si!!!’’ Kedua remaja umur tujuh belas tahun itu bercanda sembari menikmati seporsi nasi goreng tanpa mereka sadari seseorang memperhatikan keduanya dari jauh dengan sorot mata yang penuh kebencian. *** Place : Kos Alicia Alicia membuka tas gendongnya, menurunkan semua buku dan mengkosongkan tas miliknya untuk diisi barang – barang keperluan kerja mala mini. Tapi saat ia memindahkan buku, selembar amplop coklat dengan tebal kurang lebih lima sentimeter terjatuh mengalihkan perhatian gadis itu. Ia memungut, membuka perlahan amplop yang ternyata berisi uang serratus ribu dengan kertas yang melilit disekelilingnya bertuliskan Bank Central Asia, Rp. 5.000.000,00. Ia terkejut, lalu mencoba menilik lagi ke dalam amplop dan menemukan selembar kertas putih tanpa garis. ‘’Dear Alicia Callica, thank you banget lo udah bantuin gue selama gue jadi roommate gue, lo udah banyak banget kasih PR lo dengan Cuma – Cuma ke gue. Bukan Cuma itu, lo adalah salah satu kebaikan yang nggak pernah habis yang Tuhan Yesus kirim untuk gue dan mungkin beberapa teman lain. Gue sebagai temen lo, kakak lo, atau apapun lo anggep gue. Ini bukan sogokan buat lo ya hahaha. tapi ini rasa terima kasih gue karna lo udah jadi guru orivat gue di pagi hari. Gue tau ini gak sopan, sebenernya gue pengen beliin lo sandal atau sepatu, atau bahkan tas branded. Tapi gue tau lo buakn orang yang seperti itu, jadi gue kasih ini untuk lo. Plis terima, gue tau lo butuh. Dan inget, ini bukan dari gue. Tapi ini dari Tuhan lo melalui gue. Thank you Alicia, ** From Charles Morgan tampan.’’

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
93.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook