bc

Pentagram

book_age12+
193
FOLLOW
1K
READ
time-travel
witch/wizard
student
twisted
mystery
brilliant
male lead
realistic earth
special ability
like
intro-logo
Blurb

"Aku hanya ingin bebas!"

"Jika engkau bebas, nyawa manusia tidak bersalah bisa terancam!" tegas Hugo, dokter pribadiku.

"Me-mengapa begitu?"

"Pentagram Bennet, dirimu adalah putra dari Osiris Dewa Kematian dan Dunia Bawah Mesir. Engkau adalah anak manusia dengan lima kekuatan dari unsur alam yang hebat. Saat ini sebuah kelompok dengan jaringan terbesar dunia sedang memburumu, karena kekuatanmu bisa membangkitkan kembali kekuatan gelap yang akan membuat mereka mulia dan berjaya!"

Aku, Pentagram yang hidup dan bernapas. Dibesarkan dengan sangat baik, namun terkungkung dalam sangkar emas.

Seumur hidupku tidak pernah mengenal dunia luar, hanya sejauh batas pagar rumah.

Siapakah aku sebenarnya, masih menjadi pertanyaan abadiku.

Saat mendobrak menuju dunia luar, ada harapan, kelima pelindungku akan membimbing untuk menemukan takdir dari penciptaanku.

chap-preview
Free preview
Season 1. Early Life of Pentagram Bennet
"Aku bosan!"  Itu kalimat yang selalu terlontar dari mulutku setiap Ruben, guru sejarah, datang berkunjung. "Bosan?" tanya Ruben dengan heran, tawa kecil terurai dari mulutnya. Pria berambut pirang dan berwajah tampan itu adalah guru yang paling sabar menghadapiku. "Kamu baru menjalani hidup selama empat belas tahun dan bosan? Bagaimana dengan para imortal yang sudah menjalani hidup selama ribuan tahun?" tanya Ruben dengan raut geli. "Mereka tidak ada, Ruben," tukasku dengan kesal. "Oh ya? Berarti buku sejarah yang kita pelajari selama bertahun-tahun itu berbohong?" tanya Ruben dengan cerdik melempar pertanyaan yang menyudutkan. Aku membuang muka dengan kesal.  "Kamu menjebakku dengan pertanyaan yang seharusnya kamu buktikan dengan informasi akurat," cecarku dengan sinis. Ruben terbiasa dengan komentar pedasku yang kritis. "Penta, kamu memang unik, cerdas dan juga menyebalkan, baca halaman seratus sepuluh hingga seratus dua puluh. Aku akan kembali secepatnya," pinta Ruben menyodorkan buku tebal yang berisi sejarah dunia. Aku masih tidak bergeming berdiri di depan jendela memandang derai salju yang turun semakin deras. Guru sejarah itu akhirnya meletakkan buku di meja belajar dan meraih kunci di kantung jasnya. Ruben menutup pintu dan terdengar kunci berputar. Itulah cara seluruh manusia di sekeliling memperlakukan diriku. Pentagram Bennet, itu namaku. Lahir pada tanggal 09 September 1899. Seorang bocah lelaki berusia empat belas tahun yang besar tanpa mengenal konsep orang tua, keluarga dan saudara. Pentagram sendiri sebenarnya adalah sebuah lambang berbentuk bintang dengan satu sudut menghadap ke atas. Kelima sudut melambangkan lima elemen paling utama bumi. Entah kenapa mereka memberiku nama itu, tapi Pentagram saat ini hanyalah anak lelaki berusia empat belas tahun yang terjebak di rumah yang memiliki lima belas kamar dengan interior mewah pada tiap sudut. Aku memiliki sepuluh pelayan pria dan tiga pelayan wanita. Semuanya hampir tidak pernah mengajakku berbicara. Hanya para guru dan Kepala pelayan, Hugo, yang berani mengajakku mengobrol. Selebihnya selalu menundukkan kepala dan gemetar setiap menjawab pertanyaanku, bahkan untuk pertanyaan yang paling sederhana sekalipun. Setiap kali aku bertanya di manakah kedua orang tuaku, selalu terjawab dengan kalimat yang sama. "Mereka sedang bekerja." Ada misteri apa yang mereka sembunyikan dariku? Aku bosan mencari. Selalu kebuntuan yang kutemukan. Kebanyakan buku yang k****a selalu mengaitkan Pentagram dengan hal mistis dan supernatural. Sedikit yang paham arti pentagram sesungguhnya. Mungkin, jika para pelayan mau mengenalku, mereka juga tidak akan menganggapku berkaitan dengan lambang bintang yang dicurigai sebagai simbol setan tersebut. Ruben kembali dan mengerutkan kening seperti heran dengan sikapku yang masih mematung di depan jendela panjang dan hampir menyentuh atap. Perpustakaan tua ini sangat nyaman. Merangkap ruang baca dan juga kelas bagiku belajar. "Gelisah lagi?" tanya Ruben. Aku terdiam. "Ajak aku berkunjung kerumahmu," pintaku. Entah bagaimana ekspresi wajah Ruben, aku malas menoleh. "Sejak kapan kamu diperbolehkan keluar? Kedua orang tuamu tidak akan mengijinkan," jawab Ruben dengan lesu. Mataku memanas dan emosiku hampir meluap. "Tidak ada orang tua! Mereka hanya fantasi semata yang kalian ciptakan untuk mengurungku!" teriakku akhirnya meledak. "Konyol, Penta! Tidak ada manusia lahir dari batu ataupun muncul dengan ajaib!" sanggah Ruben dengan wajah memerah. "Oh ya? Di mana mereka sekarang? Kenapa mereka tidak pernah ada untukku? Kenapa mereka menyiksaku dengan mengasingkan aku tanpa teman dan kawan?" pekikku semakin membabi buta. Ruben mundur ke belakang dengan wajah terkejut. Pria berusia sekitar tiga puluh tahun itu mendadak memelukku dengan erat. Aku menangis sejadi-jadinya. "Bersabarlah Penta, sabar ...," bisik Ruben memeluk erat tubuhku. *** Makan malam terhidang tepat pukul tujuh malam. Waktu yang hampir tidak pernah meleset, bahkan satu detik pun tidak. Hugo melemparkan senyum hangat yang lebih mirip dengan senyuman iba menurutku. "Makan malam kesukaanmu, Penta!" seru Hugo dengan suara yang riang dan ramah. Pria berambut putih dan berwajah lembut itu dengan telaten dan sabar menuang air putih jernih ke dalam gelas kristalku. "Mungkin dulu aku akan memekik hore, tapi tidak malam ini," sahutku dengan nada yang sinis. Hugo berhenti sejenak dan berdehem. "Mau mengganti menu?" tanya Hugo dengan sabar. Aku menatap hidangan bebek madu bakar dengan kentang panggang keju juga brokoli salad. Aku tidak menjawab namun segera melahap makan malam tanpa berkomentar. Tidak bisa kupungkiri lagi, sulit untuk menelan dalam kondisi hati yang tidak senang. Aku meletakkan garpu dan pisau makan kembali. "Aku ngantuk," ucapku sembari mengelap mulutku. Hugo menatapku dengan tatapan sendu. "Kuantar ke kamar," tawarnya.  Aku mengangkat tangan dan mengisyaratkan untuk tidak perlu mengikuti. Langkahku terus menapaki tangga dan menuju lorong lantai dua. Tanganku membuka pintu ruang tidur paling besar, kamarku. Aku melepas sepatu dan menatap pantulan diri di cermin. Remaja lelaki dengan tubuh tegap dan kulit pucat. Rambutku hitam pekat dengan mata berwarna biru agak keabuan. Aku melepas jas hitam panjang dan juga kemeja putih. Meraih piyama yang terbentang rapi di atas tempat tidur. Aku belum mengantuk namun rasa bosan menjalani rutinitas yang sama setiap hari menyerangku. Pikiranku sibuk merencanakan kegiatan yang menarik untuk besok. Jika aku tidak merubah situasi ini, tidak akan ada yang memiliki inisiatif. Dengan penuh semangat, aku mulai menuliskan rangkaian kegiatan dari pagi hingga sore. Entah berapa jam kuhabiskan, tapi saat kata terakhir selesai kutulis, rasa kantuk mulai menyerang. Aku melompat ke atas tempat tidur dan menarik selimut. Senyum puas terukir di bibirku. Besok akan ada hari baru yang lebih menyenangkan! Sorakku dalam hati. *** Pukul lima lebih, aku terbangun dengan mata masih mengantuk. Suara ribut-ribut dari luar membangunkan tidurku. Dengan penasaran aku menyambar jaket hangatku dan keluar. Lampu lorong lantai dua menyala dan suara itu makin jelas terdengar dari lantai bawah. Aku berjalan dengan hati-hati karena suara yang terdengar seperti orang sedang bertengkar. Mungkinkah ada perampok? Tapi mana ada perampok yang menyempatkan waktu untuk bertengkar? Suara yang terdengar dengan jelas adalah milik Ruben. Aku mulai memiliki keberanian untuk mendekati asal suara. Di ruang lobby utama tampak Ruben, Hugo dan Albert, guru matematikaku. Saat kaki menginjak anak tangga pertama semua menoleh. "Ada apa? Kenapa kalian bertengkar?" tanyaku dengan suara gemetar. Seumur hidup aku belum pernah melihat manusia bertengkar. Kisah perampokan hanya kuketahui melalui buku saja. "Kami akan memberitahu jika sudah selesai diskusi. Kamu sebaiknya kembali ke kamar," pinta Albert dengan wajah gusar. "Tunggu apalagi, Al? Penta cukup menerima kebohongan selama ini. Ayolah, kita bukan pecundang seperti mereka," tukas Ruben tidak setuju. Albert tampak bimbang. Hugo yang mengambil insiatif untuk mengantarku ke kamar. "Tidak!" tolakku dengan berani. "Aku butuh kejelasan seperti Ruben katakan!' jeritku. Albert semakin gelisah. "Belum saatnya, Penta," ucap Hugo dengan lembut. "Tolong, Hugo. Akhiri semua misteriku!" Aku memohon dengan sangat. Albert dan Ruben saling berpandangan. "Hugo ajak Bennet ke ruang baca!" perintah Albert sambil melenggang menuju ruang baca yang berada di ruang sebelah kiri. Ruben mengikuti langkah panjang Albert dengan cepat. Jantungku berdebar dengan cepat saat melangkah menuju ruang baca. "Duduk, Bennet!" seru Albert dan menarik sesuatu dari saku celananya. Aku duduk di sofa dekat dengan meja utama. Ruben duduk di sebelahku, sementara Hugo memilih untuk berdiri dengan sikap siaga. "Baca dengan cepat, baru kami jelaskan," pinta Albert sembari mengulurkan buku kecil ukuran sepuluh kali lima belas centi tersebut. sampulnya berwarna hitam dan kusam. Aku membuka dengan tangan gemetar. Sambil mendekatkan buku pada lampu meja, mataku menelusuri tulisan rapi yang terpampang. SEPTEMBER 1898 Esther telah sakit parah, namun masih bisa bertahan, semoga wabah yang melanda negeri ini tidak akan menjadi maut buatnya. Esther mengaku pusing dan mual-mual. Apa yang sebenarnya terjadi? DECEMBER 1898 Esther, gadis berusia enam belas tahun terbukti positif mengandung. Siapakah yang lancang telah menghamili gadis malang itu? Penyelidikan masih terus berlanjut. MAY 1899 Bayinya sehat dan mengalami perkembangan normal. Sayangnya, Esther mulai menceritakan hal-hal di luar nalar. Gadis muda itu menceritakan tentang kedatangan sosok mengerikan yang ia sebut dengan Osiris, Dewa dunia bawah masyarakat Mesir. Dari makhluk itulah dia mengandung bayi yang kini berusia lima bulan. Pengakuan yang sulit diterima dengan logika! JULY 1899 Esther berduka, kematian kedua orang tuanya sangat misterius. Sebagai dokter aku tidak mampu mengurai misteri ini. Ada beberapa saksi mata yang mengatakan ada sekelompok manusia berkuda yang membantai mereka dalam perjalanan pulang. Tetapi tidak ditemukan luka sedikit pun pada jenazah mereka. AUGUST 1899 Rupert Graham Bennet, kakek dari Esther Bennet mengumpulkan kami berlima, guru yang akan melindungi cucunya. Ruben Watts, Albert Cooper, Ron Baker, Wolf Hamilton dan diriku sendiri, Dr. Hugo Morrison. Apa tujuan dari semua ini? *** Begitu selesai membaca aku mendongakkan kepalaku. Kutebarkan pandangan pada ketiga pria dewasa yang saat ini menatapku. Wajah mereka penuh harap untukku memahami isi dari catatan singkat tersebut. "Mengertikah kamu sekarang, Pentagram Bennet?" tanya Albert dengan wajah serius. Aku mengangguk dengan gugup. "Siapakah aku sebenarnya menurut kalian?" tanyaku masih ingin memastikan kesimpulan dari mereka. Albert melirik Hugo yang menarik napas panjang. Dengan terbata-bata Hugo meluncurkan serentetan kalimat yang langsung menyengat seluruh tubuhku. "Pentagram Bennet, dirimu adalah putra dari Osiris Dewa Kematian dan Dunia Bawah Mesir. Engkau menjadi anak manusia dengan lima kekuatan dari unsur alam yang hebat. Saat ini sebuah kelompok dengan jaringan terbesar dunia sedang memburumu, karena kekuatanmu bisa membangkitkan kembali kekuatan gelap yang akan membuat mereka mulia dan berjaya!"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Time Travel Wedding

read
5.1K
bc

Romantic Ghost

read
161.9K
bc

Kembalinya Sang Legenda

read
21.6K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.6K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.0K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
1.9K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
145.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook