bc

Your Wedding

book_age16+
717
FOLLOW
4.8K
READ
friends to lovers
goodgirl
brave
confident
CEO
tragedy
sweet
city
cheating
like
intro-logo
Blurb

Seharusnya orang-orang bersuka cita saat mendatangi pernikahan. Seharusnya pula, ia merasa bahagia, senang, dan memasang topeng ceria. Bukan malah sebaliknya.

Sementara perasaannya terbelah-belah menjadi kepingan kecil dan tak terselamatkan, masalah tidak akan berhenti sampai dimana ia merelakan. Mengapa?

chap-preview
Free preview
1
Latania Anthea meremas  kedua tangannya kuat-kuat ketika pendeta itu menutup kitabnya dan  tersenyum manis pada pasangan yang berdiri di depannya. Senyumnya ikut menyiratkan kebahagiaan. Sama halnya dengan para tamu yang datang, menyempatkan diri untuk menjadi saksi hari berbahagia ini. "Silakan cium pasangan kalian." Riuh sorakan dari bangku  tamu terdengar nyaring di telinganya. Iris hijau beningnya menatap  lurus ke depan. Dimana pasangan itu mulai mendekatkan wajah mereka  masing-masing dan ciuman itu terjadi. Singkat, dan mendebarkan. Yang berhasil mengambil semua napasnya terbang. Para tamu segera berdiri  setelah ciuman itu terjadi. Wajahnya tertunduk sesaat, menyembunyikan  luka yang sempat tercetak di wajahnya. Bernapas lebih hati-hati. Berusaha untuk tidak terlihat masam atau terluka. Ia telah menyiapkan banyak topeng bahagia dan suka saat di rumah. Dan tidak seharusnya mengacaukan dengan memasang raut derita agar mendapat simpati orang lain. Anthea berdiri. Ikut  bertepuk tangan riuh bersama para tamu lainnya yang hadir. Bergabung  untuk meramaikan suasana. Mengesampingkan semua perasaannya, ia datang  karena tekad kuatnya. Tidak ada paksaan dari pihak mana pun. Bahkan, ketika tatapan mata mereka bertemu, Anthea tidak lagi memasang wajah sedihnya. . . Merapikan ikatan rambutnya, Anthea menggenggam tas mungilnya. Seakan-akan hanya itu satu-satunya penopang yang dia punya. Gilirannya kali ini.  Saat para tamu selesai menyalami pengantin baru dan segera pergi untuk  mengambil makanan yang sudah dihidangkan di meja-meja yang tersebar di  penjuru taman. "Selamat untuk kalian,"  Anthea tersenyum saat tangan pengantin pria menyambut uluran tangannya  dan tersenyum. Dia sendiri tidak tahu ekspresi wajah apa yang saat ini  ia tunjukkan padanya. Yang jelas, Anthea hanya merasa dirinya sedang  tersenyum. Dia merasa dirinya telah berperan sebagai sosok yang seharusnya. Bersikap ramah dan tidak membuat kekacauan dengan sorot sendunya. "Terima kasih." Jabatan tangan itu  terlepas. Anthea bergeser ke kenan dan berdiri tepat di depan pengantin  wanita yang tersenyum lembut padanya. Wajahnya sempat menegang seketika,  namun Anthea berhasil mengendalikannya dan hanya senyuman yang  terlihat. Membuat perasaan kebasnya kembali, kali ini terasa lebih nyeri. Hampir, hampir saja ia kehilangan napasnya. "Selamat untukmu juga," kata Anthea dan wanita itu menyambut uluran tangannya. Matanya terbuka lebar  saat pengantin wanita itu menarik tubuhnya dan memeluknya erat. Tepukan  di punggungnya berhasil menyadarkan Anthea dari keterkejutannya. "Terima kasih, Anthea. Kau benar-benar mau datang!" ucapnya riang. Pelukan itu terlepas. Anthea menatap jauh ke dalam mata aquamarine itu. "Sama-sama. Ini termasuk tugasku untuk melihat bos terbaik kami bahagia," jawabnya. "Aku akan datang memberi selamat dan dukungan. Semoga kalian bahagia untuk selamanya." Sedikit terbata, tapi Anthea berhasil mengambil semua keberaniannya untuk mengatakan hal tersebut. Wanita itu tertawa  lepas. Membuat Anthea mau tak mau ikut tersenyum bersamanya. Lirikan  matanya mengarah pada sang pria yang memilih untuk memalingkan wajahnya  ke arah lain. Berpura-pura menatap para tamu yang sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Anthea hendak pergi  menjauhi pasangan pengantin baru itu sebelum tangan seseorang menariknya  untuk berhenti. Anthea menoleh, mendapati sang wanita tersenyum ke  arahnya. "Jangan pergi. Ayo, kita foto bersama. Aku harus punya kenangan bersamamu di hari penting ini, Anthea." Anthea menatap ke kamera  yang sudah bersiap mengambil gambar. Dengan ragu, ia berjalan mendekat  dan berdiri di samping pengantin wanita. Berusaha kembali memasang raut cerianya, meski ia tidak bisa melakukannya dalam rasio seratus persen benar. "Satu, dua, tiga." Cekrek! "Terima kasih!" Anthea mengangguk dengan senyum, lalu pergi. . . Menghembuskan napas,  Anthea memutar gelas anggurnya. Pesta masih ramai dan dia tidak enak  hati jika harus kembali lebih dulu. Masih banyak teman kantornya yang  menikmati pesta kali ini. Rasanya canggung kalau ia menyelinap pergi dan akan mendapat pembicaraan buruk esoknya. Matanya tidak sengaja  menangkap seseorang yang duduk bersandar sendiri pada sebuah meja bundar  kecil di dekat lampu taman yang redup. Wajahnya tidak terlalu terlihat  jelas dari samping, tetapi ketika Anthea menyipitkan matanya, ia  mendapati ada tatapan lain yang pria itu tunjukkan pada seseorang yang  berdiri di depan sana. Pria itu berbalik dan  tidak sengaja menabrak pelayan wanita yang sedang membawa nampan berisi  gelas anggur baru untuk para tamu. Alis Anthea menyatu kala wajah sedih  pria itu tertangkap matanya. Terlihat tidak asing. Anthea menaruh gelasnya  di atas meja. Ia berjalan mendekati pria itu namun terlambat. Bahkan,  tanpa kata maaf atau apa pun, pria itu bergegas pergi meninggalkan pesta  dengan wajah terluka. "Kau baik-baik saja?"  sapa Anthea pada pelayan wanita itu. Pelayan itu segera mengangguk  setelah membersihkan pakaiannya dan berjalan pergi melaluinya. Tidak lagi mengatakan apa pun. Anthea mengangkat  bahunya dan kembali ke mejanya. Tatapannya kembali jatuh pada pasangan  pengantin yang sedang tersenyum lebar menghadap kamera. Tentu saja, ini  momen sakral yang akan dikenang selamanya. Sudah seharusnya mereka  mengabadikannya. Hari ini, harus banyak foto dan kenangan tercipta. Tidak peduli pada hati yang sedang berduka. Tangan kanannya terkepal  di atas meja. Anthea hanya mampu menunduk, menyembunyikan wajahnya dan  kedua matanya yang mulai terasa memanas. Tidak, dia tidak akan menangis. Sudah selesai. Semua sudah berakhir. Sepuluh tahun yang lalu hanya akan menjadi kenangan. Tidak lebih. Semua sudah selesai di sini. Anthea meremas tasnya.  Jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kanannya menunjukkan  pukul sembilan malam. Jika ia berlama-lama di sini, bahaya bisa saja  datang padanya. Jalanan menuju rumahnya sangatlah sepi. Anthea tidak  akan mengambil resiko lebih jauh lagi. Ia hendak berjalan  menuju kursi pengantin dan langkahnya terhenti saat kepala pengantin  pria terangkat lurus dan tatapan mata kelam itu jatuh padanya. Anthea tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum akhirnya ia berjalan pergi. Menahan air matanya sekali lagi. . . "Selamat pagi, Nona  Anthea! Kau terlihat pucat pagi ini," sapa petugas pria berbadan tinggi  menjulang yang berdiri di depan pintu masuk gedung. "Kau tidur cukup? Atau melewatkan jam sarapan lagi?" Mata Anthea terbuka lebar karena terkejut. "Oh, benarkah?" Petugas itu mengangguk dengan senyum sebelum akhirnya ia mempersilahkan Anthea masuk ke dalam gedung. Setelah masuk, Anthea  tidak menemukan adanya hal aneh di sana. Pernikahan sudah selesai dan  para pegawai tetap bekerja seperti biasa. Mungkin, bos mereka sedang  pergi bulan madu bersama suaminya. Mungkin saja. "Anthea!" Anthea menoleh setelah  jari telunjuknya menekan tombol lift. Dengan senyum tipis, Anthea  melambaikan tangannya dan Celin berlari mendekatinya dengan napas  tersengal. "Kupikir, aku terlambat," desahnya. Celin memperbaiki ikatan  rambutnya. "Aku semalam mencarimu, kau pulang lebih awal? Aku sebenarnya ingin mengajakmu pulang bersama. Sayang sekali, kau tidak ada di sana. Aku kembali sendiri akhirnya." Anthea mengangguk. "Aku  takut jika pulang terlalu malam, seseorang akan membunuhku di jalan,"  bisiknya. Celin memutar matanya. "Kau selalu berkata seperti itu. Tidak  akan ada yang berani membunuhmu, mereka akan berpikir dua kali jika  menyentuhmu. Malang sekali, tidak akan ada yang berani menyentuh perempuan-perempuan bertangan besi seperti kita." Anthea tertawa kecil dan tak lama pintu lift terbuka. Mereka berdua masuk diikuti dengan dua orang pria ke dalam lift. "Aku melihat atasan kita  sangat bahagia semalam. Kurasa, Callia benar-benar mencintainya," ucap  Celin pelan. Anthea menoleh dengan alis terangkat. "Bagaimana bisa kau  menyebut atasan kita dengan namanya saja tanpa ada kata 'nyonya' di awalannya?" Celin mendengus. "Dia  tidak ada di sini. Santai saja," Celin tersenyum. "Lagipula, kita  bertiga seumuran. Kita berada di kelas yang sama saat sekolah dulu.  Hanya saja, nasib dan latar belakang yang membedakan antara kita dan  dirinya. Dia kaya dan kita masih begini. Wah, memang harta menjadi penghalang yang sebenarnya." Anthea menyenggol pundak  Celin agak keras. "Yang terpenting kita bisa memenuhi hidup kita  sendiri itu adalah suatu pencapaian yang besar." "Kau benar." Pintu lift terbuka, dua orang pria yang masuk bersamanya keluar. Hanya tersisa mereka berdua di dalam lift. "Apa kita akan pulang malam hari ini? Ya Tuhan, memikirkan lembur membuat kepalaku sakit." Anthea mengangkat bahunya. "Tidak tahu. Mungkin saja," kepala menoleh. "Apa atasan kita sedang bulan madu?" Celin mendesah.  "Kudengar dari Saveri, Callia akan pergi bulan madu bulan depan. Mereka  berdua memiliki kesibukan yang padat. Hm, Callia punya jadwal yang padat  sebagai seorang CEO besar dan suaminya hmm siapa nama suaminya?" Anthea terkekeh kecil. "Sai?" "Ah, ya, Sai. Dia juga  seorang manager kelas atas di sebuah perusahaan konstruksi. Kurasa, itu  memakan waktu lama sampai mereka bisa menyesuaikan waktu bersama untuk  pergi bulan madu," jawabnya panjang lebar. "Aku tidak tahu pasti. Tapi yang aku dengar, mereka tidak akan melakukannya dalam waktu dekat ini. Mungkin akan melakukannya di tahun depan? Mengingat bagaimana bos kita yang gila kerja dan tidak kenal waktu." Anthea mengangguk dalam  diam. Tatapannya kembali lurus ke depan. Berusaha menyingkirkan semua  pikiran tentang pria itu di dalam kepalanya. . . Anthea menopang dagunya  di atas meja kerjanya. Tiga catatan kecil yang ia tempelkan pada layar  monitornya seakan menatapnya horror. Tiga tugas yang harus ia kerjakan  dalam waktu dua minggu. Menyebalkan. "Berapa banyak lagi yang harus kuhitung?" desahnya lelah. Celin mengintip dari  celah pembatas yang membatasi antara mejanya dengan meja Anthea. Dia  tersenyum melihat pekerjaan Anthea yang hampir selesai. "Aku akan mentraktirmu minum jika kau mau membantu menghitung pekerjaanku," bisik Celin yang membuat Anthea mendesah. "Tidak. Kau selalu  berkata seperti itu seribu kali tapi tetap saja aku yang membayarnya,"  balas Anthea sarkatis dengan wajah kesal yang dibuat-buat. Celin tersenyum merasa bersalah dan Anthea kembali memutar kursinya menghadap layar. "Jam makan siang, Anthea. Kau turun atau tidak?" "Aku harus pergi membeli  sosis dan kopi. Aku benar-benar butuh makanan berlemak," jawab Anthea  sembari membersihkan mejanya dan mengambil dompetnya dari dalam laci. "Kau akan gendut," "Aku tidak peduli." "Kalau begitu, aku titip  juga. Belikan aku dua sosis dengan saus pedas di atasnya. Aku ingin jus  jambu dingin," Anthea menoleh dengan mulut terbuka hendak menyela  ucapan Celin sebelum gadis bermata teduh itu menyodorkan beberapa uang  pada Anthea. "Tolong, ya? Pekerjaanku belum selesai. Aku harus mengejar waktu untuk menyelesaikannya. Tetapi, aku sangat lapar. Perutku tidak mau berkompromi. Dan aku tidak bisa membiarkan pekerjaan ini berlama-lama. Huh, serba salah." Anthea mengangguk dengan senyum tipis. "Aku bawakan nanti." "Ah, terima kasih, Anthea!" Anthea melambaikan  tangannya dan pergi menuju lift yang akan membawanya ke lobi. Jam makan  siang biasanya berlangsung sampai satu jam. Cukup lama sampai ia bisa  bersantai dan menikmati udara Jepang di siang hari. Sudah hampir empat tahun  Anthea bekerja pada sebuah perusahaan bidang produksi. Perusahaan ini  milik keluarga besar Daviana yang berdiri sudah hampir tiga puluh tahun  lamanya dengan anak perusahaan yang menyebar luas di seluruh kota  Jepang. Anthea bekerja langsung untuk kantor pusatnya. Dengan  perbandingan gaji yang cukup jauh dari anak perusahaan lainnya, itu  mencukupi kebutuhannya hidup sendiri di sini. Anthea menghembuskan  napas panjang saat ia melangkahkan kakinya ke luar dari pintu masuk  gedung. Langkahnya terhenti saat ia melihat seorang pria keluar dari  dalam mobil mewahnya dan berjalan menaiki tangga masuk ke dalam gedung. Matanya menyipit tajam saat melihatnya. Pria itu! Pria yang sama semalam. Ia melihat pria itu datang ke pesta pernikahan Callia! "Selamat datang Tuan Madana," sapa petugas pria yang sama saat menyapa Anthea pagi tadi. Pria itu hanya  mengangguk singkat dan berlalu pergi begitu saja. Ada aura yang tidak  Anthea mengerti dari pria itu sangat terasa padanya. "Madana? Dia Madana  Addi?" Anthea menutup mulutnya yang terbuka karena rasa terkejutnya.  Dia bertemu langsung dengan Madana Addi, CEO besar yang sangat  dikagumi itu. "Oh, ini hebat." Gumamnya pada diri sendiri sebelum akhirnya menuruni anak tangga dan pergi membeli makan siang. . . "Ya Tuhan, kau  benar-benar lama, Anthea," Anthea menghentikan langkahnya saat mendapati  Celin berdiri gelisah di dalam lift. Memandangnya dengan kesal. "Kupikir, kau pingsan  karena kelelahan. Wajahmu pucat pagi tadi. Aku merasa bersalah padamu,"  ucap Celin setelah menarik Anthea masuk ke dalam lift. "Aku tadi duduk  sebentar. Mencari udara segar di luar. Kau harus mencobanya, Celin,"  kata Anthea. Celin mengangguk masam. "Aku akan pergi besok. Kalau pekerjaan tidak menggunung, dan mereka memberiku kesempatan untuk bernapas di jam makan siang." "Kita makan di taman  saja. Bagaimana?" tawar Anthea yang diberi anggukan Celin. Celin  menekan tombol nomor pada lift dan lift yang mereka tumpangi segera naik  ke atas menuju tempat tujuan. . . Saat Anthea ke luar  bersama Celin, ia bertemu dengan pria yang ia kira bernama Madana  Addi di lantai dua puluh. Pria itu sedang berdiri bersandar pada  sebuah lorong panjang yang menghubungkan antara ruang pribadi milik Callia  dan lift pribadinya. "Untuk apa dia datang  kemari? Bukankah hubungan mereka sudah selesai? Aneh. Apa dia tidak bisa merelakan mantan kekasihnya untuk bahagia bersama orang lain? Benar-benar," bisik Celin. Anthea  mendengarnya seperti gumaman kecil. Sepertinya Celin sengaja tidak  berbicara keras di sini. "Ayo," Celin menarik  tangannya menuju lorong berbelok sebelah kanan yang berujung pada taman  buatan dimana taman ini sengaja didesain untuk para pegawai bersantai  dari tugas dan pekerjaan yang mereka lakukan. Sekedar menghirup udara  segar atau duduk bersantai menikmati pemandangan langit cerah dari  lantai dua puluh gedung. "Siapa dia?" tanya Anthea saat mereka duduk di bawah bangku panjang yang ada di taman. "Pria tadi? Itu Madana Gale. Kau tidak tahu?" tanya Celin balik saat mereka tengah membuka bungkusan sosis. Anthea menggeleng. Jadi, pria tadi bukan Madana Addi? Kenapa wajah mereka mirip? Anthea bergumam dalam hati. "Kupikir, Madana  Addi," jawabnya polos. Celin menggeleng cepat. "Tidak. Dia Madana  Gale, adik kandung dari Madana Addi dan putra bungsu Madana Kavin.  Kau pasti mengenal dua pria itu, 'kan?" Anthea mengangguk. "Kau seharusnya banyak  menonton televisi dan membaca koran. Kau akan tahu bagaimana hidup  keluarga Madana berjalan," kata Celin sembari memakan sosisnya.  "Menyedihkan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Di antara keluarga  Madana yang lain, aku begitu mengasihani Madana Gale." Anthea meminum jusnya. "Apa yang terjadi?" Celin mengangkat  bahunya. "Aku sendiri tidak benar-benar yakin. Aku mengetahuinya karena  Saveri bekerja dengannya. Tetapi, Saveri tidak pernah mau menceritakan  hal sensitif seperti itu padaku. Karenanya, itu bersifat sangat rahasia. Tidak semua orang boleh, atau mendapatkan cerita tersebut. Aku tidak memaksa. Dan dia juga tidak menjelaskan secara rinci." "Aku melihatnya beberapa  kali. Seingatku sebulan yang lalu di depan pintu masuk. Dia seperti  menunggu seseorang," balas Anthea. "Semalam juga aku bertemu dengannya  di pesta pernikahan Callia. Aku berusaha mengingat siapa dia, wajahnya  tidak asing. Dan ternyata aku pernah melihatnya," Anthea menggigit  sosisnya. "Aku juga bertemunya saat keluar membeli makanan tadi di pintu  masuk. Beberapa kali melihatnya, dan aku masih tidak mengenalnya. Otakku lama mencerna rupanya." Celin tersenyum sedih. "Kupikir, Gale kemari untuk Callia. Ini sulit, Callia adalah cinta pertamanya." Kunyahan di mulutnya  terhenti seketika. Iris hijaunya menatap lurus ke depan. Seolah ada batu  besar yang dijatuhkan di atas kepalanya. Anthea menaruh gelas jus di  sampingnya dan terdiam. "Kudengar, Callia dan  Gale berteman sejak mereka masih kecil. Sangat klasik. Seperti cerita  yang sering k****a di novel atau drama romantis yang sering kutonton  setiap minggu pagi, tapi ini benar-benar nyata. Dan Gale  mencintainya," ucap Celin setelah menelan sosis potongnya. "Mereka berdua terlahir dari keluarga kaya, bukannya?" Celin mengangguk. "Ya,  kekayaan kedua keluarga itu tidak bisa lagi dihitung dengan akal sehat.  Tetapi, bukankah hidup selalu memberi pelajaran? Tidak selamanya apa  yang kauinginkan akan kau dapat. Tidak selamanya kehidupanmu berjalan  sesuai maumu, tidak semudah itu." "Kupikir, mereka saling mencintai," bisik Anthea. "Awalnya, aku juga  berpikir sama denganmu, tetapi semalam aku melihat Gale begitu hancur.  Dia datang dengan perisai yang kuat namun runtuh saat melihat cincin  itu berakhir di jari manis Callia," jawab Celin lirih. "Gale adalah pria  yang baik. Sayangnya, itu tidak terlihat karena tertutup oleh wajahnya  yang dingin dan sikapnya terlalu tertutup pada orang lain." Celin menoleh pada  Anthea yang terdiam di tempatnya. Tubuh gadis itu tampak seperti batu.  Tegang dan kaku. Anthea tidak bergerak sedikit pun. Bahkan, dari samping  tampak Anthea sedang menahan sesuatu yang tidak Celin tahu. "Mengapa bisa Callia menikah dengan Sai, Anthea? Bagaimana menurutmu?" Remasan Anthea pada rok hitamnya menguat. Kedua matanya mulai terasa memanas. "Mereka saling mencintai, mungkin?" bisik Anthea yang terdengar seperti gumaman kecil. Celin mengangguk singkat. Tetapi, pandangannya masih belum lepas darinya. "Bukan karena ikatan perjodohan?" Pertanyaan Celin sukses  membuat pertahanannya hancur. Anthea memejamkan matanya dan air mata  itu meluncur bebas turun ke pipinya. Remasan pada roknya melemah, kedua  tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya. "Anthea?" Anthea menurunkan kedua tangannya setelah menghapus air matanya. Ia tersenyum pada Celin. "Dia, Sai, adalah kekasihku." Dan detik itu juga,  Anthea sukses membuat Celin menjatuhkan gelas jus jambunya dan membuat  gadis itu membelalak terkejut dengan mulut terbuka. . . Anthea menolak tawaran  Celin untuk pulang bersamanya karena Anthea akan pulang dengan bus umum  dan pergi ke suatu tempat untuk membeli sebuah barang. Saat Anthea keluar dari  pintu masuk, ia melihat Madana Gale berdiri tepat di bawah tangga  dengan bersandar pada mobil hitam mewahnya. Anthea melirik jamnya, pukul  tujuh malam. Dan seluruh aktifitas di dalam gedung sudah berhenti sejak  dua jam yang lalu. Anthea segera berjalan  menuruni anak tangga dan tatapan tajam pria itu sempat mengarah padanya  sebelum akhirnya Gale mengalihkan pandangannya ke arah lain dan  bersikap tidak peduli. Beberapa detik  setelahnya, Anthea mendengar sebuah mobil mendekat ke arah pintu masuk  gedung dan berhenti agak jauh di sana. Anthea memandang mobil hitam itu  sekilas sebelum ia mendengar sebuah suara berat dari belakang  punggungnya menyapa seseorang. "Selamat malam, Nyonya Daviana. Hati-hati di jalan." Anthea memutar kepalanya  dan mendapati Callia tengah berjalan menuruni anak tangga. Anthea  tersenyum dan mengangguk sopan padanya. Callia tersenyum setelah menepuk  pundaknya. Ada hal yang sangat  memukulnya. Anthea benar-benar melihat Callia mengabaikan Gale yang  mungkin sejak tadi berdiri di sana menunggunya. Anthea tahu ini salah,  tapi bisakah? Pandangan Anthea  mengikuti langkah Callia yang berjalan mendekati mobil hitam yang baru saja  tiba di sana. Ketika pintu pengemudi terbuka, Anthea membeku di  tempatnya. Itu Sai. Pandangan Gale juga  mengikutinya. Anthea bahkan tidak bisa menggerakkan kakinya barang  selangkah untuk berlari dari sana sejauh mungkin. Dia tidak bisa. Saat Sai datang dan Callia  memeluknya, Anthea tidak bisa untuk memalingkan wajahnya. Fokusnya hanya  pada pasangan pengantin baru di depan sana. Melihat bagaimana cara Sai  memperlakukan Callia dengan lembut. Callia masuk ke dalam mobil dan Sai sama sekali tidak melihatnya. Anthea menunduk, menyembunyikan wajahnya. Mobil hitam itu  perlahan-lahan mundur dan berbelok arah menuju gerbang utama yang  berhubungan langsung dengan jalan besar. Mobil itu akhirnya pergi dan  menghilang bersama mobil lainnya yang melintas. Anthea menutup mulutnya,  dia tidak mungkin menangis di sini. Tidak mungkin bertingkah konyol  karena hal kecil seperti tadi. Tapi, mengapa rasanya sangat sakit? Anthea mengusap wajahnya  dan berjalan pergi. Tetapi, sebelum ia melangkah lebih jauh lagi, ia  menoleh ke belakang. Mendapati Madana Gale masih berdiri di sana  dengan ekspresi dingin yang Anthea yakini, itu ekspresi wajah terluka  yang sangat dalam. Anthea terdiam.  Memikirkan hubungan apa yang terjalin di antara keduanya. Tapi, ada satu  hal yang bisa ia ambil di sini kalau dia tidak sendirian. Dia tidak  sendiri menanggung rasa sakitnya. Iris kelam itu memutar  dan kini menatap matanya. Anthea sendiri bahkan tidak tahu apakah pria  itu tahu kalau kini kedua matanya mulai memerah karena menahan tangis. Tidak, dia tidak  sendirian. Pria itu jauh lebih menyedihkan dibanding dirinya. Pria itu  jauh lebih menderita dibanding dirinya dan dia melihatnya. Anthea memberikan senyum  kecilnya dan berharap itu bisa menghibur hati Gale yang terluka.  Namun, sayangnya tidak ada respon. Gale hanya menatapnya kosong. Anthea memutar  kepalanya. Pandangannya lurus ke depan. Ia mulai melangkah satu demi  satu sampai suara Gale yang cukup keras berhasil membuat langkahnya  terhenti. "Matteo Sai ..." Anthea meremas tas kerjanya kuat-kuat. "Bukankah dia kekasihmu?" Anthea terdiam di tempatnya. Dia menoleh ke arah Gale dan pria itu tersenyum dingin padanya. "Kau. Juga. Menyedihkan." Anthea tersenyum lebar. "Tidak, Tuan. Dia hanya temanku. Kami berdua adalah sahabat dekat," dustanya. Anthea kembali berbalik setelah mengucapkan selamat malam dengan sopan sebelum suara berat itu kembali mengusik langkahnya. "Aku juga menyedihkan, sama seperti dirimu." Dan Anthea tetap berjalan lurus ke depan tanpa lagi menoleh ke belakang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Broken

read
6.2K
bc

See Me!!

read
87.8K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.0K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

LARA CINTAKU

read
1.5M
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Orang Ketiga

read
3.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook