bc

Ketika Harus Memilih (Cinta Untuk Dia)

book_age16+
1.6K
FOLLOW
5.7K
READ
HE
love after marriage
mate
CEO
drama
female lead
city
coming of age
shy
stubborn
like
intro-logo
Blurb

TAMATT!!!!

Blurb.

Di beri dua pilihan dalam menjalin sebuah hubungan adalah hal yang begitu rumit. Apalagi jika dua pilihan itu melibatkan sebuah perasaan, siapa yang akan di pilih? Cintanya atau kenyamanannya?

Naomi harus merasakan pahitnya ditolak oleh kekasihnya sendiri, Naomi meninggalkan Jakarta dan ke Bandung demi kawin lari dengan kekasihnya namun kekasihnya itu menolak hingga Naomi dengan terpaksa menerima perjodohan kedua orangtuanya.

Lama menjalin kasih dengan kekasihnya tak membuatnya berakhir bahagia, malah harus menikah dan hidup bersama pria yang ia kenal dengan singkat.

Pernikahan mereka pun terlaksana begitu ramai dan banyak tamu undangan yang datang, semua tamu itu tak tahu jika ternyata pernikahan yang mereka hadiri adalah pernikahan penuh dengan kesepakatan. Awalnya pernikahan mereka berjalan dengan sempurna seperti pernikahan pada umumnya, namun ternyata orang ketiga hadir tepat masa lalu dari suaminya yang mengguncang hati dan jiwa Naomi. Sebenarnya masa lalu itu sudah ia miliki juga, namun masaa lalu suaminya lebih kejam daripada masalalunya.

Akankah Naomi bahagia?

Akan ku buktikan cintaku kepadamu.

chap-preview
Free preview
Bag 1 - Ajak Nikah
Cinta harusnya menjadi satu-satunya alasan seseorang menikah dan memadu kasih dalam hubungan yang halal, namun hal itu tidak berlaku bagi seorang wanita cantik yang saat ini menangis karena hubungannya dengan kekasihnya terhalang restu orangtua. Wanita cantik itu menuruni taksi dengan menarik koper bersamanya, lalu memasuki perumahan pekerja dengan mengedarkan pandangannya, wanita itu bernama Naomi Cantika Ibram, ia adalah seorang sarjana kedokteran yang lagi menjalani masa coass-nya untuk mendapatkan gelar dokternya. "Neng, ini perumahan khusus laki-laki," kata seorang penjaga perumahan yang bernama Ibu Temi, menghampiri Naomi dan menghadang jalan gadis itu. "Perumahan khusus wanita ada di sebelah sana." Penjaga perumahan itu kembali menambahkan dan menunjuk perumahan khusus wanita yang berada disebelah perumahan pria. "Saya kemari ada perlu, Bu,” kata Naomi, sesekali menyusuri setiap sudut perumahan dengan mata indahnya. Perumahan yang terlihat seperti kos-kosan, dan berlantai dua. “Perlu apa, Neng?” tanya Ibu Temi masih memegang sapu lidi ditangannya. “Saya kemari mencari Fandi, Bu," jawab Naomi. "Oh … Nak Fandi? Neng siapanya Nak Fandi?” "Saya calon istrinya, Bu," jawab Naomi. "Baiklah. Biar Ibu antarkan ke kamarnya," sahut Ibu Temi. Naomi mengikuti langkah kaki wanita parubaya yang kini berjalan didepannya. Naomi harus menemui Fandi untuk mengatakan tujuannya kemari, ia rela meninggalkan Jakarta, dan menyusul kekasihnya hanya untuk meminta dinikahi. "Ini kamarnya, Neng," tunjuk Ibu Temi. "Baiklah, Bu. Terima kasih," ucap Naomi. "Kalau begitu Ibu tinggal ya, tapi di sini ada peraturannya, yang belum menikah tidak di perbolehkan satu kamar, jadi Neng temui saja dulu nak Fandi nya,” kata Ibu Temi, mengingatkan. Naomi hanya mengangguk. Sepeninggalan Ibu Temi. Naomi mengetuk pintu kamar. Namun, belum ada jawaban. Dua kali ia mengetuk pintu, belum juga ada jawaban, Naomi paham, ini masih sangat pagi, Fandi pasti masih tidur mengingat kebiasaan Fandi yang selalu tidur kesiangan. Ketiga kalinya, ia mengetuk pintu, suara seru terdengar dari dalam sana. “Ya?” "Ini masih pagi, Bu,” kata Fandi seraya membuka pintu, dan mengucek matanya pelan. Mencoba membawa dirinya kembali ke alam sadarnya. "Sayang!" Tanpa ba-bi-bu, Naomi langsung nyosor memeluk Fandi. Ia sangat merindukan prianya itu. Pria yang setahun ini sudah bekerja di Bandung demi impian mereka berdua. "Sayang? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Fandi. “Bisa nggak kamu persilahkan aku masuk dulu? Aku lelah harus kemari pagi sekali,” kata Naomi, membuat Fandi tersenyum. “Aku lupa, ayo masuk.” Fandi menggenggam jari jemari Helena dan membawanya masuk ke kamarnya. “Duduk dulu, ya.” "Kita kawin lari saja, Yang," ajak Naomi, membuat Fandi membulatkan matanya penuh. Paginya harus di kejutkan dengan kedatangan kekasihnya, ditambah lagi mendengar ajakan menikah mendadak dari wanita yang ia cintai. "Ada apa? Kenapa kemari membawa koper besar seperti itu? Kamu kabur dari rumah?" tanya Fandi. Menatap Naomi penuh cinta. "Iya. Aku kabur," jawab Naomi. "Tapi … alasannya apa, Sayang?" tanya Fandi. "Aku kemari ingin menikah dengan kamu," jawab Naomi, penuh keyakinan. "Jelaskan dulu, sebenarnya ada apa? Kenapa mendadak memintaku menikahimu? Kamu ‘kan tahu, aku meninggalkan Jakarta, demi masa depan kita," kata Fandi. "Aku merindukanmu," gumam Naomi. "Aku juga sangat merindukanmu, Sayang. Sangat! Tapi, aku butuh penjelasan, ada apa? Kenapa kamu seperti ini? Alasanmu kabur dari rumah dan memintaku menikahimu, sebenarnya … kenapa?" Rasa penasaran membuat Fandi tak berhenti bertanya, melihat Naomi ada di sini dengan menenteng koper besar membuat keinginan tahunya memaksanya bertanya. Meski ia tidak membutuhkan alasan mengapa dan bagaimana bisa Naomi ada di sini. "Apa bisa, jangan menanyakan tujuanku kemari? Aku hanya ingin melepas rinduku ini dengan melihatmu, dan apa aku harus memberi alasan untuk menemui kekasihku sendiri?" tanya Naomi, membuat Fandi putus asa menanyakannya. Tentu, tidak ada salahnya menemui Fandi, namun dengan tentengan besar ini, membuat Fandi melontarkan banyak pertanyaan mengabaikan ketidak inginan Naomi menjawabnya. Fandi mendengkus, dia putus asa dengan semua pertanyaannya yang belum mendapatkan jawaban. "Baiklah, aku tidak akan menanyakannya lagi, aku akan membeli sarapan di depan gang sana, kamu pasti lapar karena harus pagi buta kemari dari Jakarta,” kata Fandi, beranjak dari duduknya dan mengambil baju kaosnya. Sepeninggalan Fandi, Naomi terisak, karena beban di pundaknya begitu berat sehingga ia tak mampu berpikir secara masuk akal. Yang di pikirannya saat ini, ia ingin menikah dengan Fandi dan meninggalkan orangtuanya. "Nak Fandi, apa benar wanita yang datang itu adalah calon istrimu?" tanya Ibu Temi, ketika melihat Fandi berjalan menuruni tangga. Fandi mengangguk. "Iya, Bu. Dia calon istri saya, dia baru sampai dari Jakarta." "Oh, begitu? Tapi, dia tidak boleh menginap bersama Nak Fandi ya, karena kamu tahu sendiri apa peraturan perumahan ini," kata Ibu Temi, mengingatkan. "Iya, Bu, dia akan menginap di kamar Manda,” jawab Fandi. "Baiklah," kata Ibu Temi. "Tapi, Nak Fandi mau kemana?" "Saya mau membeli sarapan, Bu." "Baiklah." Fandi berjalan menuju depan gang membeli sarapan, ia merogoh ponselnya di kantong celana dan mendial nomor seseorang. "Assalamualaikum, Wen," sapa Fandi. "Waalaikumssalam, Fan, tumben kamu nelpon?" "Maaf, aku jadi ganggu pagi banget, ada yang ingin aku tanyain. Boleh, 'kan?" "Boleh banget, tanyakan saja," jawab Weni, menunggu Fandi berbicara. "Apa kamu tahu, masalah apa yang tengah di hadapi Naomi? Dia ke Bandung dan memintaku menikahinya. Kamu tahu ‘kan, aku nggak mungkin menikahinya tanpa restu orangtuanya," kata Fandi. "Apa? Naomi ke Bandung? Nemuin kamu? Kapan?" Weni terkejut, mendengar kabar yang ia terima, baru saja semalam ia menemui Naomi dan sekarang sahabatnya itu sudah di Bandung. "Iya/ Kamu nggak tahu, Naomi ke Bandung?" "Lah. Aku malah baru tahu dari kamu loh ini." "Memangnya, ada apa, sih? Apa ada sesuatu yang nggak aku ketahui? Dia kabur dari rumah?" tanya Fandi, berusaha mencari jawaban dari pertanyaannya lewat Weni. “Kamu nggak coba tanyain langsung ke Naomi?" "Aku itu udah beberapa kali nanyain, tapi dia nggak menjawab." "Gimana ya ngomongnya ...." Weni ragu. "Ada apa? Katakan saja, aku siap mendengarkan," Fandi makin penasaran. "Gini, Fan … sebelumnya aku minta maaf ya, mungkin Naomi nggak cerita sama kamu, karena dia ngejaga perasaan kamu aja." Weni sejenak terdiam. Fandi masih mendengarkan dan menunggu kelanjutan cerita Weni. "Gini, Paman Ibram dan Bibi Sinta mengatur perjodohan untuk Naomi." "Apa? Naomi di jodohkan?" Kabar itu mengejutkan Fandi dan merasakan sesak di dadanya. Jadi perjuangannya harus sia-sia? Demi pria yang lebih baik darinya? Selama ini, ia sudah berjuang mendapatkan restu meski selalu saja sia-sia "Iya." Weni memberi jeda, karena tak tega pada Fandi, Fandi adalah pria yang baik. "Semalam sudah di gelar pertemuan keluarga, Naomi juga sudah menemui keluarga pria yang akan di jodohkan dengannya, pernikahan mereka akan di gelar minggu depan. Jadi … sudah bisa dipastikan Naomi kabur dari rumah karena nggak bisa menerima perjodohan ini. Kamu ‘kan tahu sekeras apa kedua orangtuanya, sudah sangat lama Naomi ingin menemui kamu," kata Weni, menjelaskan. Pada akhirnya, Fandi memahami bagaimana sikap Naomi yang memintanya menikahinya, secara mendadak. "Apa perjodohan ini sudah lama di rencanakan?" tanya Fandi, menyelidiki. "Iya, Fan," jawab Weni. "Sebagai sahabat, aku mah dukung Naomi apa pun keputusannya, tapi ini menyangkut kedua orangtuanya, perusahaan om Ibram sedang ada masalah, Om Ibram dan Ayah pria itu mengatur perjodohan ini," tambahnya. "Pantas saja." "Terserah kamu sih, Fan, apa yang ingin kalian lakukan, tapi aku yakin banget, kamu bakal ngambil jalan yang bener dan itu jalan yang terbaik," kata Weni. "Terima kasih, Wen, sudah menjelaskannya padaku," kata Fandi, penuh kecewa, sebenci itu kah Ayah Naomi padanya? Sehingga menjodohkan Naomi pada pria lain, sedangkan Ayah Naomi tahu, hubungan putrinya dan Fandi seperti apa dan selama apa. "Iya," jawab Weni, tak tega. "Ya udah, aku bakal ngehubungin kamu lagi nanti," kata Fandi. "Siap." "Assalamualaikum." "Waalaikumssalam," jawab Weni. Fandi mengakhiri telpon dan menghela napas gusar, ia pun tak ingin kehilangan Naomi apalagi membiarkan Naomi hidup dengan pria lain, akan sia-sia perjuangannya selama ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.5K
bc

My Secret Little Wife

read
93.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook