bc

Liliana dan Gerbang Dunia Gaib

book_age18+
7
FOLLOW
1K
READ
Girlpower Revenge Writing Contest
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Adalah Liliana yang merasa kebingungan karena pamornya menjadi seorang novelis perlahan-lahan meredup dan bos penerbitannya meminta Liliana untuk menulis kisah tentang orang-orang Indigo dan supranatural. Yang mana permintaan tersebut dirasa sangat berat oleh Liliana. Apalagi gadis itu memiliki kenangan akan pengalaman-pengalaman mistis dengan makhluk-makhluk astral yang ada di dalam rumahnya. Pertemuan-pertemuan dengan teman-teman Paranormal di dunia supranatural membuatnya jatuh hati dengan sosok praktisi bernama Kaka Tirta. Di mana ternyata Kaka Tirta yang menjadi satu-satunya orang yang membasmi monster jahat yang ada di dalam tubuh Liliana selama ini dan bersarang di dalam punggungnya..

Kisah perjalanan misteri yang dibumbui roman dan cerita-cerita yang tak biasa di mana Liliana disukai oleh paranormal-paranormal. ADa daya pikat yang membuat mereka tertarik dekat dengan Liliana, usut punya usut, di dalam diri Liliana masih bersembunyi sosok Kunti cantik yang selalu ada menemani Liliana ke manapun.

Akankah Liliana berhasil membasmi monster-monster lainnya sendirian tanpa bantuan paranormal?

Dengan apa Liliana berjalan sendirian tatkala satu per satu orang yang ada bersamanya memutuskan untuk pergi meninggalkan Liliana seorang diri?

chap-preview
Free preview
BAB 1 Takdir yang Tak Bisa Dilawan
“Ini bukan kisah biasa. Ketika gerbang itu terbuka, maka ia akan terbuka. Saat terbuka, engkau akan tahu dunia itu. Ya, dunia yang berbeda. Dunia lain.” Tahun 1997     Kompleks perumahan baru Desa Wilangun baru saja selesai dibangun dan dibeli beberapa orang termasuk orang tua gadis itu. Keduanya memilih letak rumah di tengah bernomor angka 11. Yang menurutnya tak terlalu panas terkena sinar matahari kalau sedang terik tepat di siang hari. Nama orang tua gadis itu adalah, Pak Bram dan isterinya Bu Liana. Bu Liana kala menempati rumah barunya tengah hamil tua sembilan bulan dan menanti detik-detik kelahirnya anak keempatnya. Impiannya untuk memiliki rumah pun terwujud sudah, yang ceritanya mereka sempat tertipu seorang developer saat hendak membeli rumah  di mana uang muka pembayaran rupanya diambil oleh developer gadungan tersebut dan tak jelas di mana kabarnya. Jadi, Pak Bram dan Bu Liana merasa sangat bahagia ketika mendapatkan rumah yang diimpi-impikan selama ini. Sudah sempurna dan tiap bulan tinggal membayar cicilan. Mereka bahagia, ya bahagia apalagi setelah beberapa hari kemudian bayi keempat itu lahir dan berjenis perempuan. Bayi perempuan yang lahir tepat di waktu shubuh dan ketika adzan berkumandang.      “Kita namai siapa bayi perempuan cantik ini, Pa?” tanya Bu Liana pada Pak Bram yang tengah senang menggendong bayinya.      Sempat terdiam sejenak untuk berpikir nama apa yang akan diberikan, semua tidak dipikirkan sejak awal karena inginnya mendapat surprise. Tak ada semenit Pak Bram mondar-mandir, akhirnya Pak Bram tercetus sebuah nama, “Liliana,” * -Anak-anak kecil yang sendirian itu, Ada pendamping-pendamping yang tak terlihat, dan menjaganya ke mana-mana.- Gadis kecil itu berdiri diam di sisi pintu kelas 1a.  Jam sekolah usai lebih awal lantaran guru kelas 1b ada rapat di luar. Jadi murid-murid dipulangkan dua jam sebelumnya. Gadis kecil itu tak suka ada acara dadakan, apalagi pulang lebih cepat. Sebab jarak antar rumah dan sekolahnya lumayan jauh untuk anak sekolah seumurannya-2,5 kilometer. Apalagi dia diantar pulang-pergi oleh si Babang beca. Pasti akan selalu tepat waktu, jemput ke rumah setengah jam sebelum jam masuk, dan jemput ke sekolah setengah jam sebelum jam pulang juga. Nama gadis kecil itu, Liliana. Usianya baru saja menginjak 7 tahun. Dan kini dia tengah berdiri sendirian di sisi pintu kelas 1a. Bola matanya mulai berkaca-kaca, tangisnya dialihkan dengan memain-mainkan sepatu hitamnya yang mungil. Sesekali dia beranjak turun ke bawah untuk bermain ayunan, sendirian. Semua teman-temannya sudah pulang. Murid kelas 1b hanya tinggal dirinya seorang. "Kok belum pulang, Nak?" celetuk guru kelas 1a yang baru saja keluar dari dalam kelas dan menepuk pundaknya. "Nunggu jemputan, Bu." "OK, jangan pulang kalau belum dijemput ya?!" Satu jam pun terlewati, kaki Liliana sudah mulai kesemutan. Entah datang dari mana, dirinya seakan mendapatkan keyakinan untuk memilih pulang sendiri. Sambil menahan tangis, gadis itu menundukkan kepalanya terus. Agar tidak ada yang tahu kalau dia sedang menangis. Jalan depan sekolah itu termasuk jalan besar, dan Liliana agak takut untuk menyeberang jalan. Seperti ada tepukan di pundak kanan memberikan rasa yakin agar dia mau terus berjalan. Seorang gadis kecil, tubuhnya kecil dan penakut akhirnya melanjutkan perjalanannya. Dia mulai belajar menghafal jalan tiap kali si Babang beca mengantarnya pulang. Melewati jembatan yang dibawahnya sungai kecil, konon kabarnya ada buaya penjaga sungai di bawah jembatan itu yang suka memakan anak kecil. Liliana takut dan akhirnya berjalan di pinggir-pinggir saja tidak ke tengah, apalagi ada yang berlubang. Takut terperosok. Imajinasi gadis itu terlalu tinggi. Cerita-cerita dari kakak dan teman-temannya membuat nyalinya ciut di tengah perjalan. Tapi sekali lagi dia mendengar suatu bisikan di telinganya. Terus saja, jangan takut. Sebentar lagi sudah sampai ke rumah. Ya, seorang gadis kecil duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar. Tidak ada yang menjemputnya saat itu, dia benar-benar sendirian. "Lili? Lilii pulang kok jalan kaki, Nak? Mana Babang beca?" Bu Liana, ibunda Liliana terkejut saat melihat anak perempuan paling kecilnya pulang ke rumah jalan kaki sambil menangis sesenggukan. Dipapahnya gadis kecil itu yang kelelahan berjalan kaki, dan tak henti-hentinya menangis. * "Lha iya, kok bisa anak sekecil ini bisa pulang sendiri jalan kaki. Ya ndak nyasar gitu lo, Jeng," kata Ibu Liliana saat tengah berbelanja sayur bersama ibu-ibu tetangga lain. "Pinter, Jeng itu anaknya. Ada yang njaga biasanya," seloroh ibu tetangga sebelah, Bu Pranoto. "Yang njaga?" Ibu Liliana mengernyitkan alis. "Iya, penjaga gaib," sambung Bu Pranoto. "Ah, Jeng ini ngomong apa?" "Lha anak kecil di mana-mana masih dijaga sama Malaikat, Jeng." *   #Pendamping_gaib Kakek berjubah putih itu mendengar salah seorang dari cicitnya membutuhkan pertolongannya. Sedetik itu pula dia sampai ke alamat tujuan. Kecepatannya datang dari tempat yang jauh, dan kini ada di samping si gadis kecil yang sedang menangis. "Kamu sendirian lagi, Nak." si Kakek melihat ke sekelililing di mana tak ada yang memperhatikan gadis kecil bernama Liliana itu. Kasihan, gumam si Kakek. Melihat gadis kecil itu memain-mainkan sepatu hitamnya yang mungil. "Aku akan membantumu, Nak." Ditepuknya pundak Liliana pelan, memberikan keyakinan pada gadis kecil agar mau melangkah pergi meninggalkan sekolah. Meski harus berjalan kaki, ditanya rumah pun tidak tahu harus menjawab apa. Yang dihafalnya cuma posisi jalan yang sering dilewatinya. Kakek penjaga itu memutuskan untuk lebih memprioritaskan penjagaannya pada Liliana. Sebab dia bisa melihat ke depan bahwa gadis kecil itu akan tetap sering sendirian. Dia berjalan tepat di belakang si gadis kecil yang ketakutan berjalan di tengah jembatan. Jembatan yang berlubang itu tidak ada yang berani melewatinya, termasuk Liliana. Si Kakek penjaga terus membimbingnya sampai gadis itu benar-benar aman. Dunia ini menjadi teramat asing untuk gadis sekecil dirinya, berkumpul dengan banyak orang di jalanan. Si Kakek penjaga membuat pandangan orang-orang yang berniat jahat di sekitar Liliana itu tumpul. Kembali dia membelokkan Liliana ke kanan dan terus mengarahkan jalan mana yang harus dilalui. Terkadang kepolosan si gadis kecil membuat Kakek penjaga gemas. Lantaran dia sering ngoceh-ngoceh sendiri entah dengan siapa. “Aku nggak mau sekolah di situ lagi.” Begitulah kata-kata yang selalu didengar oleh si Kakek penjaga. Tapi, Kakek penjaga hanya bertugas menjaga saja tidak ikut mencampuri urusan perjalanan hidup anak atau orang yang dijaganya karena itu bukan ranahnya. “Sudah sampai, Nak.” Kata si Kakek penjaga berdiri di luar pagar rumah orang tua Liliana. Dan melihat sang ibunda terkejut saat tengah melihat anak perempuan kecilnya berdiri menangis sesenggukan. Kakek itu berdiri di sisi pohon dan melihat sekitar, dia merasa bahwa di Desa Wilangun itu banyak sekali dihuni makhluk gaib yang suatu hari akan berpengaruh di kehidupan si gadis kecil. Nak, aku akan terus menjagamu sampai kau dewasa nanti. *     "Jadi, di bawah jembatan itu ada siluman buaya putihnya. Ada berita kemarin anak kecil yang lagi bermain di sungai, ditarik sama si Buaya siluman lalu dibawa ke kerajaan gaib di bawah sungai." Kakak sulung laki-laki yang biasa dipanggil Boy itu menakut-nakuti Liliana agar tidak sampai nekad pulang sekolah sendirian. "Hiiiiiiii....!" Liliana terpekik sampai memeluk ibunya erat-erat. “Kalau Adek besok nggak mau nunggu Babang becak datang, jangan pulang sendirian ya?” sambung Kak Boy membelai rambut ikal Liliana. “Tapi kalo lama?” “Tetap tunggu di sana, titik.” Kak Boy menuntaskan ucapannya. Lalu beralih ngobrol dengan ibunya. “Sekolah Adek terlalu jauh, Bunda,” Wanita berusia tiga puluh tujuh tahun itu menghela napas panjang. “Nggak ada pilihan, ini salah Bunda, Boy.” Sambil matanya menerawang mata Liliana yang masih polos tanpa dosa. *           Tak ada dari seminggu, si gadis kecil mengalami hal yang sama lagi. Dan parahnya, siang hari itu...           “Hujan?” Liliana bersama dengan beberapa teman lainnya keluar dari dalam kelas. Tampak dari luar pintu semua orang yang menjemput anak-anak mereka sudah datang. Liliana menoleh kesana kemari mencari sosok ibundanya. Tak nampak sekalipun wajah sang ibunda, sementara hujan begitu deras mengguyur. Babang-babang beca sudah siap sedia mengantar mereka pulang. Ada yang sibuk memakaikan anaknya jas hujan, ada yang berlari cepat memakai payung. Satu per satu sudah pulang, kembali Liliana berdiri sendirian di sudut pintu. “Lagi-lagi…” keluhnya sambil menundukkan kepalanya. Hujan di siang hari itu sangat lebat, yang dinanti pun tak kunjung datang. Lapangan sekolah pun banjir. Bagaimana dia bisa turun ke bawah? Hatinya menangis, sudah saja. Si gadis kecil berdoa agar suatu hari dia tidak lagi datang ke sekolah ini. Tidak sanggup menahan rasa sendiri kala-kala mendapatkan hari buruk yang tak pernah diharapkannya.           Tigapuluh menit pun berlalu. Sepatu Liliana lepas satu dan hanyut saat dia mencoba untuk turun ke bawah. Beruntung saja Babang beca datang di waktu yang tepat. Babang beca melambai-lambaikan tangannya pada Liliana memberitahu kalau dia sudah datang meski masih ada di depan pintu gerbang. Lega hati gadis kecil itu meski dalam hati dia berharap besok jangan lagi ke sekolah untuk selama-lamanya. * #Pendamping gaib                  Kakek itu berdiri di belakang kursi yang diduduki Liliana, dia memperhatikan terus tingkah laku si gadis yang lucu. Teman sebangkunya si gadis berkulit cokelat itu nampak akrab dengan Liliana. Liliana adalah gadis yang periang dan suka berlarian, nilai-nilai ulangannya pun bagus. Tapi, rupanya awan mendung mulai mengitari langit sekolah. Sedikit ada rasa cemas si Kakek yang semenjak tadi mengamati awan-awan hitam yang berjalan berarak.           “Sebentar lagi hujan,” kata si Kakek. Kata-kata Kakek sempat membuat Liliana melihat ke belakang. “Gadis kecil, Kakek akan mengamati keadaan di luar dulu.” Kakek berjubah putih itu keluar dari dalam kelas menuju teras depan kelas 1b. Terlihat banyak orang tua murid sudah menjemput lebih awal. Si Kakek mencari ibunya Liliana, tapi tidak mungkin ibu Liliana menjemput. Sudah terlalu sibuk dengan anak-anaknya yang lain. Dicarinya si Babang beca juga tidak nampak di luar. Hujan pun mulai turun dengan derasnya, anak-anak pun berteriak sambil keluar dari dalam kelas mereka masing-masing. Kakek penjaga itu kembali mendampingi Liliana yang terlihat bergegas memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Nampak dari raut wajah si gadis terlihat cemas. Hujan pertama pada pertengahan Desember. Si Kakek berjubah putih melihat Liliana menundukkan kepala. Jika sudah begitu pastilah menangis. Dia pun menengadah ke arah langit dan seakan mendengar sesuatu hal bahwa tak akan lama lagi akan ada kejadian besar yang mengubah hidup si gadis kecil untuk selama-lamanya.           “Tenanglah, Nak. Tak akan lama lagi kau sekolah di sini. Langit tak bersahabat denganmu di sini, Tuhan akan mengubah semua ini.”           Dan si Kakek itu pun mengikuti Liliana selama dalam perjalanan pulang. Gadis kecil itu suka sekali mengintip ke luar ketika Beca ditutup dengan penutup plastik agar air hujan tidak sampai mengenai si penumpang. Tapi, namanya Liliana dia selalu merasa penasaran. Si Kakek melihat gadis kecil itu mengintip dan membuka plastik pembungkus, pandangannya mengarah pada sisi jembatan yang dibawahnya ada sungai kecil. Kebetulan beca itu sedang berhenti karena ban sepeda belakang gembos. Si Kakek pun berdiri di samping Liliana tanpa sepengetahuan gadis kecil itu sendiri. Terus saja menatap ke arah sungai dan bergumam.           “Apa nanti si buaya itu naik ke atas jalan sini? Dan memakan anak-anak? Hiiiy…!” Liliana secepat kilat menutup plastik pembungkus dan ketakutan seorang diri. Si Kakek penjaga pun tersenyum melihatnya. Imajinasinya sungguh luar biasa. Dan beca pun kembali berjalan menikmati guyuran air hujan. Siang hari itu, terasa dingin, cuaca mendung dan terasa riuh. *   21 Maret           Sore hari itu, Liliana sedang sibuk menguliti kacang atas permintaan ibunya. Sang Ayah sedang sibuk memperbaiki televisi yang rusak, semua anggota keluarga lainnya sibuk dengan urusannya masing-masing. Bukanlah apa, tidak ada yang tahu kalau sesuatu yang besar akan menjadi satu hari yang tak bisa dilupakan oleh Liliana. Gadis itu sedang menguliti kacang rebus dan seorang anak tetangga memanggilnya. Tepat pada jam 4 sore.           “Lili, ayo main!” panggilnya dari luar. Gadis kecil itu pun berlari secepat kilat meninggalkan tugas dari ibunya dan memilih untuk bermain bersama temannya. Sore itu langit terlihat aneh, seperti menandakan sesuatu. Tapi riuhan suara tawa anak-anak kompleks tak membuat Liliana berpikir lebih jauh. Baginya bersenang-senang dan bermain adalah hak anak-anak. Tak menggubris panggilan ibunya karena kacang-kacang yang dikuliti belum selesai.           Jalan di depan rumah terasa aneh meski anak-anak sedang bermain. Saking senangnya Liliana, gadis kecil itu tak melihat jalan. Pandangannya seakan tertutup hanya bisa melihat ke arah depan saja. Tidak tahu jika tepat disampingnya, melaju sebuah mobil sedan putih yang membuat Liliana terkejut. Dan Liliana pun terjatuh ke aspal jalan, kakinya pun terlindas ban mobil yang besar untuk anak seukuranya. Terdengar suara…           KREK…           “Ayah!” rintih Liliana dengan wajah penuh darah. Kaki kanannya pun terluka parah. Gadis kecil itu pun tak sadarkan diri lagi. Awan-awan berarak di sore hari, Sekisah kesedihan mulai berlari, Air mata menetes tanpa hujan… * #Pendamping gaib           Kakek berjubah putih sudah merasakan hawa yang tidak enak, sesuatu kegelapan yang tidak dapat digambarkan. Dia pun tidak bisa menghadang, sebab dia merasa yang akan terjadi adalah satu dari sekian takdir yang harus dijalani. Sekuat apapun dia menjaga tak sanggup menghadang takdir. Bahkan jika diteruskan kesedihan akan kembali datang tiap hari untuknya. Gadis kecil itu berlari keluar dari dalam rumah bersama dengan temannya. Padahal Liliana termasuk anak yang awas pada sesuatu. Entah, di sore itu Kakek melihat seperti tertutup pandangannya untuk melihat ke sekitar.           “Nak, kuatkanlah. Kau akan selamat, meski hidupmu ke depan penuh derita.” Si Kakek berjubah putih terus mengikuti ke mana langkah gadis kecil itu pergi. Hingga akhirnya dia pun melihat sebuah mobil sedan putih yang melaju ke arahnya. Tak ayal, ingin ditariknya lengan Liliana agar tak sampai terserempet bemper mobil itu. Tapi tak bisa, seakan ada yang menahan dirinya untuk menggunakan kekuatannya. Si gadis kecil itupun jatuh terjerembab hingga wajahnya terkena aspal jalan dan terluka. Dan kaki kanannya pun terlindas ban mobil sampai terdengar suara KREK.           Kakek berjubah putih itu pun tak bisa apa selain hanya menatap tubuh Liliana yang berlumur darah merah segar. Seraut wajah itu, wajah yang polos dan lucu kini penuh darah. Rontok hati si Kakek berjubah putih itu yang hanya bisa diam menahan sedih ketika melihat Liliana dipeluk oleh sang Ayah dan masuk ke dalam mobil si penabrak menuju ke Rumah Sakit.           Sore hari itu terlihat berbeda,           Kakek berjubah putih bergerak melesat mengikuti ke mana mobil itu membawa si gadis kecil.           Bertahanlah, Liliana. Maafkan Kakek ya? Ini sudah takdirmu yang Kakek tidak bisa membantu sama sekali. Tapi percayalah, semua ini atas permintaan doamu saat kau bersedih dulu. Dan Tuhan mengabulkanmu lewat musibah ini. Ketahuilah anak cantik, apa yang terlihat buruk dan mengerikan bagimu, biasanya akan menjadi baik di kemudian hari. *              

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Loving The Pain

read
2.9M
bc

Bastard My Boss

read
2.7M
bc

PERFECT PARTNER [ INDONESIA]

read
1.3M
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.1K
bc

Guru BK Itu Suamiku (Bahasa Indonesia)

read
2.5M
bc

THE DISTANCE ( Indonesia )

read
579.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook