bc

DEATH MASK

book_age18+
13
FOLLOW
1K
READ
others
lighthearted
serious
mystery
like
intro-logo
Blurb

Samantha adalah sosok gadis yang baru saja lulus kuliah, Samantha dikenal karena kekayaan yang dia miliki sekarang dan juga kecantikan yang melekat pada raut wajah yang memesona itu. Samantha memiliki segalanya tapi sayang, dia tidak memiliki kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ayah dan Ibunya yang selalu saja sibuk merenggut bisnis, membuat Samantha merasakan arti kesepian di dalam keramaian.

Untuk mengahakiri rasa kesepian itu, Samantha melakukan  perjalanan "hiking". Satu bulan berlalu Samantha memutuskan untuk pergi hiking bersama dengan ketiga sahabat karibnya.

  Berjalan dan terus berjalan, membuang semua rasa kesepian itu, di barengi dengan canda tawa yang mendominasi sembari langkah kaki yang melangkah dengan santai, membuat perjalanan itu terasa menyenangkan.

  Tawa yang terlihat pada wajah itu seketika sirna dikarenakan Samantha dan ketiga sahabat karibnya kehabisan air minum.

Samantha menatap lurus ke depan " gubuk" satu kata yang dapat Samantha definisi kan saat itu.

Masuk, perlahan melangkahkan kaki panjang itu sembari terkejut menatap salah satu topeng yang menempel pada dinding gubuk itu.

  Perlahan mengulurkan jari jemari itu, dan yah! topeng itu mampu menghipnotis segala pandangan mereka akan dunia ini, mampu membunuh tanpa disadari. Dan yang lebih pahitnya ketiga sahabat Samantha meninggal setelah memakai topeng itu. Akankah sosok Samantha bisa lolos dari "topeng pembawa maut" itu....

Simak kelanjutannya....

chap-preview
Free preview
AKU DIMANA?
Di sudut kamarku yang kini tidak memiliki luas seberapa, hanya ada selimut dan juga figura yang selalu berada di atas nakas, lagi-lagi aku merasa hampa untuk kesekian kalinya, merasa ditinggalkan hanya demi uang. Namaku Samantha, iya Samantha, aku adalah gadis yang ceria, dan kalau, aku dengar dari orang-orang aku adalah gadis yang dikenal karena kekayaan dan juga kecantikan yang, aku miliki. Aku memiliki segalanya, uang, pintar, mempunyai mobil keluaran terbaru, dan juga punya kecantikan yang alami. Tapi... Naasnya aku tidak bisa mendapatkan yang orang lain punya. Kasih sayang, aku tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Boro-boro kasih sayang, mereka melihat aku satu kali sebulan sudah membuat aku merasa bangga. "Hmmm, lulus kuliah kita mau pergi kemana?" aku bertanya kepada gambar, Ayah yang kini melekat pada figura itu. "Tidak ada jawaban?" sekali lagi aku bertanya kepada, Ayahku. Aku sungguh bodoh bukan? Sudah jelas-jelas tahu bahwa dia tidak akan menjawab pertanyaan yang aku ajukan tapi mengapa aku bersih kuku untuk mendapatkan jawaban dari dia. Malam yang kini menemani aku di setiap detik yang aku lewati di setiap jam yang aku lalui adalah bumbu dari setiap rasa kesepian yang aku jalani saat ini. "Bangun," aku merasa senang mengatakan hal itu ketika sudah melihat arah jarum jam itu telah bergerak. "Ayo," ucapku menyemangati diri sendiri. Aku sekarang tinggal sendiri di 'Rumah yang mewah' orang tuaku pergi untuk memulai bisnis di luar negeri, tidak ada yang bisa memberikan semangat kepadaku, hanya hati ini saja yang bisa memberikan semangat yang membara di setiap detak jantung yang berlalu. Untuk apa arti dari rumah mewah? Kalau hanya tinggal sendiri. Pergi ke kampus adalah hal yang, aku inginkan dimana, aku bisa menghilangkan rasa kesepian itu ketika, Aku bisa bertemu dengan sahabat karib ku. "Hai, Samantha," sapa mereka dengan bibir yang mulai terangkat itu menyapaku. Aku hanya membalas dengan sebuah ekspresi hangat, mengangkat kedua bibir tipis ini dengan raut wajah yang tersipu malu. "Hai, tambah hari bukannya tambah jelek, ini malah tambah cantik," ujar lelaki itu yang kini menatapku sendu. "Kalian bisa saja," ujarku menjawab ucapan mereka barusan. "Jangan," ucap mereka membuatku seketika heran. "Ada apa?" tanyaku kepada mereka dengan raut wajah yang kini tidak bisa lagi, Aku defenisikan. "Kamu terlalu cantik untuk kami yang hina ini, kamu terlalu putih untuk kami yang hitam ini," ujar mereka lagi-lagi membuatku tersipu malu. Aku memang sudah biasa mendapatkan pujian seperti itu, aku hanya acuh tak acuh jika mendapatkan pujian seperti itu? Mungkin kalau kalian berada di posisi ini, apakah yang akan kalian lakukan? Apakah kalian akan bersorak atau mungkin berjalan mengikuti ego yang kalian punya?. Seperti biasa, sesudah bel, aku pergi ke kantin untuk makan, dan yah tadi pagi, Aku belum sarapan dan itu adalah hal yang paling biasa untuk anak yang kurang kasih sayang, bukan hanya untuk anak yang kurang kasih sayang, tapi juga untuk seluruh anak yang selalu sibuk seperti, aku. "Mbak," panggilku mengacungkan jari manis milikku. "Samantha," ujar mereka lagi-lagi membuatku merasa tidak enak. "Iya," jawabku dengan deretan gigi yang tersusun rapi. "Jangan senyum," ujar mereka dapat membuatku tersipu malu. "Apa, Samantha?" tanya, Bibi itu kepadaku dengan seutas tali senyum yang terlihat jelas pada wajahnya. "Heheh, ini aku mau pesan seperti biasa yah, Bi," ucapku sembari membuka layar ponsel yang kini penuh dengan panggilan. 'Ada apa ini? Tumbenan mereka menghubungi, aku,' ujar batinku menatap naif layar ponsel itu. Aku bukannya seorang yang naif, tapi, aku bisa membandingkan dimana saat-saat, aku bisa berbuat baik dan dimana saat-saat, aku harus menghela nafas panjang demi kegusaran hidup yang aku jalani. Satu pesan masuk ke dalam ponselku melihat itu membuat, aku melompat kegirangan, entah rasa apa ini tapi yang pasti kini, aku harus cepat-cepat pulang ke rumah, membersihkan kamarku dan terutama ruang tengah yang kini sudah seperti sarang nyamuk. "Hallo! Kenapa kamu tidak mengangkat ponsel, Ibu?". "Nanti malam kami berdua akan sampai di rumah, kamu tidak kemana-mana kan?". "Kami sudah berangkat ini,". Pesan itu kemudian berturut-turut masuk ke dalam ponselku, membuat ku seketika pergi meloncat kegirangan tidak ingat lagi saat itu, aku sedang lapar. Ini bukan surat cinta, tapi ini surat dari orang yang sudah dia tunggu belakangan ini. Semua orang kini menatap, aku seperti orang ling-lung, Aku tidak percaya, yang terpenting sekarang mereka pulang. Di seberang sana, kini udara sangatlah dingin, menyayat semua dedaunan kering serta menghembuskan debu walau itu berada di atas bukit. Gunung yang menjulang tinggi membuat pemandangan semakin indah saja, dedaunan yang separuh kering dan separuh hijau memantapkan pemandangan. Benda bersinar dari gubuk itu terasa familiar dalam situasi itu. Tongkat gubuk yang sudah mulai rapuh itu, menambahkan ciri kekhawatiran yang mendalam. "Apakah semua ini sudah siap?" aku bertanya pada diriku melihat makanan yang sudah, Aku siapkan sedari tadi. "Mungkin sebentar lagi mereka akan sampai bukan?" aku sekali lagi mencoba menguatkan kelopak mata yang hampir tertutup. Arah jarum jam yang berjalan sesuai baterai yang dia punya, membuat mataku ingin tidur saja di tempat meja makan. Tapi, aku harus bisa menahannya, Aku harus melihat kepulangan dari kedua orangtuaku, aku tidak mau kesempatan ini terbuang dengan sia-sia. Tapi Naasnya ketika, aku mencoba menahan lebih lama lagi, Mata ini semakin mengantuk saja rasanya. Perlahan mata ini mulai tertutup dengan sendirinya, aku tidak lagi melihat kedatangan dari kedua orang tuaku. "Bangun," ucap seseorang yang kini berada di samping meja makan. 'Apa? Bukan aku yang mengatakan itu?' batinku mendengar kata bangun. "Mama," satu kata yang, Aku ucapkan ketika melihat posisi, Mama yang kini sudah sangat rapi bak dewi ketenangan. "Ia, kenapa lama sekali kamu bangun?" Mama bertanya tetapi tidak melihat ke arahku. "Jadi, apakah semalam, aku tidur di sini?" Aku bertanya serta melihat posisi makanan yang, aku masak kini sudah berubah. "Iya, Nak, tadinya, Ayah mau gendong kamu, tapi, Ayah sudah sangat capek," ucap Ayahku yang datang dari belakang. 'Bahkan mereka tidak peduli akan betapa sakit hati ini, Ketika mendapati perlakuan yang sangat keji ini,' batinku pergi ke kamar dengan alasan yang cukup baik. "Ayah, Ibu nggak usah repot-repot nyiapin makanan, Kan ada Samantha yang bisa masak, nanti tangan kalian malah kotor," ucapku sembari berdiri pergi ke kamar tidur dengan wajah yang berusaha tenang. "Kamu mau kemana, Samantha," panggil, Ayahku yang kini juga ikut berdiri. "Bagaimana mungkin mereka bisa tidak menganggap, aku seperti seorang manusia,"gumamku seraya menutup pintu dengan suara yang besar. "Buka, Nak," ucap Ayah dari luar, tapi apa boleh buat ini bukan batu tapi ini hati. Tidak bisa mengikuti kata hati kali ini, aku harus bisa menegaskan hati ini mencoba tidak terlalu baik kepada setiap orang yang berada di sekeliling ku. Hanya satu yang kini ada di pikiranku, yaitu menjadikan semuanya kembali seperti semua, aku harus segera bersiap-siap agar, aku tidak terlambat pergi ke kampus. Satu hal yang akan, aku lakukan saat ini mencoba acuh tidak acuh akan situasi yang, aku hadapi. Dengan begitu hari-hari akan terlihat mulus bukan?. "Kamu mau kemana, Samantha?" tanya, Ayahku mempu menghentikan langkah kakiku. "Mau ke kampus," ucapku dengan suara yang naif. "Apakah kamu nanti sibuk? Mari kita menghabiskan satu hari ini dengan pergi ke taman wisata," tawar, Ayah membuatku kembali kegirangan. 'Temperamen apa ini?' batinku menatap mereka yang kini sudah selesai dengan makanan mereka. "Ya sudah," ucapku mengahakiri tawaran dari sang, Ayah. "Aku pergi," ucapku sembari merenggut kunci mobilku. Aku kini telah menginjakkan kaki pada lorong yang kampusku punya, menghirup udara segar dan membiarkan dia masuk ke dalam tubuh ini secara perlahan. Aku hanya tersenyum membuat mereka semua kembali merasa heran akan kedatanganku. Jam kini sudah berlalu dengan cepat, sesuai dengan harapanku, Aku pergi tanpa sepatah dua kata kalimat penutup, aku ucapkan. Sebelum benar-benar pergi, aku mendengar bisikan dari teman-teman satu kelasku yang mengatakan seperti ini. "Lah, itu orang kenapa dah? Kadang suka senyum-senyum sendiri, kadang juga bisa kayak orang gila," ucap gadis berambut panjang itu dengan suara yang dia pelan kan. "Aku hanya ingin cepat pulang hari ini," ucapku kepada diri sendiri mencoba untuk mengusir segala pikiran kotor yang ada pada otakku. "Dimana mereka? Bukankah mereka menjanjikan kepadaku agar pulang dengan cepat?" Aku berdialog dalam hati seraya mencari mereka kini ke setiap sudut ruangan. Aku mulai mencari dan hanya fokus mencari, sehingga tidak melihat bahwa ada secarik surat yang sudah menanti ku di ruang tengah. Aku mulai meneteskan air mata itu, ketika membaca perlahan surat itu. Dalam benakku timbul seribu luka yang serius, timbul rasa kebencian yang mendalam. Mulai dari sini, aku akan pergi dari dunia kegelapan ini. Nak... Ini, Ayah, Maaf kalau saat ini kami berdua harus pergi ada pekerjaan mendadak yang harus segera kami hadiri, semoga kamu bisa tumbuh dengan baik dan lain kali kita akan pergi. Aku berdiri membawa korek api, membawa bensin ke dekat diriku, menumpahkan semua bensin itu mengelilingi semua posisi ku, entah iblis apa yang sekarang sedang menghantui ku, yang terpenting aku harus Mati! Biar mereka bisa menjalankan semua bisnis tanpa ada halangan. "Kalau ini adalah jalan terbaik mengapa tidak?" ucapku membubuhkan bensin itu sekarang ke sekeliling tubuhku. "Aku pergi, semoga kalian bisa tenang," ucapku menyalakan korek itu perlahan. Pagi hari, Aku tersadar dan, aku tidak mengetahui dimana ini? Semua serba putih dan lebih indahnya semua terasa damai? "Aku dimana?" Aku memberanikan diri bertanya kepada pria berjanggut hitam panjang itu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook