bc

Fallen Smile

book_age16+
103
FOLLOW
1K
READ
revenge
family
goodgirl
student
bxg
highschool
friendship
school
slice of life
friends
like
intro-logo
Blurb

Abey Swastika adalah cewek yang selalu penuh akan rasa bersalah. Dia baik, gampang dimanfaatkan, dan selalu menebar senyum yang bagi sebagian orang memuakkan. Menganggap dirinya sebagai boneka sang Mama yang harus tetap tersenyum walau mengalami kepedihan dan kepahitan bahkan di masa remajanya.

Abey tidak pernah bisa mengalihkan pandang dari orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Karena itu, dia selalu berada dalam situasi sulit dan kemudian ditinggalkan.

Abey selalu menjadi korban keegoisan.

Tapi tidak lagi setelah cowok bernama Sagara Birawa datang dan mengulurkan tangan.

Pada akhirnya, Sagara adalah satu-satunya yang tidak pergi dan tetap bertahan.

Abey kira uluran tangannya hanya akan membawa ke tempat yang lebih terang. Tapi tidak sampai dia tahu telah memasuki kegelapannya yang lebih pekat.

Abey ingin satu hal, dia ingin mengambil alih peran dalam ceritanya sendiri. Lantas, dia mulai berjalan menelusuri kegelapan dengan tungkainya sendiri.

chap-preview
Free preview
Satu
Gadis itu hanya menundukkan kepalanya dalam. Dia hanya diam, saat beberapa kali kepalanya terdorong ke depan karena seseorang yang di belakangnya yang terus mencaci maki. "Berdiri lo!" Gadis itu mengerjapkan matanya berulang kali, masih berusaha mencerna dua kata yang terlontar dari orang yang tengah merundungnya. Kedua tangannya sudah meremat kuat kedua sisi rok karena takut melihat kilatan dalam mata yang menyiratkan amarah yang menggebu-gebu cewek di depannya. "A—aku salah a-apa lagi, Kak?" Meskipun sakit merambati kepalanya, gadis itu bertanya lemah. "b***k ya, lo! Gue bilang berdiri!" Dia kembali menjambak rambut panjang itu sekuat tenaga seolah melampiaskan seluruh kekesalan yang bergumul. Tubuh gadis yang dijambak sedikit terangkat akibat kuatnya rematan jari-jari di rambutnya. Dia tidak berteriak, gadis itu hanya meloloskan rintihan kecilnya meski rasanya sangat sakit. Kepalanya serasa akan tercabut, urat-urat di lehernya menegang tercetak jelas karena kulitnya yang seputih s**u. Matanya terpejam saat sekilas dia melihat ayunan tangan bersiap mendarat di wajahnya. Sebelum kemudian, gadis itu berbisik, "Aku salah apa, Kak Aurora?" Cewek yang gadis itu panggil dengan sebutan Aurora tertegun. Tangannya turun dan segera membalikkan badan. Aurora mengatur napasnya yang menggebu. Kedua tangannya kemudian terkepal kuat, cairan bening menetes begitu saja dari mata coklat terangnya. "Abey ... harusnya lo gak boleh sebahagia ini!" Aurora kemudian berbalik, menatap nyalang gadis bernama Abey di depannya. "ABEY SWASTIKA, HARUSNYA LO NGGAK BOLEH SEBAHAGIA INI! KARENA GUE BENCI!" Tapi kemudian Aurora menangis keras. Meraung seolah apa yang dia rasakan adalah sesuatu yang benar-benar sakit. Menghimpit dadanya dan tidak membiarkannya bernapas lega selama ini. Aurora tidak lagi terlihat sebagai cewek dengan kilatan amarah di matanya. Cewek itu terlihat menyedihkan, dan Abey tersenyum manis. "Maaf, Kak. Abey minta maaf." Aurora menatap gadis di depannya, dan tanpa mengucapkan apapun lagi dia berdiri dan kemudian melenggang pergi. Abey menarik napasnya dalam-dalam lalu membuka mata yang sejenak dia pejamkan. Matanya membentuk garis tipis saat senyumnya kian terasa semakin lebar saja. Seketika sakit langsung mendera kepalanya saat Abey mencoba berdiri. Menopangkan kedua tangannya pada tembok dengan cat-cat yang sudah terkelupas saat badannya hampir saja ambruk. Abey membersihkan roknya yang dipenuhi debu dan mulai merapikan rambutnya yang berantakan. Bel masuk sudah berbunyi sejak sekitar lima belas menit yang lalu. Guru yang mengajar pasti sudah masuk. Dan itu artinya dia terlambat. Abey menghela napas lantas kemudian tersenyum lebar seolah menyemangati diri sendiri untuk hari ini. Di sekolahnya, Abey adalah sosok remaja yang ceria dan selalu tersenyum. Dia menyapa siapa saja meskipun orang itu tidak dikenalnya. Dia berjalan di sepanjang koridor sepi karena pastinya semua murid pasti sudah memasuki kelasnya masing-masing untuk memulai proses belajar mengajar. Hari Selasa, anak SMA, kelas 11 IPA 2, seperti biasa tidak ada yang membedakan dengan hari-hari anak sekolahan lainnya. Saat Abey berdiri di ambang pintu kelas, teriakan, pekikan, makian bahkan tawa ala setan mengumandang membuat beberapa orang memandang ngeri. Tidak peduli sekali pun kelas yang mereka tempati termasuk kelas unggulan, sorak-sorai para murid yang di dalam kelas membuat gaduh menambah bising. Beberapa berdiam di sudut kelas sambil berbincang dengan beberapa teman menggosipkan apa saja hal yang penting bisa membunuh kebosanan. Abey mungkin terlihat mencolok setelah kedatangannya dengan rambut yang jelas tidak bisa dikatakan rapi. Abey menghampiri salah satu cewek yang asyik mengoleskan vitamin ke rambutnya. "Pak Nerdi ke mana?" Cewek yang merasa ditanyai menoleh kemudian menurunkan cermin kecilnya. Menatap heran pada Abey yang berdiri di depannya sambil tersenyum. Tapi kemudian cewek itu menjawab, "Lo nggak tahu? Istrinya Pak Nerdi lagi lahiran." Lalu, dia berbalik lagi, merapikan rambut yang menurut Abey sudah rapi sedari tadi. "Bey, ada yang nyari lo tuh!" Abey segera menoleh, cewek dengan rok pendek bernama Shilla menatapnya malas sambil memutar bola mata. Seolah semua orang di kelas menatapnya dengan pandangan serupa, tapi Abey tidak pernah merasa tersinggung. Dia sadar betul, sejak awal dia selalu menerima tatapan seperti itu. Orang-orang di kelasnya mungkin sedikit mengucilkannya, tapi Abey tidak tahu pasti. Abey tidak pernah mencari masalah atau membuat keributan di kelas mereka. Meskipun begitu, dia tetap menjawab dengan senyuman manis. "Siapa?" "Cowok, tinggi, ganteng. Ngapain sih Dewa mau ketemu sama lo?" "Dewa?" Shilla berdecak kemudian berbalik, kembali duduk di bangkunya. Abey terus memperhatikan cewek itu sampai dia menelungkupkan kepalanya di antara lipatan tangan sesaat setelah menyumpal telinganya menggunakan earphone. Selama ini Abey selalu menjadi pengamat yang baik. Karena dia tidak terlalu banyak berinteraksi, Abey terbiasa mengamati orang-orang di kelas. Beberapa orang bahkan sudah sekelas bersamanya sejak masih kelas sepuluh. Menjadi seorang pengamat, Abey terkadang menerka-nerka apa yang mereka pikirkan. Abey tahu setiap orang punya masalah, tapi Shilla yang sedang menelungkupkan wajahnya itu terlihat sangat pucat. Abey berusaha tidak ikut campur. Karena mungkin ketika dia mencoba bertanya, Abey tahu bahwa itu akan menjadi sebuah masalah. Lantas, gadis itu berjalan ke pintu kelas untuk seseorang yang ingin bertemunya itu. ** "Tadi aku lihat kamu jalan dari lorong arah gudang. Ngapain?" Gadis itu sesaat tersentak saat di depan pintu seorang cowok jangkung muncul tiba-tiba di depannya. Abey menoleh terkejut lantas menepuk pelan bahu cowok itu. "Dewa ih, kamu ngagetin banget tahu nggak?" gerutunya sebal. Namanya Dewa. Dewa Emilio. Sosoknya memang mirip karakter utama yang biasanya ada di fiksi remaja. Ganteng, cool, pintar. Sayangnya dia bukan anggota geng motor atau putra tunggal konglomerat. Dia adalah murid kelas 12, ketua Osis SMA Birawa dengan fisik yang tidak sekuat cowok-cowok lainnya. Pengidap paru-paru basah sejak kecil. Cowok itu menuruni tangga dari lantai dan tidak sengaja melihat Abey berjalan di lorong yang seharusnya menuju gudang sekolah. Menyelesaikan urusannya di ruang guru, dia segera berjalan menuju kelas Abey. Tentu, untuk menanyakan hal yang sedari tadi bercokol di kepalanya. "Aurora nyakitin kamu lagi?" Abey bereaksi cepat, kepalanya menggeleng kuat. "Gak. Kak Rora nggak ngapa-ngapain. Aku tadi ..." Abey berusaha mencari alasan lain— "Jangan bohong. Aku tahu!" —tapi dia gagal. Karena apapun itu, Dewa selalu jadi cowok dewasa yang penuh pengertian. Dan bagaimanapun Dewa akan tetap tahu bagaimana cewek urakan dengan helai-helai rambut merah muda yang dikenal sebagai tukang bully itu selalu menyakiti Abey. Cewek itu menggeleng gemas, "Dewa kamu nggak harus lakuin ini sama aku. Aku baik-baik aja. Mending kamu balik ke kelas." "Padahal aku udah peringatkan dia supaya berhenti gangguin siapa pun. Mungkin dia emang harus dikasih pelajaran." Abey tersenyum lelah, "Dewa, aku nggak pa-pa. Aku bahkan belum ketemu Kak Rora hari ini," kilahnya lagi. Cowok itu menghela napas, menatap Abey teduh kemudian berkata, "Aku balik." Dan begitulah saat Abey menatap punggung tegap Dewa yang perlahan mengecil. Jantungnya berdegup keras saat memasuki kelas, semua orang menatapnya dengan pandangan memusuhi. "Cih, dasar cewek nggak tahu diri." Dan Abey balas tersenyum. *** Brengsek. Aurora mengacak rambut panjang dan poninya. Jemari lentik itu menarik lepas dasi dari seragam sekolah, kemudian beranjak untuk menghapus air mata dengan kasar. Sangat berantakan, sangat kacau, sangat Aurora. Kamar mandi itu gelap, ada satu buah lampu neon di pusat langit-langit. Tapi Aurora memilih mematikannya. Gadis itu terisak, kedua tangannya mengepal, kuku-kuku yang dipulas cat merah jambu itu mendadak tidak terlihat begitu cantik ketika menancap di telapak tangannya. Tapi perihnya sama sekali tidak terasa karena rasa sakit yang lebih kuat ada di pusat dadanya, membuatnya kesulitan bernapas. Aurora benci hidupnya. Tanpa bisa dicegah, ingatannya kembali ke malam kemarin— "Saya nggak pernah minta apa-apa." Tiba-tiba Bundanya membuka suara. "Saya cuma berharap kamu masuk tiga besar. Apa belum cukup satu setengah tahun ini kamu selalu di posisi kelima?" Aurora tersedak makanannya, gadis itu mengambil mengambil segelas air putih di dekat piringnya. "Aurora bisa." Gadis itu berkilah, tangannya terkepal di bawah meja makan. "Aurora bisa dan Aurora janji akan lebih berusaha lagi." "Buktinya?" Wanita yang jauh lebih dewasa itu tertawa kaku. "Saya nggak butuh janji-janji kamu, Ra, saya butuh bukti kalau kamu punya otak. Saya nggak suka sebuah penyesalan kalau kamu lupa." Sesuatu dalam diri Aurora remuk. Gadis itu mendadak bangkit, mendorong kursinya ke belakang dengan bunyi nyaring. Tanpa kata-kata, hanya matanya yang berair ketika dia memaksakan diri menatap Bunda, satu-satunya orang yang dia punya. Memaksa menyampaikan semua kekesalannya lewat semua pandangan karena tidak ada yang bersedia mendengarkan. "Jangan makan di sini kalau kamu belum masuk tiga besar." Air mata gadis itu akhirnya jatuh, Aurora beranjak pergi. Namanya Aurora. Aurora Calista. Putri tunggal Bundanya, Venesia Clover. Peringkat paralel kelima selama satu setengah tahun berturut-turut. Cantik, pintar, dan nekat. Sosoknya memang mirip karakter pemberontak yang tidak suka dikekang. Satu-satunya cewek yang cukup seram sampai dijuluki nona preman di sekolah. Biang onar yang kesehatan mentalnya perlu dipertanyakan. Musuh semua orang yang pernah dia bully. Tapi itu semua tidak berlaku di hadapan Venesia yang penuh dengan kesempurnaan. Aurora hanyalah anak manis, penurut, yang harus memenuhi semua ekspektasi Bundanya. Kalau ada yang bertanya, siapa orang yang paling tidak ingin dia kecewakan seumur hidup. Maka, tentu jawabannya adalah Bunda. Tapi sejauh ini, bagaimanapun Aurora memenuhi semua ekspektasi Bundanya, semua itu tidak pernah cukup. Aurora selalu kurang dan kurang. Satu-satunya hal yang paling tidak ingin Aurora dengar lepas dari mulut Venesia sendiri. Dimana ada kata menyesal. Aurora selalu membiarkan orang-orang menatapnya saat dia berjalan. Sama seperti saat ini, ketika dia berjalan di sepanjang koridor. Perhatian semacam itu sudah sering dia dapatkan sejak tahun pertamanya di SMA Birawa, jadi sekarang rasanya sudah tak sespesial dulu. Alasannya klasik, karena dia cantik dan selalu terlihat nyentrik. Gadis itu mematri langkah menuju ruang 11 IPA 1, ruang kelas unggulan yang dia tempati saat ini. Aurora memiringkan kepalanya, membiarkan poninya bergeser sedikit saat sampai di undakan tangga keempat. Pikirannya sibuk berputar di antara jadwal-jadwal les nya yang bertabrakan. Gadis itu menghela napas, bisa-bisanya Bunda menyuruhnya mengikuti satu les lagi, privat pula. "Ra, nanti ke Mall yuk!" Aurora berhenti melangkah, saat tadi sudah ingin melanjutkan langkah ke undak tangga kelima. Gadis itu mendecih, ini posisinya saat ini. Lantas, kepalanya ditolehkan ke belakang. Kinar, teman yang cukup dekat dengannya itu, dalam balutan rok yang terlalu pendek dan seragam kekecilan. "Skip dulu, lagi males." Bohong. Padahal karena dia sibuk dengan jadwal bimbel sana-sininya. "Oke deh, gue juga lagi males." Kinar mengacungkan ibu jarinya dan bergegas mundur, berjalan ke arah sebelumnya. Aurora mengendikkan bahu dan kembali melangkah. Belajar. Aurora menggigit bibir. Kata itu kadang memenuhi benaknya seperti zat cair dalam wadah. Menyebar, tak beraturan, tidak menyisakan ruang. Dalam kamus Aurora, belajar bukan pilihan. Belajar adalah harga mati. Gadis itu masih tidak bisa tidur di malam hari, karena cemas waktu belajarnya kurang. Tidak jarang dia harus bangun tengah malam untuk membuka buku, mencatat materi, mengerjakan soal-soal. Belajar apa pun supaya merasa tenang. Menenangkan diri sendiri, meminimalisir segala hal yang bisa membuat Bunda marah dan kecewa. Aurora mulai berpikir, tidak bisa dihitung dengan jari berapa kali gadis itu frustasi saat nilainya mulai menurun. Tidak, ini bukan Aurora sama sekali. Aurora tidak pernah cemas soal nilai, dia tidak pernah mati-matian belajar sampai lupa waktu hanya untuk mengejar nilai yang turun sedikit. Dia tidak pernah merasa jantungnya berdegup kencang saat pengumuman hasil ujian dipajang di papan pengumuman. Tapi nyatanya Aurora yang sekarang adalah berbeda. Gadis itu tidak pernah punya pilihan lain. Seolah semenjak dia menginjak rumah itu apa yang harus gadis itu lakukan sudah ditetapkan. Aurora menghela napas. Entah kenapa, dia merasa hari ini adalah hari yang lumayan berat. *** Aura dingin langsung terasa begitu Aurora menginjakkan kaki di rumah sehabis pulang sekolah. Dia pulang lebih cepat, karena hari ini adalah jadwal les privat dan biasanya Bunda akan langsung ikut mengawasi. Tanpa mengganti seragamnya gadis itu langsung melempar tas nya ke atas sofa panjang dengan meja rendah. Tas itu berakhir jatuh ke atas karpet karena tidak tepat sasaran. Tanpa repot-repot berbalik memperbaiki posisi tas, Aurora segera bergegas ke dapur. "Ngapain, Ra?" "Aduh!" Aurora yang sedang sibuk mengotak-atik isi lemari kaca terkejut lantas kepalanya terantuk ke sudut pintu lemari berbentuk persegi itu. Gadis itu menoleh, "Sssh ... Mbak Riri sejak kapan di situ. Gue kaget tau nggak? Mana sakit lagi." Dia mengerucutkan bibirnya sebal. Membuat Riri, wanita 29 tahun yang sudah berumah tangga—orang yang datang membereskan rumah setiap hari—mengernyitkan dahi. Tumben sekali Aurora ke dapur. Karena umur Riri belum tua-tua amat. Aurora suka-suka saja berbicara santai dengan wanita yang belum dikaruniai anak di depannya ini. Riri segera berjalan, berdiri di depan gadis itu. "Ya Allah, maaf dek. Mbak nggak sengaja. Aduh sini Mbak obatin, itu kening kamu berdarah. Lagian kamu main nyelonong gitu aja, Mbak udah dari tadi ada di sini loh." Aurora mengerjap, "Emang berdarah ya?" Gadis itu menyentuh sudut keningnya. "Ih kok berdarah, padahal nggak kuat-kuat banget kejedotnya." Lantas cewek itu mengangkat bahu, wajahnya kembali sumringah. "Mbak, gue mau bikin brownies panggang pake toping keju sama meises kesukaan Bunda. Tapi gue nggak paham-paham banget, bantuin ya, Mbak?" "Heh, itu kening kamu sini Mba obatin dulu." Aurora menggeleng, sekitar dua jam lagi Bunda biasanya pulang. Dan Aurora sudah janji pada dirinya sendiri ingin membuatkan makanan kesukaan Bundanya itu. Dia tersenyum lebar , "Ayo Mbak, kita bikin sekarang. Keburu Bunda dateng." Riri geleng-geleng, "Semangat banget kamu, Ra. Nggak sakit apa itu kening?" Aurora nyengir kuda, sementara dia sudah kembali sibuk mengeluarkan alat-alat yang sekiranya diperlukan. "Yaudah, kamu ambil tepung, telor, sama gula dulu. Itu tepung ada di lemari paling bawah." Riri menunjuk satu persatu bahan. "Trus ... mixer-nya ambil di deket wastafel itu." Aurora langsung mengangkat wajah. "Mixer yang buat nge-mix ya?" Cewek itu nyengir. Riri tertawa refleks. "Aurora, kamu nggak pernah ke dapur ya?" tanya Riri sembari mencampur adonan. Cewek itu berpikir, "Iya juga ya, emang gue jarang banget ke dapur. Paling kalo mau ngambil sesuatu yang perlu aja. Lagian semua urusan dapur dan rumah 'kan udah diatur sama Mbak Riri." Aurora nyengir lagi, giginya berjejer rapi. Siapa pun orang di sekolahnya yang melihat Aurora sekarang mungkin akan berpikir dua kali sebelum menyimpulkan kalau itu memang benar-benar Aurora. Aurora yang sekarang terlihat manis sekali. Tidak berhenti berceloteh karena terlalu bersemangat. Rambutnya dicepol tinggi-tinggi hingga helai-helai merah jambu yang biasanya tertutup itu terlihat. Pipinya ditempeli tepung sehabis berkutat dengan butiran-butiran halus putih itu. "Bunda selalu bilang gue nggak perlu ke dapur atau beres-beres rumah. Cukup belajar yang rajin aja." Tapi Riri tidak salah dengar, pada kalimat terakhir, suara Aurora terdengar sendu. Tiga tahun bekerja di rumah ini, cukup membuat Riri mengerti. Riri berhenti sebentar, sedikit menyesal sudah bertanya. Aurora kembali mendekat membawa 125 gram tepung. "Thanks Mbak, udah mau bantuin. Mbak Riri yang terbaik," imbuhnya "Gue nggak tau Mbak Riri jago bikin kue. Lain kali, kalo gue lagi sedih bikinin kue aja ya, Mbak." Secepat itu, Aurora kembali nyengir. Riri berhenti menuang tepung, meski kemudian segera melanjutkannya. "Kamu suka kue? Mbak baru tahu. Oke deh!" Riri mengacungkan jempolnya. Pukul enam "INI TINGGAL DITABUR MEISES SAMA KEJU AJA 'KAN, MBAK? BIAR GUE AJA!" Suara Aurora membahana seisi rumah yang benar-benar sepi. Riri geleng-geleng kepala, padahal dia cuma ke kamar mandi yang sebenarnya juga masih ada di dapur. "Iya, itu step terakhir. Mbak pulang ya, Ra? Suami Mbak belum dimasakin, udah nelpon-nelpon nih." Riri mengambil jaket yang disampirkan di belakang pintu. Jam-jam segini, biasanya Riri memang akan pulang ke rumahnya melewati beberapa gang yang tidak terlalu rawan dan akan kembali besok siang. Aurora mengacungkan jempol kirinya sementara tangan kanannya sibuk menaburkan keju dan meises yang lebih dulu dia siram dengan coklat leleh kemudian tersenyum menatap hasil karyanya. Ya~ karyanya dengan Mbak Riri lebih tepatnya. Brownies panggang sederhana toping keju dan meises dengan Aurora yang tersenyum manis. Gadis itu melirik jam bulat di ruang tamu dengan lampu kristal besar di atasnya. Sudah pukul enam lewat 17 menit. Dan harusnya Bunda sudah pulang. Aurora berdiam menatap brownies cantik di depannya. Bibirnya masih setia mematri senyum. Lantas, dia mengarahkan pandang menatap seluruh sudut rumah. Ruang tamu luas dengan sofa panjang dan meja rendah, dengan lantai dialasi karpet merah tebal. Penerangan samar-samar karena belum dinyalakan lampu. Ada ruangan di bawah tangga dengan pintu coklat tertutup rapat. Aurora belum pernah memasuki ruangan yang beberapa senantiasa dikunci itu. Di sampingnya, ruangan dengan warna pintu serupa itu adalah kamar Bunda. Aurora mengingat-ingat, bisa dihitung dengan jari berapa kali cewek itu memasuki kamar Bunda. Kamar Bunda yang bersih dan rapi dengan semerbak aroma lily di setiap sudut. Begitu menenangkan. Pandangannya menyusuri tangga sampai ke lantai dua. Letak kamarnya berada. Gelap. Gadis itu kembali menatap kue di depannya. Kosong dan dingin. Sunyi sekali. Hanya suara jarum jam yang setia bergerak menunjukkan eksitensi kehidupannya— memasuki pendengaran Aurora yang tiba-tiba terasa seperti lorong-lorong kedap suara— sebelum tiba-tiba cewek itu dikagetkan oleh ponsel yang berdering di atas konter. "Halo, Bunda." Suaranya menggaung sampai ke sudut-sudut rumah— "Iya, aku udah di rumah." —beradu dengan jam suara detakan jam dinding— "Oh, oke." —tapi siapapun tahu— "Nggak pa-pa, nggak perlu dibatalin. Rora juga punya tugas yang mau ditanyain. Tapi tentornya cewek 'kan?" "Iya, Bunda." —suara itu bergetar, teredam seolah menahan sesuatu yang benar-benar sesuatu. "Bunda hati-hati. Sampai nanti." Aurora menatap brownies di depannya sekali lagi. Kemudian berlalu ke kamarnya dengan lelehan air menggenang di pipi. Brownies itu teronggok begitu saja menyatu dengan benda-benda lain yang saling beradu sunyi. *** "ABEY PULANG!!!" Gadis dengan rambut sepunggung itu memasuki rumah sederhananya dengan riang. "Mamah!" panggilnya. Gadis itu tersenyum kecil mendapati Ibunya tengah sibuk berkutat di dapur. "Ganti seragammu, lalu makan," titah Alara, Ibunya. Abey melepaskan pelukannya kemudian mengangguk semangat lalu bergerak untuk mencium pipi Ibunya. "Abey sayang Mama, Abey seneng Mama ada di rumah!" Lalu gadis itu berlalu sembari bersenandung senang. Setelah mengganti seragamnya, Abey mematut diri di cermin lantas menyunggingkan senyum lebar. Kulit kepalanya terasa nyeri mengingat apa yang sudah dia alami di sekolah tadi siang. Tapi lantas, Abey kembali menggelengkan kepalanya. Dia berjalan hendak ke dapur namun terhenti saat melewati pintu kamar Ibunya. Pintu kamar itu terbuka. Mata Abey terbelalak tatkala memasuki kamar itu hanya untuk dibuat terkejut melihat bagaimana keadaan kamar Ibunya saat ini. Menatap keseluruhan ruangan,ruangan itu berantakan. Itu yang bisa Abey simpulkan. Semua barang-barang di atas meja rias sudah berserak berhamburan sampai ke kolong tempat tidur. Serpihan kaca berhamburan dari barang-barang yang sekiranya bisa pecah, kertas-kertas berserakan di lantai, sementara aroma alkohol menguar dari beberapa botol minuman kosong yang ditumpuk di sudut. Seprai nya juga bahkan sudah tergeletak di sudut kamar. Abey beringsut perlahan-lahan, menahan rasa nyeri yang menghajar sekujur tubuhnya. Namun, fokus matanya teralih saat di bawah meja rias, bermacam-macam butir obat berserak. Jemarinya bergetar meraih beberapa kantong obat yang isinya masih utuh. Benzodiazepin. Abey menelan ludah. Obat penenang. Dia tidak tahu Ibunya mengomsumsi obat semacam itu untuk mengendalikan emosi. Gadis itu menggigit bibir. Ada berapa banyak hal yang dia tidak tahu tentang ibunya sendiri? Abey meneruskan pandangannya. Ada satu pigura berisi foto lama. Foto Mama, Papa, dan Abey kecil. Foto itu diambil di hari pertama Abey masuk SD. Dia mungkin masih berusia sekitar enam tahun. Abey memeluk Papanya ketakutan sementara Alara hanya tertawa. Namun sayangnya, pigura itu sudah pecah menyisakan foto yang berserakan serpihan kaca di atasnya. Gadis itu meraihnya, menggosok serpihan kaca halus ke pakaiannya sendiri. Kemudian dia masukkan ke kantung bajunya. Tatapan Abey segera jatuh pada pintu yang masih terbuka. Di sana ... Alara berdiri dengan wajah datarnya. Pita suara Abey bergetar— "Mama ... Mama udah lama di sana, kan?" —tapi dia tetap tersenyum. "Mama, fotonya aku ambil, ya?" Tidak ada jawaban, meski Abey mendengar suara napas Mamanya yang putus-putus dan berat. Gadis itu memejamkan matanya. Langkah kakinya mendekat, kemudian berhenti tepat di depan Alara. " ... Abey sayang Mama." Abey menghambur memeluk Mamanya, seperti yang selalu dilakukannya saat masih kecil, memeluk saat dia ketakutan, memeluk saat dia sedih, memeluk saat dia sakit. Tapi pelukan kali ini terasa sangat dingin, Alara tidak membalas pelukannya. Sebagai orang tua tunggal yang bekerja mati-matian demi hidup putrinya. Sebagai seseorang yang Abey anggap yang paling mencintai Abey di dunia ini. Abey tetap memeluk Mamanya dengan senyum manis berharap direngkuh kembali.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.7K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook