bc

Love On The Train

book_age16+
1.1K
FOLLOW
12.4K
READ
family
drama
sweet
city
office/work place
friendship
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Tepat satu bulan sudah Devan kekasih Sandra Qanita menghilang tanpa kabar. Sandra bahagia bukan main ketika Devan tiba-tiba datang setelah ia hampir putus asa setiap hari mencari kabar tentang Devan dan selalu nihil. Sayangnya, kedatangan Devan justru membuat hati Sandra hancur. Kekasih yang sudah delapan tahun dikenalnya itu mendadak mengatakan kalau ia akan segera melangsungkan pernikahan dengan gadis pilihan orang tuanya minggu depan. Sandra yang semula urung di promosikan untuk pindah ke kantor pusat di kota Jakarta mendadak terpaksa menerima tawaran pemindahtugasannya. Semua ia lakukan demi bisa melupakan Devan.

Kehidupan ibukota yang keras membuat Sandra kesulitan beradaptasi. Adalah seorang seorang Banyu Bimantara, accounting manajer yang menawan dan hobi tebar pesona yang kemudian menjadi pelindung sekaligus pembawa masalah bagi Sandra. Hingga suatu ketika Sandra bertemu tanpa sengaja dengan Prasetya Sadewa. Pria kharismatik yang langsung membuatnya terpana. Mungkinkah Prasetya adalah pengobat luka hati Sandra?

chap-preview
Free preview
Akhirnya Dia Datang
Terdengar ketukan tiga kali dari balik pintu kamarku. Mataku masih berat untuk dibuka. Ada apa sih gerimis-gerimis begini Tante ketuk-ketuk pintu? "San, buka pintunya San," suara Tante Ratih dari balik pintu. "Masuk aja Tante, gak di kunci," sahutku. Tante Ratih masuk dan menutup kembali pintu kamarku. "San cepat bangun ... cepat!" Ia menarik selimut dan memaksaku membuka mata. "Aduh Tante kenapa sih, ini hari minggu, masih ngantuk. Lagian gerimis begini, aku masih pengen tidur," "Bangun cepat bangun!" sekali lagi Tante Ratih menarik selimutku. Aku tetap meringkuk malas. "Cepat bangun dan mandi, Devan ada di ruang tamu." Hah? Apa Devan? Seketika aku melompat dari tempat tidur. "Tante kenapa gak bilang dari tadi?" Aku kelabakan gugup bercampur bingung. "Tante dari tadi udah bangunin kamu, kamu kebiasaan sih tidur sambil dengerin musik. Tante ngetuk pintu kamar kamu udah dari sepuluh menit yang lalu," oceh tante Ratih. Haduh! Jantungku makin tak karuan. "Minum mana minum? Mana gelas minum aku Tante?" Biasanya bangun tidur aku langsung minum air putih. Mendengar Devan datang, ingin ku teguk satu galon penuh kalau perlu untuk menenangkan irama jantung yang tak karuan. "Tuh minum kamu," Tante Ratih menunjuk gelas di ujung meja. "Oh iya," aku langsung menyambarnya dan meneguk isinya hingga tandas. "Ok Tante, aku mandi sekarang." "Cepat sana, kelihatannya Devan mau ngomong serius tuh. Dari tadi Tante ajak ngomong kayak orang grogi," kata Tante Ratih kemudian berlalu keluar dari kamarku. Aku langsung masuk kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Devan ini benar-benar bikin aku jantungan ya. Sudah sebulan dia menghilang tiba-tiba. Telepon, sosial media, semua mendadak tidak aktif. Aku benar-benar dibuat kacau memikirkannya. Aku takut dia sakit, dia terkena masalah atau apapun itu yang membuat dia raib tiba-tiba. Akhirnya dia datang. Padahal, baru semalam aku mengirim puluhan email menanyakan keberadaannya. Syukurlah, genap di hari ke tiga puluh ini akhirnya terjawab. Ku Bongkar semua isi lemari. Aku harus pakai baju terbaik. Aku harus kelihatan secantik mungkin. Eh, untuk apa? Enak saja. Harusnya aku marah pada Devan dan kalau perlu aku maki-maki dia sepuasnya. Enak saja sudah menghilang semaunya setelah sebulan baru muncul. Kubuka pintu perlahan. Aku mengenakan kaos warna biru muda dan celana selutut yang biasa aku kenakan di rumah. Muka kubiarkan polos tanpa make up. Biar saja, biar Devan lihat mata sembab ini. Mata yang menangisi dia setiap malam. "Dev," sapaku setelah mendapati dia duduk tertunduk di ruang tamu. Duh, Tante Ratih. bukannya ditemani Devan malah dibiarkan sendirian. "Hai San," sapanya. Aaaaah, marahku hilang seketika. Aku senang bisa melihatnya lagi. Dan barusan dia memanggilku. "Maaf ya Dev, nunggu lama. Aku tadi masih tidur," kataku. Devan tersenyum dengan senyum khasnya yang merontokkan hatiku. "Gak apa-apa," ucapnya. "Diminum Dev," aku menawarkan teh hangat yang sudah tersaji di meja. Pasti Tante Ratih yang menyiapkannya tadi. "Udah kok," jawab Devan lirih. Oh iya, isinya saja tinggal setengah. Aduh Sandra ayolah, bicaralah seperti biasa. Jangan kaku seperti orang baru pertama bertemu begini. Harus kuakui Devan ini adalah kakak kelas idolaku semasa SMA. Aku tidak pernah menyangka akhirnya kami bisa bersahabat dan berlanjut menjadi kekasih. Walau sudah delapan tahun lebih aku mengenalnya, tiga tahun menjadi sahabat dan lima tahun menjadi kekasih. Wajah Devan yang tampan dan kharismatik ini selalu berhasil membuatku gelagapan setiap bertemu. "Nak Devan mau sarapan?" Suara Tante Ratih yang mendadak muncul membuyarkan lamunanku. Aroma roti bakar selai coklat tercium sangat menggoda. Tante Ratih meletakkannya diatas meja. Oh, rupanya Tante buru-buru sibuk di dapur karena menyiapkan roti bakar ini. "Terimakasih Tante, tapi sebenarnya saya mau ijin untuk ajak Sandra pergi," ucap Devan. Hah? Apa? Mau ajak aku pergi? Yess akhirnya! Terakhir bertemu Devan, aku bilang tentang impian dilamar di cafe impian jangan-jangan .... 'Cukup Sandra! Jangan GR dulu'. "Lho, mau kemana Dev, ini masih gerimis lho, malah makin deras." Tante Ratih tampak heran sekaligus khawatir. Ayolah Tante, ini cuma gerimis. Hujan badai sekalipun, kalau perginya sama Devan enggak apa-apa kan? "Saya ijin mau ajak Sandra ke cafe impiannya," ucap Devan. Hah? Aduh, aku tidak tahan ingin senyum sendiri. Jangan bilang kalau Devan menghilang satu bulan ini ternyata sedang menyiapkan diri untuk melamarku. "Gak apa-apa kali Tan, kan perginya pakai mobil," rengekku pada Tante Ratih sembari memegangi tangannya yang kebetulan berdiri di sebelahku. Tante Ratih menatap lalu paham. "Ya sudah, pulangnya jangan sampai larut ya," ucapnya. Nyaris aku melompat kegirangan tapi aku tahan. "Aku ganti baju dulu ya," pamitku. Di dalam kamar kembali ku acak-acak lemari. Kukeluarkan semua pakaian yang ada. Aku pakai jeans dan blouse saja? ehm, tidak-tidak!aku harus anggun. Ok, dress merah saja? Merah? Tidak ini norak. Dress hijau? Haduh, seperti daun pisang. Hmm, ok dress warna mocca. Ku Poles make up tipis di wajah. Jangan menor Sandra. Ayolah, aku harus berhias se-elegan mungkin. Sepuluh menit berlalu. Kamar masih berantakan. Baju-baju yang tidak jadi kupakai berhamburan di atas kasur. Biar sajalah, dirapikan nanti saja. Pelan-pelan aku menuju ruang tamu. "Ayo Dev," ajakku. Devan sesaat bergeming. Matanya membesar seperti terpesona dengan penampilanku kali ini. Tak sia-sia aku mengacak-acak isi lemari. "Tan, pamit dulu ya," aku mencium tangan Tante Ratih diikuti Devan. Mobil Devan ternyata terparkir di halaman. Kenapa aku tidak dengar waktu dia datang ya? sepertinya aku masih nyenyak tidur tadi. Atau karena earphone yang kugunakan? Biar saja lah, yang penting sekarang Devan akan mengajakku ke cafe impianku yeeay! Hujan kian deras. Jalanan sepi nyaris kosong. Padahal biasanya minggu begini jalanan penuh dengan mobil plat luar kota. Cafe yang kusebut cafe impian itu sebenarnya tidak terlalu jauh. Cukup setengah jam perjalanan. Aku sudah beberapa kali lewat di depannya, tapi belum pernah makan di sana. Devan dan aku tiap minggu punya pilihan cafe tersendiri untuk berwisata kuliner. Tapi cafe yang satu ini belum pernah kami coba dan bagiku terasa spesial. Kulirik Devan yang sedari tadi diam saja. Agak aneh, biasanya dia tidak begini. "Ehm, Dev, kenapa kamu baru datang sekarang? Kamu kemana saja?" Devan masih fokus menyetir. Kami hampir sampai. "Aku bakal jelasin semua nanti," jawabnya dingin. Menyebalkan. Sudah untung aku tidak marah. Bukannya bicara yang manis-manis malah diam saja sekalinya menjawab nadanya dingin. "Kamu tunggu sebentar," katanya lagi. Mobil sudah terparkir sempurna di area parkir cafe. Devan mencondongkan badannya ke kursi belakang lalu mengambil payung yang rupanya sudah ia siapkan. Pintu masuk memang cukup jauh. Lumayan kebasahan kalau jalan dari sini menuju ke sana tanpa payung. Devan keluar lalu berlari membukakan pintu untukku. "Ayo," ajaknya. Aku turun. Kami menggunakan payung yang sama hingga jarak kami begitu dekat. Devan mencondongkan payungnya lebih banyak ke arahku sehingga sebagian tubuhnya terguyur air hujan. Kami tiba di dalam. Aku nyaris melongo. Cafe ini jauh lebih indah dari yang kulihat di internet. Meja dan kursinya bertema classik ala eropa jaman dulu. Dan di ujung sana, di ujung balkon yang luas. Seharusnya kami bisa melihat bintang. Duh, kenapa sih harus ke sini sekarang. Coba kalau nanti malam, pasti kan lebih indah. Dilangit pemandangan bintang dan lampu-lampu kota Bandung terlihat dari ketinggian bak hamparan bintang yang pindah ke bumi. Ooooh, indah sekali .... "Duduk San," Devan membukakan kursi untukku. Aku tersadar dari lamunan dan duduk. Yang terlihat diluar sana sekarang guyuran hujan dan kabut. "Tunggu di sini sebentar ya," Devan lalu meninggalkanku keluar. Aku cuma mengangguk belum sempat berkata ia sudah keburu melangkah jauh. Seorang pelayan datang menghampiriku. "Silahkan menunya," "Oh iya, terimakasih." Ku Bolak-balikan halaman daftar menu yang tersedia. Hmm, sekarang hujan, kupesankan saja Makanan dan minuman yang hangat. "Hmm, dua hot chocolate, dua spaghetti, roti bakar chocolate keju," Pelayan itu mencatat kemudian berlalu. Hehe, aku jadi memesan roti bakar gara-gara tadi roti bakar Tante Ratih belum sempat kumakan. Tiba-tiba alunan lagu romantis terdengar. Aku mencium aroma mawar putih di dekatku. Dimana? Dimana ada mawar putih? Perasaan tidak ada. Tapi kenapa harum sekali? "Untuk kamu San," Aku terperanjat. Devan ternyata di belakangku. Tangannya memegang satu bouquet besar mawar putih. Pantas saja aromanya begitu tercium harum. Hatiku lumer bagai es krim di tengah aspal panas! Ku tatap Devan beberapa detik. Hari ini ia mengenakan kemeja putih dan celana selutut. Ingin kupeluk rasanya. tapi tenang Sandra tenang! kendalikan dirimu. "Thank Dev," jawabku gugup. Aduh, jantung tak karuan rasanya seperti kencan pertama. Wajah Devan tak tersenyum bahkan terkesan dingin. Kenapa sih Devan ini, dari tadi pelit sekali. Menyunggingkan senyum kan tidak seberat mendorong mobil. Devan lalu beranjak dan duduk. Tangan yang satunya rupanya memegang sebuah paper bag besar berwarna putih. Entah apa isinya. "Silahkan," pelayan tiba membawakan pesananku dan menatanya di meja. "Kamu yang pesan?" tanya Devan setelah pelayan itu pergi. "Iya," Ia melirik makanan yang terhidang seperti tidak selera. "Kenapa? Salah ya? Gak suka?" kuperhatikan ekspresinya yang datar saja tak berubah dari tadi. "It's Ok, apa aja aku suka." Jawab Devan. "San terimakasih buat semuanya selama ini." Aku melongo mendengarnya. Devan ini ngomong apa sih? Kita kan gak lagi anniversary. "Ini untuk kamu," Devan menyodorkan paper bag putih besar yang dipegangnya tadi. "Apa ini Dev?" Mataku berseri-seri. "Untuk kamu, buka aja," Berdebar kuintip paper bag itu. Ada sebuah kotak di dalamnya. Cukup besar. Devan akhirnya tersenyum walau senyumnya tipis sekali. Seolah sekali lagi mempersilahkan aku membukanya. Kukeluarkan kotak itu. Agak berat. Warnanya biru. Kubuka perlahan. Aku sekali lagi melongo dengan mulut membentuk O sempurna. "Dev, ini ...." tanganku menutup mulut saking gembiranya. "Ini jam tangan yang aku pengen, dan dress yang kita lihat sama-sama waktu itu," Devan hanya mengangguk kecil. "Semoga kamu suka San," "Oh My God, Dev! ini aku lebih dari sekedar suka ." Kutatap Devan sekali lagi. Ini benar-benar aneh. Wajah Devan tanpa ekspresi. Bertolak belakang denganku yang dari tadi kegirangan. "Dev, kamu kenapa Sih? Kok dari tadi aku perhatiin kamu kayaknya gak happy, apa ada sesuatu?" Devan menatapku dengan tatapan yang tak biasa. "Aku ajak kamu kesini, karena ada yang ingin aku bicarakan San," ia menghela napas. "Gak banyak yang aku bisa lakukan lagi. Semoga hal yang sedikit ini bisa memenuhi impian kamu dari aku yang belum sempat kuberi kemarin-kemarin." Jantungku mulai berdebar. Seperti ada firasat lain menelisik. Ayo fokus Sandra. Tanyakan kemana dia sebulan lalu. Jangan terlalu girang karena bunga dan hadiah darinya. "Ehm, i-iya Dev, sejujurnya aku bahagia banget dengan semua pemberian kamu ini. Selama ini juga kamu selalu kasih aku banyak hadiah, tapi aku lebih ingin dengar alasan kamu menghilang sebulan kemarin. Kamu kemana? Kenapa? Dan ada apa? Aku cari kamu sampai udah gak tau lagi harus cari kemana." Kataku. "Dan aku nangisin kamu setiap hari," lanjutku lirih. Kuperhatikan Devan mengepalkan tangannya seperti menahan sesuatu. "Ini pertemuan kita yang terakhir San," ucapnya. Hot chocolate yang baru saja ku cicip langsung membuatku tersedak seketika. Mataku melotot. Apa yang kudengar barusan? "Setelah ini aku gak bisa wujudin lagi impian-impian kamu, impian kita dan cerita tentang kita gak akan ada lagi. Aku harap kamu bisa jaga diri baik-baik," lanjutnya. Whaaat?! Devan barusan bilang apa? Kalimatnya kenapa berbelit-belit membuatku pusing. Tapi ... tapi dia bilang 'yang terakhir'? Aku kebingungan seperti orang d***u. 'Tidak ada lagi cerita tentang kita'? "Dev kamu ngomong apa sih?" tanyaku. Devan diam seperti tak berani mengulangi kalimatnya. "Dev, ngomong!" Nadaku meninggi. "Aku gak ngerti maksud omongan kamu barusan," Devan menatapku. "Aku dipaksa menikahi gadis pilihan orang tuaku San, aku tidak bisa menolak." Jedaaaar! suara petir di luar sana menggelegar. Rasanya seperti menyambar jantungku. Tanganku mendadak gemetar. Tidak! tidak mungkin! Devan pasti bohong! "Kamu bercanda kan? Kamu ngerjain aku kan?" Aku menggenggam tangannya tapi ia melepaskan. "Dev jawab Dev, bilang ke aku kamu bohong, bilang ke aku kamu bercanda," Tanpa sadar air mata sudah mengalir di pipiku. Suaraku berubah berat. Devan diam saja. Tidak seperti dia yang delapan tahun kukenal yang selalu menjadi bahu tempatku menangis. Dan tangannya selalu menyapu air mataku. Kali ini dia bergeming. "Dev bilang! Ayo bilang kalau kamu bohong! Bilang kalau ini semua gak benar !" Beberapa pasang mata di sekeliling kami mendadak memperhatikan. Aku bahkan tak peduli lagi kalau jadi tontonan orang gara-gara menangis sekeras ini di cafe. "Ini semua kenyataan yang harus kita terima San," Devan akhirnya bersuara. "Maafin aku," ucapnya lirih. Dadaku bergemuruh. Aku tak bisa lagi membendung emosiku. "Dasar pecundang! Kamu menghilang seenaknya dan datang tiba-tiba cuma buat ngomong kayak gini?" "Satu bulan ini aku berusaha melupakan kamu San, supaya aku juga gak terlalu sakit. Aku berusaha menerima perempuan itu, karena orang tuaku tidak memberi pilihan lain kecuali menerimanya," "Cukup Dev!" Aku bangkit dari duduk. "Aku gak butuh semua ini, kasih ini semua buat calon istri kamu!" Kulempar bouquet mawar putih dan kotak kado beserta paper bag itu ke wajahnya. Sekuat tenaga aku berlari keluar. Berhasil kamu Devan. Berhasil membuat kenangan terburuk!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Fake Marriage

read
8.3K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

You're Still the One

read
117.1K
bc

Si dingin suamiku

read
488.8K
bc

Bridesmaid on Duty

read
161.8K
bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook