bc

Mas Dukun Tampan

book_age18+
688
FOLLOW
2.8K
READ
inspirational
bxg
humorous
mystery
lucky dog
expert
small town
special ability
civilian
like
intro-logo
Blurb

Pembatasan Sosial Berskala Besar pada tahun 2020, berimbas kepada Sugianto seorang terapis massage di sebuah mall. Berbulan-bulan tanpa pemasukan menyebabkan dirinya dan istri kelabakan untuk melanjutkan hidup di Surabaya.

Berbekal kenekatan, keduanya memutuskan pulang kampung ke Banyuwangi. Kota kelahiran Yanto – panggilan akrab Sugianto. Keluarga Yanto di Banyuwangi termasuk keluarga menengah ke bawah, penghasilan utama Ibu Yanto dari kebun yang tidak seberapa luas. Namun, ibu tetap menerima kepulangan anak dan menantunya. Di sana Yanto membuka jasa pijat keliling dari rumah ke rumah.

Banyak pelanggan yang menggunakan jasanya. Rata-rata mereka tertarik karena paras tampan sang dukun, terutama para wanita dan gadis.

Enam bulan di Banyuwangi, Yanto tidak hanya dikenal sebagai dukun pijat. Ia mulai sering dipanggil sebagai pawang hujan. Bahkan ada yang meminta jimat pengasih, penglaris sampai nomer togel.

Berbagai makhluk gaib ia temui demi membantu keluhan pasiennya yang beragam.

Ekonomi mereka berangsur membaik. Namun, Yanto kembali dihebohkan dengan keadaan Mega yang ia terawang sedang diincar makhluk gaib. Yanto yang bisa melihat makhluk tersebut dengan berani menantang dan membuatnya bertekuk lutut.

Keahlian Yanto tidak berhenti di situ, secara tidak sengaja ia berhasil menolong persalinan seorang ibu yang hendak melahirkan. Keberhasilan tersiar dengan cepat. Hampir semua ibu hamil di dusun tersebut, meminta bantuannya untuk persalinan.

Tentu saja tidak mudah, ia harus berhadapan dengan makhluk gaib, dukun beranak yang sudah ada bahkan pihak medis.

Bagaimana kisah Mas Dukun Tampan selanjutnya? Apa yang akan ia lakukan menghadapi pasien dan lawan-lawannya baik yang nyata maupun yang gaib?

chap-preview
Free preview
Transferan
Klunting. Terdengar notif dari ponselku. Segera kuraih benda pipih warna silver tersebut dari meja kayu berusia lebih dari setengah abad. Namun, masih terkesan kokoh. Aku sedikit terlonjak membaca notif  berupa sms itu. Aku menghitung jumlah nol di belakang angka delapan yang masuk ke M-banking. Sungguh benar-benar gelay dan tidak masuk akal. Darimana uang sebanyak itu? Berbagai prasangka dan praduga menyerang otakku yang masih waras. Aku membuka kembali rekening virtual yang ada di aplikasi smartphone-ku. Aplikasi yang baru aku download sebulan lalu karena tertarik dengan promo yang ditawarkan Mbak-Mbak sales marketingnya. Karena sebelumnya aku tidak memiliki keinginan menggunakan aplikasi yang menurutku hanya dimiliki orang berduit. Sedangkan aku siapa? Aku hanya seorang warga yang ber-ruralisasi. Lahir di kota metropolitan kedua di Indonesia – Surabaya, lalu menikah dengan Mas Yanto yang asli Banyuwangi. Di Surabaya keluargaku bukan termasuk keluarga yang kaya, tetapi kehidupanku tidak pernah kekurangan sesuatu apa pun. Awal-awal menikah aku dan Mas Yanto masih bertahan tinggal di Surabaya dengan menempati sebuah rumah kontrakan. Walaupun tidak besar, tapi aku bersyukur karena Tuhan masih mencukupi semua kebutuhan. Dengan berbekal penasaran kubuka aplikasi biru tersebut. Kucari menu saldo dan mencari tahu sumber yang mentransfer nominal sebanyak itu. Namun, tentu saja tidak kutemukan data pentransfernya. Masih dalam keadaan tercengang, tiba-tiba Mas Yanto – suamiku, masuk dan memelukku dengan hangat. Aku yang masih belum mengerti dengan apa yang terjadi karena memikirkan nominal delapan juta tersebut sedikit tergagap. “Yang, udah ada transferan masuk ke rekening kamu, belom?” tanya Mas Yanto masih memelukku. Mendengar pertanyaan Mas Yanto, dengan cepat kulepaskan pelukannya. “Jadi, yang trasnfer Mas Yanto?” ucapku kaget. “Bukan,” jawab Mas Yanto kembali memelukku. “Kok dilepas, sih? Lagi anget nih!” bisiknya. “Lalu dari siapa?” aku kembali melepas pelukan Mas Yanto karena masih penasaran dengan transferan sebanyak itu. “Jangan dilepas!” titah Mas Yanto. “Transferan itu dari salah satu pasienku!” sambung lelaki yang masih berusaha memelukku itu. “Pasien apa?” tanyaku kaget. Suamiku bukan seorang dokter, perawat atau semacamnya. Lalu, ia menyebut pasien. Pasien yang mana? Apa dia sudah tidak waras atau menghalu? Berbagai prasangka muncul di otakku. Mas Yanto kulirik sedang tersenyum tanpa melepas pelukannya. “Pasien yang kemarin datang minta dialihkan hujan pas ada hajatan di rumahnya,” jawab mas Yanto membuatku semakin tidak mengerti. “Kamu jangan sok bego, gitu ah!” kecup Mas Yanto dengan mesra. “Tapi beneran Mas, aku gak paham?” sangkalku. “Aku taunya kamu itu tukang pijat. Lalu darimana kamu bisa mengalihkan hujan? “ sambungku masih belum puas dengan jawaban suamiku. “Ada orang yang pernah memakai jasaku. Inget dengan Pak Darko?” Tatap Mas Yanto lekat. Aku mengangguk pelan mendengar nama yang disebut suamiku. “Waktu Pak Darko hajatan, pas  musim hujan. Tapi, dia tetap nekat melangsungkan hajatan dengan  memintaku menyingkirkan hujan. Ya, aku terima dong. Aku pun melakukan ritual penyingkiran hujan. Sehingga, mendung benar-benar beralih ke lokasi lain waktu itu,” Mas Yanto mengingatkan kejadian sekitar dua bulan yang lalu di kampung kami. “Nah, yang transfer barusan namanya Pak Win, orang kampung sebelah. Dia juga memintaku melakukan ritual yang sama, nyingkirin hujan pas hajatan. Eh, beneran tidak hujan. Sebagai ucapan terima kasih dia kasih duit segitu ke kita,” jelas mas Yanto. “Tapi kok banyak amat?” selorohku masih tidak percaya dengan nominal delapan juta di rekening. Bahkan sebulan bekerja sebagai SPG pun sangat sulit mencapai nominal sebesar itu, tapi ini hanya sehari bisa dapat duit segitu. Dalam sebulan bisa kaya mendadak. Batinku sambil menghitung uang yang ditransfer pasien Mas Yanto dalam sekali praktek. Dengan uang sebanyak itu, hidupku tidak akan kekurangan lagi. Aku bisa membeli semua kebutuhan rumah tangga tanpa harus merengek atau merajuk lagi. Aku juga bisa shopping di mall yang ada di Kota Banyuwangi. Mall yang selama ini hanya bisa kupandang dari jauh. Karena merasa tidak memiliki cukup uang hanya sekedar masuk dan melihat-lihat isinya. Padahal di Surabaya, keluar masuk mall adalah hobiku. Bersama keempat sahabatku, Davina, Jehan, Wulan dan Putri hampir setiap weekend, kami mengunjungi semua mall Surabaya secara bergilir. Bukan untuk berbelanja, melainkan sekedar melihat-lihat barang baru yang dipampang di setiap toko. Karena untuk membeli, uang saku kami tidak cukup. Setelah lulus kuliah dan bekerja barulah kami berani belanja memenuhi hasrat  manusiawi. Membeli barang yang terlihat menarik, meskipun tidak terlalu butuh. Hingga kami masing-masing berkeluarga dan mulai berkomitmen mengurangi aktivitas ngemall untuk fokus kepada keluarga. Sebulan sekali kami bertemu untuk sekedar melepas rindu, tentunya mengajak serta keluarga. Hanya aku saja yang selalu datang berdua dengan Mas Yanto karena kami belum dikaruniai anak. Back to me, now. Aish, aku merasa benar-benar merasa wanita paling bahagia hari ini. Delapan juta sehari, gaess. Aku saja masih belum percaya. Berkali-kali aku buka aplikasi biru tersebut untuk sekedar memastikan bahwa delapan juta itu benar-benar ada dan nyata. Bukan hanya penglihatan haluku saja. Bukan hanya mall yang jadi tujuanku, renovasi rumah juga masuk dalam daftar keinginanku berikutnya. Mengingat kondisi rumah yang kutempati dengan Mas Yanto, dindingnya terbuat dari gedeg atau anyaman bambu. Bisa dipastikan dong, bagaimana kondisiku saat malam. Kedinginan dan banyak nyamuk. Satu keadaan yang tidak pernah aku alami saat masih tinggal di Surabaya. Bahkan sangat jauh berbeda. Rumah yang kami tempati adalah peninggalan almarhum ayah dan ibu Mas Yanto. Saat kami balik kampung masih ada ibu yang menjaganya. Namun, enam bulan kemudian ibu meninggalkan kami selama-selamanya karena penyakit komplikasi. Sejak itu, rumah gedeg tersebut kami rawat sebisanya, karena keuangan suamiku belum stabil bahkan bisa dikatakan sangat kekurangan. Penghasilannya hanya saat ada orang atau tetangga yang memanggil untuk pijat. Hingga muncul sms banking tadi. Otakku kembali dipenuhi banyak keinginan duniawi yang selama ini belum pernah aku rasakan setelah menikah dengan Mas Yanto. Entah, apa maksud Tuhan dengan mengirimkan rizki yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. “Pakai seperlunya ya, Sayang,” ucap Mas Yanto lirih mencium keningku. “Mas, ini duit halal, kan?” tanyaku ragu. Tiba-tiba sisi hatiku yang lain mengatakan kalau uang yang ditransfer ke rekeningku tidak benar. Zaman gini gitu loh, mana ada orang ngasih duit cuma-cuma segede itu. Toh, yang dilakukan Mas Yanto cuma duduk-duduk doang sambil melakukan ritual yang aku sendiri tidak paham. Ia hanya berbekal bawang merah, bawang putih, cabe dan sapu ijuk. Setelahnya aku tidak paham bagaimana Mas Yanto berritual. Terkadang aku bergidik ngeri membayangkan Mas Yanto melakukan ritual yang menurutku aneh. Kalian bisa bayangkan, dong. Bagaimana rasanya menjadi istri seorang dukun? Aku yang notabene lulusan sarjana Psikologi menikah dengan seorang dukun. Awalnya ingin tertawa menyaksikan kehidupanku yang serasa jungkir balik. Semua ilmu yang kupelajari di kampus seolah-olah tidak berguna saat tinggal di tengah-tengah kehidupan masyarakat pedesaan yang masih percaya takhayul. Bahkan suamiku sendiri adalah salah satu pelaku utamanya. Mengenaskan. Bersambung...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
10.8K
bc

My Secret Little Wife

read
91.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
202.9K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook