bc

Suami Idaman (Heart to you)

book_age4+
4.6K
FOLLOW
83.9K
READ
dark
possessive
love after marriage
arranged marriage
badboy
goodgirl
sensitive
CEO
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

Judul lama : Heart to You

Warning. Cerita ini mengandung konten dewasa.

Keika Adellia harus merelakan kebebasannya menyandang status lajang ketika di satu malam, ia terpaksa menikah dengan Alviano Brahma. Lelaki asing yang datang tiba-tiba di hidupnya. Lelaki tampan, kaya raya, bos sebuah stasiun televisi dan yang pasti, kriteria sempurna menjadi suami.

Namun siapa sangka, bersama Alvian, Keika justru mendapati fakta demi fakta menyakitkan menyangkut hidupnya.

Ada banyak kelokan pada hidupnya, namun, hadirnya Alvian pun memberi warna berbeda.

Lalu warna seperti apa? Apakah hanya hitam atau sewarna pelangi yang indah.

Temukan kisah Alvian dan Keika, dan biarkan mereka mengisi hari-harimu yang indah.

*Edited Cover -- Canva

chap-preview
Free preview
Bab 1
Bab 1 Malam semakin larut dan kegelapan menggantung di atas sana. Memberi efek mencekam dan menakutkan. Sepi. Sunyi. Seolah tak ada lagi kehidupan di tempat itu. Seperti malam-malam sebelumnya, seorang gadis meringkuk memeluk tubuhnya sendiri di atas ranjang besar kamarnya. Selimut tebal yang halus menutupi tubuhnya hingga sebatas bahu. Kedua bola mata cokelat terangnya mengerjap-ngerjap menatap keluar jendela kaca dengan tirai yang tersingkap. Memperlihatkan pemandangan di luar sana yang tak jauh beda dengan kamar yang tengah ditempatinya. Gelap. Hanya terlihat sedikit cahaya dari lampu di luar yang menyingsing masuk. Satu bulan lalu dia masih sangat membenci gelap. Dia selalu ketakutan di tengah kegelapan. Dan kini dia tak lagi merasakan hal seperti itu. Dia lebih berani. Dia lebih bisa menghadapi kegelapan. Mungkin karena selama ini  justru kegelapan lah yang selalu menemaninya. Mengisi malam-malamnya yang sepi. Sudah tengah malam, namun mata dengan iris cokelat terang itu masih enggan terpejam. Tak ada sedikit pun tanda-tanda dari sang empunya untuk menutup mata dan terlelap. Seperti yang dilakukan kebanyakan orang di luaran sana. Mengistirahatkan tubuhnya setelah seharian penuh beraktifitas. Ah, bagaimana mungkin dia seperti orang diluaran sana. Dia sendiri bahkan tak mempunyai aktifitas melelahkan selama ini. Hari-harinya hanya diisi dengan kegiatan santai. Membaca buku. Duduk termenung. Melihat hamparan taman dengan rumput menghijau dan bunga-bunga bermekaran. Gadis dengan iris mata cokelat terang itu menghela napas berat juga frustasi. Dia lah Keika Adellia -si penghuni baru rumah besar nan megah itu dan menjadi salah satu tuan rumah. Sebenarnya tak pantas disebut sebuah rumah, lebih tepatnya istana. Istana yang sangat indah dan megah. Atau bukan keduanya. Lagi pula tak ada kehangatan sedikit pun yang dia rasakan di tempat itu. Jadi mungkin bukan rumah atau pun istana. Tempat itu lebih seperti sebuah penjara. Penjara kegelapan yang selama ini mengungkungnya paksa. Jika Kei -panggilan akrabnya, memiliki satu saja kesempatan untuk keluar atau pun menghilang, tentu tak akan pernah disia-siakan olehnya. Dia sungguh ingin keluar melihat dunia di luar pagar, bertemu banyak orang, kembali ke kehidupannya yang dulu, meski mungkin akan membuat dia harus kembali bekerja di mini market, atau menjadi pelayan dan pemandu karaoke. Selama ini Keika menutup mata, dipaksa menutup mata dari dunianya dulu. Membekukan hati dan dirinya. Mematikan setiap emosi yang ada pada dirinya. Dia bukanlah seorang gadis tangguh, dia hanyalah seorang gadis rapuh dengan semua kekurangannya. Yang hanya bisa menerima semua keputusan untuk hidupnya tanpa sempat menolak atau pun meminta alasannya. Perlahan bola mata dengan iris cokelat terang itu meredup. Kini kegelapan kembali mengambil alih dirinya. Membiarkan dia dengan mimpi-mimpi yang siap menghampirinya. Berharap bahwa ada sedikit saja mimpi indah yang menemani tidurnya malam ini. *** Keika melenguh pelan ketika cahaya menyilaukan menyingsing masuk dari jendela kaca kamarnya. Membuat tidurnya yang baru beberapa jam itu terusik. Pelan, Keika mengucek kedua matanya. Berusaha untuk membuat matanya terbuka sedikit lebih lebar. Dengan langkah yang sedikit gontai, Keika berjalan ke arah jendela kaca besar di kamarnya. Membuka penguncinya dan membiarkan angin pagi ini menyapu wajahnya. Rambut sebatas bahunya berkibar-kibar karena angin pagi yang membelai. Pandangannya beralih dari langit biru dengan matahari yang bersinar cerah ke taman di bawah sana. Tangannya mencengkeram erat pinggiran pagar balkon. Di bawah sana seperti hari-hari biasanya, semua orang yang bekerja di rumah ini sedang disibukkan dengan aktifitas paginya.  Keika menghela napas tanpa mengalihkan pandangannya dari bawah sana. Dua orang pria dengan pakaian hitam, terlihat selalu siaga di  gerbang dan masih banyak lagi di sekitaran rumah. Ya, rumah ini dijaga sempurna, tak sedikit pun memberi celah bahkan untuk sekadar tikus menyusup masuk. Bola mata cokelat terangnya memicing melihat ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Dari kejauhan sebuah sedan hitam memasuki pekarangan rumah ini. Berhenti tepat di depan pintu utama. Penasaran dengan seseorang yang memasuki rumah pagi ini. Keika berlari masuk ke kamarnya meraih sebuah teropong kecil di atas nakas lalu kembali ke balkon. Dengan cekatan gadis itu membidik target teropongnya. Terlihat jelas dari alat bantu penglihatannya itu seorang laki-laki dengan postur tinggi tegap, kacamata hitam yang menempel di wajahnya juga pakaian rapi serba hitamnya, keluar dari mobil tadi dan berjalan cepat masuk ke rumah. Sesaat, Keika mengernyitkan dahinya dalam. Selama satu bulan tinggal di rumah itu, dia tak pernah melihat seorang pun yang datang berkunjung. Meski hatinya penasaran dengan sosok itu, Keika masih diam di tempatnya. Dia hanya menghela napas pelan. Percuma saja dia berusaha keluar kamar karena seorang bodyguard di depan kamarnya pasti akan melarangnya keluar dan menanyainya begitu banyak pertanyaan tak berguna. Juga akan mengikutinya ke mana pun dia pergi. Seperti yang dilakukannya tiap pagi. Kali ini Keika pun mengarahkan teropongnya ke arah luar rumah. Melihat semua kesibukkan di luar sana. Lalu lalang orang yang berseragam kerja selalu membuat hatinya teriris. Dia ingin berangkat bekerja, seperti mereka. Seperti saat dia bekerja di mini market. Dan semua itu kini tinggal lah mimpi. Kehidupannya saat ini tak ubahnya seperti seekor burung dalam sangkar atau seperti tahanan dalam sebuah penjara. Meski kemewahan dan semua hal terpenuhi tapi tak ada sedikit pun kebahagiaan. Jauh berbeda dari kehidupannya dulu, yang harus susah payah bekerja  untuk bertahan hidup. Suara ketukan pintu mengalihkan fokusnya dari luar. Dia berjalan masuk ke kamar dan menutup tirai jendela. "Nona sudah bangun, ini waktunya sarapan." Sebuah suara disela ketukan pintu menginterupsi. "Ya," dengan malas Keika menyahut tanpa susah-susah membukakan pintu. Dia berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepinya. Matanya fokus ke tirai yang kini tersibak oleh angin pagi. Hingga kemudian, langkah pelan terdengar mendekat ke arahnya. Tanpa menoleh pun dia yakin bahwa yang datang adalah pelayan pribadinya. "Anda belum mandi Nona," suara lembut yang khas keibuan membuatnya mendongakkan wajah. Mengabaikan ucapan pelayan itu. Keika menatap intens sosok wanita kisaran usia 35-an itu. Wanita yang selama ini tak pernah lelah berusaha membuatnya merasa nyaman tinggal di tempat ini. "Tuan besar baru saja tiba, Anda tak ingin melihatnya?" Keika menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Gina -pelayan pribadinya. Tuan besar. Keika sama sekali tak pernah melihat dan bertemu langsung dengan seseorang yang disebut sebagai Tuan besar itu. Yang jelas pasti terpatri di benaknya saat ini. Tuan besar itulah sumber dari semua penderitaan yang dialaminya. Tadinya Keika sempat penasaran dengan siapa yang dilihatnya pagi ini. Tapi mendengar ucapan Gina tentang tuan besar. Minatnya segera menguap. Enggan untuk menemui seseorang itu. "Untuk apa? Memangnya aku siapa? Selama ini saja dia tak pernah berkunjung kemari." Keika mendengkus sebal. Lalu tersenyum miris. Sakit sekali rasanya berhari-hari terkurung di tempat yang tak ada seorang pun dia kenal akrab. "Beliau suami Anda, Nona." Gina berucap lagi. Sembari kedua tangannya sibuk menyiapkan menu sarapan di atas nakas. Suami. Satu kata yang selalu mampu membuat mood Keika yang tadinya buruk bertambah buruk. Kembali Keika mendengkkus. Mungkin dulu ketika baru saja dia melangkahkan kakinya memasuki rumah ini. Keika menyimpan sejuta harapan tentang seseorang yang menjadi suaminya. Tapi saat ini setelah Keika menempati rumah ini, semuanya tinggal lah rasa benci. Benci. Yang benar-benar benci. Bahkan Keika tak pernah tahu siapa nama laki-laki itu. Dulu dia pernah mendengarnya sekali, lalu dengan mudah terlupakan. Dan sampai saat ini dia enggan menanyakan pada siapa pun. "Kamu menyuruhku untuk menemuinya. Tapi dengan sengaja membawa sarapanku ke kamar?" Keika berkata lirih. Namun nada suaranya terdengar dingin dan datar. Benar saja. Selama ini memang Keika lah yang selalu turun ke bawah dan menikmati hidangan makannya di meja. Sendiri. Tak ada satu pun dari sekian banyak orang di rumah yang mau duduk di meja makan bersamanya. Dan pagi ini pelayan pribadinya mengantar sarapannya ke kamar. "Eh ... i ... itu Nona, saya--" "Sudah lah ... aku mau mandi." potong Keika, mengibaskan sebelah tangannya di depan Gina lalu beranjak dari duduknya dan langsung memasuki kamar mandi di pojok ruangan. Meninggalkan pelayan pribadinya yang tengah memandang takut-takut ke arahnya. Keika mengerti. Meski Gina menyuruhnya untuk menemui Tuan besar itu, tapi di satu sisi pelayannya tahu kalau kemungkinan Keika enggan untuk keluar kamar apalagi menemui seseorang itu. Ketika akhirnya Keika menyelesaikan acara mandinya yang singkat sekali. Karena bagi Keika, mandi ya sudah, mandi saja tidak perlu berpuluh-puluh menit untuk menggosok tubuh apalagi berendam. Dia menaikkan sebelah alis ketika menemukan Gina masih berdiri di sisi ranjangnya. "Kamu masih di sini?" "Anda belum sarapan Nona. Jadi saya tetap di sini." Gina menyerahkan sepiring sandwich spesial ke arah Keika, menatap takut-takut ke arah wanita yang menjadi nona mudanya. Keika menghela napas. Sebelah tangannya terulur untuk mengambil sepotong sandwich. Dan dengan cepat melahap habis sandwich itu. Lalu mendorong piring yang masih penuh berisi makanan itu menjauh dari hadapannya. "Sudah. Aku kenyang. Hari ini tidak ada jadwal untukku beladiri bukan?" "Tidak ada nona. Karena tuan besar pulang. Bobby meliburkan latihan bela diri Anda," Keika memutar bola mata malas. Harus sampai kapan dia seperti ini. Terpenjara. Sejak masuk rumah itu, Keika mendapat satu bimbingan pasti. Berlatih beladiri. Entah apa tujuannya, tapi yang pasti kegiatan itu membuat Keika merasakan sedikit kelegaan karena bisa melampiaskan emosi yang membuat dadanya sesak. "Anda butuh sesuatu yang lain nona?" tanya Gina masih memandang takut-takut. Wanita itu tengah mengambil kembali piring sandwich tadi dan gelas kosong yang isinya sepenuhnya berpindah ke dalam perut Keika. Meletakkannya di atas nampan yang tengah dipegangnya. Keika menyeringai, sudah lama sejak dia tinggal di sini sikapnya pun berubah menakutkan. Dia lebih sering terlihat sebagai gadis yang dingin, angkuh, menyebalkan juga menyeramkan. Satu-satunya cara untuk dia bertahan di rumah ini. "Aku butuh keluar dari rumah ini" Keika berkata tegas. Gina yang mendengarnya langsung mendongakan wajahnya dengan mata yang melebar. "Ma ... maaf Nona. Jika bukan hal seperti itu mungkin saya bisa," Keika masih mempertahankan raut wajah dinginnya. Seperti yang dia duga. Dia tak akan pernah bisa keluar rumah ini. Tidak sebelum ada keajaiban yang mendatanginya. "Jangan melihatku takut-takut seperti itu Gina. Aku tidak akan melukaimu." Sekasar dan sejahat apa pun Keika. Dia tidak akan pernah mampu untuk melukai wanita yang selama ini menemani dan berusaha memberi kehangatan di hari-harinya. Gina mengangguk. Wajahnya berubah menjadi biasa. Yang dia takutkan hanyalah satu. Nona mudanya bertindak bodoh seperti yang sering dilakukan akhir-akhir ini. "Duduklah. Temani aku sebentar," Keika menepuk sisi ranjang di sebelahnya. Gina menggeleng pelan. Membuat Keika selalu saja geram. Ribuan kali bahkan ratusan kali dia mengingatkan juga menyuruh pelayan pribadinya itu bersikap seperti teman dengannya namun selalu saja ditolak. Gina tetap bersikap layaknya pelayan. Dekat namun tetap terlihat sebuah dinding di antaranya. Menyerah, Keika menghela napas. Beranjak dari duduknya untuk keluar balkon. Hanya tempat itu satu-satunya yang disukai Keika. Melewati pintu kaca. Lalu duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Dengan punggung yang sepenuhnya bersandar di sandaran kursi. Keika menatap rindangan pohon-pohon di depannya dengan daun-daun hijau tengah melambai-lambai tertiup angin. Tak ada hal lain yang ingin dilakukan Keika pagi ini. Malas. Tapi juga bosan. "Gina, katakan padaku aku harus berbuat seperti apa lagi?" Keika membuka suaranya. Ia yakin Gina sekarang berada persis di belakangnya. "Maaf Nona, maksud Anda?" Gina yang memang berada di belakang nonanya menjawab tak mengerti. "Duduklah. Aku hanya ingin memiliki teman bukan pelayan." Keika membalikkan tubuhnya untuk melihat Gina lalu menunjuk kursi di sebelahnya. Tatapan matanya tajam sarat perintah. Karena jika bukan seperti itu Gina tak akan mau duduk di sebelahnya. Gina sendiri mengaku sebagai pelayan Keika tapi Gina sendiri selalu menolak perintah Keika untuk menjadikannya teman. Keika memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas pelan. Suara derit kursi di sebelahnya menandakan bahwa ada seseorang yang menempati kursi itu menyapa indera pendengarnya. "Aku lelah seperti ini. Terpenjara. Menutup mata dari dunia luar. Aku tak tahu alasan apa yang membuatku berada di sini tak ada yang mengatakannya padaku. Aku bahkan tak tahu bagaimana aku dibawa ke sini dan siapa yang bertanggung jawab atas kehidupanku ini." Untuk rentang waktu satu bulan yang terlewat. Baru kali ini Keika mengeluarkan semua unek-uneknya. Dia sudah berada di puncak kesabaran. Dia sudah lelah, teramat lelah untuk bepura-pura semua baik-baik saja. Berpura-pura bahwa dia adalah gadis kuat yang angkuh. Tak ada seorang pun yang menjelaskan situasinya saat itu kecuali satu pucuk surat dari ayahnya yang mengatakan bahwa dia harus tinggal di rumah suaminya dan menuruti semua perintahnya. "Aku tak pernah mengharapkan kehidupan mewah seperti ini. Semua ini terasa sangat menyiksaku." kembali Keika berucap. Kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. "Maafkan saya Nona. Saya tidak bisa melakukan apa pun untuk membantu Nona." Gina menatap lekat ke arah Keika. Untuk pertama kalinya bagi dia. Melihat sisi lain pada diri nonanya di samping sebuah keangkuhan. Keika terlihat sangat putus asa. Bahkan lebih putus asa dari pada kejadian minggu lalu. "Serendah itukah sampai-sampai aku dijadikan boneka seperti ini." Keika mengabaikan kata-kata Gina. Yang dia butuhkan bukan ungkapan maaf dari Gina tapi lebih ke arah penjelasan apa pun yang Gina tahu. Otaknya mulai buntu mencari-cari jawaban sendiri. Kehidupannya benar-benar terputus dari dunia luar. Tak ada teknologi digital yang bisa ia gunakan. Semuanya di blacklist dari hidup Keika. Kecuali televisi satu-satunya benda yang menghubungkannya untuk melihat dunia luar. Keika memejamkan matanya. Sebulir bening jatuh dengan mulus melewati pipi putihnya tanpa bisa lagi dicegah. Dan bulir bulir lain yang terasa semakin menderas. Gina tercengang melihat keadaan Keika. Dengan perlahan Gina mengusap sebelah bahu Keika sedangkan sebelah tangannya menggenggam lembut jemari Keika yang kali ini bergetar. "Saya mohon. Jangan seperti ini nona. Shh ... Anda gadis kuat." Gina berucap mencoba sedikit menenangkan meski dia sendiri yakin apa yang dilakukannya tak akan berpengaruh besar. Gina tak pernah melihat Keika menangis bahkan ketika minggu lalu Keika pernah mencoba bunuh diri dengan menggores pecahan kaca di pergelangan tangannya. Keika sama sekali tak menitikkan air matanya. Keika yang Gina kenal satu bulan ini adalah Keika yang dingin, kaku, angkuh. Bukan Keika yang seperti saat ini. Rapuh. Putus asa. Seolah dunia runtuh di atas gadis itu. "Aku hanya ingin pulang Gina." isak tangis Keika mengiringi disela-sela ucapannya. Satu kalimat yang selalu sukses membuat Gina bungkam. Keika sudah seperti adiknya sendiri. Semua yang bisa dilakukannya akan diusahakan untuk Keika tapi hanya satu yang tidak bisa dilakukannya, membawa Keika keluar rumah. Gina pun sama seperti Keika. Dia tak pernah sekali pun keluar rumah semenjak Keika tinggal di rumah itu. Dia mutlak diperintahkan untuk selalu berada disisi Keika. Menjadi pelayan pribadinya. Cukup lama tak ada pembicaraan apanpun dinantara keduanya. Hanya isak tangis kecil yang terdengar dari bibir Keika. Kali ini lagi-lagi tak ada jawaban seperti yang diharapkan Keika. Pelan, Keika mengusap kedua sisi wajahnya, menghilangkan jejak-jejak air mata di pipinya. Menghentikan tangis tersedunya. Percuma saja dia menangis dan terlihat lemah. Toh tak akan ada seorang pun di rumah itu yang akan membantunya keluar. "Minumlah dulu Nona." Gina menyuguhkan segelas air putih. Keika segera meraihnya dan meneguknya hingga tinggal setengah. Menarik napas pelan. Berusaha menormalkan kembali keadaannya setelah menangis. Keika merasa sangat menyedihkan. Seharusnya dia tak pernah menangis seperti itu. Bukankah selama ini dia tak pernah sekali pun menangis. Karena dia berpikir jika menangis dia berarti kalah. Akan terlihat lemah. Menyedihkan. "Lebih baik Anda istirahat." Keika mengangguk dan menyerahkan gelas itu pada Gina. Dia beranjak dari duduknya dan segera membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Tidur lagi meski masih pagi mungkin akan sedikit membuat Keika lebih tenang. "Non Kei bukanlah boneka. Anda adalah gadis hebat yang juga salah satu ciptaan terindah dan sempurna." ucap Gina ketika dia mengingat kata-kata Keika. Mencoba mengembalikkan kepercayaan diri nonanya. Keika berdehem pelan tanpa repot-repot menolehkan kepalanya ke arah Gina apalagi menyunggingkan sebuah senyuman karena pujian. Dia mulai memejamkan mata sembabnya. Gina tak berbohong tentang Keika. Gadis itu memang hebat, dia mampu bertahan sampai saat seperti ini. Meski kehidupan dinsekitarnya selalu menekannya. Keika juga sempurna meski dia tak cantik seperti seorang model tapi dia memiliki daya tarik tersendiri. Sikapnya memang angkuh tapi di matanya tersimpan sebuah kelembutan. Keika tak pernah melukai siapa pun. Kata-katanya terkadang tegas namun tak pernah pedas dan melukai. Gina tersenyum tipis melihat tingkah Keika. Nona mudanya sudah kembali seperti dulu. Lebih baik seperti itu daripada putus asa dan menangis. Dia melangkahkan kakinya keluar kamar. Membawa nampan bekas sarapan tadi yang memang sedari tadi masih tergeletak di nakas kamar Keika.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.1K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Satu Jam Saja

read
593.3K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Switch Love

read
112.4K
bc

Unpredictable Marriage

read
280.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook