bc

Eyes Open

book_age0+
1.4K
FOLLOW
11.8K
READ
love-triangle
possessive
arrogant
manipulative
goodgirl
sensitive
drama
sweet
EXO
like
intro-logo
Blurb

Valecia Rain, gadis cantik yang dapat memikat semua lelaki karena sebuah alasan yang dibuatnya sendiri. Siapa yang dapat menolak paras cantiknya? Namun, tidak seorang pun mengira jika semua itu adalah kebohongan kecil yang selama ini disembunyikan.

Kemudian semua terasa berbeda saat bertemu dengan lelaki itu.

Revano Valdinho, seseorang yang tanpa ia sadari mampu membuat Vale berubah menjadi lebih apa adanya. Dengan "keadaan" lelaki itu, ia tidak perlu menyembunyikan apa pun. Kondisinya tidak cukup kuat untuk menjauhkan Vale dari seseorang yang telah memikat hatinya.

Gadis itu benar-benar jatuh cinta pada lelaki buta yang tampan.

chap-preview
Free preview
01 | Black Glasses
Dering ponsel yang tidak kunjung berhenti pun mengalihkan perhatiannya pada benda mungil tersebut. Gusar, ia meraih ponselnya kemudian mendengus kesal mendapati nama yang terpampang di layar. Sudah ketiga kalinya lelaki tak berperasaan itu menghubunginya. Apa lagi yang diinginkannya? Gadis itu dilema. Sungguh, ia tidak kuasa menjawab panggilan dan mendengar suaranya. “Val…” Pada akhirnya ia dikalahkan oleh rasa penasaran. Vale bergegas menepikan mobil pada bahu jalan. Ia tidak mungkin dapat mengemudi dengan pandangan melebur akibat bendungan kristal bening di pelupuk matanya. “Maaf, tapi aku sudah menganggapmu tidak lebih dari yang kau bayangkan, Val. Aku menyayangimu…” “Sebagai adik,” potongnya seraya mengangguk lemah meyakinkan dirinya sendiri. “Benar.” Ya Tuhan! Rasanya Vale ingin menghentikan detik jarum jam yang terus berputar. “Kau akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dariku, Val.” Ucapan di seberang membuat Vale menangis sesegukan tanpa dapat dicegah. “Selamat tinggal, Sayang.” Ponsel di tangannya terlepas begitu saja. Vale membenturkan kening pada roda kemudi. Berharap kenangan indah bersama lelaki itu segera terlupakan dengan mudah. Tapi tidak mungkin. Tentu saja. Pada benturan ketiga, gadis itu masih mengingat jelas bagaimana rupa tampan wajah lelaki itu. Usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Justru kini kepalanya terasa berat karena ulahnya sendiri. “Bodoh!” rutuknya pada diri sendiri. Vale menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Berusaha menarik seulas senyum upaya melupakan beban sejenak. Kemudian ia kembali mengemudikan mobilnya dengan pikiran tak menentu. *** Ketukan pintu disertai langkah kaki seseorang, tertangkap oleh pendengarannya yang tajam dan terlatih. Lelaki itu berdiri dan tersenyum simpul menyambutnya. “Sudah siap?” Suara lembut itu memastikan. Ia mengangguk. Sudut bibirnya tertarik saat wanita anggun tersebut menuntunnya sampai ke dalam mobil. “Baru saja Renza mengirimkanku pesan. Dia memberitahuku bahwa dia masih harus mengurus seorang pasien. Sepertinya begitu darurat, sehingga butuh waktu mendadak seperti ini. Bagaimana kalau kita ke kafe dulu? Hanya untuk menyegarkan pikiran. Lagi pula sudah lama sekali kita tidak berkunjung ke tempat Tante Eve,” jelas wanita itu begitu ia melajukan kendaraannya. Lelaki itu mengangguk samar. Tidak ada yang menyadari kilat kesedihan dari kedua mata yang bersembunyi di balik kacamata hitamnya. Ia ingin melihat kembali bagaimana bentuk kafe yang dulu sering sekali dikunjunginya. Hanya untuk meminum secangkir kopi sampai berjam-jam, menikmati pemandangan luar jendela, dan lain hal sebagainya yang pernah dilakukan. Lelaki itu tidak akan merasa bosan. Ia justru senang karena bisa menenangkan pikiran dengan hal sederhana. Namun, kini hanya dapat ia bayangkan dan rasakan. Kondisinya membatasi bahagianya. “Vano?” panggil wanita itu yang dibalas hanya dengan gumaman oleh Vano. “Tidak masalah apa yang kau lihat nanti. Yang terpenting adalah suasana yang kau rasakan di sana. Bukankah begitu?” Sudut bibir lelaki itu tertarik, “Kalau begitu cepatlah, Tasya. Aku ingin bertemu dengan Tante Eve.” Wanita bernama Tasya itu tersenyum mengangguk mantap menyetujuinya. *** “Vano!” Tante Eve yang begitu gembira dengan kehadiran Vano dan Tasya, tersenyum dengan mata yang berkilat bahagia. Sudah nyaris 3 tahun lamanya, keponakannya yang begitu tampan serta menawan bagi siapa pun itu tidak lagi mengunjungi kafe miliknya. “Oh, Tasya terimakasih kau sudah membawa Vano. Omong-omong, ada apa kalian ke sini?” Tasya tertawa geli melihat adik ibunya yang begitu bahagia melihat kedatangan Vano. “Kami hanya merindukanmu, Aunt.” “Merindukanku? Jadi selama bertahun-tahun, kalian baru merindukanku saat ini?!” rajuk Eve bernada jenaka. Wanita itu tertawa geli menanggapi gurauannya sendiri. “Oh, baiklah tidak masalah. Kau ingin duduk di tempat keabadianmu seperti biasa, Vano?” Vano tersenyum geli mendengar Tante Eve menyebut tempat favoritnya sebagai tempat ‘keabadiannya’. Lelaki itu tersenyum menyadari dekorasi kafe itu tidak ada yang berubah, mengingat tempat favoritnya masih ada. Tante Eve mengantar dua tamu istimewanya pada tempat favorit Vano, dulu. Dengan dua sofa berhadapan, meja oval yang terbuat dari kaca berdiri antara dua sofa tersebut, serta terdapat jendela besar pada sisi ruang di tempatnya. Membuat ia—seharusnya—dapat melihat pemandangan indah di baliknya. Ya, seandainya saja. Suara Tante Eve kembali terdengar dan mengenyahkan lamunan Vano. “Kalian ingin memesan yang berbeda atau seperti biasanya?” *** “White Coffee Cappuccino-nya satu, ya.” Vale kembali ke meja tempat ketiga temannya berkumpul. Di sinilah ia berada sekarang, di CafeVe. Sebuah kafe yang sering dikunjungi oleh mereka saat ini. Selain interior ruang dan arsitektur bangunan yang sederhana namun terkesan unik dan begitu manis. Semua yang terjual di sini dengan harga ekonomis. Ya, paling tidak terjangkau oleh saku mahasiswi seperti mereka. “Kami tahu apa yang terjadi dengan kalian, Val. Tapi percayalah, Dave bukan lelaki satu-satunya di dunia ini,” jelas Aline, upaya sedikit menghibur Vale. Ya, memang bukan satu-satunya di dunia ini. Tapi satu-satunya di hatiku! gerutu batinnya. “Mungkin karena usia kalian terpaut jauh sekali. Kau masih ingin memiliki pacar, sementara Dave ingin memiliki isteri.” Kelly menanggapi kemudian mengangkat bahu. Vale mengangguk lemah. Apa yang di bilang Kelly ada benarnya. Usia mereka memang berjarak sangat jauh. Dave Mananta yang sudah berusia 31 tahun, tidak akan mungkin sabar dengan Valecia Rain yang masih berusia 22 tahun. Sementara Valecia Rain akan membutuhkan sekali seseorang yang besikap serta berpikir dewasa untuk menuntunnya dalam suatu hubungan, seperti Dave. Apa terkesan seperti parasit? “Bagaimana untuk yang satu itu…” Nancy yang duduk di hadapan Vale, menunjuk seseorang dengan ujung sedotannya. “Gosh! Sooo handsome!” Vale turut menoleh. Kedua matanya yang sembab pun kembali terasa segar. Dengan balutan kemeja biru gelap polos yang pada bagian lengannya di gulung sampai siku. Serta kacamata hitam yang menyembunyikan kedua matanya memberi kesan misterius. Menawan. Sangat menawan. Bagaimana mungkin sejak ia datang Vale menyadari kehadiran lelaki semenarik itu? Bahkan sosoknya sangat sayang untuk ia lewatkan! Vale tersenyum memesona. Ia mengerlingkan matanya pada lelaki yang tidak kunjung mengalihkan perhatian dari pemandangan di balik jendela kepadanya. Bibirnya mengerucut, membuat gelak tawa tak tertahankan dari teman-temannya. Vale menyadari sesuatu. Ia mengeluarkan tas mungil yang sanggup menampung beberapa alat rias yang selalu dibawanya ke manapun. Ia mulai menebalkan riasannya dibagian pipi, untuk menutupinya. Sekadar menyempurnakan wajahnya saja. Selesai. Vale tersenyum puas dalam pantulan cermin kecil di tangannya. “Sempurna,” gumamnya mantap seraya berkedip sebelah mata. Vale mulai beranjak dari tempatnya. Langkahnya menghampiri meja lelaki itu dengan dagu sedikit terangkat. Seluas senyum yang memesona terukir begitu jelas di wajahnya. Membuat beberapa pria yang berada di kafe itu seketika terpukau memandangnya. Bukan hanya karena wajah cantiknya yang telah dirias habis-habisan, juga karena sosoknya yang kini terlihat begitu anggun bak puteri seorang raja. Ketiga temannya tak meragukan kemampuannya. Mereka mengakui, untuk soal ini Vale memang begitu lihai. Siapa pun mampu terpikat seolah telah terbius oleh parasnya. “Hai,” sapa Vale membuat lelaki di hadapannya. “Boleh aku duduk di sini?” tanyanya sekadar berbasa-basi. Siapa pun yang melihat ke arahnya juga tahu, gadis itu telah duduk di hadapan lelaki itu sebelum bertanya. Masa bodoh. Lelaki mana yang akan mengusir bidadari dengan sinar terang menembus kegelapan duduk di hadapannya? Ew, gross! Vale bergidik samar akibat pemikirannya sendiri. Gadis itu berdeham kecil, seraya tersenyum menatap wajah yang terpahat begitu sempurna, menurutnya. “Namaku Vale. Lebih tepatnya Valecia. Valecia Rain,” ujarnya seraya mengulurkan tangan dan menampilkan senyuman termanis yang pernah dibuatnya. “Vano.” Lelaki itu tidak menyambut uluran tangannya. Vale menarik kembali tangannya dengan perlahan. Baru kali ini ia merasa gugup. Dahinya berkerut samar melihat tingkah lelaki di hadapannya yang tidak kunjung mengalihkan pandangan dari jendela di sampingnya. Kecuali, saat ia menyesap kopi hitamnya. Itupun tidak meliriknya sama sekali! Atau memang meliriknya? Entahlah, kaca mata hitam yang dikenakan lelaki itu teramat mengganggu perkenalan ini! Tidak, bukan Valecia namanya, jika terburu-buru menyebut hal ini adalah sebuah ‘penolakan’ secara halus. Halus? Bisa diperbaiki lagi? “Ini di dalam ruangan, kenapa kau mengenakan kacamata itu? Apa pancaran auraku terlalu memancar berlebihan?” ujarnya setengah berbisik. Demi Tuhan! Itu kalimat murahan. Vale harus segera pulang dan berkumur! Ia juga tidak mengerti mengapa ia mengeluarkan kalimat aneh itu. Ugh, bahkan terdengar seperti penggoda lelaki! Astaga, terkutuklah dirinya. Tapi tentu saja itu tidak diucapkan beserta dengan niat, ia hanya ingin mengundang perhatian lelaki tampan itu. Ingat? Hanya ingin diperhatikan! Mengapa hal yang biasanya mudah ia lakukan menjadi begitu sulit bersama dengan lelaki di hadapannya ini?! Tunggu. Lagipula ini adalah permulaan. Biarkan siapa pun yang kau inginkan terperangkap padamu, lalu kau akan mendapatkannya setelah dia terlanjur mencintaimu. Dapat! Sepertinya ia telah berhasil. Vano tersenyum. Lelaki itu kini mengalihkan perhatiannya pada Vale. Mungkin karena ia menyesal telah mengabaikannya atau mungkin membenarkan ucapan Vale barusan meskipun semua itu terdengar cringe? Namun ternyata dugaannya salah. Salah besar! Darah lelaki itu mungkin akan mendidih jika ia menanggapi lebih lama gadis di hadapannya. “Di sini begitu gelap. Tidak ada cahaya yang terlihat. Bahkan aku tidak mengetahui bagaimana wujudmu, Valecia Rain.” Lelaki itu tersenyum miring, puas karena berhasil membuat gadis di hadapannya tidak mampu berkata-kata. Benar, Vale sanggup dibuat terperangah. Bukan hanya terkejut, ia merasa berhasil dibodohi oleh ucapan sarkasme laki-laki itu! Vale menggebrak meja dan mendelik tajam. “Jika kau tidak menyukaiku, katakan saja! Tidak perlu dengan menghinaku. Dasar sombong!” Ia beranjak dengan gusar seraya berlalu. “Permisi!” *** “Lelaki tidak tahu diri! Seberapa merasa tampannya dia sampai harus menghina diriku!” Vale duduk di bangkunya dengan gusar. Ia memukul pelan meja di hadapannya dengan kesal. Ini adalah pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini! Benarkah? Bagaimana dengan Dave? Ya, benar. Ini kedua kalinya. Tapi tentu saja dengan keadaan yang berbeda! “Ssst, sudah. Bersabarlah. Memangnya menghina seperti apa?” Kelly bertanya dengan hati-hati. “Dia mengatakan, dia tidak tahu wujudku. Dan yang terparah, dia mengatakan bahwa aku gelap!” sungut Vale seraya berdecak kesal. “HAHAHA!” gelak tawa Nancy membuat Vale semakin bersungut-sungut. “Jangan menertawakanku seperti itu,” rajuk Vale. “Bukan begitu. Aku tidak menertawakanmu. Maksudku, aku hanya sedikit heran padanya. Dia mengatakan bahwa kau gelap atau mungkin bila di perjelas dalam bahasa kasarnya, kau “kusam”? Entahlah, bukankah bedak di wajahmu tebalnya sudah 2 mencapai senti?” Nancy kembali melanjutkan gelak tawanya yang sempat tertahankan. “Itu artinya kau menertawakanku, bodoh! Lagipula, tidak setebal itu!” Vale mencebikkan bibirnya, kesal. Nancy kembali bungkam saat pelototan gadis itu kembali menghujam kedua matanya. “Maaf,” ujar Nancy di sela tawanya. Ia mengulum senyum upaya menahan tawa. “Sudahlah, anggap saja dia tidak bisa melihat paras cantikmu,” Ujar Aline, gadis paling pendiam diantara mereka. “Ya, anggap saja dia buta!” Ucapan Vale membuat tatapan mereka lantas tertuju pada gadis itu. Lalu tanpa mereka sadari, semua pandangan teralih pada wanita cantik dengan balutan dress berwarna lembut yang terlihat menghampiri Vano dan menuntun lelaki itu perlahan. Sangat hati-hati. Seakan takut Vano akan menabrak apa pun di hadapannya karena tidak dapat melihat. Tunggu. Tidak dapat melihat? Gadis itu tersentak. Sorot matanya terpaku lurus menghujam punggung lelaki itu sampai menghilang. Kini mereka saling memandangi satu dengan lainnya. Vale tercengang, mulutnya bahkan sampai terbuka lebar. Ia benar-benar tidak menduganya. Ya Tuhan, maafkan aku. *** Tasya memperhatikan Vano dengan senyuman. Wanita itu berdeham lembut. “Ada apa denganmu, Vano? Apa ada hal-hal menarik yang terjadi ketika aku meninggalkanmu, tadi?” Vano bergumam pelan menjawabnya. Ia masih membayangkan rupa gadis yang berkenalan spontan dengannya itu. Valecia Rain. Seorang gadis manja, centil dan berotak kosong, yang lebih mementingkan banyak alat rias untuk penampilan yang terbaik, dibanding dengan setumpuk buku untuk sebuah pengetahuan. Ya, setidaknya itulah yang ada dalam pikirannya. Hanya imajinasi belaka yang menggambarkan rupa sosok Valecia Rain. Rain… “Hey!” Vano terperanjat, bahkan nyaris terpelanting dari posisi duduknya kalau saja ia tidak sadar kini dirinya berada di dalam mobil yang sedang melaju. “Ada apa? Tidak perlu teriak seperti itu! Aku masih bisa mendengar,” ujar Vano kesal. “Oh ya? Kalau begitu, apa yang kukatakan barusan?” Tasya memperlihatkan senyum kemenangan. “Sudahlah, kau tidak perlu berbohong. Aku tahu, kau sedang memikirkan seorang gadis, kan?” Vano kontan menoleh ke arah Tasya dengan sepasang alis tebalnya yang bertautan. Tasya terkikik geli. “Sepertinya gadis itu sangat menarik sampai kau langsung menoleh padaku,” gurau Tasya pada Vano yang tidak benar seutuhnya menoleh menghadap wanita itu. “Dari mana kau tahu?” Vano berdecak. “Maksudku, bagaimana kau tahu gadis itu?” ralatnya. “Vano, jangan kira aku membohongimu dengan berpura-pura pergi menemui Renza untuk mengetahui hasil donor mata untukmu, padahal aku memata-mataimu. Tidak. Sama sekali tidak. Tante Eve yang memberitahukan hal itu padaku,” jelas Tasya. Wanita itu mulai menceritakan apa saja yang Tante Eve ceritakan padanya dengan senyum mengembang yang tak luput dari wajahnya. “Awalnya, Tante Eve berniat menghampirimu untuk sekadar bernostalgia akan kenangan dulu. Tapi niatnya itu diurungkan begitu melihat seorang gadis berparas cantik tengah menghampirimu. Kau tenang saja, dia tidak dapat mendengar perbincangan kalian dari posisinya yang jauh dari kalian berdua saat itu. Tapi sepertinya kau menolak gadis itu mengingat dia pergi dengan wajah kesal,” tutur Tasya lantas berdeham kecil. “Benarkah begitu, Vano? Ada apa dengan dirimu?” lanjutnya dengan dahi berkerut. “Hm? Apa maksudmu?” Vano menaikkan sebelah alisnya. Tasya tersenyum lembut. “Bukankah kau selalu berharap, ingin memiliki gadis yang tidak peduli dengan keadaan-mu?” Ia mengecilkan suaranya, berhati-hati dengan kalimat terakhirnya upaya tidak membuat Vano tersinggung karenanya. “Dia tidak mengetahui keadaanku,” ujar lelaki itu datar. Tasya terkejut, bingung. “Bagaimana mungkin? Mungkin kau keliru?” Vano tersenyum tipis. “Aku sudah mengatakannya. Tapi gadis itu pikir, aku malah menghinanya.” Benaknya kembali mengulang percakapan dengan Vale. “Memangnya apa yang kau katakan?” Mau tidak mau Tasya dibuat penasaran olehnya. “Aku mengatakan bahwa yang kulihat hanyalah kegelapan, aku tidak tahu rupa maupun wujudnya. Lalu apa yang kau pikirkan, Tasya?” Vano yakin, sesama perempuan, Tasya pasti memahami pemikiran gadis itu. Tasya terkikik geli. “Ya Tuhan. Pasti dia menyangka jika kau menghina fisiknya,” ujar Tasya di sela tawanya. Awalnya Vano terperangah, namun tak urung ia terkekeh. Mendengar tawa kecilnya saja mampu membuat kelegaan yang teramat berarti dalam diri Tasya. Sudah lama sekali ia tidak melihat Vano tertawa kecil dengan senyuman yang tak surut dari wajah lelaki itu. Apa ini karena pengaruh dari gadis asing tersebut? Rasanya Tasya ingin berterima kasih padanya. Vano tersenyum miring dan bergumam, “Dasar gadis bodoh.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

T E A R S

read
312.6K
bc

MOVE ON

read
95.0K
bc

My Husband My Step Brother

read
54.8K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.3K
bc

Dependencia

read
186.4K
bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
49.0K
bc

THE DISTANCE ( Indonesia )

read
579.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook