bc

Story of Snake Queen

book_age18+
1.0K
FOLLOW
6.2K
READ
revenge
manipulative
powerful
king
beast
tragedy
bxg
another world
kingdom building
like
intro-logo
Blurb

Awalnya Alegra Vincentius hanyalah putri kerajaan yang hidupnya selalu bergelimpangan kemewahan. Bersyukur karena dirinya memiliki orangtua yang selalu menjaga dan menyayanginya serta memiliki seorang kakak yang selalu menemani dan mengajarkan banyak hal padanya. Hingga sebuah pemberontakan membuat hidupnya menjadi jungkir balik.

Kini demi bisa merebut kembali kerajaannya, demi bisa membalas kematian orangtuanya dan demi bisa membersihkan nama baik orangtuanya yang tercoreng, dia rela melakukan apa pun termasuk menjadi persembahan untuk Sang Raja Ular, Renz Tazio Sylvain.

chap-preview
Free preview
ONE
Suasana di sebuah ruangan tampak ramai dengan hiruk-pikuk yang berasal dari beberapa pria yang tengah asyik mengobrol satu sama lain. Sekumpulan pria yang jika dilihat dari penampilannya, bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka mengenakan pakaian mewah berbahan sutra ciri khas para petinggi kerajaan. Suasana ramai itu seketika berubah menjadi hening saat daun pintu yang sejak tadi tertutup kini terbuka, menimbulkan suara deritan yang membuat telinga siapa pun yang mendengarnya terasa ngilu. Semua orang terdiam, begitu sosok pria berusia 30 tahunan, melangkah tegap masuk ke dalam ruangan. Ia berjalan menyusuri para pria tadi yang seketika membentuk sebuah barisan yang rapi. Pria itu, Pangeran Reegon dari Kerajaan Vincentius, menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah kursi mewah dengan ukiran rumit khas kerajaan. Lantas dia pun duduk dengan angkuh di kursi tersebut. Memandang tajam pada sekumpulan pria yang kini menunduk, tak berani menatap ke arahnya. “Aku senang kalian memenuhi undanganku,” ucapnya, memecah keheningan. “Tentu saja, Pangeran. Undangan Anda suatu kehormatan untuk kami,” sahut salah seorang pria paruh baya, sebagian rambutnya tampak memutih. Dia adalah menteri keamanan di kerajaan tersebut. “Aku menghargai kesetiaan kalian sebagai pengikutku.” “Kami juga merasa terhormat karena Anda mengajak kami untuk ikut serta dalam rencana kudeta ini, Pangeran. Kami mempercayai Anda sepenuhnya. Hanya Anda yang pantas menjadi penguasa kerajaan Vincentius.” Kini seorang pria tua yang merupakan menteri perpajakan di kerajaan Vincentius yang menyahut. Pangeran Reegon mendengus, tersenyum tipis, kentara begitu puas mendengar jawaban dari para pengikutnya. “Jadi, bagaimana persiapannya?” “Sudah maksimal, Pangeran. Kami hanya perlu menunggu perintah dari Anda,” jawab Menteri Keamanan lagi. “Kalau begitu tidak ada waktu untuk mengulur-ngulur lagi. Besok siang, kita lancarkan rencana kita,” titahnya tegas dan lantang. “BAIK PENGERAN,” sahut semua Menteri itu dengan serempak. Pangeran Reegon tersenyum miring, seringaian tercipta di wajahnya. Dia menopang dagunya dengan satu tangannya, bayangan dirinya yang sesaat lagi akan menjadi Raja tak ayal membuat senyuman itu berubah seketika menjadi tawa riang yang membahana. Semua Menteri yang awalnya kebingungan dengan reaksi berlebihan dari sang pangeran, akhirnya ikut tertawa. Mereka sudah memutuskan untuk mengikuti Raja mereka yang baru serta menggulingkan Raja yang kini tengah berkuasa di Kerajaan Vincentius. ‘Kakak, sebentar lagi aku lah yang akan menduduki tahtamu. Tahta yang seharusnya sejak awal menjadi milikku. Orang lemah sepertimu tidak pantas menjadi seorang penguasa.’ Pangeran Reegon bergumam dalam hati setelah berhasil menghentikan tawanya. ***  Gadis cantik nan anggun itu tengah berlari-lari riang di sepanjang koridor, hingga rambut hitam sepunggungnya ikut bergoyang seirama dengan gerakan tubuhnya. Kedua kakinya tampak lincah melompati karpet merah empuk yang membungkus lantai. Sesekali dia bersiul dan balas tersenyum ketika tanpa sengaja berpapasan dengan beberapa dayang istana. Dia baru menghentikan langkahnya begitu tiba di tempat tujuannya. “Apa Ibunda masih ada di dalam?” tanyanya pada salah seorang prajurit yang mengenakan baju besi. Prajurit itu tengah berdiri di depan sebuah pintu berukuran besar dengan ukiran mewah di sepanjang daun pintu. “Yang mulia Ratu masih ada di dalam, Tuan Putri,” sahut sang prajurit. “Bagus. Kalau begitu tolong bukakan pintunya untukku.” “Baik, Tuan Putri.” Putri Alegra Vincentius, gadis cantik berusia 19 tahun yang memiliki sifat riang dan pemberani, anak kedua dari Raja Argon Vincentius dan Ratu Liliana Vincentius. Raja Argon merupakan Raja yang berkuasa di kerajaan Vincentius saat ini. Sebuah Kerajaan besar dimana ada jutaan rakyat yang hidup bernaung di bawahnya. Memiliki wilayah kekuasaan tak terhingga yang membentang dari Barat sampai ke Timur. Salah satu kerajaan terbesar di muka bumi, bahkan tak ada satu pun kerajaan yang berani berperang melawan kerajaan ini. Dibandingkan menjadi musuh, menjadi sekutu merupakan pilihan terbaik yang bisa diambil oleh kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Kerajaan ini memiliki Istana megah dan sistem pemerintahan monarki yang berdiri di tanah kota Kings Ville. Selain sebagai ibu kota kerajaan, Kings Ville merupakan kota terpadat dan termaju dibandingkan kota-kota lainnya. Sudah hampir 20 tahun, Raja Argon memerintah kerajaan sejak raja terdahulu wafat. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan semakin besar dan makmur. Kedamaian dan ketenangan selalu dirasakan oleh seluruh rakyat. Tak pernah ada peperangan, pemberontakan maupun pertumpahan darah. Sesuatu yang tabu mengingat di beberapa kerajaan kecil, sebuah peperangan yang hanya didasari oleh perebutan wilayah merupakan sesuatu yang biasa terjadi. Raja Argon memerintah dengan adil dan bijaksana. Dia raja yang berbudi luhur, memiliki hati yang lapang dan teramat jujur. Seluruh rakyat sangat menghormatinya. Sang putri berjalan anggun begitu daun pintu terbuka. Memasuki sebuah ruangan luas nan megah yang tak asing lagi baginya. Senyuman tersungging di bibirnya tatkala kedua mata indahnya menangkap sosok yang dicarinya tengah duduk di depan meja rias. “Ibunda, biar saya yang membantu menyisir rambut Anda,” ucap Alegra, tanpa menunggu respon dari sang ibu, dia merebut sisir dan menggantikan salah seorang dayang yang sejak tadi tengah menata rambut sang ratu. Ratu Liliana hanya menggelengkan kepalanya, tak merasa heran sedikit pun dengan sikap kurang ajar putrinya itu. “Ibunda, kenapa ya setiap pagi kita harus menyapa rakyat?” Sang putri bertanya, sedangkan kedua tangannya masih asyik menyisir rambut ibunya dengan telaten. “Agar kita bisa dekat dengan rakyat. Dengan setiap hari menyapa mereka, mereka tidak akan merasa asing dengan pemimpin mereka. Menjadi seorang pemimpin bukan semata-mata memberi perintah, bukan? Kita juga harus menunjukan kepedulian kepada rakyat. Kita harus berbaur dengan rakyat agar mereka mempercayai kita.” Alegra menganggukan kepalanya berulang kali, merasa tak ada gunanya dia membantah perkataan sang ibu yang memang benar adanya. “Hari ini saya berencana untuk berlatih menunggang kuda bersama Kak Tregon.” “Lakukan apa pun yang kau suka, yang penting kau harus hati-hati. Ibunda tidak mau mendengar kau mendapat luka. Kau mengerti?” Alegra menempelkan telapak tangannya tepat di pelipisnya, membentuk pose tengah memberi hormat. “Apa saya boleh absen pagi ini, Ibunda? Saya tidak akan ikut menyapa rakyat di luar.” “Tidak boleh.” Suara baritone yang tiba-tiba terdengar menyahut itu, membuat Alegra dan ibunya seketika menoleh ke belakang. Membungkuk hormat penuh keanggunan ketika melihat sang penguasa melangkah masuk ke dalam ruangan, menghampiri mereka. Sang raja tak sendirian, sosok pria tampan nan gagah, Pangeran Tregon ikut serta bersamanya. “Kenapa putri kesayangan Ayahanda ini ingin absen pagi ini?” Ditanya seperti itu oleh ayahnya, Alegra menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Meski pria di hadapannya itu adalah ayahnya, namun tetap saja dia seorang Raja agung yang dihormati semua orang di pelosok negeri. Dia sedikit gugup untuk menjawabnya. “Saya ingin mempersiapkan peralatan untuk berkuda nanti, Ayahanda,” jawabnya takut-takut. “Kau ini padahal seorang gadis tapi senang sekali melakukan hal-hal yang berbau kegiatan seorang pria. Seharusnya kau mempelajari cara menjadi seorang putri yang anggun seperti melukis, merajut, merangkai bunga.” “Isshh, Kak Tregon. Katakan saja kakak tidak mau mengajariku. Kakak jahat, pelit lagi. Aku benci padamu.” Mendengar gerutuan adiknya serta melihat wajah sang adik yang tengah merajuk, tak ayal membuat sebuah tawa meluncur dari mulut pangeran berusia 24 tahun tersebut. Raja Argon dan Ratu Liliana tersenyum melihat tingkahlaku kedua anak mereka. Hanya mereka berdua harta berharga yang mereka miliki. Bahkan seandainya mereka dihadapkan pada dua pilihan antara kedua anak mereka dan kerajaan ini, jelas mereka tanpa ragu akan memilih kedua anak mereka. Ya, sebesar itulah rasa sayang mereka pada kedua anaknya. Harta dan kekuasaan tak sebanding dengan kebahagian keturunan mereka tersebut. “Sudah, jangan merajuk. Kakakmu akan mengajarimu berkuda setelah kita selesai menyapa rakyat di luar. Mari kita berangkat, semua rakyat sudah menunggu,” ajak sang raja yang langsung dipatuhi istri serta kedua anaknya. Sesuai perkiraan, begitu pintu utama Istana terbuka tampak rakyat sudah berdesak-desakan di balik pagar besi yang dijaga ketat para prajurit, mereka tengah meneriakan nama penguasa mereka. Menyerukan berbagai doa dan harapan untuk penguasa mereka agar senantiasa diberi kesehatan dan kesejahteraan. Saat Raja dan anggota keluarganya melangkah keluar, seluruh rakyat seketika berlutut, memberikan penghormatan mereka. Raja Argon, Ratu Liliana, Pangeran Tregon dan Putri Alegra melambaikan tangan disertai senyuman lebar, menyambut dengan antusias penghormatan yang diberikan seluruh rakyat untuk mereka. Dan interaksi mengharukan itu tak luput dari pandangan seseorang yang selalu merasa muak serta jijik setiap kali momen mengharukan ini tengah berlangsung. Pangeran Reegon berdecak dari kejauhan, memberikan isyarat pada Perdana Menteri yang berdiri tak jauh darinya untuk mendekat. “Bagaimana persiapannya?” tanyanya, berbisik pelan di telinga sang Perdana Menteri. “Sudah siap, Pangeran.” “Bagus. Aku tidak ingin melihat ada kesalahan sedikit pun. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana.” “Baik, Pangeran.” Dan sang Perdana Menteri pun pergi untuk mengecek kembali persiapan kudeta yang sebentar lagi akan mereka lancarkan. ***  Suara kikikan kuda yang ditunggangi kedua anggota kerajaan itu tak hentinya terdengar. Pangeran Tregon mempercepat laju kuda hitamnya, membuat Putri Alegra kepayahan mengejar kuda sang kakak. Dia belum terlalu mahir berkuda dan kakaknya itu justru mengerjainya seperti ini. Sengaja memacu kuda hitamnya agar berlari cepat, sedangkan Alegra masih kesulitan mengendalikan kuda putih kesayangannya agar ikut melaju cepat. “Kakak, kau sangat menyebalkan. Berhenti, Kak. Aku mengaku kalah!” teriaknya, dari punggung kuda putih hadiah pemberian ayahnya saat dirinya berulang tahun yang ke-19 beberapa bulan yang lalu. “Kau payah, Algera. Padahal sudah satu bulan lebih aku mengajarimu berkuda, tapi tetap saja lari kudamu lamban.” “Huuh, jangan samakan aku dengan kakak yang sudah ahli berkuda. Kakak sudah belajar berkuda sejak kakak masih berumur 9 tahun, sedangkan aku ... jelas saja kemampuanku berbeda jauh dengan kakak,” sahut Alegra, tak terima dirinya diremehkan. Mengabaikan jarak kuda miliknya yang cukup jauh dengan kuda milik kakaknya, Alegra memutuskan untuk menghentikan laju kuda yang ditungganginya. Lantas dia turun dari kuda, merebahkan diri di atas rerumputan hijau. Dia biarkan kudanya yang kelelahan untuk beristirahat sejenak seraya menyantap rumput liar yang tumbuh di sekitar tempat itu. Terhitung sudah tiga jam lebih dirinya memacu kudanya agar terus berlari mengimbangi laju kuda yang ditunggangi kakaknya. Dia tak sekejam itu, meski tak memahami bahasa binatang, Alegra tahu kudanya sangat kelelahan dan membutuhkan istirahat. Sebenarnya bukan hanya kudanya, dirinya juga membutuhkan istirahat sejenak. Alegra mendengus kasar ketika mendapati sang kakak tiba-tiba ikut merebahkan diri di sampingnya. “Setelah istirahat sebentar, kita pulang ke Istana ya. Kau sudah puas kan latihannya?” tanya Tregon. “Ya, cukup untuk hari ini. Besok kita latihan lagi ya.” Alegra pun meringis ketika tangan besar kakaknya mengelus kasar puncak kepalanya. “Tidak bisa, besok aku ada urusan lain.” “Urusan apa memangnya?” Tregon hanya terkekeh, Alegra mendecih sebal melihat kelakukan kakaknya yang sok misterius itu. “Aku tahu, aku tahu, kakak ada pelatihan untuk menjadi calon Raja, kan? Kakak ini putra mahkota, calon raja selanjutnya. Aku yakin di bawah kepemimpinan kakak nanti, kerajaan Vincentius pasti akan semakin besar dan makmur.”  Setelah memuji dengan tulus kakaknya, Alegra tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat jelas. “Kakak masih belum ada apa-apanya jika dibanding ayahanda. Kakak masih harus banyak belajar agar bisa menjadi raja sehebat ayahanda.” Alegra mengangkat ibu jarinya tinggi sembari mengangguk. “Aku akan selalu mendukung kakak. Aku juga tidak pernah meragukan kemampuan kakak. Aku yakin kelak kakak akan menjadi raja yang sama hebatnya dengan ayahanda. Bahkan mungkin lebih hebat dari ayahanda.” “Semoga saja ya. Kakak akan berusaha.” Mereka pun tertawa bersamaan setelahnya. *** Sepasang kakak beradik itu menunggangi kudanya dengan santai. Sesekali canda gurau dan tawa meluncur dari mulut keduanya. Jika saja mereka tak menyadari sesuatu yang janggal tengah terjadi. Terlihat beberapa orang tengah berlarian, jika melihat arah yang diambil mereka, Istana adalah tempat yang dituju oleh orang-orang tersebut. Tregon dan Alegra saling berpandangan, merasa heran bersamaan. “Apa yang terjadi, Kak? Kenapa semua orang terlihat panik?” tanya Alegra, tak kuasa menahan rasa penasarannya. “Sepertinya mereka menuju Istana, kita akan tahu apa yang terjadi jika kita bergegas ke sana.” Alegra mengangguk, lantas tanpa ragu memacu kudanya agar berlari lebih cepat, dia ikuti kuda kakaknya yang sudah melaju di depannya. Alegra menghentikan laju kudanya begitu melihat sang kakak memberi isyarat dengan tangannya agar berhenti. Di depan mereka, tampak ratusan rakyat tengah berkumpul di depan Istana. Suara hiruk pikuk yang berasal dari teriakan para rakyat membuat suasana di sekitar Istana menjadi tak terkendali. Tregon membawa serta adiknya untuk melihat situasi dengan menaiki sebuah menara yang berdiri kokoh tak jauh dari tempat mereka berada. Dari menara itu, mereka bisa melihat dengan jelas apa yang tengah terjadi sehingga suasana di depan Istana menjadi kacau seperti ini. Di puncak menara, baik Tregon maupun Alegra tak mampu memalingkan pandangan mata mereka. Di sana ... tepat di depan istana, kedua orangtuanya tampak tengah mengalami kesulitan. Mereka dikelilingi oleh para petinggi Istana. Dan jika mendengar teriakan dari para rakyat yang ternyata tengah menghujat raja dan ratu, mereka tahu kedua orangtuanya tengah tersudutkan saat ini. Alegra ingin turun dan menghampiri orangtuanya untuk membantu mereka. Namun dengan sigap Tregon mencegahnya. “Tapi, Kak. Ayahanda dan ibunda. Mereka membutuhkan bantuan kita.” “Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita harus melihat lebih dulu dan memahami permasalahannya. Percayalah pada kakak. Kita lihat dulu keadaannya.” Meski enggan, toh pada akhirnya Alegra tak mampu melawan kakaknya. Kemudian dia pun menurut, kembali berdiri dan menatap lurus pada kedua orangtuanya yang terlihat tak berdaya di bawah sana. “Gulingkan raja penipu dan pengkhianat itu. Bunuh dia!” teriak salah seorang pria yang bergabung dalam kerumunan para rakyat. “Benar, raja bermuka dua sepertinya tak pantas hidup. Hukum mati saja,” sahut pria lain. “Kami butuh raja baru. Raja yang adil, jujur dan peduli pada rakyat!!” Itulah yang diteriakan seluruh rakyat. “Kami sudah tidak sanggup mengikuti perintah Anda, Yang Mulia. Anda memerintahkan kami untuk meminta pajak yang besar pada rakyat. Mengeruk hasil pertanian dan perkebunan mereka sehingga rakyat menjadi menderita. Banyak rakyat yang hidup miskin dan serba kekurangan.” Menteri Perpajakan bersuara, sukses membuat Raja Argon membulatkan matanya lebar-lebar. “Aku tidak pernah memerintahkan kalian seperti itu. sebaliknya, aku memerintahkan agar rakyat dibebaskan dari pajak. Hasil pertanian dan perkebunan mereka murni untuk mereka, tidak perlu mengirimkan pada kerajaan karena kerajaan memiliki lahan sendiri. Memiliki hasil pertanian sendiri,” elak Raja Argon, tak terima dengan tuduhan yang diarahkan padanya. “Anda ingin mengelak dari kebenaran, Yang Mulia? Tanyakan pada rakyat, benarkah mereka diminta pajak yang tinggi oleh kerajaan atau tidak?” Kini Pangeran Reegon, ikut ambil andil. “BENAR, KAMI HARUS MEMBAYAR PAJAK YANG TINGGI!!” teriak beberapa orang, bersamaan. “Yang Mulia, selama ini Anda memerintahkan pada para menteri untuk mengeruk uang dan hasil panen rakyat. Menyimpan semuanya di gudang Istana. Anda menjual hasil panen pada kerajaan lain hanya untuk memperkaya diri Anda sendiri. Anda seolah gelap mata meskipun banyak rakyat yang hidup kesusahan dan jatuh miskin.” Menteri Keuangan ikut menimpali, tak ayal membuat rakyat semakin geram. “Selama ini kami selalu mengikuti perintah Anda karena kami takut pada Anda. Tapi sekarang tidak lagi, berkat Pangeran Reegon yang berbaik hati melakukan reformasi, menciptakan perubahan untuk kesejahteraan rakyat. Kami bersama-sama akan menjatuhkan hukuman berat untuk raja kejam dan serakah seperti Anda,” ujar Menteri Keamanan. “Benar, kami membutuhkan raja baru. Raja yang peduli dengan kesejahteraan rakyat. Hanya Pangeran Reegon yang paling pantas menduduki tahta kerajaan Vincentius!!” seru Perdana Menteri yang didukung sepenuhnya oleh jajaran menteri lainnya. “Tunjukan buktinya bahwa aku menyimpan hasil panen rakyat di gudang istana selama ini? Aku bersumpah, aku tidak pernah memerintahkan hal itu pada kalian!” teriak Raja Argon, masih berusaha membela diri. Ratu Liliana yang berdiri di sampingnya, telah meneteskan begitu banyak air mata. Tak kuasa menyaksikan suaminya yang jujur kini difitnah sekejam ini. Melihat seringaian yang tercipta di wajah Pangeran Reegon, saat itulah Raja Argon menyesali kata-kata yang baru saja meluncur dari mulutnya. Dia telah masuk ke dalam jebakan. “Baiklah, Yang Mulia. Anda yang meminta ini maka jangan salahkan kami jika kejahatan Anda terbongkar di hadapan seluruh rakyat.” Seringaian Pangeran Reegon semakin lebar. “Keluarkan semua isi gudang istana!!” titahnya lantang. Seketika itu juga beberapa prajurit istana berlarian menuju gudang Istana. Hanya butuh waktu 10 menit saja, hingga satu demi satu prajurit itu kembali dengan membawa berkarung-karung hasil panen baik itu beras, sayuran, rempah-rempah maupun buah-buahan yang tak terhitung banyaknya, dari gudang Istana. Raja Argon merasa lututnya tiba-tiba lemas, hampir saja dia tak sanggup lagi mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Terlambat baginya untuk menyadari bahwa dirinya telah jatuh dalam perangkap para menterinya yang telah berkhianat, dimana pemimpin dari pemberontakan ini adalah adiknya sendiri, Pangeran Reegon. Dengan sigap Ratu Liliana menahan tubuh suaminya yang tiba-tiba limbung nyaris terjatuh. Raja Argon meremas d**a kirinya yang berdenyut sakit, tak menyangka orang-orang yang begitu dipercayanya akan mengkhianatinya sekejam ini. “Inilah bukti kerajaan telah menyimpan hasil panen rakyat yang melimpah untuk dijual ke kerajaan lain. Kekayaan Raja Argon beserta keluarganya tak terhitung jumlahnya, dan semua itu berasal dari pajak yang kalian keluarkan!” teriak Menteri keuangan, menegaskan. Para rakyat semakin murka, mempercayai mentah-mentah tuduhan tersebut. “Raja kejam dan kikir sepertinya tidak pantas memimpin kerajaan Vincentius. Satu-satunya yang pantas menjadi raja adalah Pangeran Reegon yang bijaksana dan peduli pada kesejahteraan kalian. Jika bukan karena keinginan beliau untuk membongkar kejahatan ini di hadapan kalian, maka kebenaran ini tidak akan pernah terungkap,” sahut Perdana Menteri, ikut mengompori. Pangeran Reegon mengangkat tangannya, memberi instruksi agar semua menteri diam dan tidak mengeluarkan suara mereka lagi. Seketika suasana menjadi sunyi, hanya beberapa sahut-sahutan dari rakyat yang masih terdengar. “Menurut kalian, hukuman apa yang paling pantas untuk raja pengkhianat dan penipu seperti dia?” tanya Pangeran Reegon, sembari menunjuk dengan jarinya pada Raja Argon dan sang istri. “Bakar mereka!” “Lucuti pakaian mereka. Pakaian itu berasal dari uang kami!” “Bunuh mereka!” “Kami membutuhkan raja baru!” “Kami butuh keadilan!” Teriakan dari para rakyat terdengar saling bersahut-sahutan. Pangeran Reegon tersenyum lebar, terlihat puas karena rencananya berjalan lancar. “Maka aku akan mengabulkan keinginan kalian ini,” sahut Pangeran Reegon. Dia menatap ke arah menteri keamanan. Memberikan isyarat dengan anggukannya. Detik itu juga menteri keamanan  memerintahkan beberapa prajurit untuk melucuti pakaian sang raja dan ratu. Mereka merobek pakaian itu hingga terlepas sempurna dari tubuh sepasang suami-istri yang tak berdaya itu. Semua orang memusuhi mereka tanpa ada satu pun yang berdiri di pihak mereka. Raja Argon tahu tak ada yang bisa dilakukannya saat tak ada seorang pun yang mempercayai ucapannya lagi. Semua orang kepercayaannya kini berbalik memusuhinya, mengkhianatinya dan memfitnahnya tanpa ampun. Satu hal yang membuatnya lega, tak ada Tregon dan Alegra di sini, jika tidak ... mereka pun akan ikut mati bersama dirinya dan sang istri. “Siapkan perapian!” teriak menteri keamanan, memberikan komando pada para prajuritnya. Kayu-kayu kering dikumpulkan dalam sekejap dan dibentuk bagai sebuah gunung. Beberapa detik kemudian, sebuah obor dengan api yang menyala di bagian ujungnya diserahkan pada Pangeran Reegon oleh salah seorang prajurit. Pangeran Reegon melangkah tegap menuju tumpukan kayu, menyalakan api sehingga dalam sekejap api berkobar melahap tumpukan kayu tersebut. Raja Argon dan Ratu Liliana berjalan tertatih-tatih dengan tangan mereka yang saling berpegangan saat beberapa prajurit menggiring mereka dari belakang. Rasa malu saat mereka diarak dengan tubuh polos tanpa sehelai benang pun yang menghalangi. Saat rasa sakit akibat rakyat yang melempari mereka dengan batu dan telur busuk sehingga menciptakan luka di beberapa bagian tubuh mereka hingga mengeluarkan darah segar, rasa sakit itu tak lagi mereka rasakan. Sakit pada tubuh mereka, tidak seberapa dibandingkan rasa sakit di dalam hati mereka. Kini mereka berdiri tepat di hadapan api yang berkobar. Masih berpegangan tangan dengan hati mereka yang pasrah menerima takdir kejam ini. Alegra menjerit serta lelehan air mata tak hentinya mengalir saat dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan kedua orangtuanya di dorong masuk ke dalam api. Bahkan suara teriakan ayah dan ibunya ketika api melahap tubuh mereka bagai irama paling mengerikan yang tertangkap gendang telinga Alegra. Alegra sejak tadi ingin melarikan diri dari pelukan kakaknya, ingin berlari menghampiri kedua orangtuanya. Namun, dia tak mampu melawan tenaga sang kakak yang jauh lebih besar darinya. Air mata meluncur deras dari kedua mata Tregon, kulit wajahnya memerah menahan amarah dan rasa sakit di dalam hatinya. Namun dia sadar, saat ini menghampiri orangtuanya sama saja dengan menyerahkan nyawa. Sudah pasti bukan hal itu yang diinginkan orangtuanya. Kemudian dia menarik tangan adiknya untuk pergi. Dia harus melarikan diri sejauh mungkin dari kota ini. Tanpa keraguan, nyawanya dan sang adik berada dalam bahaya. Dia hanya perlu mencari cara untuk membalas kejahatan musuhnya, yang ironisnya adalah pamannya sendiri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
50.0K
bc

Crazy In Love "As Told By Nino"

read
279.5K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.1K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
462.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook