bc

Klandestin

book_age0+
276
FOLLOW
3.3K
READ
badboy
goodgirl
bitch
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

Nirbita Arunika seorang gadis unik yang memiliki kemampuan menakjubkan suatu saat dipertemukan dengan seorang aktivis demonstran, Nala Anarki. Dari pertemuan itu mereka terlibat dalam intrik politik yang diawali dengan kasus pembunuhan seorang mahasiswi.

Di waktu yang sama, Nirbita mendapatkan teror dari seorang anonim di akun ask.fm-nya, yang diduga sebagai suruhan seorang pejabat pemerintah untuk membunuhnya karena artikel-artikel provokatifnya yang menyudutkan. Tak disangka, selain menyudutkan seorang pejabat dengan artikel kritisnya, Nirbita menyimpan barang bukti kejahatan sang pejabat, yang membuatnya harus berhadapan dengan mara bahaya.

Kehadiran Abimanyu, sosok misterius yang selalu datang dan pergi di waktu tak terduga, seakan menjadi pembimbing Nirbita. Namun di saat Nirbita mulai menemukan malaikatnya dalam sosok Nala Anarki, perlahan-lahan Abimanyu mundur menjauh, meski ia tak sepenuhnya pergi.

Klandestin artinya secara rahasia/diam-diam.

Selamat membaca.

PS: copast bukan manusia

chap-preview
Free preview
Pembuka
PEMBUKA Pembaca yang baik, Pukul 0:11 dini hari saya tak dapat memejamkan mata. Saya sedang merenungkan sesuatu, yang lantas saya tuangkan ke dalam sebuah tulisan. Beberapa waktu lalu saya melewati sebuah kedai dan tertarik untuk berkunjung. Kedai itu menyediakan berbagai macam minuman dan makanan ringan dilengkapi musik serta layanan wifi gratis, tempat yang cocok untuk nongkrong bagi anak muda. Surabaya seperti halnya Paris yang di setiap sisi jalan dijejali kedai dan kafe. Seorang penulis macam saya tentu bergembira, sebab saya bisa meluangkan waktu sekadar memesan secangkir kopi dan mulai mengetik naskah. Sebagian penulis mentasbihkan dirinya sebagai penikmat kopi. Tanpa kopi, ide tidak bisa terangsang, hal itu akan berdampak munculnya writer's block. Saya bilang sebagian, artinya, sisanya tentu saja penulis yang tidak suka kopi! Di kedai ini, saya melihat seorang perempuan. Ia menari di pikiran saya, melewati pintu hingga membunyikan bel pertanda datangnya pengunjung baru. Perempuan bertubuh mungil itu memiliki mata dan bibir kecil. Rambutnya panjang sebahu. Di tangannya terdapat sebuah laptop kecil tipis yang ia tenteng. Barulah saya sadar, saya sedang menghidupkan sosoknya dalam pikiran saya. Segera, saya memulai kalimat pertama untuk menuliskan kisah perempuan itu. Saya tahu, namanya Nirbita Arunika. Ibunya lahir dan dibesarkan oleh keluarga yang patuh pada adat dan dikelilingi oleh mitos, bertolak belakang dengan bapaknya yang sangat moderat dan berpikir mengandalkan logika. Nirbita, tidak seperti perempuan kebanyakan, ia lahir dengan bakat luar biasa. Dan saya rasa, tidak untuk sekarang menceritakannya. Saat wujud dan watak Nirbita tergambar di pikiran saya, di sudut kedai kopi ini saya melihat seorang pemuda, sibuk dengan kertas-kertas di tangan dan sesekali menyeruput kopi pesanannya. Matanya sempat bertubrukan dengan saya. Saya dibuatnya bergeming dan terpesona. Ia memiliki mata malaikat yang sanggup meluluhkan hati perempuan dan membikin lutut perempuan manapun lemas. Saya baru sadar, saya harus mengikutkan ia. Saya harus segera menghidupkannya. Pemuda bermata malaikat, seorang peranakan Indonesia dengan... entahlah, darah apa yang mengalir di tubuh atletisnya itu selain Indonesia? Ia tidak seputih orang barat. Percampuran darah Indonesia dan Eropanya sangat sempurna. Nah, saya baru ingat bahwa ia dilahirkan dari seorang ibu Jawa dan ayah Prancis. Yang ada dalam benak saya, ibu pemuda itu dulu adalah seorang jurnalis sekaligus aktivis HAM, sedangkan bapaknya merupakan seorang Indonesianis sekaligus penggerak konservasi orangutan di Pulau Kalimantan. Ia mewarisi hidung mancung, bibir tipis, dan mata kayu manis bapaknya. Rambut dan keeksotisan kulitnya, tentu milik ibunya. Juga, ketajaman tatapannya yang sangat berkarakter. Itu milik ibunya. Saya tidak pernah bertemu perpaduan luar biasa macam dirinya. Dan kau harus segera berkenalan dengannya. Namanya Nala Anarki Renoir. Nala, yang artinya jantung hati, memang sangat tepat menggambarkan dirinya sebagai jantung hati setiap wanita. Ia seorang aktivis yang hobi melakukan demonstrasi. Mata malaikatnya itu kerap digunakannya untuk-maaf, sepertinya saya terlalu banyak membocorkan si mata malaikat ini. Saya sengaja menyusun ini dalam bentuk file yang terdiri dari dua bagian: Nirbita dan Nala. Bila kau tertarik, mari duduk dengan santai ditemani kopi, coklat, atau teh. Saya akan merangkai ceritanya untukmu. Saya tak akan memaksamu untuk terus membaca, namun tidak ada salahnya jika mencoba kata pertama bukan? Baik, saya akan memulainya dengan file prolog. -oOo- PROLOG Seorang penulis berhasil menghidupkan aku, entah bagaimana prosesnya. Aku lahir begitu saja bersama tokoh lainnya. Tapi tugasku di sini hanyalah sebagai salah seorang pencerita, begitu katanya. Kini, kau sedang hidup sebagai homo fictus di dalam sebuah cerita. Silakan kau pilih menjadi siapa di sini. Yang pasti, aku peringatkan padamu, jangan memilih menjadi diriku... Ada yang sengaja mengawasiku. Sejak aku pulang dari perpustakaan kampus, seseorang seperti menguntitku di belakang sana. Belakangan ini kampusku ramai dengan berita menghilangnya mahasiswi. Bahkan halaman depan koran kampus kerap menampilkan berita serupa yang malah membikin kawan-kawanku memilih tak beraktivitas di kampus sampai malam. Ada desas-desus berhembus yang mengatakan mereka diculik oleh sindikat penculikan perempuan yang lalu dijual ke Hongkong untuk dijadikan p*****r. Bayangkan saja! Tentu aku ngeri mendengarnya. Hanya saja, aku sangat keras kepala. Ini karena tugasku sebagai anggota Himpunan Mahasiswa. Ada kegiatan yang akan diadakan Departemenku. Kami membutuhkan banyak waktu mempersiapkan segalanya, yang artinya aku harus merelakan jam tidur siangku untuk rapat. Nah kan, aku benar, aku sedang diikuti oleh seseorang. Di belakang sana aku melihat seseorang mengenakan topeng porselen mengerikan yang menyembunyikan wajah misteriusnya. Ia bersembunyi di balik pepohonan begitu aku berbalik badan mengamati. Tubuhku menggigil merinding. Segera aku melangkah lebih cepat, berharap sampai di asrama dan menghindari kemungkinan terburuknya. "Nirbita!" Spontan aku terperanjat merasakan tepukan pada pundakku. Menoleh ke belakang, rupanya bukan orang misterius yang memakai topeng porselen, melainkan teman asramaku, Kiara. Dahinya mengernyit ke dalam melihat wajah panik dan pucatku. Aku mengatur pernafasan ketika jantungku masih berpacu tak terkendali. "Jangan ngagetin dong." "Ye, siapa yang ngagetin! Dari tadi aku panggil kamu, tapi kamu ngeloyor gitu aja." "Pulang bareng, yuk. Perasaanku nggak enak nih, kayak ada yang ngikutin di belakang." Mengikuti arah pandangku, Kiara clingukan, mencari-cari siapa kiranya orang yang berani menguntitku. Ia mengedikkan bahu dan menatapku seakan-akan aku sinting. "Sepi loh. Tadi aku dari arah situ tapi nggak ngelihat siapapun, kok." Aku makin merinding dibuatnya. Lekas kutarik tangannya agar siapapun-b*****h-yang-menguntitku tak berani mendekatiku. Kiara menggeleng-geleng melihat sikap defensifku yang kelewatan ini. Kami mengambil jalan pintas menuju asrama, seperti biasa, dengan kepalaku yang berulang kali menoleh ke belakang untuk waspada. Asrama tempat kami tinggal bukanlah milik kampus. Seorang dosen yang mengajar di kampusku memiliki rumah besar dan memanfaatkannya sebagai asrama khusus untuk mahasiswi. Tempatnya rapi, terawat, dan terjaga keamanannya. Asrama ini sudah dihuni belasan mahasiswi yang berasal dari berbagai jurusan. Aku dan Kiara, kami satu jurusan dan satu jiwa. Seakan Tuhan telah menggariskan aku bersahabat dengannya, pertama mendaftar sebagai mahasiswa baru aku sudah bertemu dan berkenalan dengannya. Kami lantas bertukar nomor telepon, berbagi pin BBM, dan mulai dekat sampai kami menempuh semester lima. Motivasi kami memasuki jurusan sastra bertolak belakang. Karena aku berambisi menjadi seorang penulis terkenal, aku sengaja mengambil jurusan ini. Sedangkan Kiara sama sekali tak berminat pada sastra. Hidupnya adalah fashion. Ia berambisi menjadi desainer dan memiliki butik dengan karyanya. Nasib bukan membawanya menjadi mahasiswi desainer, alih-alih menjadi kutu buku yang sibuk dengan timbunan novel untuk bahan diskusi. Sastra adalah ambisi ayahnya yang dulu seorang penyair. Karena ayahnya tak dapat berkarya lagi karena sibuk dengan bisnis keluarganya, ia diharapkan ayahnya bisa mengikuti jejaknya sebagai penyair. Percayalah, memaksa Kiara menulis puisi sama saja dengan memaksa Mike Tyson menari balet. Kamarku sepi dan berantakan. Ada celana jins, jaket denim, dan buku-buku yang berserakan di lantai. Malam lalu aku memang lembur demi menyelesaikan satu paper yang menguras otak. Aku tak punya kesempatan membereskan kekacauan di kamar ini. Namun karena hari ini tak ada tugas, maka aku berkesempatan merapikan kamarku yang habis dihantam badai. Saat aku sibuk memungut buku-bukuku, seseorang menepuk mengusap pundakku dan berbisik pelan di telingaku hingga dapat aku rasakan helaan nafasnya yang hangat di leherku. "Aku merindukan kamu. Kamu udah lupa?" -oOo- Seorang penulis berhasil menghidupkan aku, entah bagaimana prosesnya. Aku lahir begitu saja bersama tokoh lainnya. Tapi tugasku di sini hanyalah sebagai salah seorang pencerita, begitu katanya. Kini, kau sedang hidup sebagai homo fictus di dalam sebuah cerita. Silakan kau pilih menjadi siapa di sini. Kalau boleh mengatakan, kau beruntung bila memilih diriku... Hampir tiga jam aku dibuat kering. Matahari tidak sedang bersahabat. Ia bersinar sangat terik dan membuat aku berkali-kali menyambar botol air mineral berukuran besar di atas meja. Sudah siang dan bocah tengik ini belum juga keluar? Apa saja yang dilakukannya di dalam sana, heh? Ini bukan kali pertamanya aku mengecek jam tangan. Ponselku juga tak menyurutkan kekesalanku. Baru saja aku ingin mendobrak pintu rumah ini seandainya bocah tengik yang aku tunggu sejak tiga jam lamanya tidak muncul di depan mukaku. Rambutnya berantakan dan segera ia rapikan waktu matanya menyambut mataku. Ia tersenyum makin tengil. "Gua udah nunggu di teras tiga jam. SMS, BBM, LINE, telepon, nggak ada respon. Buang aja tuh hape daripada nggak guna," sungutku. Banyu Biru cekakak-cekikik menampik kekesalanku. Ia tahu dan hafal bagaimana caranya membangkitkan kemurkaanku pagi menjelang siang begini. Masalahnya ia tak tahu kondisi kalau berniat memancing emosiku! Begini, aku tak bisa menggunakan otakku untuk berpikir terkait dua hal: emosi dan perempuan. "Biasalah, cewek gua pagi-pagi minta lagi." Jancuk. Tiga jam aku kegerahan di teras hanya untuk menunggunya selesai bercinta? "b*****t. Lain kali nggak usah nebeng gua. Sana kredit mobil atau motor sendiri. Cewek lu kan kaya, minta aja sama dia." "Ya elah marah mulu, Nar. Lagi mens ya lu?" Kepalanya jadi sasaranku. Ia mengaduh mendapatkan pukulan dariku, lalu mengusap-usap kepalanya yang tak berotak itu. Kalau harus meladeninya bicara terus-menerus, kami bisa saja datang terlambat. Masalahnya, aku yang akan dituduh tidak tepat waktu dan tidak disiplin. Padahal seperti yang kau tahu, aku menunggu tiga jam untuk bocah tengik ini. Sebetulnya hari ini aku punya dua mata kuliah. Alih-alih masuk kelas, aku justru memutar roda kemudi mobil bertolak dengan arah kampus. Kalau kau menginginkan seorang tokoh cerita berupa pemuda ganteng yang sangat rajin kuliah dan akhirnya menjadi pengusaha sukses, aku sarankan jangan menoleh padaku. Aku jauh dari kriteria pemuda yang 'rajin kuliah'. Mungkin bagian gantengnya benar. Begini, hidupku tidak akan semonoton itu. Aku tidak hidup untuk instansi pendidikan. Kalau boleh menyombongkan diri, Papa lulusan Sorbonne sedangkan Maman lulusan Belanda. Orangtuaku mendidik dengan cara masing-masing yang saling bertolak. Papa menggemblengku menjadi anak pintar yang wajib meraih gelar profesor di usia muda. Kalau Maman, ia tak peduli aku sekolah tinggi atau tidak. Yang penting untuknya, aku harus tanggap dan bergerak. "Kamu nggak boleh lulus sebelum ikut demo," begitu sabdanya. Aku dilarang keras lulus dari kampus sebelum aku berhasil mengumpulkan masa dan berorasi menggebu-gebu untuk mengkritik pemerintah yang sedang ndagel. Lain hal dengan Papa yang memprotes tindakanku mendemo segala hal. Ia khawatir aku celaka bila terus-menerus menerjunkan diri di lapangan dan berteriak-teriak seperti dikebiri orang. Barangkali selain mengkhawatirkan aku, sebagai le parisien yang menjunjung tinggi demo yang santun, Papa meminta aku melakukan serupa. Demo yang santun tanpa menimbulkan keributan. Sayangnya, kalau tidak terjadi keributan, bukan Indonesia namanya. Ia salah jika membandingkan Indonesia dengan Prancis. Papa ingin aku lulus kuliah cepat sehingga aku bisa melanjutkan jenjang S2 di Sorbonne. Maman kerap berkata padaku untuk tak mendengarkan perkataan Papa dan memintaku tetap mengikuti intuisi. Dalam hal ini, aku sangat pro Maman. Kami bagaikan rekan yang saling membantu. Bahkan aku dianggap sebagai anak tak tahu diri dan durhaka yang malah mengucap syukur saat Papa pergi ke luar pulau dan tak kunjung pulang. Ia sibuk dengan orangutan di Kalimantan. Kemungkinan datang ke Jawa hanya saat-saat yang tak teduga-misalnya waktu ia memergoki Maman sedang merokok atau aku yang pulang babak belur dihajar aparat. Biarpun begitu, Papa sangat mencintai Maman sebagai istrinya dan aku sebagai anak sulungnya. Untunglah Papa masih memiliki putra lain yang dapat dibanggakan atas prestasi akademiknya. Adikku, Sabrang, mengikuti kemauan Papa untuk membasahi dirinya dengan pengetahuan sejarah. Ia bukan aku yang jarang masuk kuliah. Ia rajin mengikuti kelas, bahkan mendapatkan peringkat tertinggi setiap semesternya. Sejak kecil aku dan Sabrang memilih muara sungai berbeda. Ia senang mengikuti olimpiade, mengikuti kelas tambahan, dan sebangsat lainnya yang membikin orang-orang berpikir ia adalah perpustakaan berjalan. Sang Dewa Pengetahuan. Sedangkan aku dikenal sebagai biang keonaran yang doyan demo di jalan (aku tekankan, demo, bukan tawuran!). Biarpun aku tak menampakkan diriku sebagai orang pandai yang hobi menenteng buku-buku bersampul tebal, toh aku tahu apa yang diketahui adikku. Ada banyak cara untuk belajar selain rajin kuliah dan setiap hari mengisi absen di acara seminar. Aku termasuk yang mengambil cara lain untuk belajar. Percayalah, hidup sebagai anak embongan bisa membuat kau tahu segalanya. Kawan-kawanku yang boleh kukatakan sama-sama b*****t lebih memilih memanggil nama tengahku daripada nama panggilanku. Anarki. Anarki. Anarki. Selalu itu yang diteriakkan mereka. Aku tak bermaksud senang menyulutkan api pada sumbu yang dibasahi minyak tanah. Itu bukan salahku kalau orasiku membangunkan semangat pemuda-pemudi agar tergerak hatinya untuk jeli menyikapi dagelan pemerintah dan berujung pada kerusuhan. Hey, hapus pikiran burukmu itu. Kendati namaku Anarki, aku tidak suka bertindak anarkis. Aku hanya pejuang demokrasi, bukan preman berkedok demonstrasi. Malahan, Maman menyisipkan nama itu dengan harapan kelak agar aku bisa bersikap adil dalam pikiran dan perbuatanku (sesuai jargon Pramoedya Ananta Toer). Justru aku adalah pioner yang bisa saja menghapus budaya anarkis di Indonesia. Bahagialah Papa bila benar itu terjadi. Sampai di basecamp, aku melihat muka memberengut Hana yang langsung menyodorkan koran pagi di mukaku. "Tuh, kelakuan kamu. Kalau begini terus, organisasi kita bisa dibubarin." "Apaan sih dateng-dateng main nyalahin orang." Aku membaca halaman koran yang dibuka Hana. Berita kericuhan yang terjadi di depan Balai Kota kemarin siang. Lagi-lagi namaku dipampang di salah satu alinea yang menyebutkan bahwa aku dalang kerusuhan demo kenaikan BBM. Anjing, aku lagi yang disalahkan. -oOo- Footnote: Maman dibaca 'Mama', bukan bang Maman loh... * Nggak bakal posting bab selanjutnya sampai Helenina kelar bhahahahahahahahak *maenin kuaci* Karakter Nala Anarki ini terilhami dari anak kepala editor koran kampusku, (nama belakangnya Anarki) yang dilarang bapaknya lulus kuliah sebelum ikut-ikutan demo wkwkwk, bapak mertua idaman ye :P Lain-lain di bab lain-lain sajalah daripada spoiler Part ini bisa mendapatkan 50 votes? Yuk share :D *kasih ciuman* }h?!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Rujuk

read
909.0K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
53.1K
bc

My Ex Boss (Indonesia)

read
3.9M
bc

Unpredictable Marriage

read
280.6K
bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Pengganti

read
301.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook